5 (Lima) Artikel yang Terbit di Republika On Line (ROL) untuk KRI Nanggala 402
Gagal Berlayar dengan Kapal Selam
Bagian 1 dari 5 Tulisan
23-04-2021
Beberapa kali saya membujuk Laksamana TNI Ade Supandi ketika menjadi Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL). Saya minta diizinkan berlayar dengan kru kapal selam.
Tapi, beberapa kali pula, Ade Supandi tidak mengizinkan. Ia beralasan, risikonya tinggi sekali. Mengingat usia kapal selam TNI sudah berusia lebih dari 25 tahun, dan risiko lainnya.
Apalagi saya meminta bukan sekadar berlayar formalitas, seperti pejabat tinggi yang akan mendapatkan brevet kehormatan hiu kencana (kapal selam). Melainkan ikut menyaksikan seperti kondisi perang. Menembakkan rudal, torpedo dari kedalaman laut.
"Kami TNI sudah teken kontrak mati dalam tugas. Wartawan kan tidak ada teken kontrak mati. Itu alasan penolakan saya," ujar laksamana bintang empat itu.
Pagi ini, saya mengontak Laksamana (Purn) Ade Supandi. Membahas kasus belum ditemukannya kapal selam KRI Nanggala 402 di Laut Bali. Diduga tenggelam di dasar laut dengan kedalaman 700 meter. Dalam sejarah di dunia, belum ada kapal selam yang tenggelam di dasar laut, bisa diselamatkan.
Pada HUT TNI 2017 di Cilegon, Banten, saya menerima undangan untuk menghadiri acara itu. Mungkin itulah salah satu acara HUT TNI paling meriah dalam sejarah TNI. Menampilkan parade dan defile alutsista perang dari tiga matra. Di situ kapal selam KRI Nanggala 402 hadir. Tampil dengan gagah di atas permukaan laut. Saya tersenyum bangga menyaksikanmu, Nanggala 402.
Hari ini saya kontak beberapa perwira TNI AL. Mereka pagi ini melakukan doa bersama untuk keselamatan 53 personel yang berada di dalam kapal selam tersebut. Kapal buatan Jerman yang dipesan pemerintah Indonesia pada 1977 dan aktif digunakan TNI AL pada 1981. Artinya usia pakai sudah 40 tahun.
"Hikmahnya, kita harus selalu berdoa jangan sampai peristiwa serupa terjadi lagi. Selalu hati-hati, cermat, teliti. Review layak dan tidak layak, siap dan tidak siap, dll," kata Ade Supandi.
Pengabdian
Laksamana (Purn) Subyakto, mantan KSAL, merupakan kru kapal selam Belanda pada saat Perang Dunia ke-2. Kru kapal selam TNI, pertama kali belajar di kapal selam Uni Soviet pada 1958. Berpangkalan di Polandia. Belajar selama sembilan bulan di Laut Baltik.
Selama 61 tahun kiprah Korps Hiu Kencana mengabdi untuk Indonesia. Betapa pengorbanannya luar biasa. Termasuk saat menyelundupkan pasukan khusus Angkatan Darat dan Marinir ke Papua serta mengusir kapal perang Belanda dalam Operasi Trikora 1962-1963.
Kru kapal selam kita juga berada di tengah perang. Ditugaskan membantu Pakistan dalam perang melawan India. Sebuah keputusan politik Presiden Sukarno untuk kepentingan nasional Indonesia.
Tidak banyak personel TNI yang memenuhi kriteria dan persyaratan untuk menjadi awak kapal selam. Penjaga senyap kedaulatan negeri dari ancaman yang akan merongrong negara tercinta. Risikonya tinggi sekali, karena itu mereka digaji dua kali lipat dari masa kerjanya.
Kali ini, saya sungguh sedih dan menangis.... Motto KRI Nanggala 402, membuat hati bergetar. Berbunyi: Tabah Sampai Akhir. Kami mendoakan yang terbaik untuk para kesatria Angkatan Laut kita. Ya Allah...
Nanggala, One Way Ticket
Bagian 2 dari 5 Tulisan
24-04-2021
Bagian 2 dari 5 Tulisan
24-04-2021
Kru Kapal Selam pertama Indonesia usai operasi rahasia mendukung Pakistan dalam perang melawan India, 1966. Foto: Mabesal. |
Secara rahasia, militer Indonesia mengirimkan personel untuk belajar mengawaki kapal selam pada 1958. Dikirim secara rahasia, dan dicari yang potongan tubuhnya (maaf) pendek-pendek, kurang dari 163 cm. Jadi tidak seperti potongan postur umumnya tentara. Malah lebih mirip (sekali lagi maaf) buruh atau kuli kapal.
Tapi itu khusus untuk kru kapal selam saja. Karena terbatasnya ruangan kapal, justru yang kurang tinggi, lebih lincah. Personel Angkatan Laut menyamar untuk bisa sampai Polandia. Jangan sampai diketahui Amerika Serikat, Belanda, Inggris dan negara-negara Barat lainnya.
Menyamar sebagai sipil, personel TNI AL berangkat dengan kapal charter Hongkong menuju Rijeka, Yugoslavia. Keseluruhan perjalanan memakan waktu kurang lebih satu bulan melalui Colombo (Sri Lanka), Djibouti, dan Port Said (Terusan Suez). Sampai di Rijeka perjalanan dilanjutkan dengan kereta selama tiga hari ke Gdynia (Polandia) melalui Budapest (Hongaria) dan Praha (Cekoslovakia).
"Setelah menyelesaikan pendidikan kapal selam sekitar satu tahun di Gdynia, saya ditempatkan di Kapal Selam RI Nanggala. Inilah salah satu kapal selam pertama yang dimiliki Negara Republik Indonesia. Saya sebagai perwira persenjataan dan torpedo," kata Laksamana Muda TNI (Purn) RM Handogo (90 tahun), akhir Maret 2021 lalu.
Ia merupakan perwira TNI yang pertama belajar ilmu kapal selam sejak Indinesia merdeka. Lulusan Institut Angkatan Laut (IAL), sekarang Akademi Angkatan Laut (AAL) tahun 1956 itu, menjadi saksi sejarah kapal selam Indonesia.
Orang Indonesia pertama yang mengawaki kapal selam adalah Subyakto. KSAL kedua setelah Laksamana Mas Pardi. "Cita-cita saya sebagai komandan kapal selam. Eh, tahunya malah bablas jadi KSAL," kata Laksamana TNI (Purn) Subyakto. Ia ikut menjadi kru kapal selam Belanda pada saat perang dunia kedua, sebelum Indonesia merdeka.
Nanggala dan Cakra adalah nama kapal selam pertama Indonesia. Cikal bakal kapal-kapal selam lainnya. Setahun kemudian (tahun 1960), bersama sekitar 250 personel TNI AL, ia berangkat lagi secara rahasia ke Vladivostok, Uni Soviet untuk belajar mengawaki empat kapal selam baru. Di Tanah Air ia menjadi orang kedua di Kapal Selam Tri Sula.
Ketika kapal selam masuk lautan Pasifik, dikuti pesawat pengintai Amerika Serikat. Begitu memasuki lautan Indonesia, Atase Pertahanan Amerika protes. Mabesal tidak mengakui sebagai kapal selam Indonesia. Amerika gentar, karena kapal selam itu berbendera Uni Soviet, musuh utamanya.
Trikora dan Dwikora
Pada akhir tahun 1962, Armada Angkatan Laut bersama-sama komponen Angkatan Bersenjata lainnya bersiap-siap menyerbu, mendarat dan merebut kembali Irian Barat dari tangan tentara Belanda. Ratusan kapal armada berikut puluhan batalyon pasukan pendarat KKO/Marinir dan RPKAD/Kopassus serta Caduad/Kostrad dipersiapkan dalam rangka operasi yang diberi nama Jaya Wijaya.
Kapal-kapal atas air berkumpul di Teluk Bangkalan dan di bagian utara Pulau Peleng, Sulawesl Tengah. Sedangkan kapal-kapal selam dan kapal induk kapal selam di Teluk GaleIa, timur laut Pulau Halmahera. Sebelum penyerbuan dan pendaratan ke Irian Barat dilaksanakan, keempat kapal selam diperintahkan melakukan “Silent Landing” 4 regu pasukan komando (satu kapal selam membawa satu regu pasukan komando) di pantai utara Irian Barat.
One way ticket. Hanya untuk satu kali tujuan. Tidak ada cerita untuk pulang. Prajurit TNI bertugas untuk mati merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Untuk Kapal Selam Rl Trisula, titik silent landing ditetapkan di pantai Tanah Merah, di sebelah barat Jayapura.
Dalam pelayaran kembali dari tugas tersebut, di perairan timur laut Kepulauan Biak, Kapal Selam RI yang sedang berlayar di atas air dipergoki pesawat terbang anti kapal selam jenis Neptune dan destroyer Belanda pada jarak ±7 mil laut (13 km) arah haluan.
Kapal Selam RI menyelam dengan cepat pada kedalaman 170-190 m dari permukaan. Ketika akhirnya berada di atas Kapal Selam RI, kapal destroyer Belanda menembakkan bom-bom laut yang dapat terdeteksi melalui sonar. Tidak satupun bom-bom tersebut mengguncang apalagi merusak kapal selam karena sudah ada pada kedalaman ±180 m.
Akhirnya keempat kapal selam termasuk Nanggala, dapat kembali dengan selamat ke titik kumpul di Teluk Galela, Halmahera. Pasukan komando TNI AL dan TNI AD (Kopassus dan Kostrad) berhasil menyusup ke Irian Jaya. Betapa heroik, tentara-tentara kita. Tugas untuk mati demi negara dan bangsa. Mengusir Belanda dari Irian Barat, sekarang disebut Papua.
Pada tahun 1964 semasa konfrontasi dengan Malaysia atau lebih dikenal dengan Dwikora. Mayor Laut (Pelaut) RM Handogo selaku Komandan Kapal Selam Rl Hendrajala bersama Kapal Selam RI Nagarangsang mendapat perintah untuk menyekat Selat Karimata.
Tidak tanggung-tanggung, menghadang lintasan kapal induk Inggris yang akan berlayar dari Singapura ke Australia. Akhirnya kapal induk tersebut urung lewat Selat Karimata. Kapal selam RI Hendrajala kemudian bertugas di perairan Riau dan Natuna.
Operasi senyap untuk menghadang penyusup masuk ke wilayah laut Indonesia. Tidak banyak yang tahu. Tidak ada gembar gembor. Tugas bukan pencitraan. Rela mati untuk bangsa dan negara, bukan demi meraih jabatan.
Pada 1966, ketika perang saudara India dengan Pakistan, kapal selam Indonesia juga mengadang kapal-kapal India. Unsur tempur laut GT-X terdiri dari dua kapal selam (Nagarangsang dan Bramastra) dan dua kapal cepat roket ditempatkan di pelabuhan Karachi, Pakistan Barat. Serta empat kapal cepat torpedo dan beberapa tank amphibi KKO/Marinir ditempatkan di Chittagong, Pakistan Timur (sekarang Bangladesh).
Kusuma Bangsa
Tidak menyangka, satu bulan setelah wawancara dengan Laksamana Muda (Purn) Handogo, Nanggala 402, nama yang sama dengan nama kapal selam pertama milik Indonesia itu meninggalkan kita semua. Betul-betul One Way Ticket. Sekali jalan dan tidak kembali ke pangkalan Angkatan Laut. Kalian kembali ke pangkalan Illahi Robbi, Sang Pencipta.
Hilangnya Kapal Selam KRI Nanggala 402 adalah duka bagi kita bangsa Indonesia. Sesungguhnya, para prajurit pemberani itu tidak mati di dasar laut. Mereka tetap hidup dalam sanubari kita untuk menjaga kedaulatan negeri. Salam hormat untuk para anumerta kusuma bangsa.
Kalian gugur dan sahid sebagai pahlawan bangsa di saat bulan suci Ramadhan. Bulan penuh magfiroh, pengampunan Illahi. Ya Allah, tempatkan mereka di surga-Mu. Seperti janji-Mu pada hamba yang tulus ikhlas membela kehormatan.
Original Post FB Selamat Ginting
https://www.republika.co.id/berita/qs39p0484/nanggala-one-way-ticket
Nanggala, On Eternal Patrol
Bagian 3 dari 5 Tulisan
25-04-2021
Jika sedang menyelam, suhu di ruang motor kapal selam mencapai 47 derajat Celcius. Panas sekali. Kelembabannya juga tinggi sekali. Walau pun prajurit pilihan, tetap saja ada yang menderita sakit di dalam kapal selam. Merasakan keluhan ginjalnya.
"Entahlah, mungkin karena kurang minum akibat keringat yang mengucur deras di dalam kapal. Kebanyakan mengalami gejala sakit asma, jika pulang dari berlayar. Itulah keluhan prajurit Hiu Kencana (kapal selam)," kata Mayor Laut (Pelaut) AT Widnyo Prayitno pada awal 1962.
Ia menceritakan kisah anak buahnya saat di Vladivostok, Uni Soviet kepada pimpinan TNI AL. Tentu saja usai pendidikan selama satu tahun, 1961-1962. Langsung tanpa istirahat menuju Irian Barat untuk berperang melawan armada tempur Belanda.
RI Nanggala dan RI Cakra adalah kapal selam pertama milik Indonesia. Memang buatan Uni Soviet dan dirancang untuk operasi di daerah dingin. Untuk medan di Eropa dan Amerika. Bukan untuk medan seperti daerah tropis di Indonesia. Begitu spesifik dan special orang yang bisa mengawaki kapal selam. Bahkan tidak ada gantinya. Tidak ada istilah sakit, yang ada gugur.
Indonesia beruntung punya perwira-perwira jempolan, jebolan sekolah kapal selam didikan Uni Soviet. Sebuah pendidikan rahasia. Keluarga pun tidak tahu kalau suami atau ayah dari anak-anaknya sedang mengikuti pendidikan rahasia selama satu tahun di Negeri Tirai Besi.
Beberapa lulusan pertama pendidikan sekolah kapal selam (1958-1959), seperti: Laksamana Madya TNI (Purn) T Asikin Natanegara, lulusan Institut Angkatan Laut Belanda atau Koninklijke Instituut der Marine, den Helder (KIM), tahun 1951. Laksamana Madya TNI (Purn) LM Abdul Kadir, lulusan Institut Angkatan Laut (IAL), kini Akademi Angkatan Laut (AAL) tahun 1954. Laksamana Muda TNI (Purn) RM Handogo, lulusan IAL 1956.
Juga Laksamana Pertama TNI (Purn) RP Poernomo, pejuang kemerdekaan tahun 1945. Ada pula nama Mayor Laut (Pelaut) Assyr Muchtar (IAL 1955) dan Kapten Laut (Pelaut) Julius Tiranda (IAL 1957). Mereka semua perwira-perwira hebat.
Tabah Sampai Akhir
RP Poernomo yang meciptakan motto untuk kapal selam: Tabah Sampai Akhir. Kalimat itu belakangan sering muncul saat pemberitaan tenggelamnya KRI Nanggala 402 (Empat Nol Dua).
Dalam buku “50 Tahun Pengabdian Hiu Kencana1959-2009” (terbitan tahun 2009), Poernomo berbagi cerita tentang sifat yang harus tertanam dalam jiwa kru kapal selam.
“Berani saja tidak cukup. Ulet saja pun tidak cukup. Sabar juga belum cukup. Tekun dan tenang pun tidak cukup untuk melaksanakan tugas ini. Tetapi diperlukan semua sifat tersebut. Ternyata, kata yang di dalamnya tersimpul sifat-sifat itu adalah kata: tabah.”
Orang tabah, kata Poernomo, tidak akan takut, karena ia pasti berani. Orang yang tabah tidak akan menyerah, karena ia ulet. Orang yang tabah tidak akan terburu-buru, karenanya ia sabar. Orang yang tabah, tidak akan hilang akal, karena ia tenang. Orang yang tabah, tidak akan mundur, karena ia teguh.
Dengan satu kata, sifat khusus yang diminta untuk tugas-tugas di kapal selam adalah sifat ketabahan. Untuk melaksanakan tugas saja diperlukan ketabahan. Untuk mencapai cita-cita diperlukan ketabahan. Tetapi juga tidak cukup apabila hanya tabah pada permulaan saja. Atau hanya supaya terlihat tabah. Juga tidak cukup hanya tabah sampai pertengahan saja. Termasuk tabah sejenak sebelum tugas selesai. Atau tujuan hampir-hampir tercapai.
“Karena itulah kita harus tabah sampai akhir. Inilah motto yang kita pilih: tabah sampai akhir. Apabila sifat-sifat yang tersimpan di dalam motto ini dapat kita tanamkan kepada jiwa kita masing-masing, maka jiwa dan mental kita siap menghadapi tugas apa saja yang akan dipercayakan atasan kepada kita,” ungkap Poernomo.
Ia tercatat dalam sejarah TNI Angkatan Laut, termasuk komandan satuan kapal selam yang paling banyak mengikuti operasi. Sebut saja seperti sebagai komandan kapal selam dalam sejumlah operasi. Sebagai komandan satuan kapal selam RI Cakra dalam operasi tahun 1959-1963, baik Operasi Nanggala 1960, Operasi Waspada 1960, Operasi Lumba-lumba 1961, Operasi Karel Doorman 1962, Operasi Jayawijaya I (Trikora) 1962, Operasi Cakra II.
Sebagai komandan kesatuan kapal selam (KKS) 15 Komartu I 1962, Operasi Alugoro 1962, Operasi Jayawijaya II 1963, Operasi Bull Dog (Dwikora) 1963, Operasi Elang Laut (Dwikora) 1963, Operasi Urat Nadi AT-42 (Dwikora) 1963, Operasi War Patrol (Dwikora) 1963-1964, Operasi Kencana (Dwikora) Komando Armada Siaga.
Dan seterusnya. Seperti tiada henti. Ia sudah menyatu dengan kehidupan kapal selam selama berpuluh-puluh tahun. Termasuk lolos dari tembakan pesawat tempur Belanda.
Mereka semua sesungguhnya sudah dianggap mati dalam tugas. Dianggap sudah tenggelam bersama kapal kebanggaan Indonesia. Namun seperti mayat hidup, akhirnya tampil di pelabuhan. Tabah sampai akhir.
Begitu juga yang dirasakan Laksamana Muda TNI (Purn) RM Handogo. Saksi hidup yang mengisahkan cerita sejarah kapal selam dengan segala dinamika yang membuat haru biru. Dalam usia 90 tahun ia mampu memaparkan kisah heroik saat membawa kapal selam dari Polandia menuju Indonesia.
Termasuk kisah kapal selam Nanggala pertama yang dipimpin oleh Asikin Natanegara dan Handogo. Di luar dugaan, mampu lolos dari serangan bertubi-tubi bom Belanda di Irian Barat (1962-1963). Membawa pasukan-pasukan pemukul dari KKO/Marinir, RPKAD/Kopassus, dan Caduad/Kostrad untuk bertempur di hutan melawan tentara Belanda.
Saat operasi merebut Irian Barat, Indonesia memiliki 12 unit kapal selam dari kelas Whiskey buatan Uni Soviet. Beroperasi mulai 1959-1963. Kapal selam adalah unit khusus yang memiliki sekurangnya tiga jenis, yakni: Sub sub Killer (SSK) kapal selam konvensional bertenaga disel elektrik, Sub sub Nuclear (SSN) kapal selam bertenaga nuklir, dan Sub sub Balistic Nuclear (SSBN) kapal selam nuklir bermisil balistik.
Patroli Abadi
Sejak 2017, TNI memiliki lima kapal selam, yakni: KRI Nagapasa 403, KRI Ardadedali 404, KRI Alugoro 405. Ketiganya merupakan kelas Nagapasa (improved Chang Bogo Class). Selain itu KRI Cakra 401 dan KRI Naggala 402 yang dinyatakan tenggelam di Laut Bali dan 53 awak gugur sebagai kusuma bangsa.
Prosedur jika terjadi keadaan genting, seperti kapal akan tenggelam, maka untuk penyelamatan dilakukan sesuai urutan. Mendahulukan dari mulai pangkat paling rendah dan usia paling muda. Komandan kapal adalah orang terakhir yang harus keluar dari kapal selam.
Kapal selam yang tenggelam diberi istilah On Eternal Patrol atau dalam patroli abadi, ketika kapal selam tak kembali lagi. Sebuah patroli dimulai ketika kapal selam meninggalkan pelabuhan, dan berakhir saat kapal berhasil kembali. Namun, saat kapal selam tenggelam, dan tidak berhasil pulang. Patroli itu abadi.
Itulah istilah Angkatan Laut untuk menghormati kapal selam beserta awaknya yang hilang atau tenggelam dalam tugas. Hormat untukmu, pahlawan penjaga kedaulatan laut. Allah SWT, Sang Pencipta Alam Semesta telah memberikan tempat terbaik untuk 52 personel militer dan satu ASN TNI AL
Terima kasih kepada Kolonel Laut (KH) Heri Sutrisno dari Dinas Sejarah TNI AL yang bersedia memasok informasi bagi saya untuk menuliskan kisah tentang kapal selam kebanggaan Indonesia.
Original Post FB Selamat Ginting
https://www.republika.co.id/berita/qs54mm484/nanggala-on-eternal-patrol
Bagian 3 dari 5 Tulisan
25-04-2021
Jika sedang menyelam, suhu di ruang motor kapal selam mencapai 47 derajat Celcius. Panas sekali. Kelembabannya juga tinggi sekali. Walau pun prajurit pilihan, tetap saja ada yang menderita sakit di dalam kapal selam. Merasakan keluhan ginjalnya.
"Entahlah, mungkin karena kurang minum akibat keringat yang mengucur deras di dalam kapal. Kebanyakan mengalami gejala sakit asma, jika pulang dari berlayar. Itulah keluhan prajurit Hiu Kencana (kapal selam)," kata Mayor Laut (Pelaut) AT Widnyo Prayitno pada awal 1962.
Ia menceritakan kisah anak buahnya saat di Vladivostok, Uni Soviet kepada pimpinan TNI AL. Tentu saja usai pendidikan selama satu tahun, 1961-1962. Langsung tanpa istirahat menuju Irian Barat untuk berperang melawan armada tempur Belanda.
RI Nanggala dan RI Cakra adalah kapal selam pertama milik Indonesia. Memang buatan Uni Soviet dan dirancang untuk operasi di daerah dingin. Untuk medan di Eropa dan Amerika. Bukan untuk medan seperti daerah tropis di Indonesia. Begitu spesifik dan special orang yang bisa mengawaki kapal selam. Bahkan tidak ada gantinya. Tidak ada istilah sakit, yang ada gugur.
Indonesia beruntung punya perwira-perwira jempolan, jebolan sekolah kapal selam didikan Uni Soviet. Sebuah pendidikan rahasia. Keluarga pun tidak tahu kalau suami atau ayah dari anak-anaknya sedang mengikuti pendidikan rahasia selama satu tahun di Negeri Tirai Besi.
Beberapa lulusan pertama pendidikan sekolah kapal selam (1958-1959), seperti: Laksamana Madya TNI (Purn) T Asikin Natanegara, lulusan Institut Angkatan Laut Belanda atau Koninklijke Instituut der Marine, den Helder (KIM), tahun 1951. Laksamana Madya TNI (Purn) LM Abdul Kadir, lulusan Institut Angkatan Laut (IAL), kini Akademi Angkatan Laut (AAL) tahun 1954. Laksamana Muda TNI (Purn) RM Handogo, lulusan IAL 1956.
Juga Laksamana Pertama TNI (Purn) RP Poernomo, pejuang kemerdekaan tahun 1945. Ada pula nama Mayor Laut (Pelaut) Assyr Muchtar (IAL 1955) dan Kapten Laut (Pelaut) Julius Tiranda (IAL 1957). Mereka semua perwira-perwira hebat.
Tabah Sampai Akhir
RP Poernomo yang meciptakan motto untuk kapal selam: Tabah Sampai Akhir. Kalimat itu belakangan sering muncul saat pemberitaan tenggelamnya KRI Nanggala 402 (Empat Nol Dua).
Dalam buku “50 Tahun Pengabdian Hiu Kencana1959-2009” (terbitan tahun 2009), Poernomo berbagi cerita tentang sifat yang harus tertanam dalam jiwa kru kapal selam.
“Berani saja tidak cukup. Ulet saja pun tidak cukup. Sabar juga belum cukup. Tekun dan tenang pun tidak cukup untuk melaksanakan tugas ini. Tetapi diperlukan semua sifat tersebut. Ternyata, kata yang di dalamnya tersimpul sifat-sifat itu adalah kata: tabah.”
Orang tabah, kata Poernomo, tidak akan takut, karena ia pasti berani. Orang yang tabah tidak akan menyerah, karena ia ulet. Orang yang tabah tidak akan terburu-buru, karenanya ia sabar. Orang yang tabah, tidak akan hilang akal, karena ia tenang. Orang yang tabah, tidak akan mundur, karena ia teguh.
Dengan satu kata, sifat khusus yang diminta untuk tugas-tugas di kapal selam adalah sifat ketabahan. Untuk melaksanakan tugas saja diperlukan ketabahan. Untuk mencapai cita-cita diperlukan ketabahan. Tetapi juga tidak cukup apabila hanya tabah pada permulaan saja. Atau hanya supaya terlihat tabah. Juga tidak cukup hanya tabah sampai pertengahan saja. Termasuk tabah sejenak sebelum tugas selesai. Atau tujuan hampir-hampir tercapai.
“Karena itulah kita harus tabah sampai akhir. Inilah motto yang kita pilih: tabah sampai akhir. Apabila sifat-sifat yang tersimpan di dalam motto ini dapat kita tanamkan kepada jiwa kita masing-masing, maka jiwa dan mental kita siap menghadapi tugas apa saja yang akan dipercayakan atasan kepada kita,” ungkap Poernomo.
Ia tercatat dalam sejarah TNI Angkatan Laut, termasuk komandan satuan kapal selam yang paling banyak mengikuti operasi. Sebut saja seperti sebagai komandan kapal selam dalam sejumlah operasi. Sebagai komandan satuan kapal selam RI Cakra dalam operasi tahun 1959-1963, baik Operasi Nanggala 1960, Operasi Waspada 1960, Operasi Lumba-lumba 1961, Operasi Karel Doorman 1962, Operasi Jayawijaya I (Trikora) 1962, Operasi Cakra II.
Sebagai komandan kesatuan kapal selam (KKS) 15 Komartu I 1962, Operasi Alugoro 1962, Operasi Jayawijaya II 1963, Operasi Bull Dog (Dwikora) 1963, Operasi Elang Laut (Dwikora) 1963, Operasi Urat Nadi AT-42 (Dwikora) 1963, Operasi War Patrol (Dwikora) 1963-1964, Operasi Kencana (Dwikora) Komando Armada Siaga.
Dan seterusnya. Seperti tiada henti. Ia sudah menyatu dengan kehidupan kapal selam selama berpuluh-puluh tahun. Termasuk lolos dari tembakan pesawat tempur Belanda.
Mereka semua sesungguhnya sudah dianggap mati dalam tugas. Dianggap sudah tenggelam bersama kapal kebanggaan Indonesia. Namun seperti mayat hidup, akhirnya tampil di pelabuhan. Tabah sampai akhir.
Begitu juga yang dirasakan Laksamana Muda TNI (Purn) RM Handogo. Saksi hidup yang mengisahkan cerita sejarah kapal selam dengan segala dinamika yang membuat haru biru. Dalam usia 90 tahun ia mampu memaparkan kisah heroik saat membawa kapal selam dari Polandia menuju Indonesia.
Termasuk kisah kapal selam Nanggala pertama yang dipimpin oleh Asikin Natanegara dan Handogo. Di luar dugaan, mampu lolos dari serangan bertubi-tubi bom Belanda di Irian Barat (1962-1963). Membawa pasukan-pasukan pemukul dari KKO/Marinir, RPKAD/Kopassus, dan Caduad/Kostrad untuk bertempur di hutan melawan tentara Belanda.
Saat operasi merebut Irian Barat, Indonesia memiliki 12 unit kapal selam dari kelas Whiskey buatan Uni Soviet. Beroperasi mulai 1959-1963. Kapal selam adalah unit khusus yang memiliki sekurangnya tiga jenis, yakni: Sub sub Killer (SSK) kapal selam konvensional bertenaga disel elektrik, Sub sub Nuclear (SSN) kapal selam bertenaga nuklir, dan Sub sub Balistic Nuclear (SSBN) kapal selam nuklir bermisil balistik.
Patroli Abadi
Sejak 2017, TNI memiliki lima kapal selam, yakni: KRI Nagapasa 403, KRI Ardadedali 404, KRI Alugoro 405. Ketiganya merupakan kelas Nagapasa (improved Chang Bogo Class). Selain itu KRI Cakra 401 dan KRI Naggala 402 yang dinyatakan tenggelam di Laut Bali dan 53 awak gugur sebagai kusuma bangsa.
Prosedur jika terjadi keadaan genting, seperti kapal akan tenggelam, maka untuk penyelamatan dilakukan sesuai urutan. Mendahulukan dari mulai pangkat paling rendah dan usia paling muda. Komandan kapal adalah orang terakhir yang harus keluar dari kapal selam.
Kapal selam yang tenggelam diberi istilah On Eternal Patrol atau dalam patroli abadi, ketika kapal selam tak kembali lagi. Sebuah patroli dimulai ketika kapal selam meninggalkan pelabuhan, dan berakhir saat kapal berhasil kembali. Namun, saat kapal selam tenggelam, dan tidak berhasil pulang. Patroli itu abadi.
Itulah istilah Angkatan Laut untuk menghormati kapal selam beserta awaknya yang hilang atau tenggelam dalam tugas. Hormat untukmu, pahlawan penjaga kedaulatan laut. Allah SWT, Sang Pencipta Alam Semesta telah memberikan tempat terbaik untuk 52 personel militer dan satu ASN TNI AL
Terima kasih kepada Kolonel Laut (KH) Heri Sutrisno dari Dinas Sejarah TNI AL yang bersedia memasok informasi bagi saya untuk menuliskan kisah tentang kapal selam kebanggaan Indonesia.
Original Post FB Selamat Ginting
https://www.republika.co.id/berita/qs54mm484/nanggala-on-eternal-patrol
Surat Kru Kapal Selam yang Tenggelam di Dasar Lautan
Bagian 4 dari 5 Tulisan
06-05-2021
Bagian 4 dari 5 Tulisan
06-05-2021
Foto: LKBN ANTARA |
“Istriku, jika engkau membaca surat ini, berarti aku sudah tewas. Jaga anak-anak.” Itulah tulisan di secarik kertas yang ditemukan di saku celana jenazah salah satu prajurit kru kapal selam yang tenggelam di dasar lautan.
Peristiwa nyata itu menjadi mozaik yang membuat suasana haru biru. Itulah kepingan-kepingan dari rangkaian peristiwa tenggelamnya kapal selam. Hati pun pasti berkeping-keping membaca pesan tersebut.
Berkeping-keping pula ketika mengetahui kapal selam KRI (Kapal Republik Indonesia) Nanggala nomor lambung 402 (Empat Nol Dua) tenggelam pada pekan ketiga April 2021 lalu. Peristiwa karamnya KRI Nanggala 402, mengingatkan dunia pada tenggelamnya kapal selam Kursk milik Angkatan Laut Rusia. Kapal selam itu karam pada Agustus 2000 di Laut Barents. Tidak jauh dari utara Norwegia dan Semenanjung Kola.
Sebanyak 118 awak kapal Rusia gugur sebagai pahlawan bangsanya. Membutuhkan waktu sekitar 14 bulan atau satu tahun lebih untuk mengangkat kapal itu ke permukaan. Seluruh awaknya yang gugur berhasil dievakuasi.
Saat kapal selam berhasil dibuka, apa yang terjadi? Ternyata seluruh jenazah terkumpul di bagian buritan. Ruangan inilah yang diperkirakan bisa dihuni untuk mengirup oksigen terakhir. Ya, terakhir. Sebelum seluruh awak kehabisan napas.
Sambil menunggu maut, dan meregang nyawa. Sebelum Malaikat Izrail yang bertugas mencabut nyawa tiba, mereka masih sempat menuliskan pesan terakhir kepada keluarga tercintanya. Kemudian dimasukkan ke dalam saku celana, botol-botol air mineral serta tas ransel prajurit kapal selam Rusia. “Istriku, jika engkau membaca surat ini, berarti aku sudah tewas. Jaga anak-anak.” Itulah salah satu tulisan di secarik kertas tersebut.
Mereka betul-betul tabah sampai akhir. Mengetahui detik-detik jelang meregang nyawa di dasar lautan. Betapa tabah sampai akhir pula para keluarganya menerima jenazah orang-orang yang dicintainya, 14 bulan kemudian. Tangis histeris pecah….
Peristiwa tenggelamnya kapal selam itu terdapat dalam buku ‘Kapal Selam Indonesia’ karya Indroyono Susilo dan Budiman. Penerbit Buku Ilmiah Populer, 2008. Buku ini penulis baca dari Perpustakaan Dinas Sejarah TNI Angkatan Laut (Disjarahal).
Melawan Belanda
Kapal selam Rusia, dulu disebut Uni Soviet, tentu saja tak bisa dipisahkan dengan sejarah kapal selam Indonesia. Kali pertama, TNI belajar khusus kapal selam dari Negeri Beruang Merah itu. Deputi II Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Brigadir Jenderal (KKO/Marinir) Ali Sadikin secara rahasia terbang ke Uni Soviet. Ia melihat para prajurit TNI AL yang sedang menjalani pendidikan kapal selam di Vladivostok (Wladiwostok).
“Saudara-saudara datang ke sini dipersiapkan untuk perang melawan Belanda. Jadi siapkan betul-betul. Setelah kembali dari sini, siap perang!” kata Kolonel Laut Pelaut (Purn) R Soebagijo, lulusan Institut Angkatan Laut (IAL), kini Akademi Angkatan Laut (AAL) 1959. Ia menirukan pesan moral dari Brigjen Ali Sadikin.
Duta Besar Indonesia untuk Uni Soviet, Adam Malik juga datang khusus dari Moskow ke Wladiwostok. Ia datang menyampaikan pesan dari Presiden Sukarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
“Jangan sia-siakan kesempatan pendidikan kalian di sini. Selesaikan pendidikan sebaik-baiknya. Kalian menjadi putra-putra Indonesia terpilih. Sekembali kalian ke Indonesia, kalian mendapatkan kehormatan untuk menghancurkan armada musuh dan mendarat pertama di bumi Irian Barat setelah kita rebut kembali,” ujar Adam Malik, menyampaikan pesan Sukarno.
“Pesan-pesan motivasi itu membakar semangat tempur kami,” kata Subagijo. Saat peristiwa itu, ia sebagai perwira torpedo berpangkat letnan satu. Kemudian menjadi awak kapal selam RI Tjandrasa (baca: Candrasa). Sebagai komandan RI Tjandrasa adalah Mayor Laut (Pelaut) M Mardiono, lulusan IAL 1954. Terakhir berpangkat Laksamana Muda TNI (Purn).
Dalam kondisi ekonomi yang terbatas, Indonesia mampu meyakinkan Uni Soviet untuk pengadaan kapal selam jenis Whiskey-Class. Saat itu tergolong memiliki teknologi canggih. Kapal-kapal ini memang diperuntukkan untuk menghancurkan armada perang Belanda di Irian Barat.
Uni Soviet juga membangun Stasiun Bantu Kapal Selam untuk mengisi baterai-baterai kapal selam. Seluruh bantuan itu mencapai USD 1 miliar kala itu. Dengan kehadiran 12 kapal selam, dua kapal induk kapal selam, dua kapal penangkap torpedo, dan satu kapal penyelamat dalam komando jenis kapal selam itu, menjadikan Angkatan Laut Indonesia berwibawa di dunia.
Kapal perang dalam komando jenis kapal selam yang dimiliki Indonesia saat itu, terdiri dari: kapal selam RI Tjakra (TJK) 401, RI Nanggala (NGL) 402, RI Nagabanda (NBD) 403, RI Trisula (TSL) 404, RI Tjandrasa (TNS) 405, RI Nagarangsang (NRS) 406, RI Hendradjala (HAD) 407, RI Alugoro (AGR) 408, RI Widjajadanu (WDU) 409, RI Pasopati (PST) 410, RI Tjudamani (TDN) 411, RI Bramastra (BMA) 412. Lalu ada kapal induk untuk kapal selam, yakni RI Ratulangi (RLI) 4101, RI Thamrin (THA) 4102, RI Buaja (BJA) 4103, RI Binjawak (BNK) 4104, RI Rantekambola (RKB) 4105.
Peti jenazah
Empat kapal selam akhirnya berhasil tiba di Pasit Putih, Pasuruan, Jawa Timur. Tak ada cerita istirahat. Mereka lanjut berlatih selama dua pekan. Usai latihan, langsung menuju Halmahera. Perjalanan laut menempuh waktu tiga hari.
Ketika posisi kapal selam mendekati Pulau Mapia, berbatasan dengan Negara Palau, periskop (teropong kapal selam) menangkap lampu yang kurang terang. Dikira kapal nelayan, ternyata kapal perang Belanda yang memiliki kecepatan tinggi. Mendapatkan serangan tembakan dari pesawat Belanda, kapal selam pun terus menyelam ke laut bebas hingga kedalaman sekitar 150 meter agar tidak terlihat musuh. Batas maksimal kapal selam jenis Whiskey-Class adalah 200 meter.
Misi RI Tjandrasa adalah pengintaian. Sukses mengintai, kapal selam kembali ke Halmahera. Membawa misi mendaratkan 15 orang pasukan komando dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) ke daratan Irian Barat. Begitu juga dengan dua kapal lainnya, masing-masing membawa 15 pasukan komando yang akan didaratkan ke daerah musuh. Total ada 45 pasukan komando yang siap perang terbuka dengan tentara Belanda.
Selama enam hari perjalanan RI Tjandrasa sampai di Teluk Tanah Merah. Sebelah Utara daerah pendaratan atau sekitar 30 mil sebelah Barat Hollandia, kini disebut Jayapura. Di situlah markas Angkatan Laut Belanda. Pada 20 Agustus 1962, malam itu suasana gelap gulita. Rencananya sekitar pukul 22.00 waktu setempat, dari jarak 1,5 mil pasukan komando akan didaratkan.
Namun, setelah perahu karet dikeluarkan, tiba-tiba lampu menyala terang. Lampu dari pesawat Neptune itu menyorot buritan kapal selam. Perahu karet yang sudah dikeluarkan, terpaksa ditinggal. Tidak sempat dimasukkan kembali ke dalam kapal selam. RI Tjandrasa pun kembali menyelam pada kedalaman 25-30 meter.
Saat awak kapal melihat periskop, tidak terlihat apa pun. Gelap. Ternyata perahu karet tersangkut di tiang periskop bagaian luar kapal selam. Setelah kondisi aman, perahu karet dimasukkan kembali ke dalam kapal. Gagal pada hari pertama, akhirnya pasukan komando Angkatan Darat berhasil didaratkan pada hari kedua. Tentu saja pada malam hari yang gelap gulita.
Kapal selam kembali ke teluk Peleng, Sulawesi. Sudah ada puluhan kapal perang disiapkan untuk mendaratkan pasukan di Pulai Biak. Rinciannya, sekitar 40 kapal perang atas air, 20 kapal niaga yang dimiliterisasi untuk keperluan logistik dan rumah sakit. Termasuk 10 kapal selam.
Seperti biasa dalam operasi militer, sudah disiapkan pula ratusan peti jenazah untuk para tentara yang ditugaskan ke medan laga, Irian Barat. Kelak para awak kapal selam dan pasukan komando yang berhasil mendarat ke wilayah musuh diberikan Bintang Sakti atas keberaniannya yang luar biasa.
Tahajud Laksamana di Kapal Selam dan Ujung Kematian
Bagian 5 dari 5 tulisan
07-05-2021
Bagian 5 dari 5 tulisan
07-05-2021
Foto: Ade Marboen, LKBN ANTARA. |
Semakin lama bertugas di laut, semakin terasa, manusia tidak punya kuasa apa pun jika melawan alam. Termasuk menghadapi gelombang dan badai laut, hujan deras yang menghantam, serta petir yang menyambar di tengah samudra. Beberapa kali nyaris kecelakaan dan tenggelam, menjadi cerita biasa bagi awak kapal selam.
Begitu pula yang dirasakan Laksamana Madya TNI (Purn) Imam Zaki. Dia merupakan lulusan terbaik Akabri bagian laut atau Akademi Angkatan Laut (AAL) tahun 1973. Ia bersama Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono, Marsekal Madya TNI (Purn) Toto Riyanto, dan Jenderal Polisi (Purn) Sutanto merupakan peraih Adhi Makayasa 1973.
Mantan Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan itu mengaku kerap melakukan sholat tahajud di dalam kapal selam. Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa membalas tunai doanya ketika kapal selam dalam kondisi kritis. Baik saat akan terjadinya tabrakan dengan kapal barang, kerusakan kapal seperti posisi oleng, radar mati, kompas dan navigasi rusak, hingga terombang ambing di lautan Pasifik.
“Saat kondisi-kondisi krtitis di dalam kapal selam, biasanya saya segera ambil wudhu dan menggelar sajadah di dekat ruang Pusat Informasi Tempur (PIT). Lakukan sholat, termasuk sholat tahajud jika malam hari jelang subuh,” kenang Imam Zaki, jenderal bintang tiga Angkatan Laut.
Ia pernah menjadi awak kapal selam KRI Pasopati 410 buatan Uni Soviet maupun KRI Cakra 401 buatan Jerman. Kapal selam Pasopati 410 kini menjadi monumen Kapal Selam di Kota Surabaya.
Diakui Amerika
Kehebatan awak kapal selam Indonesia juga diakui Angkatan Laut Amerika Serikat. Bahkan untuk mengetahui kemampuan kapal selam Uni Soviet, tentara Amerika sampai mengundang awak kapal selam Indonesia ke Negeri Paman Sam itu.
Laksamana Muda TNI (Purn) Wahyono Suroto mengakui, saat melanjutkan pendidikan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (Seskoal) di Amerika Serikat, pada 1972-1973. Pada saat itu para mantan komandan kapal selam jenis Whiskey-Class banyak dicari siswa sekolah komandan kapal destroyer (perusak) Amerika.
“Dihadirkannya para mantan komandan kapal selam Whiskey-Class merupakan strategi Amerika untuk mengetahui teknologi pesaingnya, Uni Soviet,” kata lulusan AAL 1962 itu.
Untuk menggetarkan militer Australia, kenang Wahyono, kapal selam Indonesia juga pernah membuang sampah ke Darwin Utara. Kaleng-kaleng bekas makanan dan minuman buatan Indonesia sengaja dibuang ke arah pantai Darwin Utara agar tentara Australia gentar. Sekaligus memberitahu bahwa kapal selam Indonesia juga bisa menembus wilayah Australia. Jangan macam-macam ya...
Wahyono mengakui hidup di dalam kapal selam wajib memiliki kesabaran tingkat tinggi melawan penderitaan. Seperti jenis Whiskey-Class, untuk bisa tidur, kru kapal harus berhati-hati. Sebab di atas maupun di bawah tempat tidur terdapat torpedo. Untuk duduk di tempat tidur saja sulit, kepala harus dikeluarkan, karena kolongnya yang sempit.
Kapal selam buatan Uni Soviet ini tidak memiliki kamar mandi. Kapal ini belum dilengkapi teknologi tinggi pengolahan air asin menjadi air tawar.
“Ada air tawar, tapi hanya cukup untuk menggosok gigi. Bisa mandi kalau ada hujan saja dan kapal harus naik ke permukaan laut. Jadi tiga bulan tidak mandi, itu hal yang biasa. Termasuk menahan buang air besar berhari-hari. Maka penyakit batu ginjal biasanya menghinggapi awak kapal selam buatan Uni Soviet ini,” kenang Wahyono.
Buang air kecil saat kapal menyelam, hanya bisa dilakukan di dalam botol air mineral. Untuk bisa mandi, menungggu kapal naik ke atas permukaan.
Di atas geladak kapal selam terdapat anjungan. Tepat di bawahnya terdapat tongkrongan. Di situlah para awak kapal membuang air besar, bergantian. Tentu saja jika kapal selam sedang berada di permukaan.
Kapal selam buatan Negeri Tirai Besi itu tergolong panas, suhunya di atas 40 derajat Celsius. Karena itu awak kapal hanya menggunakan celana pendek dan kaos saat berlayar.
Kapal selam inilah yang melahirkan prajurit-prajurit berani bertempur hingga mati. Karena saat awal berlayar, biasanya dilakukan malam hari, awak kapal pun sudah dianggap sebagai mayat.
Berbeda dengan kapal selam buatan Jerman 2009-Class seperti Nanggala 402 yang belum lama ini karam. Kapal selam ini lebih nyaman dan suhu udaranya dingin. Maka kru kapal menggunakan celana jins dan jaket tebal saat berlayar.
Dekat kematian
Laksamana Pertama TNI (Purn) Wartono Soedarman, lulusan AAL 1966, separuh hidupnya berada di kapal selam. Pada 1981, ia mengawaki kapal-kapal selam 209- Class terbaru, yakni KRI Cakra 401 dan KRI Nanggala 402. Ia mengikuti pendidikan kapal selam bersama tentara-tentara yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Jerman.
Awalnya sebagai perwira pelaksana di KRI Nanggala 402. Kemudian naik menjadi komandan KRI Cakra 401 selama lebih dari empat tahun. Naik lagi menjadi Komandan Satuan Kapal Selam pada 1990-1992.
“Kalau dihitung-hitung, saya pernah menjadi komandan di lingkungan kapal selam selama 26 tahun,” kenang adik kandung dari almarhum Jenderal TNI (Purn) Soesilo Soedarman, mantan Menko Polkam 1993-1997.
Ia menceritakan, ukuran tempat tidur di kapal selam, sangat sempit. Tinggi 60 cm, lebar 80 cm, dan panjang kurang dari 2 meter. Dibuat sempit agar bisa menampung banyak personel.
KRI Cakra dan Nanggala, misalnya, memiliki kamar tidur untuk komandan, wakil komandan, kepala kamar mesin, perwira, serta bintara dan tamtama. Selain itu terdapat sembilan tempat tidur untuk pasukan katak.
Ruang makan hanya ada dua, untuk perwira dan bintara/tamtama. Meja makan perwira, bentuknya melingkar dan bisa menampung 12 orang. Sedangkan untuk bintara/tamtama menjadi satu dengan peluncur torpedo. Daya tampungnya untuk 16 orang, sehingga harus bergantian.
Ruang komandan dengan ruang dapur tidak ada sekatnya. Di belakang ruang komandan terdapat ruang kontrol kendali dan ruang komunikasi.
Hubungan para awak sangat dekat, seperti kedekatan mereka dengan kematian. Pengakuan itu, antara lain diungkap dalam buku "Kapal Selam Indonesia", karya Indroyono Soesilo dan Budiman, 2008.
No comments:
Post a Comment