Showing posts with label Reformasi TNI. Show all posts
Showing posts with label Reformasi TNI. Show all posts

04 November 2021

Hapus Fit & Proper Test DPR Terhadap Calon Panglima TNI

Foto: Republika.co.id

JAKARTA: Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting, mengatakan, proses uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) oleh DPR terhadap calon Panglima TNI, sebaiknya dihapuskan saja.  

“Uji kepatutan dan kelayakan nyatanya lebih sebagai gimmick (upaya mencari perhatian) politik yang menampilkan kegenitan anggota parlemen dalam proses penentuan calon Panglima TNI,” kata Selamat Ginting di Jakarta, Kamis (4/11/2021).

Ia menanggapi rencana fit and propers test DPR terhadap calon Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Seperti diketahui surat presiden kepada DPR dalam penentuan calon panglima TNI sudah disampaikan pada Rabu (3/11/2021). DPR akan segera melakukan uji kepatutan dan kelayakan.  

Menurut Selamat Ginting, penentuan siapa yang menjadi panglima TNI merupakan hak prerogratif Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, sesuai konstitusi. Jadi sebaiknya tidak lagi direcoki oleh DPR. Sistem politik Indonesia menganut sistem presidensil bukan sistem parlemen. 

Dengan demikian, lanjutnya, UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya pasal 13 ayat 2, mesti diubah.  Pasal dan ayat ini seperti ritual politik dalam pergantian Panglima TNI. Ayat (2) berbunyi: "Panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan DPR". 

Terhadap ayat (2) penjelasannya: "Yang dimaksud dengan persetujuan DPR, adalah pendapat berdasarkan alasan dan pertimbangan yang kuat tentang aspek moral dan kepribadian, berdasarkan rekam jejak".

Simak video "Fit & Proper Test Calon Panglima TNI"

Namun, ujar Ginting, antara kehendak pada penjelasan dengan prakteknya, tidak sejalan. DPR justru tidak menjalankan apa yang tertuang  dalam penjelasan ayat (2) tersebut. DPR justru berpotensi melampaui dan menyimpang dari semangat dan substansi penjelasan ayat (2) tersebut.

“Itulah yang saya bilang, fit and proper test seperti gimmick politik saja.  Kegenitan parlemen di depan layar televisi, namun dengan mutu pertanyaan-pertanyaan yang tidak substansial. Bahkan kadang tidak bermutu, karena tidak memahami organisasi militer,” ujar kandidat doktor ilmu politik itu.

Selamat Ginting memberikan contoh ketika fit and proper test terhadap calon Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto pada 2006. Uji kepatutan dan kelayakannya sampai memakan waktu 13 jam.

“Mungkin inilah uji kepatutan dan kelayakan terlama di dunia. Bisa didaftarkan dalam buku rekor dunia. Menjadi panggung DPR untuk ‘ngerjai’ orang yang bukan pilihan partainya,” papar wartawan senior ini.

Jadi, kata dia, uji kepatutan dan kelayakan di DPR justru bisa menggiring TNI kembali dirayu masuk dalam ranah politik praktis. Akibatnya bisa menimbulkan birahi politik bagi personel TNI untuk melakukan politik praktis dengan melobi partai-partai politik di parlemen.

Kondisi tersebut, kata Selamat Ginting, akan mengembalikan TNI kembali ke titik nadir, seperti sebelum terjadinya reformasi 1998-1999. Sebab politikus sipil berpotensi menarik kembali para calon panglima TNI memasuki dunia politik. Di situlah akan terjadi politik dagang sapi untuk mendapatkan keuntungan.

“Nanti kalau kamu terpilih jadi panglima TNI, saya titip program ini, orang itu, serta  kepentingan-kepentingan politik lainnya. Kira-kira begitu pesan-pesan titipannya. Apalagi, calon panglima TNI juga manusia biasa yang bisa tergoda rayuan politik,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas. 

Atas dasar itulah, ia mengusulkan agar UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI terutama ayat yang menghadirkan peran DPR dihapuskan. Jadi cukup bunyi pasal 13 ayat (2) Presiden mengangkat/memberhentikan Panglima TNI. Tidak perlu lagi ada embel-embel: meminta persetujuan DPR. 

Mengapa perlu diakhiri? Menurut Selamat Ginting, setidaknya ada tiga alasan penting. Pertama, mekanisme fit and proper test terhadap calon Panglima TNI, sesungguhnya tidak ada landasan hukum/aturan yang jelas. 

Kedua, mekanisme yang dipaksakan itu justru bertolak belakang dengan semangat dan substansi penjelasan pasal 13, ayat (2) UU No. 34/2004.  Ketiga, tes tersebut kurang substantif. Hanya basa-basi politik saja.

Dari ketiga alasan itu, menurut Ginting, memiliki risiko bagi organisasi TNI. Risikonya, dapat membelah jalur komando serta loyalitas tegak lurus TNI kepada Presiden sebagai kepala negara. Dengan memaksa tes di DPR, bisa terjadi loylitas ganda kepada parlemen.

“Jadi setop, dan sudahi saja uji kepatutan dan kelayakan calon panglima TNI di DPR. Seseorang yang sudah bintang empat, memang layak dicalonkan menjdi pimpinan TNI. Itu saja patokannya. Jangan lagi anggota DPR yang tidak mengerti apa-apa, tapi sok tahu menguji permasalahan yang dia juga tidak paham,” pungkas Ginting yang malang melintang dalam liputan masalah pertahanan keamanan negara.

/selamatgintingofficial



11 December 2018

Negara Surplus Jenderal dan Kolonel


Sejumlah pasukan TNI melaksanakan apel bersama TNI. (lustrasi)

Dua bulan lalu, para kolonel senior Angkatan Darat baru saja menyelesaikan kurus reguler angkatan 57, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Mereka umumnya,  lulusan Akademi Militer (Akmil) 1988 hingga 1993. Ada sekitar 25 kolonel senior.


Mereka kini di tempatkan di lantai 8 gedung Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad), Jakarta. Di situlah berkumpul para kolonel senior yang baru menyelesaikan pendidikan Lemhannas dan Sesko TNI. Bahkan para perwira tinggi (pati).


“Ada sekitar 150-an kolonel dan 70-an pati dalam posisi staf khusus Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).  Dua di antaranya adalah Jenderal Mulyono (mantan KSAD) dan Letjen Ediwan Prabowo (mantan Sekjen Kemhan),” kata jenderal bintang dua Angkatan Darat, baru-baru ini.

Mulyono (Akmil 1983) menjadi staf khusus, karena diberhentikan sebagai KSAD, tiga bulan sebelum waktunya. Ia akan pensiun Februari 2019. Nasibnya sama dengan Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo (Akmil 1982). Ia juga dicopot tiga bulan sebelum waktunya pensiun. Kasus ini tentu saja menjadi politis. Jenderal bintang empat menganggur di markas besarnya.

Sementara jenderal-jenderal senior lainnya, menunggu job baru.  Entah sampai kapan menunggu penempatan. Sebab Letjen Ediwan Prabowo (Akmil 1984) sudah empat tahun non job. Ironis, jenderal bintang tiga disia-siakan negara. TNI tidak bisa memberikan tempat yang layak untuk SDM terbaiknya.

Staf khusus, bukan hanya yang baru menyelesaikan pendidikan Sesko TNI maupun Lemhanas saja. Ada juga kolonel-kolonel senior ‘bermasalah’ alias memiliki kasus. Mereka juga berkumpul di lantai 8. Hal yang sama terjadi di lingkungan Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Surplus kolonel senior dan para pati.

Para staf khusus ini bukan hanya terjadi di pusat atau markas besar. Di komando-komando utama (kotama), seperti Kostrad, Kodiklatad, Kodam, Koarmada, Kohanudnas, Koopsau dan yang setara, juga terjadi. Belum lagi di badan pelaksana pusat atau direktorat korps maupun dinas-dinas. Betapa banyaknya kolonel menganggur dan jumlahnya bisa lebih dari 300 orang. Belum lagi yang berpangkat letnan kolonel.

Berbeda dengan perwira staf ahli yang memiliki tugas dan jabatan, sehingga mereka mendapatkan tunjangan jabatan. Kalau staf khusus, tidak mendapatkan hak-hak tersebut. Itu yang membuat mereka disebut sebagai perwira pengangguran. Maka totalnya bisa berjumlah sekitar 500 perwira senior menganggur.  Ironis!

“Ada yang salah dalam tubuh TNI. Begitu banyak staf khusus di Mabes TNI, Mabesad, Mabesal, dan Mabesau. Belum lagi di kotama-kotama dan balakpus-balakpus.  Mereka perwira non job.  Ada kesalahan dalam penataan sumber daya manusia TNI,” kata seorang pati bintang dua senior.

Tentu bukan biaya murah bagi negara untuk menjadikan seorang sampai jenderal bintang satu (brigjen).  Namun, kini banyak yang tidak memiliki jabatan alias staf khusus. Mereka, bukan hanya karena akan menghadapi pensiun di usia 58 tahun. Sebab, banyak juga yang masih 5-8 tahun lagi pensiun, tetapi kini harus ‘mendekam’ di lantai 8  Mabesad.

Kalau di instansi kementerian atau lembaga non kementerian yang setara, mereka sama dengan pejabat eselon dua dan eselon satu atau golongan 4 C, 4 D, dan 4 E. Pangkat tertinggi di lingkungan aparat sipil negara (ASN). 


Pembinaan karier


Sumber daya manusia (SDM) setara eselon satu dan dua, namun non job. Tentu ada masalah dalam penataan dan pembinaan karier perwira senior. Sebab mereka sudah mengabdi menjadi anggota militer lebih dari 25 tahun.  Umumnya mereka sudah mengikuti pendidikan atau kursus tertinggi untuk militer: Sesko angkatan, Sesko TNI, bahkan Lemhannas.


“Ada 77 jenderal menganggur di lantai 8. Kalau tidak dipakai, sebaiknya dipensiunkan dini saja. Buat apa menjadi staf khusus, tapi tidak ada kerjaan?” kata jenderal senior itu.
Pemikiran jenderal tersebut, bisa jadi ada benarnya, agar negara tidak terbebani anggaran harus membayar perwira senior, namun tidak memiliki pekerjaan. Termasuk tidak membebani pimpinan TNI saat menghadapi mereka. Apalagi semua pekerjaan sudah dibagi habis. 

Ada KSAD yang dibantu Wakil KSAD dan Irjenad. Sudah ada para asisten KSAD yang dibantu wakil asisten KSAD. Mereka pun dibantu para kolonel senior sebagai perwira pembantu utama. Ada pula perwira pembantu madya berpangkat letnan kolonel senior, serta perwira pembantu muda, berpangkat mayor senior. Begitu juga struktur di Mabesal, dan Mabesau. 

Hal yang hampir sama di Mabes TNI. Panglima TNI dibantu Kasum TNI, dan Irjen TNI.  Ada para asisten panglima TNI yang dibantu para wakil asisten, para paban utama, paban madya, paban muda dan seterusnya.

Di Mabesad ada asisten personel KSAD. Ada pula direktur ajudan jenderal yang mengurusi personel atau SDM.  Di Mabesal maupun Mabesau pun ada dinas personel. Mereka mengurusi pembinaan karier militer. Pembinaan karier sesungguhnya adalah kunci untuk menyiapkan SDM guna mengawaki organisasi TNI.

Di situ semestinya terjadi siklus penyediaan tenaga, pendidikan, penggunaan, perawatan, dan pemisahan personel.  Hal itu harus dilakukan secara berkesimnambungan dan terarah agar pembinaan personel  sesuai arah kebijakan pimpinan TNI.

Namun tetap saja, surplus kolonel dan perwira tinggi terus terjadi cukup lama. Bahkan mungkin sejak era reformasi 1998. Dampaknya, banyak kolonel senior dan pati menganggur alias non job. Kalau sudah begini, bagaimana membangun kekuatan pokok minimum personel untuk menangkal apalagi menghadapi ancaman?

Banyaknya staf khusus di lingkungan TNI menandakan sistem pembinaan personel dan karier perwira berlangsung kurang professional. Menumpuknya kolonel menganggur menjadi lampu kuning, bahwa ada yang salah dari pembinaan karier.

Misalnya, ada lulusan Akademi Angkatan Laut (AAL) 1991, dan sudah menyelesaikan pendidikan Seskoal, tak memiliki masalah hukum dan lain-lain. Namun hingga kini yang bersangkutan masih berpangkat letnan kolonel. Sementara lulusan Akmil  1992, sudah menduduki posisi jenderal bintang dua. Kontras!

Prinsip profesionalitas militer antara lain menekankan pada prestasi, kualifikasi, kompetensi, pendidikan, pengalaman, dan kinerja yang dibutuhkan oleh jabatan. Promosi  pangkat dan jabatan selayaknya dilakukan secara terbuka dan kompetitif, bukan atas dasar nepotisme.


(sumber artikel dan gambar : republika.co.id)

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...