Showing posts with label Kostrad. Show all posts
Showing posts with label Kostrad. Show all posts

19 January 2022

Tiga Kelompok Jenderal Calon Pangkostrad

Foto: Divisi Infanteri 2 Kostrad


"Pimpinan TNI mau pilih Panglima Kostrad berasal dari mana? Profesional, lulusan Akmil terbaik, atau yang dekat dengan Presiden Jokowi?” kata Selamat Ginting di Jakarta, Rabu (19/1/2021).

Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting mengungkapkan, ada tiga kelompok calon kuat panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Pertama, kelompok jenderal profesional dan berpengalaman di Kostrad. Kedua, kelompok jenderal lulusan Akademi Militer (Akmil) terbaik. Ketiga, kelompok jenderal yang terkoneksi dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sedangkan kelompok keempat adalah kelompok di luar ketiganya.

“Pimpinan TNI mau pilih Panglima Kostrad berasal dari mana? Profesional, lulusan Akmil terbaik, atau yang dekat dengan Presiden Jokowi?” kata Selamat Ginting di Jakarta, Rabu (19/1/2021).

Profesional dan Berpengalaman

Menurut Selamat Ginting, kelompok pertama, adalah Mayor Jenderal (Mayjen) Achmad Marzuki (55 tahun) dan Mayjen Agus Suhardi (56,5 tahun). Keduanya bertugas di Kostrad selama sekitar 23 tahun. Marzuki abituren (lulusan) Akmil 1989, saat ini sebagai Asisten Teritorial (Aster) Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Sedangkan Agus Suhardi, abituren Akmil 1988-A, saat ini sebagai Panglima Kodam Sriwijaya di Sumatra Selatan.

“Marzuki sebelum menjadi Aster KSAD, adalah Panglima Kodam Iskandar Muda di Aceh. Ia pernah menjadi Inspektur Kostrad, Panglima Divisi Infanteri (Divif) 3 Kostrad. Dua kali dengan pangkat mayjen menduduki jabatan di Kostrad,” ujar Selamat Ginting yang berpengalaman meliput di lingkungan militer selama lebih dari 25 tahun.

Marzuki, lanjutnya, mengawali karier militernya pada 1990 di Batalyon Infanteri (Yonif) 503 Brigade Infanteri (Brigif) 18, Divif 2 Kostrad.  Ia termasuk perwira tinggi Angkatan Darat yang paling banyak tugas operasi tempurnya sekitar 12-13 kali. “Marzuki sangat layak menjadi Panglima Kostrad dengan beragam tugas dan jabatannya di Kostrad. Profesional dan berpengalaman,” ungkap Ginting.

Ada pun Agus Suhardi, hanya pada saat pangkat mayor, dia tidak sempat bertugas di Kostrad. Selebihnya ia malang melintang di Kostrad. Ia mengawali dinas militernya pada 1989 di Yonif Lintas Udara (Linud) 501, Brigif 18, Divif 2 Kostrad.   

“Pernah menjadi komandan peleton, komandan kompi, dua kali menjadi komandan batalyon, asisten operasi Divif 1, komandan Brigif Linud, Kepala Staf Divif 1 dan Divif 2 sampai Panglima Divif 2 Kostrad. Namun, Agus Suhardi kalah banyak dalam tugas operasi dibandingkan Marzuki. Jadi, Agus Suhardi juga sangat layak menjadi Pangkostrad. Profesional dan berpengalaman pula,” jelas Ginting.


Simak video "DEKAT DENGAN JOKOWI MENANTU LUHUT CALON KUAT PANGKOSTRAD"


Lulusan Terbaik

Kelompok kedua, menurut Selamat Ginting, adalah perwira tinggi lulusan Akmil terbaik. Ada dua orang, yakni Mayjen I Nyoman Cantiasa (54,5 tahun), lulusan terbaik Akmil 1990 dan Mayjen Teguh Pudjo Rumekso, lulusan terbaik Akmil 1991.

Mayjen Cantiasa, kini menjadi Panglima Kodam Kasuari di Papua Barat. Sedangkan Mayjen Teguh Pudjo (54 tahun), saat ini sebagai Panglima Kodam Mulawarman di Kalimantan Timur. Cantiasa yang berasal dari Korps Infanteri Komando Pasukan Khusus (Kopassus), pernah tugas di Kostrad sebagai komandan peleton dan komandan kompi di Yonif Linud 328 Brigif 17, Divif 1 Kostrad.

“Usai bertugas di Yonif 328 Kostrad, Cantiasa malang melintang tugas di Kopassus hingga menjadi Komandan Jenderal Kopassus. Jadi, Cantiasa juga punya peluang menjadi Pangkostrad,” ujar Selamat Ginting.

Ada pun Mayjen Teguh Pudjo, lanjut Ginting, memang belum pernah bertugas di Kostrad. Namun bukan berarti dia tidak punya peluang. Jenderal Dudung Abdurachman, misalnya, belum pernah tugas di Kostrad, namun bisa menjadi Pangkostrad. Begitu juga dengan sejumlah pangkostrad lainnya.

“Teguh Pudjo adalah perwira spesialis intelijen tempur. Ia pernah menjadi Komandan Pusat Kesenjataan Infaneri serta Komandan Pusat Penerbang Angkatan Darat. Ia tetap punya pelaung menjadi Pangkostrad.”

Koneksi Presiden Jokowi

Selamat Ginting mengungkapkan, kelompok ketiga adalah jenderal yang terkoneksi dengan Presiden Jokowi karena pernah menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Jokowi. Mereka adalah Mayjen Agus Subiyanto (54,5 tahun) dan Mayjen Maruli Simanjuntak (52 tahun).

Agus Subiyanto, abituren Akmil 1991 dari Infanteri Kopassus, pertama kali terkoneksi dengan Jokowi, saat ia menjadi Komandan Kodim di Solo, Jawa Tengah pada 2009-2011. Saat itu Jokowi masih sebagai Walikota Solo. Ia kembali terkoneksi dengan Jokowi sebagai Komandan Paspampres pada 2020-2021. Kini ia menjadi Panglima Kodam Siliwangi di Jawa Barat.

Agus Subiyanto pernah tugas di Kostrad pada 2011 sebagai Wakil Asisten Operasi Divisi Infanteri 2/Kostrad. Di Kopassus, antara lain pernah menjadi Komandan Batalyon 22 Grup 2 Kopassus dan Kepala Penerangan Kopassus.

“Ia masih tergolong lulusan muda, yakni abituren Akmil 1991 bersama Mayjen Teguh Pudjo. Peluang Mayjen Agus Subiyanto besar, karena dia darah biru istana. Presiden Jokowi tentu berkepentingan Panglima Kostrad adalah orang yang dikenalnya dengan baik,” ungkap Ginting.

Sedangkan Mayjen Maruli Simanjuntak merupakan calon Pangkostrad paling muda. Abituren Akmil 1992 dari Korps Infanteri Kopassus ini pernah menjadi Komandan Detasemen Tempur Cakra pada 2002. Detasemen ini merupakan gabungan Kopassus dan Kostrad. Selebihnya, Maruli lama bertugas di Kopassus. Antara lain sebagai Danyon 21 Grup 2/Sandi Yudha (2008-2009), Komandan Sekolah Komando Pusdikpassus (2009-2010), Wakil Komandan Grup 1/Para Komando (2010-2013), Komandan Grup 2/Sandi Yudha (2013-2014), serta Asisten Operasi Danjen Kopassus (2014).

Ia tergolong perwira tinggi yang paling lama terkoneksi dengan Presiden Jokowi. Bisa dilihat dari sejunlah jabatan yang harus dekat dengan keluarga Jokowi. Antara lain sebagai Komandan Grup A Paspampres (2014-2016), Komandan Korem di Solo (2016-2017), Wakil Komandan Paspampres pada 2017-2018. Selain itu Kepala Staf Komando Daerah Militer (Kasdam) IV/Diponegoro (2018), serta Komandan Paspampres (2018-2020).

“Kini Maruli menjadi Panglima Kodam Udayana sejak November 2020. Dari track record terkoneksi dengan Presiden Jokowi, maka Mayjen Maruli darah biru sekali. Dia calon paling favorit dan paling popular untuk menjadi Pangkostrad dibandingkan calon lain,” ungkap Ginting.

Strategis

Sementara kelompok keempat, bukan kelompok yang diprediksi untuk menjadi pangkostrad. Mereka ini adalah para panglima Kodam maupun mantan panglima Kodam, khususnya dari Korps Infanteri. Dalam sejarah Kostrad, seluruh panglimanya berasal dari Korps Infanteri.  

Antara lain Mayjen Muhammad Nur Rahmad, dan Mayjen Ainurrahman. Keduanya abituren Akmil 1988-A. Saat ini Mayjen Nur Rahmad sebagai Kepala Staf Kostrad. Sebelumnya menjadi Panglima Kodam Tanjungpura (2019-2021), serta Asisten Pengamanan KSAD (2017-2019).

Sedangkan Kepala Staf Kostrad sebelumnya, yakni Mayjen Ainurrahman juga pernah menjadi Panglima Divif 1 Kostrad. Kini sebagai Asisten Operasi KSAD. Sayangnya, Ainur belum pernah menjadi Panglima Kodam.

Siapa pun Presidennya, tentu sangat berkepentingan dengan Panglima Kostrad. Kostrad merupakan satuan militer terbesar di TNI.  Kostrad sebagai komando utama TNI merupakan satuan pemukul strategis. Memiliki sekitar 40-an batalyon tempur, bantuan tempur, dan bantuan administrasi. 


/selamatgintingofficial

03 June 2019

Habis Manis, Kivlan Dibuang (Bagian ke-2, selesai)

Foto: Republika Onli\ne

Oleh Selamat Ginting


Makar pertama
Namanya mulai muncul lagi pada 2017, Mayjen (Purn) Kivlan bersama mantan Kadispenum Puspen TNI Brigjen (Purn) Adityawarman Thaha (Akmil 1970). Mereka dituding melakukan permufakatan jahat bersama putri proklamator, Rachmawati Soekarnoputri, Sri Bintang Pamungkas, Hatta Taliwang dll.
Hal ini terkait dengan pertemuan bersama sejumlah aktivis untuk memperjuangkan agar UUD 1945 kembali ke naskah yang asli. Tokoh di balik aksi ini sebenarnya ada juga mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto. 
Kivlan juga aktif mengampanyekan anti komunis dan mendukung pemutaran film Penghianatan G30S/PKI setiap 30 September. Aksinya ini tentu saja bentuk konsistensinya sebagai aktivis KAPPI yang menentang ideologi komunis di Indonesia. “Saya dibilang aneh, karena anti PKI. Biar saja. Komunis memang ideologi yang dilarang di Indonesia,” ujar Kivlan. 

Tahanan polisi
Dalam sepekan ini, namanya muncul kembali di media. Kali ini, ia benar-benar ditahan di rumah tahanan Polisi Militer Kodam Jaya di Guntur, Jakarta Selatan, Kamis (30/5/2019).  Ia ditetapkan sebagai tersangka kepemilikan senjata api illegal oleh kepolisian. 
Berhenti sampai di situ? Ternyata tidak. Ia juga menyandang status tersangka kasus dugaan makar. Termasuk terlibat dalam rencana pembunuhan empat tokoh nasional. “Membunuh siapa?  Menurut saya agak-agak mustahil,” ujar Menteri Pertahanan Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu.
Ia mengaku bukan meragukan  keterlibatan Kivlan dalam dugaan pembunuhan tersebut. Namun berdasarkan pengalamannya, tidak ada pembunuhan yang dilakukan sembarangan. “Enggak ada itu bunuh-bunuh sembarangan. Nanti akan saya tanyakan ke dia (Kivlan),” ujar Ryamizard.
Lain lagi dengan Menko Polhukam Jenderal (Purn) Wiranto.  “Ini kan proses hukum jalan. Jadi gak usahlah kita berspekulasi. Tokoh manapun boleh mengatakan ini itu. Nanti dari alur analisis hukum akan ketahuan dengan jelas,” ujar Wiranto.
Lagi-lagi Ryamizard mengatakan, para purnawirwan (Kivlan Zen dan Mayjen Purn Soenarko) tidak patut sampai ditahan dengan tuduhan makar. Alasannya, mereka banyak berjasa untuk bangsa dan negara. “Ada abang kelas dan adik kelas saya di Akmil,” kata  Ryamizard, lulusan Akmil 1974. Ia pernah menggantikan Kivlan Zen sebagai Panglima Divisi Infanteri 2 Kostrad.

Bukan ruang hampa
Makar? Bagi ilmuwan komunikasi,  teks-teks dalam media tidak berdiri di alam hampa; teks-teks dalam media merupakan sebuah cara dalam memandang realitas. Teks-teks tersebut membantu mendefinisikan realitas dan memberi model yang sesuai pada sikap dan tingkah laku masyarakat.
Nah, terkait dengan makar yang dituduhkan polisi terhadap purnawirawan jenderal Kivlan Zen dan Soenarko, ada teks-teks yang tidak berdiri sendiri.  Polisi mengacu tuduhan makar kepada purnawirawan jenderal TNI itu berdasarkan pasal 103, 106, dan 107 KUHP. Bisa diartikan ingin membunuh presiden dan wakil presiden dan ingin memisahkan diri dari wilayah negara dan menggulingkan kekuasaan dengan kekerasan.
Punya apa Kivlan dan Soenarko? Mereka adalah jenderal tak punya pasukan dan tak punya persenjatan untuk melakukan makar. Dalam negara demokrasi, walau mereka jenderal, tetapi sudah pensiun, mereka ini adalah warga sipil. Purnawirawan yang menyuarakan demokrasi bahwa ada dugaan kecurangan pemilu.
Mari kita amati pola kerja polisi untuk menjerat orang dengan tuduhan makar. Begitu mudahnya. Hanya berpatokan adanya laporan seseorang. Orangnya pun itu-itu saja. Seketika dengan sangat cepat, polisi membuat proses hukum. Padahal untuk kasus lain, publik bisa jengkel karena lambannya proses di kepolisian. Tuduhan pun dikenakan kepada para aktivis kubu oposisi, seperti : Egy Sujana, Lieus Sungkharisma. Terbaru adalah Dahnil Anzar Simanjuntak, juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi. Dahnil menjadi saksi atas dugaan makar di Polda Sumatra Utara.

Nuansa politis
Maka wajar bagi wartawan yang kritis, kasus ini kuat dugaan bukan semata kasus hukum, melainkan kental dengan nuansa politik. Mengapa hanya pensiunan jenderal TNI saja? Bukankah jenderal purnawirawan polisi seperti mantan Kapolda Metro Jaya Komjen (Purn) Sofjan Jacob (Akpol 1970) juga mengeluarkan statemen yang keras terkait dugaan kecurangan pemilu?
Memang betul Sofjan Jacob diperiksa di Polda Metro Jaya, Senin (27/5/2019) lalu. Namun statusnya hingga kini belum jelas. Apakah polisi juga tega menjadikan Sofjan sebagai tersangka? Mantan Kapolda Metro Jaya, datang ke Polda Metro Jaya diperiksa untuk dijadikan tersangka?   
Penerapan pasal makar berdasarkan KUHP sesungguhnya sudah ketinggalan zaman. Pasal-pasal tersebut merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda untuk melindungi kerajaan. Kita sebenarnya sudah lelah dengan tuduhan makar, seperti tahun 2017 lalu. Kasus ini tidak pernah berlanjut. Apakah ini hanya untuk menakut-nakuti saja, termasuk menakut-nakuti pensiunan jenderal?
Jika iya, rasanya negara seperti pepatah habis manis, sepah dibuang. Misalnya, ketika membutuhkan Kivlan, negara (Mabes TNI) memanggilnya. Namun setelah tidak ada kepentingan, Kivlan pun dijebloskan ke penjara. Beginikah? Para purnawirawan tentu tidak ingin Kivlan hanya sebagai tokoh ikonik. Hadir ketika pemerintah membutuhkan jasanya. Setelah itu, mendapatkan perlakuan yang tidak layak.  Sedih! # End

Habis Manis, Kivlan Dibuang (Bagian ke-1 dari 2 tulisan)

Foto: Republika Online
Oleh Selamat Ginting

Para purnawirawan tentu tidak ingin Kivlan hanya sebagai tokoh ikonik. Hadir ketika pemerintah membutuhkan jasanya saja. Setelah itu?

Pekan keempat April 2016. Selama beberapa hari, saya mengikuti perjalanan dinas Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo ke Indonesia Timur. Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Namun jadwal kunjungan dipercepat satu hari dari jadwal semula. Panglima harus segera ke Jakarta, malam itu juga. Ada apakah? Semua perwira tinggi terdiam. Tak ada yang bisa memberikan penjelasan.
Begitu pesawat mendarat di Halim Perdana Kusuma, Gatot langsung masuk jeep yang menjemputnya. Ia segera pergi meninggalkan komplek militer Halim. Malam itu juga saya mencari tahu ada berita penting apa di Jakarta, sehingga Gatot tergopoh-gopoh?
Akhirnya saya mendapatkan jawaban. Terjadi penyenderaan kapal penarik tongkang batubara di perairan Laut Sulu, Filipina. “Betul, Bang. Yang disandera warga Indonesia,” kata seorang kolonel senior, saat saya hubungi via telepon. Awak kapal yang disandera sebanyak 10 orang.

Diplomasi jenderal
Seketika saya ingat seseorang jenderal yang kontroversial. Mayjen (Purn) Kivlan Zen. Ingatan itu melambung ke tahun 1995-1996. Ketika itu di sebuah hotel di Jakarta. Saya berkenalan dengan sosok Kivlan, jenderal bintang satu (brigjen). Saya meminta tolong kepada jenderal lulusan Akademi Militer (Akmil) 1971 agar bisa mewawancarai Nur Misuari, seorang revolusioner pemimpin Front Pembebasan Nasional Moro.
Saya terkejut, Kivlan dengan mudah membawa Misuari ke sebuah ruangan untuk bertemu dengan saya, wartawan muda. Padahal, Misuari adalah Gubernur Wilayah Otonomi Muslim Mindanao. Misuari begitu ‘menurut’ apa yang diminta Kivlan, anak Medan keturunan Minang dan lahir di Langsa Aceh. Kultur tiga daerah itu melekat pada diri Kivlan menjadi lelaki nekat.
Ini jenderal unik, pikirku saaat itu. Entah belajar diplomasi dari mana, tentara kelahiran 1946 tersebut. Saat itu saya juga mewawancarai Kivlan tentang resepnya bisa ‘menundukkan’ Misuari. “Ah gampang itu. Model gertak anak Medan. Aku ancam, kalau tidak mau menerima 8 dari 10 poin, kau tidak akan dapat apa-apa. Lebih baik, terima saja tawaran pemerintah Filipina,” ujar Kivlan seraya terkekeh-kekeh.
Akhirnya Misuari memang menerima saran Kivlan. Sejak itu nama Kivlan cukup dikenal oleh keluarga Misuari di Filipina Selatan. Ia saat itu menjadi pengamat militer Indonesia untuk perdamaian di Filipina Selatan. Jabatan sebelumnya adalah Kepala Staf Divisi Infanteri 1 Kostrad.

Urakan
Kivlan juga pernah menjadi Komandan Brigade Infanteri 6 Divisi Infanteri 2 Kostrad, serta Komandan Resimen Candra Dimuka Akmil, Magelang. Riwayat jabatan militernya lebih dari separuhnya dihabiskan di baret hijau Kostrad. Maka wajar jika ia pernah dipercaya menjadi Panglima Divisi Infanteri 2 Kostrad, dan kemudian menjadi Kepala Staf Kostrad. Panglima Kostrad saat itu, Letjen Prabowo Subianto. Karier militer Kivlan ‘jalan di tempat’ bersamaan pergantian rezim.

Kivlan juga pernah bertugas cukup lama di Brigif Linud 18 Kostrad, serta Danyonif 303 Brigif 13 Kostrad. Ia pun matang bertugas di Papua saat perwira pertama di Yonif 753 Kodam Cendrawasih. Menjadi penegak kedaulatan NKRI di Papua pada 1972-1983, serta penegak kedaulatan NKRI di Timor Timur pada 1985-1988. Untuk tugas teritorial, ia pernah menjadi Kepala Staf Kodam Wirabuana, Sulawesi Selatan.
Gaya Kiv, panggilan akrab teman-temannya di Akmil 1971, memang cenderung urakan. Ia kadang terlihat seperti aktivis mahasiswa daripada purnawirawan tentara. Sebelum masuk taruna Akmil, Kiv memang sempat kuliah di Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Sumatra Utara.

Saat SMA, ia bergabung dengan Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Medan, selama tiga tahun. Di situ ia sudah menjadi aktivis KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) yang anti komunis. Saat kuliah, ia bergabung dalam  Himpunan Mahasiswa Islam  (HMI) Cabang Medan, selama tiga tahun. 
Ia berani menentang seniornya untuk berdebat terbuka. Sekitar dua bulan lalu, Kiv tertangkap kamera sedang beradu mulut dengan Menko Polhukam Jenderal (Purn) Wiranto di acara Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD). “Abang jangan begitulah…” kata Kiv kepada Wiranto.

Adu mulut itu dilerai Ketua Umum PPAD Letjen (Purn) Kiki Syahnakri. Kiki merupakan teman seangkatan Kivlan di Akmil 1971. Ada beberapa jenderal cukup terkenal dari lulusan tersebut, misalnya: Letjen (Purn) Slamet Supriyadi, Letjen (Purn) Dhamari Chaniago, Letjen (Purn) Sugiyono, dan Letjen (Purn) Suadi Marasabessy. Ada pula Mayjen (Purn) Sang Nyoman Suwisma, dan almarhum Mayjen (Purn) Ismet Yuzairi.

Diminta TNI
Kivlan memang kontroversial. Namun jasanya dicatat oleh Mabes TNI. Saat itu Jenderal Gatot Nurmantyo mempersiapkan operasi militer untuk membebaskan sandera di laut Sulu, Filipina, pada April 2016 lalu. Panglima Kostrad, Komandan Jenderal Kopassus, Komandan Korps Marinir, dan Komandan Korps Pasukan Khas, serta Kepala Bais TNI sudah dipanggil. Termasuk merancang operasi besar-besaran di luar negeri (Filipina).
Bukan hanya melalui cara militer saja, tetapi juga dicoba dari sisi diplomasi. Untuk itu, Mabes TNI meminta bantuan Kivlan. Ia diminta membantu Bais TNI untuk menjadi negosiator dengan pelaku penyanderaan, kelompok Abu Sayaf.
Memang peran Kivlan kali ini, tidak seperti tahun 1995-1996. Suasana di Filipina Selatan sudah berubah. Sejumlah pihak juga berusaha membebaskan sandera, seperti Yayasan Sukma, milik Surya Paloh. Dan tentu saja Bais TNI sebagai operator di lapangan.
Dua gelombang sandera bisa dibebaskan dengan peran masing-masing negosiator.  Apa pun, Mabes TNI ingat peran dan jasa Kivlan di Filipina Selatan. Ia senior yang dimintai pendapat untuk kasus-kasus penyanderaan yang hingga kini masih sering terjadi.
Bukan kali itu saja pimpinan TNI memanggil Kivlan dan memerlukan jasanya. Pada November 1998, misalnya. Ia diminta Panglima TNI Jenderal Wiranto membentuk pengamanan swakarsa atau Pam Swakarsa untuk membantu pengamanan Sidang Istimewa MPR. Padahal saat itu Mayjen Kivlan Zen tidak punya jabatan. Jabatannya sebagai Kas Kostrad dicopot oleh Wiranto bersamaan dengan pencopotan jabatan Pangkostrad untuk Prabowo serta Danjen Kopassus untuk Mayjen Muchdi PR.

Wiranto meminta Kivlan, karena memiliki kemampuan penggalangan yang cukup baik ke kelompok-kelompok Islam. Namun dalam perkembangannya, Kivlan mengaku justru ‘dikerjain’ Wiranto, karena dana yang dijanjikan tidak kunjung tiba. Akhirnya ia harus membayar utang ke sejumlah rumah makan dan keperluan Pam Swakarsa lainnya dengan cara menjual rumah serta hartanya.  (Bersambung)

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...