30 June 2023

Motif Politik RK dalam Pembangunan Patung Sukarno

Photo: Groundbreaking Patung Sukarno
cnnindonesia.com
 

Rencana pembangunan patung tertinggi Bung Karno di Indonesia yang digagas Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK), tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa politik dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), sekaligus ekspresi simbolis terhadap sang tokoh proklamator. 

Tidak ada yang kebetulan dalam politik, pasti ada relasi kuasa yang dilakukan RK dalam pembangunan patung seorang tokoh, sekaligus ada kuasa simbolik politik.

Seperti diketahui, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bersama Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menghadiri groundbreaking pembangunan Monumen Plaza Dr (HC) Sukarno di kompleks GOR Saparua Bandung, Rabu (28/6). Patung tersebut diklaim menjadi patung Sukarno paling tinggi di Indonesia. Tingginya 22,3 meter dan biayanya sekitar Rp15 miliar. 

Pembangunan patung di ruang publik merupakan wujud ekspresi simbolis untuk menokohkan seseorang. Ini merupakan bagian dari upaya meneguhkan kekuasaan personal maupun kelompok mengatasnamakan kepentingan publik.

Keberadaan patung Sukarno, misalnya menjadi bukti bagaimana sistem simbolik dilakukan untuk melegitimasi kekuasaan oleh otoritas penguasa.

Dalam suasana tahapan pemilihan umum yang sudah berlangsung sejak pertengahan 2022, wajar saja jika peristiwa itu dikaitkan motif politik dengan relasi kuasa politik yang sedang dibangun RK. Apalagi selama ini PDIP belum bisa memenangkan pemilu di Jawa Barat. PDIP kalah dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). PDIP unggul tipis dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Apakah ini upaya RK untuk mendekat kepada PDIP jelang pilpres, walau dia kini sudah menjadi kader Partai Golongan Karya (Golkar)? Jawabannya bisa iya bisa juga tidak. Tapi ini bukan sebuah kebetulan, melainkan sudah dirancang.

Apalagi, nama RK selalu masuk radar survei urutan lima besar sebagai bakal calon wakil presiden. RK bersaing ketat dengan nama-nama seperti Sandiaga Uno, Erick Thohir, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Khofifah Indar Parawansa. 

Bakal calon presiden dari PDIP Ganjar Pranowo belum punya pasangan wakil presiden, jadi wajar saja pembangunan patung Bung Karno dikaitkan dengan motif politik.

Praktik kuasa simbolik melalui pembuatan patung seorang tokoh melalui sistem bahasa visual dan simbolisasi, menunjukkan bagaimana kekuasaan menyelinap di bawah ruang sadar publik.

Masyarakat, bisa saja tidak menyadari bagaimana sistem kekuasan bersembunyi di balik karya-karya patung di ruang publik. Dalihnya bisa bermacam-macam, seperti pewarisan nasionalisme, penghormatan kepada pahlawan, maupun peneguhan ideologisasi. 

Bukankah Bandung juga punya nilai sejarah bagi Sukarno, karena ia mengenyam pendidikan di Insitut Teknologi Bandung dan pernah ditahan pemerintah colonial Belanda di kota kembang ini. 

Dalam kurun waktu pemerintahan Presiden Jokowi, terjadi pembangunan patung-patung Sukarno di sejumlah tempat atau instansi pemerintah maupun negara. Misalnya di Akademi Militer Magelang yang digagas Wakil Menteri Pertahanan Letjen (Purn) Muhammad Herindra dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurachman, saat masih menjadi Gubernur Akmil. Kemudian di Kementerian Pertahanan dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).

Maka ada pihak-pihak yang menghubungkan pembangunan patung itu turut melambungkan nama Herindra dan Dudung Abdurachman menjadi petinggi militer. Itu sah-sah saja, meskipun bukan satu faktor itu saja yang melambungkan nama mereka.

Termasuk, posisi Menhan Prabowo Subianto yang aman tanpa gangguan serta Letjen (Purn) Agus Wijoyo yang enam tahun menjadi  Gubernur Lemhannas pada 2016-2022.

Semoga publik tidak disuguhi simbol tanpa makna dan semoga pula pembangunan patung-patung itu sesuai dengan kebutuhan publik, bukan sekadar niatan politik praktis seseorang untuk meraih kedudukan.


/sgo

29 June 2023

Prabowo Harus Mundur Sebagai Menhan Jika Maju Dalam Pilpres

Photo: republika.co.id


Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto harus mundur dari kabinet jika maju dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024. Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu sudah dideklarasikan akan maju sebagai bakal calon presiden (capres) oleh Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang terdiri dari Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Prabowo dan para menteri serta pejabat setingkat menteri wajib mundur dari kabinet jika ingin mengikuti kontestasi pemilihan presiden (pilpres). Setidaknya saat partai politik atau gabungan partai politik mendaftarkan namanya menjadi bakal capres maupun wapres di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Prabowo sebagai pejabat negara harus fokus menjalankan tugasnya, sehingga wajib mundur dari posisinya sebagai Menhan jika ingin mengikuti kontestasi pilpres. Tidak mungkin bisa fokus menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara jika ada keinginan menjadi presiden maupun wakil presiden. Begitu juga pejabat negara lainnya yang hendak mengikuti pemilihan legislatif, wajib mundur tidak bisa ditawar-tawar lagi. 

Mereka, harus menyertakan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali. Surat pengunduran diri sebagai pejabat negara disampaikan partai politik atau gabungan partai politik kepada KPU sebagai dokumen, persyaratan capres maupun cawapres, seperti amanat Pasal 170 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Otomatis ketua umum Partai Gerindra Prabowo dan menteri lainnya akan kehilangan kursinya di kabinet apabila maju dalam kontestasi pilpres. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 170 ayat (2) dari UU tentang Pemilu. 

Memang ada pengecualian jabatan yang tidak mengharuskan mundur jika mengikuti kontestasi pilpres. Jabatan itu adalah presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR/DPR/DPD. Selain itu juga gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota, seperti amanat Pasal 170 ayat (1) UU tentang Pemilu. 

Mengenai posisi pengganti menteri, menjadi kewenangan presiden yang memiliki hak prerogratif. Terserah hendak mengganti orang dari partai politik yang sama atau dari kalangan profesional. 

Ada nama-nama menteri yang berpotensi akan maju dalam pilres 2024, seperti Prabowo Subianto dari Partai Gerindra, Airlangga Hartarto dari Partai Golkar, Sandiaga Uni dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Termasuk Erick Thohir yang diusung Partai Amanat Nasional (PAN) untuk bisa maju dalam kontestasi pilpres. 

Selain pejabat negara dari bidang eksekutif dan legislatif, UU juga mengamanatkan pejabat negara lainnya mesti mundur jika akan maju dalam pilpres. Mereka adalah ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Termasuk kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, seperti duta besar luar biasa dan berkuasa penuh.

Untuk kepala daerah, seperti Ganjar Pranowo, bakal capres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), harus meminta izin terlebih dulu kepada presiden untuk maju dalam pilpres.

Bagaimana jika presiden tidak memberikan izin kepala daerah? Ini menarik untuk diulas. Apabila sampai 15 hari presiden tidak memberikan izin, maka undang-undang menganggap izin dianggap sudah diberikan. Jadi presiden tidak boleh cawe-cawe menghalang-halangi kepala daerah yang akan maju dalam pilpres.

/sgo

Capres Tolak Mundur Sebagai Pejabat Negara, Timbulkan Konflik Kepentingan

Photos: istockphoto.com

Jika pejabat negara akan maju dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres), namun menolak mengundurkan diri, akan menimbulkan konflik kepentingan yang merugikan negara. Sulit dibedakan posisi sebagai pejabat negara atau bakal calon presiden atau wakil presiden (capres/cawapres).

Menjadi bias, apakah Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan atau sebagai bakal capres? Apakah Ganjar Pranowo sebagai gubernur atau sebagai bakal capres? Jika sebagai Gubernur Jawa Tengah, mengapa banyak beraktivitas di Jakarta? Ini yang disebut sebagai konflik kepentingan.

Contohnya, jelang pilpres 2014 Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa yang akan maju sebagai bakal cawapres, mengundurkan diri sebagai menteri kabinet. Saat itu Hatta Rajasa didampingi bakal capres Prabowo Subianto menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyerahkan surat pengunduran diri sebagai menteri.

Apa yang dilakukan Hatta Rajasa pada 2014 lalu, mestinya sekarang diikuti Prabowo, Ganjar maupun para menteri yang akan mengikuti kontestasi pilpres. Apa yang dilakukan Presiden SBY mestinya juga ditiru Pesiden Jokowi. Tirulah yang bagus dan bukan berkelit mencari celah.

Contoh baik lainnya, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Laiskodat baru saja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala daerah. Alasannya, Viktor akan maju sebagai anggota DPR periode 2024-2029 dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

Pengunduran diri Viktor Laiskodat sebagai Gubernur NTT, karena persyaratan untuk maju sebagai caleg. Itu kan bagus dan bisa menjadi contoh baik. Mengapa tidak diikuti Ganjar.

Memang, Mahkamah Konstitusi (MK) membolehkan menteri yang ingin maju sebagai capres atau cawapres tidak perlu mundur dari jabatannya. Putusan ini berdasarkan permohonan dari Partai Garuda yang menguji Pasal 170 ayat (1) Undang Undang tentang Pemilu.

Keputusan MK yang ambigu, karena tidak sepenuhnya dikabulkan. Apalagi uji materi itu diajukan partai di luar parlemen dan partai itu tidak memiliki menteri. Dalam keputusan itu tetap dengan catatan harus mendapatkan izin dari Presiden. Masalahnya justru di sini, jika presiden bersikap tidak netral, atau cawe-cawe karena memiliki kandidat untuk pilpres, bagaimana?

Conflict of Interest

Conflict of interest atau konflik kepentingan akan mencemari keputusan seseorang yang memiliki wewenang sebagai pejabat negara. Patut diduga pejabat tersebut mempunyai kepentingan pribadi dalam kewenangannya, sehingga akan mempengaruhi kualitas kinerja, termasuk dalam pelayanan kepada masyarakat.

Kepentingan pribadinya tidak akan bisa dihindari. Termasuk menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan politik praktisnya dalam meraih kekuasaan. Cara meraih kekuasaan seperti ini tidak elok dari segi etika politik.

Dalam Pasal 43 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan konflik kepentingan terjadi apabila dalam menetapkan keputusan dilatari kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi, seperti ingin menjadi presiden atau wakil presiden, masuk dalam kategori konflik kepentingan.

Conflict of interest itu akan berujung pada gratifikasi atau suap untuk meraih kekuasaan. Maka kelemahan sistem jika pejabat negara menolak mundur saat maju dalam kontestasi pilpres, harus diperbaiki.

Mana mungkin, pejabat negara yang juga berperan sebagai bakal capres maupun cawapres bisa menjalankan jabatannya secara profesional, independen, dan akuntabel. Jelas kental sekali niat politiknya untuk meraih kekuasaan daripada menuntaskan pekerjaan utamanya sebagai pejabat negara dan pelayan masyarakat.

Penyalahgunaan wewenang yang tidak sesuai dengan tujuan pekerjaannya akan melampaui batas kewenangan dalam mengutamakan kepentingan publik, karena lebih kental kepentingan politik peibadi dan golongannya. 

Pejabat negara itu, setidaknya harus mengutamakan empat hal. Pertama, bekerja untuk kepentingan publik dan bukan bekerja memikirkan keuntungan pribadi dari jabatannya. Kedua, menciptakan keterbukaan dalam penanganan dan pengawasan, sehingga memiliki integritas tinggi. Ketiga, bertanggungjawab dan menjadi contoh teladan. Keempat, mampu menciptakan budaya kerja yang menolak konflik kepentingan.

Jika empat hal itu tidak sanggup dilaksanakan, sebaiknya tidak usah berpikir untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, seperti presiden atau wakil presiden.

/sgo

Seniman Butet Jangan Ikuti Gaya Lekra yang Aktif Lakukan Propaganda Politi

Photo: Butet Kertaredjasa membacakan puisi
 di peringatan Bulan Bung Karno di GBK. [Twitter]


Pantun atau puisi yang dibacakan seniman Butet Kartaredjasa, bernuansa propaganda politik dan mengingatkan publik pada gaya seniman Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) di tahun 1960-an.

Pantun atau puisi Butet Kartaredjasa bernuansa propaganda politik mirip gaya seniman Lekra tahun 1960-an.

Seniman Butet Kartaredjasa membacakan puisi atau pantun pada acara Bulan Bung Karno di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, baru-baru ini. Seniman yang berafiliasi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menyindir dua bakal calon presiden, yakni Anies Baswedan dan Prabowo Subianto. Sebaliknya memuji bakal capres Ganjar Pranowo.

Pengalaman Lekra seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi para seniman saat ini agar bisa memisahkan karya seni dengan politik.

Boleh-boleh saja seniman aktif berpolitik dan masuk ke partai politik, karena itu hak warga negara. Namun harus punya kesantunan politik agar pesan karya seninya tetap tersampaikan.

Apalagi, puncak peringatan bulan Bung Karno 2023 temanya 'Kepalkan Tangan Persatuan Untuk Indonesia Raya'. Seharusnya puisi atau pantun yang disampaikan Butet Kartaredjasa selaras dengan tema acara. 

Bung Karno itu bukan hanya milik PDIP. Sebagai proklamator, otomatis Sukarno milik bangsa Indonesia. Jangan kerdilkan Sukarno yang mempersatukan bangsa dengan membuat pantun atau puisi yang justru memecah-belah, mengadu domba.

Puisi atau pantun yang dibacakan Butet Kartaredjasa bisa merusak citra PDIP di mata partai politik lainnya sekaligus merusak komunikasi politik di tahun politik jelang kontestasi pemilihan umum (pemilu).
 
Mengingat sejarah politik tentang kehebohan karya seniman Lekra yang membuat Presiden Sukarno harus turun tangan dan melarang perkembangan seniman Lekra di Indonesia.

Bung Karno sampai harus turun tangan menghentikan propaganda seniman Lekra yang membuat gaduh usai peristiwa G30S/PKI 1965.

Lekra, tidak bisa dipisahkan dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini, karena Lekra memang didirikan oleh tokoh-tokoh PKI, seperti DN. Aidit, Nyoto, AS Dharma pada 1950.

Gaya provokasi dari seniman Lekra menimbulkan kontra dengan para seniman lainnya seperti HB Jassin dan Taufiq Ismail. Mereka menolak provokasi Lekra dan membuat petisi Manifes Kebudayaan yang mengusung konsep kebudayaan humanisme universal dengan merujuk pada Pancasila.

Belajar dari peristiwa kelam tahun 1960-an, saya menyarankan partai politik sebaiknya tidak lagi menggunakan seniman partisan yang karyanya mengadu domba anak bangsa. Momentum Idul Adha mestinya dijadikan refleksi untuk mengorbankan ego seniman demi kepentingan bangsa yang lebih besar.

/sgo

Marketing Politik Haji Anies dan Haji Ganjar Menyejukkan

Photo: 2 Bacapres Berhaji

Beredar foto viral pertemuan dua bakal calon presiden (capres) Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo tampil bersama menggunakan pakaian ihram di sela rangkaian ibadah haji di Tanah Suci Mekah, Arab Saudi, kemarin.  Pertemuan itu memang tidak membahas masalah politik.  Namun pertemuan dua bakal capres itu menjadi marketing politik yang menyejukkan bagi publik di Tanah Air.

Memang sama sekali tidak membahas masalah politik. Tapi pertemuan dua tokoh di Tanah Suci Mekah itu dalam perspektif komunikasi politik merupakan marketing politik yang menyejukkan bagi publik di Tanah Air.

Menyejukkan, karena pertemuan itu dapat menurunkan tensi politik sekaligus meniadakan fragmentsi politik yang berpotensi menimbulkan gesekan di antara para pendukung fanatik para kandidat bakal capres tersebut.

Marketing politik terhadap dua tokoh itu bertujuan mengemas pencitraan dalam kontestasi pemilihan presiden kepada masyarakat luas yang akan memilihnya. Tujuan marketing dalam politik sangat membantu partai politik atau koalisi politik dalam mengenalkan tokohnya kepada masyarakat.

Ummat Islam

Sasaran marketing politik dalam foto kedua tokoh yang viral itu, tidak lain adalah ummat Islam sebagai mayoritas di Indonesia. Ini menyejukkan sekaligus untuk menetralisasi agar tidak terjadi polarisasi yang dapat menimbulkan perpecahan menjadi sel-sel politik yang tidak sehat.

Polarisasi yang tercipta selama ini, Si A dipersepsikan lebih nasionalis.  Sedangkan Si B lebih religius. Bahkan ada dikotomi Islamis dan Nasionalis.  Seolah-olah jika Islam maka tidak nasionalis. Sedangkan jika nasionalis, kurang ke-Islam-annya.

Isu politik yang ingin dikemas dalam marketing politik tersebut, mereka dipersepsikan sebagai tokoh yang cukup religius, karena sedang menunaikan rukun Islam yang kelima, yakni menunaikan ibadah haji.  Sehingga bagi tim suksesnya peristiwa di Tanah Suci memiliki segmentasi, target, serta posisi dalam marketing politik.

Dalam teori marketing politik, segmentasi yang disasar dalam foto yang viral itu, tentu saja pemilih pemeluk Islam. Segmentasi sangat diperlukan untuk menyusun program kerja tim pemenangan kandidat, terutama cara komunikasi politik dan membangun interaksi politik dengan masyarakat.

Tanpa segmentasi, partai politik akan kesulitan dalam penyusunan pesan politik, program kerja politik, kampanye politik, sosialisasi politik, dan produk politik.

Targeting politik memiliki standar jumlah dan besaran pemilih, wilayah, penduduk atau populasi yang dapat menjadi penyumbang suara terbanyak pada pemilihan umum. Sehingga target politik memerlukan bantuan tokoh penting yang dapat membentuk opini publik.

Jadi dalam marketing politik, memerlukan aktor politik yang dapat menjadi opinion leader dalam membentuk opini publik.

Sedangkan positioning politik dalam marketing politik, dapat membentuk image (citra) yang ditanamkan kepada pemilih, bahwa kandidatnya mudah diingat para pemilih. Sehingga membentuk citra politik memerlukan waktu yang tidak sebentar.

Image politiknya, Haji Anies atau Haji Ganjar layak dipilih sebagai presiden, karena dekat dengan kalangan Islam. Hal ini harus terus dibangun dalam jangka panjang. Sebab kesan positif itu membutuhkan konsistensi dalam jangka waktu yang lama.


/sgo

19 June 2023

Logika Politik Terbalik Jokowi

Photo: Paradox by Capped X (pexels.com)

Jika mengamati pernyataan Presiden Jokowi, maka realitas politiknya bisa berbanding terbalik dengan pernyataannya. Karena itulah pahami Jokowi dengan logika politik terbalik.

Artinya, implemetasi berpolitik model Jokowi mengabaikan tindakan etis. Padahal seharusnya tindakan politik mesti dibarengi dengan etika politik. Hal ini penting, agar tidak menimbulkan sensibilitas sosial politik dan rakyat tidak merasa dibohongi dengan pernyataan politik Jokowi yang menggunakan logika terbalik.

Beberapa contoh bisa dijadikan acuan mengapa memahami Jokowi harus menggunakan logika politik terbalik, di antaranya:

Pertama; saat Jokowi menjadi Gubernur Jakarta, dia mengaku tidak akan berpikir tentang pencalonan presiden. Tidak akan maju dalam pemilihan presiden, karena baru 1,5 tahun menjadi Gubernur Jakarta. Namun dalam kenyataannya secara diam-diam Jokowi melakukan komunikasi politik dengan partai politik dan organisasi massa untuk maju dalam pencalonan presiden. Akhirnya terbukti, walau baru menjadi Gubernur Jakarta selama kurang dari dua tahun saja (2012-2014), Jokowi maju dalam pemilihan presiden tahun 2014.

Kedua; Jokowi menegaskan anak-anak dan menantunya tidak akan terjun dalam politik pemilihan kepala daerah. Ternyata di balik pernyataan politik tersebut, keluarga Jokowi secara agresif melakukan kerja politik yang diduga melibatkan instrumen politik pemerintahan untuk memuluskan anaknya yakni Gibran Rakabuming Raka menjadi Walikota Solo dan menantunya Boby Nasution menjadi Walikota Medan.

Kini putra bungsu Presiden Jokowi sedang bersiap mengikuti pemilihan walikota Depok untuk tahun 2024. Ini sekaligus bukti Jokowi sedang membangun dinasti politik. Kemungkinan Gibran Rakabuming Raka juga akan maju dalam pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2024. Jika ini terjadi, Jokowi sesungguhnya sedang mempersiapkan putra mahkota ke depan menjadi Presiden Indonesia. Padahal Indonesia bukan negara kerajaan atau monarki, Indonesia adalah negara republik, Republik Indonesia.

Apa yang dilakukan Presiden Jokowi lebih buruk daripada yang dilakukan Presiden Soeharto. Setelah 30 tahun berkuasa, barulah Presiden Soeharto menempatkan anak pertamanya Siti Hardiyanti (Tutut Soeharto) sebagai Menteri Sosial pada 1998.

Begitu juga dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (AHY). Setelah tidak menjadi presiden, anak tertuanya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) maju dalam pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2017, namun kalah dari Anies Baswedan. SBY lebih fair dalam hal ini dibandingkan dengan Jokowi.

Ketiga; Jokowi melarang ketua umum partai politik atau pengurus pusat partai politiik rangkap jabatan sebagai menteri. Faktanya, ketua umum partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua umum Partai Golkar, dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suharso Manoarfa dilantik menjadi Menteri pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi.

Keempat; Jokowi mengajak masyarakat Indonesia membenci produk asing. Kini nyatanya hampir semua sektor melakukan impor.  Membuka keran impor untuk sejumlah komoditas yang bisa diproduksi dalam negeri. Padahal banyak sektor yang bisa dikapitalisasi.

Kelima; pada saat kampanye menjadi calon Presiden tahun 2014, Jokowi dengan bangga menyatakan jika terpilih menjadi presiden, menolak utang luar negeri. Pemerintahan Jokowi tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai rezim paling senang utang dengan capaian 7.879 triliun rupiah, per Maret 2023.

Artinya naik 3,2 kali lipat dari awal memerintah pada 2014. Sehingga setiap kepala rakyat Indonesia saat ini menanggung utang 28,7 juta rupiah. Naik dari posisi terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hanya 10 juta rupiah per kepala.

Masih banyak lagi pernyataan politik Presiden Jokowi yang tidak sesuai aturan main, prosedur, serta ketegasan dalam komunikasi politik. Akibatnya tidak ada keteladanan dalam bersikap politik. Rakyat dipaksa mengikuti politik imajinasi Jokowi, karena publik hanya disuguhi janji-janji politik yang tidak pasti. Ini pernyataan yang membuat bingung masyarakat Indonesia. Bertentangan dengan kenyataaan. Jangan salahkan jika rakyat memberi julukan sebagai presiden paradoks.

 

/sgo

16 June 2023

Prabowo dan Airlangga Berpotensi Kuat Menjadi Pasangan Pilpres Koalisi Besar

Photo: republika.co.id

Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) Airlangga Hartarto berpotensi paling kuat menjadi pasangan bakal calon presiden (capres) dan bakal calon wakil presiden (wapres) jika terbentuk koalisi besar untuk maju dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024.

Secara realitas politik, koalisi besar hanya akan terwujud jika pasangan capres dan cawapresnya adalah Prabowo dengan Airlangga. Keduanya merupakan representasi dua partai besar hasil pemilu 2019 lalu, sekaligus pendukung pemerintahan Presiden Jokowi.

Kedua ketua umum partai tersebut sangat wajar jika dipasangkan berdasarkan perolehan hasil pemilihan umum (pemilu) 2019 lalu. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berada di puncak dengan perolehan suara 19,33 persen.

Disusul Gerinda meraih 12,57 persen suara dan Golkar di posisi ketiga mendapatkan 12,31 persen. Sementara posisi keempat dan kelima diduduki Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mendapatkan 9,69 persen suara dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang meraih 9,05 persen suara.

Yang paling memungkinkan untuk bisa maju dalam pilpres, hanya dua komponen realitas politik. Pertama, partai politik yang perolehan suaranya besar. Mereka punya mesin politik yang bisa diandalkan untuk menggerakkan roda partai hingga ke basis konstituen di tingkat kecamatan. Biasanya diwakili ketua umum partai politik. Kedua, tokoh popular yang memiliki elektabilitas (keterpilihan) tinggi. Mereka bisa mendulang suara dari pemilih, khususnya swing voters (pemilih rasional).

Jika mengacu kepada tiga tokoh popular yang elektabilitasnya tinggi, ada pada Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan (non-partai). Jadi wajar jika mereka menjadi bakal capres dalam koalisi. PDIP sudah diwakili Ganjar. Selanjutnya Koalisi Perubahan dan Persatuan mengajukan nama Anies yang tidak berpartai. Sehingga wajar apabila Prabowo maju sebagai bakal capres dengan koalisinya.

Selanjutnya, untuk bisa menjadi bakal cawapres, kembali mengacu kepada dua komponen realitas politik, yakni partai yang memiliki perolehan suara besar dan tokoh popular yang memiliki elektabilitas tinggi. Jadi, koalisi besar hanya akan terwujud, apabila Prabowo dipasangkan dengan Ketua Umum Partai Golkar yang memiliki perolehan suara besar dibandingkan partai-partai lainnya.

Gerindra dan Golkar tentu saja lebih besar perolehan suaranya daripada PKB maupun PAN. Lagi pula PAN hanya memperoleh 6,84 persen suara. Maka KKIR yang terdiri dari Gerindra dan PKB akan diwakili Prabowo. Sedangkan KIB terdiri dari Golkar dan PAN akan diwaliki Airlangga sebagai ketua umum Golkar.  

Sementara tokoh popular yang memiliki elektabilitas tinggi dari sejumlah survey untuk menjadi bakal cawapres, antara lain: Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Erick Thohir, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Khofifah Indar Parawansa. Mereka inilah yang merasa punya kesempatan mendapatkan tiket politik untuk menjadi bakal cawapres selain ketua umum partai politik.

Namun, Ridwan Kamil maupun Khofifah lebih didorong untuk kembali maju dalam pemilihan gubernur di Jawa Barat dan Jawa Timur pada Pemilu 2024 mendatang. Sehingga persaingan untuk bisa menjadi bakal cawapres ada pada tiga nama, yakni Erick Thohir, Sandiaga Uno.

Apabila Koalisi Besar tidak terwujud, maka Golkar dan PAN bisa saja membuat poros koalisi baru dengan komposisi Airlangga mewakili Golkar sebagai bakal capres dan Zulkifli Hasan atau Erick Thohir mewakili PAN sebagai bakal cawapres.


/sgo

15 June 2023

PAN Bagai Layangan Putus Talinya

Photo: tribunnewswiki.com
 

Dari dinamika politik terbaca dengan jelas, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan agresif menawarkan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir untuk bisa dipasangkan sebagai bakal cawapres setidaknya di dua koalisi.

Asumsinya sejumlah survey menempatkan elektabilitas Erick berada dalam lima besar kandidat cawapres, sehingga punya harapan bisa dipasangkan sebagai bakal cawapres di beberapa koalisi.

Pertama, PAN menawarkan Erick untuk berpasangan dengan Ganjar Pranowo dari PDIP. Namun upaya itu ditolak secara halus oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Sukarnoputri. Padahal Zulkifli Hasan sudah memindahkan daerah pemilihan (dapil) untuk dirinya sebagai caleg DPR dari Semarang, Jawa Tengah. Asumsi politiknya agar bisa bekerjasama secara politik dengan Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah. Selama ini Zulkifli selalu menjadi caleg dari dapil Provinsi Lampung.

Kedua, setelah gagal mendapatkan lampu hijau dari PDIP, maka PAN kembali menawarkan Erick Thohir kepada Gerindra. Lagi-lagi upaya itu pun tidak mendapatkan respons positif dari Prabowo sebagai Ketua Umum Gerindra. Gerindra tentu saja khawatir kehilangan teman koalisinya, yakni PKB, apabila menerima Erick yang disodorkan PAN. Apalagi perolehan suara PKB di parlemen, lebih besar daripada PAN.

Ketiga, dari situ kemudian PAN berinisiatif untuk menawarkan kembali terbentuknya Koalisi Besar, tentu saja dengan harapan Erick Thohir tetap bisa mendapatkan posisi bakal cawapres dengan argumentasi elektabilitasnya bersaing ketat dengan Ridwan Kamil, Sandiaga Uno maupun Agus Harimurti Yudhoyono.

Jika koalisi besar terbentuk, Golkar dan PKB tentu akan bersikeras menolak tawaran PAN yang menyodorkan Erick Thohir. Golkar merasa lebih berhak daripada PAN. Toh Ridwan Kamil yang kini bergabung dalam Golkar pun tidak disodorkan menjadi bakal cawapres. Ridwan lebih diproyeksikan Golkar untuk kembali bisa menjadi Gubernur Jawa Barat periode kedua.

Demikian pula PKB yang sedari awal sudah satu tahun membentuk koalisi dengan Gerindra. Muhaimin Iskandar sebagai ketua umum PKB sudah sedari awal menawarkan diri menjadi bakal cawapres. Namun, hingga kini belum direspons positif oleh Prabowo.

Jika saja Gerindra menerima Erick sebagai bakal cawapres berpasangan dengan Prabowo, PKB berpotensi meninggalkan Gerindra untuk bergabung dengan koalisi lainnya. Jadi memang rumit.

Ibaratnya, kini PAN bagaikan layangan yang putus talinya. Tak tahu ke mana arah politiknya.  Menawarkan dagangannya yang belum laku-laku hingga saat ini.  “Timbul pertanyaan, sebenarnya siapa ketua umum PAN? Zulkifli Hasan atau Erick Thohir? Maka, wajar jika publik berpendapat Erick seperti ketua umum luar biasa dari PAN.  

/sgo

14 June 2023

AHY Paling Masuk Akal Dampingi Anies Baswedan

Photo: monitor.co.id

Secara realitas politik Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) paling masuk akal menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Anies Rasyid Baswedan bakal calon presiden (capres) dari Koalisi Perubahan.

Realitas politiknya AHY paling masuk akal menjadi bakal cawapres pendamping Anies Baswedan, bakal capres dari Koalisi Perubahan.

Nama AHY menjadi kandidat terkuat setelah melewati dinamika politik yang panjang sejak Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) secara bertahap mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal capres Koalisi Perubahan pada Maret 2023 lalu. Sehingga, tidak ada pilihan paling realistis secara politik, selain menjadikan AHY sebagai bakal cawapres.

Memang ada nama lain yang cukup kuat selain AHY, yang mengemuka di Koalisi Perubahan, yakni Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher). Namun, AHY memiliki kekuatan politik sebagai Ketua Umum Partai Demokrat yang memungkinkan terjadinya Koalisi Perubahan.

Apabila Demokrat tidak bergabung dalam koalisi itu, maka Anies Baswedan tidak memenuhi syarat untuk dijadikan bakal capres. Koalisi Perubahan memenuhi aturan batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen.

Gabungan Partai Nasdem, Demokrat, dan PKS mewakili 28,5 persen kursi di parlemen. Dalam UU No. 7/2017 (UU Pemilu) parpol atau koalisi parpol setidaknya harus punya 20 persen kursi di DPR RI untuk bisa didaftarkan dalam pemilihan presiden.

Dari tiga nama yang menguat, tampaknya Khofifah lebih konsentrasi untuk kembali menjadi Gubernur Jawa Timur pada pilkada 2024. Sementara Aher secara politis sudah turun elektabilitasnya setelah tidak lagi menjadi Gubernur Jawa Barat. Tidak ada pilihan lain yang masuk akal secara politik, yakni AHY.

Lagi pula, AHY memiliki nilai tambah untuk bisa menaikkan elektabilitas Anies Baswedan jika dia menjadi bakal cawapresnya untuk berkontestasi dalam pilpres 2024. Sejumlah lembaga survey menempatkan bakal cawapres yang beredar, seperti: Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Erick Thohir, AHY, dan Khofifah Indar Parawansa.

Dari lima nama itu, hanya AHY yang masuk dalam partai politik Koalisi Perubahan. Ridwan Kamil kini kader Partai Golkar, Sandiaga Uno segera masuk ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Erick Thohir disorongkan Partai Amanat Nasional (PAN) untuk koalisi yang berbeda. Sedangkan Khofifah tampaknya lebih ingin menjadi Gubernur Jawa Timur periode kedua.

Khofifah, sangat membutuhkan Demokrat dan Nasdem untuk kembali masuk menjadi kandidat Gubernur Jawa Timur. Kerjasama Nasdem dan Demokrat, terbukti mampu mengalahkan dua partai besar di Jawa Timur, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) serta Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Jika dalam pemilihan gubernur Jawa Timur 2018, Nasdem dan Demokrat bekerjasama mampu mengalahkan calon dari PDIP, PKB, dan Gerindra, maka bukan tidak mungkin pada pilpres 2024 pun Nasdem dan Demokrat juga bisa unggul di Jawa Timur.

Keunggulan AHY

Setidaknya ada enam keunggulan AHY dibandingkan dengan kandidat bakal cawapres lainnya di Koalisi Perubahan. Pertama; elektabilitas AHY senantiasa masuk dalam urutan 3-4 besar bakal cawapres, hampir di semua lembaga survey.  Sehingga AHY akan mampu mendongkrak suara Koalisi Perubahan.

Kedua; AHY memiliki kekuatan politik, karena posisinya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Ketiga; AHY memiliki kekuatan logistik untuk menopang baiaya kampanye. Keempat; pemilih saat ini lebih dari 55 persen akan diisi generasi milenial. AHY masuk dalam bakal cawapres muda dibandingkan dengan nama-nama yang beredar di sejumlah lembaga survey.

Kelima; salah satu lumbung suara yang diperebutkan adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Anies akan kuat di DKI Jakarta dan Jawa Barat. AHY akan dapat membantu meraih suara di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ayahnya AHY, Jenderal (Hor) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai mantan Presiden dan lahir di Pacitan, Jawa Timur, memiliki pengaruh kuat di wilayah Mataraman.

Mataraman merupakan wilayah kebudayaan yang meliputi Provinsi Jawa Timur bagian barat-selatan, karena pernah dikuasai Kesultanan Mataram. Kebudayaan Mataraman Kulon,meliputi: NgawiMadiunMagetanPacitan, dan Ponorogo. Mataraman Wétan, meliputi: Kediri, Blitar, Nganjuk, Trenggalek, dan Tulungagung. Mataraman Pesisir, meliputi: Bojonegoro, Tuban, dan bagian barat Lamongan di Jawa Timur.    

Keenam; kakeknya AHY, yakni almarhum Jenderal (Hor) Sarwo Edhie Wibowo, kelahiran Purworejo, Jawa Tengah. Sarwo Edhie dikenal sebagai tokoh anti komunis. Sehingga orang Jawa yang anti komunis kemungkinan akan bersimpati terhadap cucu penumpas komunis di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.

Dari enam keungggulan yang dimiliki AHY, maka pantas ia bisa diumumkan menjadi bakal cawapres Koalisi Perubahan untuk mendampingi Anies Baswedan. Bekas Komandan Batalyon Infanteri Mekanis 203 Kodam Jaya itu juga memiliki rekam jejak pendidikan yang memadai. Saat ini, AHY merupakan kandidat doktor. Sejak SMA hingga berkarier di militer, ia kerap menjadi lulusan terbaik, termasuk saat kuliah di Amerika Serikat.

AHY ini kandidat cawapres yang seksi, sehingga Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang merupakan anak dari Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri ingin menemuinya. Ini pertemuan yang sangat politis mengingat hubungan antara Megawati dan SBY hingga saat ini terasa dingin.


/sgo

05 June 2023

Petugas Partai Bertentangan dengan Konstitusi

 

Photo: Sachin Bharti (pexels.com)

Pernyataan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Sukarnoputri soal istilah petugas partai bagi kader yang menjadi Presiden/Wakil Presiden, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, tidak sesuai dengan konstitusi UUD 1945.

Mereka yang mendapatkan mandat dari rakyat untuk menjadi Presiden/Wakil Presiden, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, berdasarkan konstitusi maka bakti dan tanggungjawabnya kepada Nusa dan Bangsa. Tanggungjawabnya bukan lagi kepada partai politik yang mengusungnya.

Sebelumnya Ketua Umum PDIP Megawati mengingatkan kepada bakal calon presiden dari PDIP Ganjar Pranowo.  “Awas kalau kamu (Ganjar Pranowo) tidak ngomong (sebagai) kader partai, petugas partai. Sadar juga untung beliau (Ganjar) nurut,” kata Mega di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Jumat (2/6).  

Konstitusi negara mengamanatkan, Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 menetapkan, Presiden dan Wakil Presiden sebelum memangku jabatannya bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan MPR/DPR.  

Sumpah Presiden dan Wakil Presiden: “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.

Ada pun untuk kepala daerah, Pasal 110 ayat (2) UU 32/2004 berbunyi sebagai berikut: “Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-Undang dan Peraturannya serta berbakti kepada masyarakat, Nusa dan Bangsa”.

Dua bunyi sumpah atau janji, baik Presiden/Wakil Presiden maupun Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, tegas menyatakan memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.

Bukan hanya itu, dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, berdasarkan UUD 1945, Undang-Undang atau turunannya, semua pejabat publik sebelum memangku jabatannya harus mengucapkan sumpah, karena turut mengambil bagian dalam kekuasaan negara dan tanggungjawab negara.

Jadi semua pejabat negara walau pun berasal dari partai politik, juga disumpah dan bertanggungjawab kepada negara. Bukan kepada partai politik, dan bukan pula sebagai petugas partai.

Lagi pula, presiden dan wakil presiden tidak dipilih oleh lembaga partai politik, melainkan oleh rakyat yang memiliki kewenangan sebagai pemilih dalam pemilihan presiden/wakil presiden. Sehingga sumber kekuasaan presiden/wakil presiden berasal dari rakyat yang memilih, bukan dari partai politik. Memang betul partai politik maupun kumpulan partai politik yang mengusung calon presiden dan mendaftarkannya melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Kesimpulannya, presiden dan wakil presiden jelas bukanlah petugas partai. Presiden merupakan pemegang mandat tertinggi yang diberikan rakyat untuk memimpin negeri.

Oleh karena itu, ketika ada ketua umum partai politik yang merasa gede rasa dengan menempatkan posisinya lebih tinggi daripada pemegang mandat rakyat, maka yang bersangkutan mengingkari prinsip demokrasi.

Jadi presiden itu petugas rakyat untuk kepentingan bangsa dan negara. Bukan petugas partai seperti yang dianut negara komunis. Di negara komunis memang hanya ada satu partai, yakni partai komunis. Presiden negara tersebut, seperti Republik Rakyat Tiongkok merupakan petugas partai komunis. Indonesia bukan negara komunis!

/sgo

Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...