29 May 2023

Analis Unas: Sistem Proporsional Tertutup Ideal untuk Indonesia

Photo: muhammadiyah.or.id

PRESS RELEASE

Sistem pemilihan umum (Pemilu) proporsional tertutup lebih ideal diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan sistem proporsional terbuka. Semua pertimbangan, termasuk kondisi geografis, jumlah penduduk, kemajemukan suku bangsa maupun agama, tingkat pendidikan, sosial ekonomi, menjadi dasar bagi para pendiri bangsa menerapkan sistem proporsional tertutup pada Pemilu pertama 1955.

Para pendiri bangsa sudah mem-pertimbangkan dari segala aspek, sistem proporsional tertutup dianggap paling pas untuk kondisi Indonesia.

Hal itu terkait uji materiil UU Pemilu soal sistem proporsional terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan beredar ‘bocoran’ seperti dikemukakan Prof Dr Denny Indrayana yang menyebutkan MK akan mengembalikan ke sistem proporsional tertutup.

Namun, apabila sistem pemilu diubah, jangan sampai dimanfaatkan oleh penumpang gelap untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024 yang sudah dijadwalkan sebelumnya. Apalagi tahapan pelaksanaan Pemilu sudah berlangsung sejak awal 2022 lalu.  Jika perubahan sistem Pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup dilakukan untuk menunda Pemilu, maka akan menimbulkan instabilitas politik.

Jangan sampai ada penumpang gelap, karena ongkos politiknya sangat mahal. Belum lagi ada pertarungan di DPR antar-fraksi soal setuju atau tidak setuju perubahan sistem pemilu. Saya tidak dalam kapasitas mendukung partai tertentu atau fraksi tertentu, tapi mengacu kepada sejarah awal para pendiri bangsa menetapkan sistem pemilu 1955. Tentu saja ada pro dan kontra, namun ini pendapat akademis.

Jika memang ternyata ada perubahan sistem Pemilu legislatif dari sistem proposional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup, masih bisa dilakukan saat ini, karena Pemilu akan dilakukan Februari 2024 mendatang. Masih ada waktu sekitar tujuh bulan bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mempersiapkannya.

Mumpung belum ada Daftar Calon Tetap (DCT), saat ini masih Daftar Calon Sementara (DCS) sehingga masih ada waktu untuk mempersiapkannya.  

Ia mengingatkan masalah seperti ini, bukan baru pertama kali terjadi. Sebab pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun, empat bulan menjelang pelaksanaan Pemilu 2009, sistem Pemilu diubah hasil dari uji materiil di MK, dari sistem proporsional tertutup menjadi terbuka.

Saat itu tidak ada kekacauan politik. Mengapa sekarang SBY khawatir terjadi kekacauan politik? Nyatanya pada Pemilu 2009 era Presiden SBY tidak ada kekacauan politik.       

Seperti Amandemen

Sama dengan soal amandemen UUD 1945 yang dilaksanakan pada 2002. Sekarang masyarakat menyadari, ternyata banyak mudarat dari sejumlah amandemen UUD 1945 menjadi UUD aspal (asli tapi palsu) alias UUD 2002. Begitu juga dengan sistem pemilu proporsional terbuka, terakhir pada Pemilu 2019 menyebabkan hampir 900 orang petugas pemungutan suara (PPS) meninggal dunia.

Fakta membuktikan Pemilu 1955 yang dilakukan dengan sistem proporsional tertutup justru menjadi pemilu paling demokratis dalam sejarah perpolitikan di Indonesia. Di situ ada etika, moral, serta agama yang diyakini penyelenggara pemilu, partai politik peserta pemilu, serta pemilih dalam menentukan partai politik sebagai institusi aspirasi politik masyarakat.

Pemilu 1955 dengan sistem proporsional tertutup bukan hanya ajang untuk kontestasi meraih kekuasaan melalui partai politik belaka. Lebih dari itu dibarengi dengan etika moral agama, sehingga menutup peluang untuk berlaku tidak jujur.

Pemilu itu alat pendidikan politik bagi masyarakat. Oleh karena itu mestinya calon-calon wakil rakyat adalah orang-orang terdidik, setidaknya lulusan perguruan tinggi. Sekaligus membuka peluang bagi para dosen, guru, peneliti yang tidak memiliki kemampuan finansial, bisa berkiprah menjadi wakil rakyat melalui sistem proporsional tertutup.

Jika menggunakan sistem proporsional terbuka, maka para cendekiawan akan kesulitan untuk bisa bersaing dengan pemilik modal, orang kaya, atau artis popular yang tidak memiliki kemampuan pendidikan tinggi, namun memiliki kemampuan ekonomi tinggi.

Melalui sistem proporsional tertutup, lanjutnya, partai politik punya kewenangan untuk menempatkan orang-orang terdidik di urutan atas alias dapat nomor peci, bukan nomor sepatu. Jadi walau pun sistem proporsional tertutup, namun tetap ada urutan daftar tetap calon anggota DPR/DPRD.

Tapi elite partai politik jangan sembarangan bertindak seolah-olah sebagai raja menggantikan oligarki kapitalis yang menitipkan orang-orang tertentu seperti sistem proporsional terbuka.

Kesalahan Pemilu 2019

Mestinya, elite negeri belajar dari kesalahan Pemilu 2019 lalu, sebagai salah satu Pemilu yang menggunakan sistem proporsional terbuka dengan predikat terburuk dalam sejarah Pemilu Indonesia. Buktinya, hampir 900 orang PPS meninggal dunia.

Siapa yang bertanggung jawab atas kematian hampir 900 orang PPS? Betapa beratnya petugas pemungutan suara untuk menghitung perolehan suara dari masing-masing calon anggota parlemen DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Berapa banyak partai peserta Pemilu? Berapa banyak calon dari masing-masing partai politik? Berapa banyak daerah pemilihan? Belum lagi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dari 34 provinsi saat itu.

Jika Pemilu 2024 tetap dilakukan dengan sistem proporsional terbuka sekaligus secara serentak untuk memilih Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota, maka kemungkinan korban petugas pemungutan suara akan semakin bertambah lagi bisa lebih dari 1.000 orang yang meninggal dunia. Sehingga Indonesia akan dicap sebagai negara paling buruk dalam penyelenggaraan Pemilu, karena banyaknya anggota PPS yang meninggal dunia.

Sudah cukup uji coba pemilu dengan sistem proporsional terbuka selama tiga kali pelaksanaan Pemilu (2009, 2014, 2019) dan kini saatnya dievaluasi. Ongkos politiknya terlalu mahal jika Pemilu serentak yang direncanakan pada 2024 dilaksanakan secara system proporsional terbuka.

Diakuinya, memang ada penyimpangan saat Pemilu era Orde Baru dengan sistem proporsional tertutup, karena pemilunya sekadar kewajiban untuk menggugurkan seolah Pemilu berlangsung secara demokratis. Padahal hanya sebagai demokrasi bayangan.

Kita perbaiki saja dari Pemilu 1955 dan era Orde Baru, tetapi tetap menggunakan sistem proporsional tertutup dan bukan proporsional terbuka. Soal kedekatan dengan rakyat sebagai calon pemilih, menjadi kewajiban partai politik untuk dekat dengan rakyat, bukan hanya saat jelang Pemilu saja.

Menekan biaya

Dengan sistem proporsional tertutup, sekaligus bisa menekan biaya Pemilu menjadi lebih murah. Bukan para bohir atau pemilik modal yang mengendalikan pemilu. Partai politik menjadi satu-satunya pengendali dana kampanye. Sistem proporsional tertutup juga bisa menutup persaingan tidak sehat para calon anggota legislatif di dalam satu partai politik.

Walau dengan sistem proporsional tertutup, tapi bukan seperti membeli kucing dalam karung. Rakyat tetap bisa mengetahui siapa saja calon anggota legislatif dari partai-partai politik. Jadi ada adu gagasan serta platform partai politik. Rakyat memilih partai politik dan sekalian kecocokan dengan calon angtota parlemennya.

Sama seperti pada Pemilu 1955 dan Pemilu era Orde Baru, serta Pemilu di awal Reformasi 1999 dan 2004. Para pemilih, hanya memilih atau menusuk tanda gambar partai politik untuk memilih anggota parlemen. Partai politik yang akan menentukan calon wakilnya yang akan duduk di DPR/DPRD. Dibuka secara transparan siapa saja dan urutan calon anggota legislatif dari partai politik.

Sehingga jika ada anggota partai yang tidak berkualitas atau melakukan penyimpangan, maka partai politik akan menanggung akibatnya. Kedaulatan partai sebagai instrumen demokrasi menjadi pertaruhan.


/sgo

14 May 2023

Iblis Pesolek

Photo: bergelora.com

Pada 1993-1994, sebagai wartawan politik Harian Merdeka, saya "nyambi" di LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). Salah satu pimpinannya saat itu Dr Didik J Rachbini yang juga dosen ekonomi politik di Universitas Nasional (Unas).

Saat itu LP3ES punya program baru  dalam bidang penelitian, pendidikan dan penerangan HAM dan demokrasi.  Program ini diberi nama CESDA (Center for the Study of Democracy). Salah satu staf penelitinya Rahadi TW, lulusan FISIP Unas, stambuk 1984.

Mereka buat polling-polling politik. Tenaga pengumpul data dari alumni dan mahasiswa tiga perguruan tinggi: UI, IPB, Unas.

UI dikenal pandai dalam teori. IPB mahir statistik dan metode kuantitatif. Unas kuasai lapangan penelitian.

Wakil dari UI dan IPB "nyerah" untuk masuk ke wilayah papan atas, Menteng.

Rahadi minta saya pimpin penelitian di wilayah Menteng. Didik Rachbini setuju, karena beberapa kali saya wawancarainya soal ekonomi politik. Saya, lulusan FISIP Unas, stambuk 1986, mengajak Hendrik Dikson Sirait yang saat itu butuh dana untuk bantu adiknya. Hendrik masih mahasiswa FISIP Unas, stambuk 1990.

Jika anak-anak UI dan IPB butuh waktu tiga pekan untuk penelitian, maka saya bersama "Iblis" hanya butuh waktu satu pekan. 

Teknik reportase menembus narasumber saya gunakan untuk masuk ke wilayah elite. "Iblis" jadi asisten saya yang "manis".  Kunci suksesnya, saya menggunakan kartu pers liputan di Mabesad. Aparat Koramil di ujung stadion Menteng membantu kami memasuki kawasan "Bento". 

"Ini gila, gua kerja dibantu Koramil. Padahal gua anti tentara," kata Hendrik. 

"Gua kan wartawan harus bisa masuk ke semua lini. Mau ektrem kanan, tengah, kiri. Harus luwes jadi wartawan. Itu kunci kita kuasai penelitian," jawabku kepada Hendrik.

Sukses menembus wilayah papan atas, ternyata kami diminta lagi masuk ke wilayah bronx, Manggarai. Untuk wilayah ini kami juga sukses. Mungkin wajah-wajah "kumuh" kami, bisa dianggap sebagai "duta" orang susah. Soal advokasi massa, sepertinya jadi spesialisasi "Iblis".

Tentu butuh busana berbeda untuk masuk ke dua kutub wilayah bagai bumi dan langit.  Ternyata "Iblis" sesungguhnya pria pesolek. Dia bisa pakai minyak rambut dan minyak wangi saat saya ajak masuk ke wilayah tak jauh dari rumah Sang Penguasa, Jl Cendana, Menteng. Padahal saya tidak pakai minyak rambut dan minyak wangi.

Modal honor awal dimanfaatkannya untuk beli parfum dan minyak rambut. Termasuk kemeja dan celana  bahan, non jins. Ya, sebagai modal kerja. 

"Modal harum sudah cukup buat elu nembak cewek, Blis. Aktivis takut cewek, cemen lu." 

Pulang penelitian lapangan, sesekali dia nginap ke rumah saya di Lenteng Agung. 

Di situ dia cerita ingin jadi wartawan. "Enak banget jadi wartawan, kerjanya fleksibel. Cuma gua gak bisa nulis," kata Hendrik.

"Iya fleksibel, tapi gak bisa jadi orang kaya. Duitnya pas pasan. Makanya gua nyambi, cari tambahan," jawabku, enteng.

Juli 1996, beberapa kali saya bertemu Hendrik di Jl Diponegoro, depan Kantor PDI. Tiap hari panggung demokrasi diisi pidato-pidato yang "menghasut". Isi pidato-pidato politik selama beberapa hari, jadi modal berita politik dalam reportase saya. Belakangan tulisan saya dijadikan buku oleh Merdeka untuk souvernir HUT ke 51 salah satu harian legendaris itu. 

Suasana di markas PDI semakin tidak kondusif. Betul saja, pecah peristiwa 27 Juli 1996.

"Blis... Ambil jarak aman dari Kantor PDI. Jangan sampai jadi korban. Ada pertarungan elite yang kita tidak tahu siapa saja yang bermain," itu pesanku saat bertemu Iblis di depan RSCM.

Awal Agustus 1996, saat ke kampus Unas dapat kabar Hendrik Sirait hilang. Tak jelas rimbanya. Belakangan kami tahu dia bagian dari aktivis yang ditangkap aparat keamanan. 

Beberapa kali Hendrik dijebloskan ke penjara, beberapa kali pula, kami membesuknya. Berkenalan pula dengan Ibundanya yang sangat perhatian kepada putra keduanya.

Banyak kenangan bersamanya sebagai aktivis mahasiswa. Militansinya luar biasa. Kami tidak pernah menjerumuskannya sebagai aktivis. Ia hadir menjadi aktivis sebagai panggilan jiwa raga. Masih banyak kenangan yang tersimpan rapi dalam memori, butuh waktu untuk merangkai cerita tentangmu, Blis.

Mungkin selain almarhum Nuku Soleiman, FISIP Unas stambuk 1985, Hendrik "Iblis" bersama Wandy "Binyo" Tuturoong, FISIP Unas stambuk 1990, yang paling sering keluar masuk penjara. Disusul rekan sohibnya, Ferry "Mpe" Muchus, FISIP Unas stambuk 1990, dan Andrianto "Diem", FISIP Unas 1992.

Sabtu 13 Mei 2023, jadwal saya sedang pelatihan. Tapi saya minta izin untuk bisa mengantarkan Hendrik Sirait. Saya ikut menggotong peti jenazahnya dari ambulans PGN menuju liang lahat di Blade 184 unit Kristen TPU Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur.

"Selamat jalan adinda pejuang. Foto di atas pusaramu dengan mengenakan jas rapi, itulah kau yang sesungguhnya 'iblis' pesolek."


/sgofficial

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...