Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dan Letnan Jenderal Agus Subiyanto akan menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Pelantikan diperkirakan akan berlangsung dalam beberapa hari ini.
“Dinamika politik yang sangat tinggi jelang pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) 2024, memaksa Presiden Jokowi untuk melakukan pergantian elite militer. Termasuk mengganti Jenderal Polisi (Purnawirawan) Budi Gunawan yang sudah menjadi Kepala BIN selama tujuh tahun,” kata Selamat Ginting di Cisarua, Bogor, Selasa (24/10).
Menurut Selamat Ginting, Presiden Jokowi tidak bisa memperpanjang usia pensiun Panglima TNI Laksamana Yudo Margono dan KSAD Jenderal Dudung Abdurachman, karena masih terbentur Undang Undang TNI yang mensyaratkan usia pensiun maksimal perwira 58 tahun. Kedua perwira tinggi bintang empat itu akan sama-sama pensiun terhitung pada 1 Desember 2023 ini.
Untuk itu, lanjut Ginting, Presiden Jokowi akan terlebih dahulu melakukan pergantian KSAD dari Jenderal Dudung Adurachman kepada penggantinya dalam beberapa hari ini. Ginting memprediksi Wakil KSAD Letnan Jenderal Agus Subiyanto yang akan diberikan amanat untuk menjadi KSAD menggantikan Dudung Abdurachman.
“Saya prediksi Letjen Agus Subiyanto akan menjadi KSAD pengganti Jenderal Dudung Abdurachman. Usia Letjen Agus masih 56 tahun, sehingga usia pensiunnya jika tidak ada perpanjangan akan berakhir pada September 2025,” ujar Ginting, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas.
PELUANG DUDUNG ABDURACHMAN MENJADI KEPALA BIN DAN AGUS SUBIYANTO MENJADI KSAD
Dikemukakan, memang yang sangat politis dalam pergantian kali ini akan menyasar posisi Kepala BIN. Dalam era Reformasi, Budi Gunawan merupakan yang terlama menjadi Kepala BIN, sejak September 2016. Budi Gunawan dikenal sangat dekat dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri.
“Konflik politik yang tidak bisa dihindari antara Presiden Jokowi dengan Ketua Umum PDIP Megawati inilah yang memaksa Jokowi akan mengganti Kepala BIN dalam beberapa hari ini,” ujar Ginting yang lama menjadi wartawan bidang politik dan militer.
Dudung, kata Ginting, menjadi pilihan bagi Presiden Jokowi, karena membutuhkan dukungan dari elite militer yang kuat. Sebagai jenderal bintang empat, Dudung diharapkan dapat membuat analisis intelijen terakhir dalam pertarungan politik Pemilu 2024.
Sedangkan pilihan kepada Agus Subiyanto menjadi KSAD, lanjut Ginting, karena Agus memiliki relasi kuasa dengan Presiden Jokowi sejak lama. Antara lain pernah menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden, serta Komandan Kodim Surakarta (Solo).
“Wajar saja jika Letjen Agus Subiyanto yang akan menjadi KSAD. Posisinya sebagai Wakil KSAD seperti magang sebelum menjadi KSAD. Bahkan bukan tidak mungkin, dalam waktu singkat Agus Subiyanto akan menjadi Panglima TNI menggantikan Laksamana Yudo Margono pada pekan ketiga November 2023, sebelum Yudo pensiun,” ungkap Ginting mengakhiri prediksinya.
Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting mengungkapkan TNI terkesan takut klaim Tiongkok dengan memindahkan tempat latihan kemanusiaan bagi militer ASEAN dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara ke Laut Natuna Selatan.
“Mengapa harus dipindahkan dan takut dengan klaim sejarah tradisional Tiongkok? Indonesia negara berdaulat dan punya batas negara berdasarkan hukum internasional. TNI salah satu tugasnya menjaga kedaulatan negara, bukan mengikuti klaim tradisional negara asing” tegas Selamat Ginting di Kampus Unas, Jakarta, Kamis (21/9).
Menurut Selamat Ginting, dengan memindahkan tempat latihan sama saja secara implisit Indonesia mengakui batas yang diklaim Tiongkok. Apalagi ini bukan latihan perang, namun latihan kemanusiaan bagi militer negara-negara ASEAN.
“Apakah pemerintah Indonesia ragu dengan kedaulatan kita sendiri? Padahal dunia internasional dan hukum internasional mengakui ZEE itu wilayah Indonesia,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas.
Dikemukakan, ZEE merupakan bagian dari wilayah yurisdiksi Indonesia, karena itu Indonesia memiliki hak berdaulat atas wilayah tersebut. Ketentuan mengenai hak berdaulat dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
Selain itu, lanjut Ginting, Pasal 56 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang telah diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB tentang Hukum Laut) menyebutkan yurisdiksi di wilayah ZEE. Jelas ZEE itu wilayah Indonesia, bukan wilayah Tiongkok.
Ginting menjelaskan, Tiongkok mengklaim perairan Natuna yang menjadi teritorial Indonesia atas dasar nine dash line (sembilan garis putus-putus). Garis yang dibuat sepihak oleh Tiongkok tanpa melalui konvensi hukum laut di bawah PBB atau UNCLOS.
“Tiongkok itu memang selalu mencari gara-gara di dunia internasional. Padahal Tiongkok juga anggota UNCLOS. Tiongkok tidak mengakui ZEE di laut China Selatan. Indonesia tegas tidak mengakui konsep sembilan garis putus-putus yang dinyatakan Tiongkok. Jadi mengapa sekarang pemerintah Indonesia terkesan takut? Mengapa Mabes TNI pindahkan tempat Latihan?” tanya Ginting.
Ginting mempertanyakan prinsip TNI yang menyatakan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) harga mati. Dalam kasus pemindahan tempat latihan kemanusiaan, justru terkesan TNI takut dalam menjaga kedaulatan NKRI.
“Negara lain nantinya tidak takut lagi terhadap TNI. Marwah kedaulatan Indonesia berada di tangan Panglima TNI. Jika Panglima TNI penakut, sebaiknya mundur saja!” tegas Ginting.
Klaim Sejarah Tiongkok
Seperti diketahui berdasarkan pemberitaan The Straitstimes, pemindahan latihan kemanusiaan non-perang negara-negara ASEAN disebut berkaitan dengan klaim Tiongkok. Bagi Tiongkok, perairan itu bagian dari Laut China Selatan. Militer Tiongkok sesekali masih mengirimkan patroli ke sana untuk menegaskan klaim bersejarahnya atas wilayah tersebut.
"Setelah pembicaraan antara para pemimpin militer ASEAN pada Juni 2023, latihan tersebut dipindahkan ke Laut Natuna Selatan, untuk menghindari perairan yang disengketakan," dikutip dari Straitstimes, Rabu (20/9).
Di sejumlah media massa, Mabes TNI merespons pemberitaan yang menyebut lokasi latihan ASEAN Solidarity Exercise Natuna 2023 (ASEX-01 N) dipindahkan karena klaim Tiongkok. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Laksamana Muda Julius Widjojono membenarkan soal lokasi latihan yang dipindah.
Sebelumnya, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono resmi membuka latihan ASEAN Solidarity Exercise Natuna 2023 (ASEX-01 N) di Dermaga Batu Ampar, Batam, Kepulauan Riau, Selasa, (19/9).
Yudo menyatakan kegiatan itu merupakan latihan non-tempur pertama yang melibatkan seluruh angkatan bersenjata dari negara-negara anggota ASEAN.
"TNI sebagai penggagas dari latihan ini ingin menekankan persatuan antar-negara anggota akan terus dan selalu terpelihara. ASEAN harus selalu merawat persatuan dan hubungan yang harmonis antar sesama di tengah keragaman," kata Yudo dalam keterangan tertulis.
Yudo menuturkan latihan mencakup pengamanan maritim, aksi pencarian, penyelamatan, kemanusiaan, layanan kesehatan, hingga deck landing qualification dan replenishment at sea yang melibatkan seluruh Angkatan Darat, Angkat Laut, dan Angkatan Udara negara ASEAN.
"Kegiatan ini akan memperkuat dan mempertajam kemampuan kita dalam memelihara perdamaian, kesejahteraan, dan keamanan di kawasan," kata Yudo.
10 negara ASEAN yang terlibat dalam ASEX-01 Natuna 2023 yaitu Indonesia sebagai penggagas dan tuan rumah, kemudian Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Kamboja, Thailand, Laos, Myanmar, Vietnam, dan Filipina, sementara Timor Leste bertindak sebagai observer (pengamat).
Photo: Bersama Panglima Kostrad Letjen Edy Rahmayadi saat HUT TNI 2016 (Dok Pribadi)
Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, mengkritik kebijakan pemerintah dalam bidang pertahanan keamanan negara di Papua, karena berpotensi keliru jika mengedepankan Korps Brigade Mobil (Brimob) Polri.
“Tugas Brimob Polri menjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri dengan tugas khususnya menangani kejahatan berintensitas tinggi. Padahal jelas yang dihadapi di Papua adalah gerakan separatis serta pemberontakan bersenjata. Bukan sekadar kriminal dan kejahatan lagi,” ungkap Selamat Ginting dalam konferensi pers kaleidoskop pertahanan keamanan negara (hankamneg) 2022 di Sekolah Pascasarjana Unas, Jakarta, Jumat (30/12/2022).
Menurutnya, mengatasi gerakan separatis bersenjata, pemberontakan bersenjata, aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan negara, merupakan tugas pokok militer dan bukan tugas pokoknya polisi. Konstitusi menyebut itu tugas TNI sesuai UU No.34 tahun 2004 tentang TNI. Sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi.
Dalam operasi di Pulau Papua, lanjut Selamat Ginting, berulang kali digaungkan polisi berada di depan, dan dibantu TNI dari belakang. Faktanya, lebih banyak prajurit TNI yang gugur daripada prajurit Polri. Artinya prajurit TNI menjadi sasaran utama untuk diperangi daripada prajurit Polri.
Ibarat Koin
Selamat Ginting juga meminta TNI secepatnya melakukan evaluasi terhadap program penanganan di Papua selama satu tahun kepemimpinan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Dalam programnya Jenderal Andika Perkasa mengedepankan pendekatan kesejahteraan. Namun jumlah prajurit TNI yang gugur selama kepemimpinan Andika Perkasa, tidak mengalami penurunan berarti dibandingkan masa kepemimpinan Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI.
“Pendekatan kesejahteraan tidak mungkin bisa berjalan dengan baik, jika tidak disertai dengan pendekatan keamanan. Itu ibarat koin mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Bagaimana masyarakat bisa bekerja mencari nafkah jika keamanannya tidak terjamin? Bagaimana psikologi masyarakat jika mengetahui prajurit TNI dan Polri justru menjadi killing field,” ungkap kandidat doktor ilmu politik itu, mempertanyakan.
Dikemukakan, OPM pastilah melakukan gerilya melawan TNI, khususnya di wilayah-wilayah pegunungan yang mereka kuasai. Mereka tidak akan muncul saat situasinya tidak aman. Namun akan melakukan serangan jika TNI maupun Polri sedang lengah dan lemah. Gerilya harus dihadapi dengan anti-gerilya.
“Perang gerilya itu antara lain berebut pengaruh dengan penduduk setempat. Di sini pembinaan teritorial (binter) harus kuat. Saya menilai binter TNI di Papua khususnya di wilayah pegunungan selama kurun waktu tiga tahun (2019-2022) belakangan ini, belum berhasil mempengaruhi rakyat untuk menyatu dengan TNI. Jadi TNI juga mesti introspeksi diri untuk membuat program yang lebih menyentuh rakyat Papua,” ujarnya.
Amanat Konstitusi
Selamat Ginting menyambut baik rencana Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang segera akan mengunjungi Pulau Papua pada awal Januari 2023, bersama tiga Kepala Ataf Angkatan dan Kepala Polri. Ia meminta kunjungan kerja itu bukan sekadar kunjungan seremonial belaka. Melainkan harus segera melakukan evaluasi untuk mencari solusi penyelesaian kasus di Pulau Papua yang kini terdiri dari enam provinsi.
“Saatnya TNI berada di depan untuk penanganan masalah hankam di Papua, bukan diserahkan kepada Polri yang bukan tugas pokoknya menghadapi separatis, teroris, dan pemberontakan bersenjata di Papua,” ujarnya.
“Menegakkan kedaulatan negara di Papua dan juga menjaga keutuhan wilayah NKRI di Papua, serta melindungi segenap warga negara di Papua, itulah amanat konstitusi yang diberikan kepada TNI,” pungkas Selamat Ginting.
Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, menilai negara cenderung gagal dalam melindungi prajurit TNI dan Polri di Papua, karena tentara dan polisi yang gugur sejak 2019 hingga akhir tahun 2022 jumlahnya lebih dari 55 orang. Papua menjadi killing field (medan pembunuhan) bagi prajurit TNI dan Polri.
“Personel militer dan polisi saja menjadi korban tewas yang dilakukan front bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM), lalu bagaimana TNI dan Polri dapat melindungi warga sipil di Papua?” tegas Selamat Ginting di Sekolah Pascasarjana Unas, Jakarta, Jumat (30/12/2022). Ia mengungkapkan hal tersebut dalam konferensi pers kaleidoskop bidang pertahanan keamanan negara (hankamneg) selama tahun 2022.
Selamat Ginting mengungkapkan, berdasarkan laporan Kepala Polda Papua Irjen Polisi Mathius D Fakhiri kepada pers Rabu (28/12/2022) lalu, selama 2022 tercatat 13 anggota TNI-Polri gugur akibat baku tembak dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Rinciannya 10 anggota TNI dan tiga anggota Polri gugur. Sementara warga sipil yang tewas sekitar 35 orang dan lima orang KKB.
“Padahal dalam laporan ke DPR sejak 2019 hingga Januari 2022, tercatat ada 41 prajurit TNI yang gugur. Jika ditambah dengan 10 prajurit TNI yang gugur selama 2022, maka lebih dari 50 prajurit TNI yang gugur. Saya menyayangkan negara seperti tidak hadir dalam kasus ini,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas.
Gerakan Separatis
Selamat Ginting tidak setuju pemerintah masih menggunakan analogi kelompok kriminal bersenjata di Pulau Papua. Alasannya, karena yang dilakukan kelompok itu bukan sekadar kriminal saja, melainkan memiliki tujuan melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Ini gerakan separatis yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Menggunakan berbagai front, baik kriminal, bersenjata, ekonomi, psikologi perang, teror, media sosial, diplomasi, juga politik luar negeri,” ungkap Selamat Ginting yang selama 30 tahun menjadi wartawan bidang politik pertahanan keamanan negara.
Menurut Ketua bidang Politik Pusat Studi Literasi Komunikasi Politik (Pustera Kompol) Unas itu, aneh jika analogi KKB masih juga digunakan pemerintah hingga saat ini, padahal sudah banyak prajuit TNI dan Polri yang gugur.
Ia menjelaskan, gerakan separatis tersebut secara terang-terangan menyebut dirinya Organisasi Papua Merdeka atau OPM sejak 1965. Front politik dari gerakan ini secara eksplisit menginginkan referendum untuk memilih merdeka dan lepas dari NKRI. Mereka sudah memiliki bendera, lagu kebangsaan, lambang negara, pemerintahan, dan militer.
“Mengapa pemerintah masih bersikukuh dan berkutat pada analogi yang kurang tepat? BIN (Badan Intelijen Negara) saja sudah membuat nama baru sejak dua tahun lalu dengan istilah kelompok separatis teroris (KST). Mestinya perdebatan diakhiri, OPM jelas gerakan separatis yang harus ditumpas dengan kekuatan militer,” ujar Selamat Ginting yang beberapa kali meliput operasi militer di Timor Timur, Papua, Maluku, serta Aceh.
Photo: Ambalat, April 2013 Pos TNI AL Pulau Sebatik, Kab. Nunukan
Kalimantan Utara
Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting memprediksi,
Laksamana Muhammad Ali akan menjadi Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) hingga masa peralihan kepemimpinan nasional 2024.
"Dia yang paling memungkinkan menjadi KSAL dibandingkan sejumlah laksamana madya lainnya, sehingga diberi mandat menjadi KSAL. Sejak sebulan lalu saya sudah prediksi Muhammad Ali yang akan menjadi KSAL," ujar Selamat Ginting di Kampus Unas, Jakarta, Rabu (28/12/2022).
Presiden Joko Widodo, lanjut Selamat Ginting, membutuhkan pimpinan TNI yang dapat mengawal pergantian kepemimpinan nasional pada Oktober 2024. Stabilitas nasional antara lain menjadi tugas pimpinan TNI, baik itu Panglima TNI maupun tiga kepala staf angkatan, serta Kepala Polri.
"Tidak mungkin Presiden akan mengganti pimpinan TNI dalam kurun waktu kurang dari setengah tahun di tengah situasi politik yang cenderung akan panas pada April hingga Oktober 2024," ujar Ketua bidang Politik, Pusat Studi Literasi Komunikasi Politik Unas.
Dikemukakan, dibandingkan sejumlah laksamana madya yang lain, Muhammad Ali punya masa dinas normal hingga 2,5 tahun lagi. Sehingga bisa diberikan tugas untuk mengawal matra laut.
"Penunjukan Muhammad Ali sebagai KSAL, sekaligus menunjukkan Angkatan Laut berhasil melakukan kaderisasi secara normal dan berkesinambungan. Ali dua angkatan di bawah Laksamana Yudo Margono," ungkap dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas.
Penunjukan Laksamana Ali, kata Selamat Ginting, tidak akan menimbulkan gejolak di lingkungan Angkatan Laut. Ali lukusan Akademi Angkatan Laut (AAL) 1989, memenuhi syarat semuanya, antara lain berasal dari Korps Pelaut, pernah beberapa kali menjadi komandan kapal perang, menjadi panglima armada, dan asisten KSAL. Itulah beberapa persyaratan di matra laut yang dipenuhi Ali sebagai pimpinan Angkatan Laut di era terakhir kepemimpinan Presiden Jokowi.
Selamat Ginting membandingkan karier Ali yang hampir sama dengan Yudo Margono. Sebelum menjadi KSAL, Yudo juga menduduki posisi Panglima Kogabwilhan I, seperti yang diemban Muhammad Ali sebelum menjadi KSAL. Ali juga pernah menjadi Panglima Koarmada I menggantikan Yudo Margono (2018-2019). Kemudian Ali menjadi asisten perencanaan dan anggaran KSAL (2020-2021). Pernah menjadi Gubernur AAL (2018-2019), dan Koordinator Staf Ahli KSAL (2019).
Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting meminta agar pemerintah tidak sembarangan apalagi obral pangkat tituler kepada warga sipil. Harus dipikirkan masak-masak tokoh yang akan diberikan pangkat tituler, karena konsekuensi menjadi militer akan melekat pada diri penyandang pangkat tituler.
“Bukan orang sembarangan yang bisa diberikan pangkat tituler, karena orang itu harus punya jasa luar biasa dan mendapatkan tugas khusus yang melekat pada dirinya. Menjadi pertanyaan publik, apa jasa dan kontribusi Deddy Corbuzier kepada TNI?” kata Selamat Ginting menjawab pertanyaan sejumlah wartawan di Jakarta, Ahad (11/12/2022).
Ia menanggapi berita yang beredar setelah youtuber Deddi Cahyadi Sunjoyo alias Deddy Corbuzier diberikan pangkat perwira menengah Letnan Kolonel (Letkol) Tituler TNI Angkatan Darat oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, baru-baru ini. Hal itu diketahui dari akun Instagram Deddy Corbuzier yang menampilkan dirinya menggunakan pakaian dinas harian Angkatan Darat warna hijau dengan tanda pangkat Letkol, namun tidak ada tanda korpsnya. Deddy berfoto bersama Menhan Prabowo Subianto dan menerima keputusan menjadi Letkol Tituler.
Kebijakan kontroversial
Selamat Ginting mengkritik kebijakan kontroversial Kementerian Pertahanan dalam pemberian penghargaan pangkat Letkol Tituler kepada youtuber Deddy Corbuzier. Memang pada Oktober 2021 lalu Menteri Pertahanan Prabowo Subianto memberikan penghargaan kepada Deddy sebagai duta komponen cadangan (komcad). Hal itu masih bisa dipahami, karena Komcad berbeda dengan pangkat tituler. Seseorang yang diberi pangkat tituler dalam dirinya melekat aturan militer walau terbatas.
“Pangkat tertinggi Komcad itu hanya kapten. Mengapa Deddy diberikan pangkat Letkol Tituler? Mestinya cukup diberikan pangkat kehormatan Kapten Komcad saja. Pangkat komcad tidak bisa digunakan sehari-hari di tengah publik. Hanya bisa dipakai jika negara memanggil yang bersangkutan dalam mobilisasi umum untuk keadaan perang,” ujar Ginting yang selama tiga puluh tahun menjadi wartawan. Ia adalah wartawan spesialis politik pertahanan keamanan negara.
Untuk menjadi Letkol, lanjut Ginting, sesuai aturan saat ini memerlukan waktu sekitar 20 tahun bagi lulusan akademi TNI (Akmil, AAL, AAU) dan sekolah perwira prajurit karier (Sepa PK) TNI. Rinciannya dari Letnan Dua (Letda) menjadi Letnan Satu (Lettu) memerlukan waktu lima tahun. Kemudian dari Lettu ke Kapten juga memerlukan waktu lima tahun. Jika tidak melanjutkan pendidikan lanjutan perwira (Diklapa), maka pangkatnya akan terhenti di Kapten. Jika telah lulus Diklapa, maka bisa menyandang pangkat mayor. Selanjutnya jika mayor tidak melanjutkan ke Seskoad/Seskoal/Seskoau, maka sulit untuk bisa menyandang pangkat Letkol. Diab isa berakhir hingga pension dengan pangkat Mayor.
“Jadi pangkat Letkol itu dihormati di TNI. Itu pangkat kedua tertinggi di korps, satu tingkat di bawah kolonel. Letkol junior itu setara dengan komandan batalyon yang memiliki pasukan sebanyak 700 hingga 1.000 orang. Tidak sembarangan bisa menjadi Letkol. Bahkan banyak lulusan Akmil atau Sepa PK TNI pensiun di pangkat Letkol. Apakah pantas Deddy diberikan pangkat Letkol Tituler?,” ungkap Ginting.
Aturan Militer
Dia mengungkapkan, sebagai akademisi pernah diundang oleh Kementerian Pertahanan untuk membahas tentang Komcad, dua tahun lalu. Untuk lulusan SMA sederajat, jika mengikuti pelatihan Komcad akan diberikan pangkat Sersan Dua (Serda) Komcad. Untuk lulusan D4 atau S1 akan diberikan pangkat Letnan Dua (Letda) Komcad. Lulusan S2 diberikan pangkat Letnan Satu (Lettu) Komcad, dan lulusan S3 (doctor) diberikan pangkat Kapten Komcad.
“Jadi pangkat tertinggi Komcad itu Kapten. Dia harus memiliki pendidikan doktor. Dengan catatan bukan doktor honoris causa (penghargaan). Jadi tidak sembarangan untuk meraih pangkat Kapten Komcad. Deddy Corbuzier bagaimana pendidikannya? Mengapa dia diberikan pangkat Letkol Tituler?” papar Ginting mengkritik kebijakan pemerintah.
Menurut Selamat Ginting, saat menerima penghargaan pangkat tituler, tampilan Deddy tidak selayaknya profil militer. Ia masih tampil dengan jenggot atau brewok di wajahnya. Padahal TNI melarang anggotanya berjenggot atau berewok, kecuali sedang melaksanakan tugas intelijen atau operasi militer di hutan yang tidak memungkinkan untuk mencukur berewok.
“Jangan-jangan Deddy tidak paham bahwa militer Indonesia melarang berjenggot atau berewok. Untuk selanjutnya dalam kehidupan sehari-hari sebagai penyandang pangkat tituler, akan berlaku aturan militer untuk Deddy. Apakah Deddy sanggup mencukup jenggot atau berewoknya? Itu baru hal kecil,” ujar Ginting.
Belum lagi, lanjutnya, Deddy juga mengenakan pakaian dinas harian dengan lengan bajunya yang terlalu kecil dan ketat. Sepertinya Deddy masih ingin menonjolkan otot lengannya, padahal itu tidak sesuai dengan cara berpakaian militer. Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa tangannya juga berotot, namun tetap menggunakan pakaian sesuai aturan dengan menutupi otot di balik lengan baju dinasnya.
Dilarang Bermedsos
Dengan menyandang pangkat Letkol Tituler, kata Ginting, maka berlaku Kitab Undang Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM) terhadap youtuber Deddy Corbuzier. Hukuman militer itu jauh lebih berat daripada hukum umum atau sipil. Tidak perlu alat bukti, cukup dengan keyakinan atasan yang berhak menghukum (ankum) bisa diproses dalam peradilan militer.
Menurut Selamat Ginting, TNI sangat ketat mengatur aktivitas personelnya dalam media sosial (medsos). Dilarang keras bagi prajurit serta istrinya aktif dalam bermedsos. Dalam beberapa kasus, misalnya, seorang Komandan Kodim di ibukota provinsi yang berpangkat kolonel, harus dicopot dari jabatannya dan masuk sel. Padahal Komandan Kodim itu tidak bermain medsos, yang komentar di medsos adalah istrinya.
“Nah, Deddy ini aktif di medsos, bahkan beberapa kali isinya kontroversial, seperti menampilkan tokoh LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender), menanyakan keperawanan atau membahas orang yang baru saja meninggal dunia. Semacam medsos yang berghibah. Sebagai penyandang pangkat militer tituler, apakah Deddy siap untuk menghentikan aktivitasnya di medsos? Atau berhenti untuk pecicilan dimedsos? Tentu tidak mudah bagi Deddy,” ungkap Ginting.
Ia berharap Deddy segera dengan cepat menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan aturan militer yang sangat ketat. Sebab masyarakat bisa melaporkan Deddy kepada polisi militer jika tindakannya tidak sesuai dengan aturan baku militer. Misalnya ikut berkampanye mendukung calon presiden, calon gubernur, bupati atau walikota. Termasuk mendukung salah satu partai politik.
“Sebagai militer tituler berlaku aturan militer, dilarang berpolitik praktis. Politik militer adalah politik negara. Deddy juga tidak boleh masuk dalam tim kampanye Prabowo sebagai bakal calon presiden, misalnya. Jika melanggar dia bisa dilaporkan kepada polisi militer,” ujar Ginting.
Menurut Ginting, Deddy juga otomatis akan kehilangan haknya dalam pemilihan umum (pemilu). Tidak bisa ikut pemilu, karena undang-undang melarang TNI dan Polri menggunakan haknya dalam pemilu
Foto: Liputan di Distrik Citak, Mitak Kab. Mappi, Papua 2013
Dalam delapan bulan terakhir, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua gencar melakukan aksi penyerangan di sejumlah wilayah secara masif. Mereka kerap menyatakan perang terhadap militer Indonesia. Eskalasi yang kian memuncak sampai membuat pemerintah Indonesia memberikan cap kelompok dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) sebagai teroris pada 29 April 2021 lalu.
Istilah KKB merupakan sebutan aparat terhadap kelompok militan OPM yang melakukan gerakan dan perlawanan separatis dengan membawa senjata. Terbaru pada Sabtu (20 November 2021 lalu. Seorang prajurit dari satuan Koramil persiapan Suru-Suru di Kabupaten Yahukimo, Papua, gugur setelah diserang KKB. Anggota TNI tersebut adalah Sertu Ari Baskoro. Satu anggota TNI yang terluka dalam penyerangan tersebut yakni, Kapten (Infanteri) Arviandi S.
Paling heboh pada akhir tahun 2018 lalu, menewaskan 31 jiwa Karyawan dan Pekerja PT. Istaka Karya yang sedang membangun Jembatan di Kabupaten Nduga. Termasuk gugurnya Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua Mayjen TNI (Anumerta), I Gusti Putu Danny Nugraha Karya di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Ahad (25 April 2021) lalu. Termasuk sejumlah peristiwa penyanderaan yang dilakukan KKB terhadap masyarakat, terutama masyarakat pendatang.
Sebelumnya pada pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2018 di Papua dan Papua Barat, rombongan petugas penyelenggara Pilkada ditembaki saat berada di pesawat yang akan terbang dari Bandara Keneam, Kabupaten Nduga dan saat berada di perahu motor. Namun, lagu-lagi, semua pelakunya disederhanakan sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata. Tuujuannya juga ‘di-politisasi’, hanya untuk mengganggu penyelenggaraan Pilkada.
Padahal sungguh naif, jika nyaris tidak ada yang memahami bahwa pelakunya adalah Kelompok Bersenjata Gerakan Separatisme Papua Merdeka. Tujuannya apalagi kalau bukan disintegrasi atau memisahkan diri dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Berarti mengancam keutuhan dan kedaulatan Negara. Bukan hanya kekuatannya yang semakin berkembang, tetapi juga akibat keterbelakangan dan homogenitas penduduk di kedua provinsi.
Jangan lupa, sesungguhnya mereka juga telah diistimewakan dengan mendapat APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) serta digelontorkan dana otsus (otonomi khusus) yang sangat besar. Termasuk menerima perlakuan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) yang sama dengan daerah lain. Juga adanya percepatan pembangunan infrastruktur. Terakhir pelaksanaan PON (Pekan Olahraga Nasional) dengan pembangunan stadion dan infrastruktur olahraga lainnya.
Simak video "SEPARATIS DI BUMI PAPUA DOMAIN MILITER"
Amanat Konstitusi
Aksi ofensif gerakan separatisme di Papua, selalu diakhiri dengan melarikan diri ke hutan maupun gunung. Ini merupakan taktik dan teknik perang gerilya, sehingga sulit dikejar oleh aparat keamanan. Belum lagi jika mereka mencairkan diri dalam masyarakat di kampung-kampung atau di daerah basis perlawanan mereka. Karena itulah merupakan suatu kesalahan fatal, jika mereka hanya dikategorikan sebagai kelompok kriminal bersenjata.
Sudah jelas sesungguhnya mereka adalah kelompok bersenjata dari gerakan separatis. Gerakan separatisme di seluruh dunia, tujuannya satu memisahkan diri dan merupakan ancaman konsepsional yang membahayakan keutuhan dan kedaulatan negara.
Kasus terakhir yang menewaskan prajurit Koramil, Sabtu (20/11/2021) lalu, semestinya dapat dijadikan sebagai momentum bagi Panglima TNI yang baru Jenderal Andika Perkasa dan Kepala Staf Angkatan Darat yang baru, Jenderal Dudung Abdurachman. Termasuk seluruh elemen bangsa dan orang asli Papua. Hal ini penting, agar kita semua memiliki satu kesamaan sikap dan semangat untuk memerangi gerakan separatism sampai ke akar-akarnya. Tidak boleh lagi ada pro-kontra atau bahkan berseberangan. Jangan sampai pula akan menimbulkan stigma sebagai pembela gerakan separatisme.
Kelompok Bersenjata Gerakan Separatisme Papua/Papua Barat, bukan hanya melakukan aksi ofensif berupa Gangguan Keamanan Bersenjata (GPK) saja. Melainkan juga membentuk kekuatan pasukan melalui pendidikan militer dan membangun daerah basis atau pangkal perlawanan. Seperti lazimnya gerakan separatism di dunia, umumnya terdiri beberapa kelompok atau front perjuangan.
Jadi, selain kelompok atau front bersenjata, masih ada front politik, baik di dalam maupun luar negeri. Tugasnya melakukan rekruitmen kader, pembentukan opini dan kegiatan diplomasi dengan mendirikan perwakilan di luar negeri. Ada pula front logistik melalui aksi kejahatan atau kriminal. Terakhir front psikologis bertugas melakukan aksi teror dan gerakan clandestein. Sehingga, ancaman gerakan separatisme di Bumi Papua tidak selalu bersifat militer saja. Melainkan juga bersifat non-militer, bahkan ancaman nir-militer.
Berdasarkan amanat konstitusi, pasal 30 ayat (3) UUD 1945, TNI terdiri dari TNI-AD, TNI-AL dan TNI-AU, sebagai alat negara bertugas untuk mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Sehingga semua hakekat ancaman yang membahayakan keutuhan dan kedaulatan negara adalah bidang tugas, wewenang dan tanggungjawab atau domain TNI.
Oleh karena itulah sebagai Pejuang Prajurit Saptamarga, tidak sepatutnya TNI lepas tangan dan menghianati amanat konstitusi. Artinya, TNI juga tidak boleh menyerahkan penanganan ancaman gerakan separatisme menjadi tugas, wewenang dan tanggungjawab (domain) Polri. Justru ini adalah jelas-jelas sebagai domain TNI.
Jangan sampai hanya karena kesalahannya di era Orde Baru, kemudian TNI menurut saja dengan irama gendang LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau pihak asing. Mereka gencar dan sistematik menuntut agar TNI mengurangi kekuatan pasukan di daerah-daerah. Sehingga hanya tinggal satuan organik Kodam di Papua maupun papua Barat saja.
Tujuan agar TNI mengurangi pasukan di Papua maupun Papua Barat, tentu saja supaya gerakan separatisme ini menjadi lebih leluasa, tanpa ada gangguan dalam melakukan gerakan bawah tanah (clandestein). Sehingga mereka bisa lebih bebas membangun kekuatan. TNI juga ditakut-takuti agar tidak melakukan operasi apapun, agar tidak melakukan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berat. Jadi ini jelas upaya untuk menjatuhkan moral TNI.
Di Papua maupun Papua Barat hanya mengandalkan pasukan Batalyon Infanteri (Yonif), Batalyon Zeni Tempur (Yonzipur) maupun Detasemen Zeni Tempur (Denzipur) saja. Di Papua hanya ada empat Yonif dan tiga Denzipur ditambah satu Detasemen kavaleri (Denkav). Mestinya tiga Denzipur ini ditingkatkan menjadi tiga Yonzipur. Sehingga bisa terbentuk Resimen Zipur. Untuk mendukung Brigade Infanteri di Papua. Sedangkan di Papua Barat, hanya ada tiga Yonif dan satu Yonzipur saja.
Jelas kekuatan ini kurang jika untuk menghadapi perang gerilya oleh Gerakan separatisme. Perlu penambahan pasukan-pasukan dari Kostrad maupun Raider Kodam untuk mengepung tentara separatis OPM (Organisasi Papua Merdeka). Sementara pasukan khusus memang bertugas secara rahasia masuk ke daerah musuh.
Strategi
Menghadapi ancaman gerakan separatisme menjadi tugas, wewenang dan tanggungjawab TNI, walau tidak selalu bersifat militer atau operasi tempur. Maka kebijakan dan strategi penaggulangannya, jangan membuat Papua dan papua Barat sebagai DOM (Daerah Operasi Militer). Jika dengan kebijakan DOM, maka tindakannya akan bersifat represif. Di sini TNI dapat terprovokasi melakukan tindakan di luar batas kepatutan sebagai pelanggaran HAM berat.
Oleh karena itu, dalam menghadapi aksi ofensif gerakan separatisme yang bersifat non-tempur, maka kebijakan dan strateginya dengan melakukan tindakan yang bersifat pencegahan (preventif), dan penangkalan (deterence). Misalnya dengan mendayagunakan seluruh personil dan peralatan Zeni, seperti buldozer, escafator, pailloder, dump-truk, penjernih air, alat pertukangan dll. Melalui kegiatan operasi Bhakti TNI untuk membantu pemerintah daerah yang telah menerima dana Otsus.
Dalam mempercepat jalannya roda pembangunan yang harus dilakukan TNI, di antaranya: Pertama; membangun infrastruktur kewilayahan seperti jalan dan jembatan dari kampung ke kampung serta membangun rumah maupun permukiman. Kedua; menyukseskan program pencetakan lahan pertanian atau perkebunan di sekitar kampung-kampung sambal membangun bendungan, dan saluran irigasi.
Ketiga; menggelar program TMMD (TNI Manunggal Masuk Desa) dan kegiatan sejenis untuk membatasi ruang gerak front bersenjata dalam melakukan manuver, bersembunyi dan membangun daerah basis perlawanan.
Keempat, membantu penambahan jumlah penduduk dan jumlah desa. Sehingga wilayah tersebut menjadi sentra pengembangan wilayah agro. Antara lain melalui program tranmigrasi, termasuk Transmigrasi Angkatan Darat (Transad), Transmigrasi Angkatan Laut (Transal), Transmigrasi Angkatan Udara (Transau) maupun program swa-sembada pangan dll. Hal ini penting agar hutan dan gunung tidak lagi dikuasai gerakan separatis. Kemudian terwujud pula peningkatan heterogenitas penduduk, untuk memperkokoh wawasan kebangsaan Indonesia.
Kelima; mendayagunakan pasukan Kostrad maupun Kodam yang sedang bertugas dalam operasi pengamanan perbatasan, melalui program pembangunan Desa-Saptamarga. Sekaligus berfungsi sebagai titik kuat dari pembangunan desa-desa yang mengelilinginya. Apalagi dalam kasus terakhir pada sabtu (20/11/2021) lalu diungkap bahwa senjata-senjata OPM diperoleh dari negara Papua Nugini. Sehingga wilayah perbatasan harus semakin diperkuat lagi dengan pasukan TNI.
Pelantikan KSAD. Pengambilan sumpah jabatan KSAD Andika Perkasa Foto: Republika.co.id/Wihdan
Dalam beberapa hari ini di sejumlah grup WA, beredar foto dan identitas calon Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa (56 tahun, 10 bulan). Foto serta identitasnya saat masih menjadi taruna dengan pangkat Sermatutar (Sersan Mayor Satu Taruna). Termasuk nama ayahandanya yakni FX Soenarto dengan pekerjaan ABRI. Alamat Jalan Kesatrian 1 Jatinegara, Jakarta Timur.
Jalan Kesatrian merupakan nama jalan di Kawasan Berland. Berland berasal dari dua kata yakni bear dan land. Bear artinya beruang, dan land artinya tanah. Penjajah Belanda memberi nama pasukan khususnya (tentaranya) di Indonesia dengan nama Bearland.
Pasukan khusus ini diasramakan di Matraman, Jatinegara. Saat itu nama kompleks untuk pasukan Belanda itu adalah Bearland. Karena masyarakat susah menyebut ejaan Bearland, maka hanya menyebut berland. Hingga kini masyarakat menyebutnya Berland.
Begitu Indonesia merdeka, asrama khusus tentara Belanda ini diambil alih oleh TNI. Asrama Belanda ini ditempati pasukan Zeni TNI Angkatan Darat. Sampai saat ini, masih ada rumah-rumah panjang dan besar di Berland. Tentu saja dulunya ditempati TNI.
Simak video "JOKOWI PILIH PANGLIMA TNI NON MUSLIM JUGA?"
Taruna Zeni
Dari data pada buku Akademi Militer tersebut, jelas bahwa ayahanda Andika Perkasa merupakan anggota TNI. Memang tidak disebutkan identitas lengkap mengenai ayahandanya. Dari penelusuran penulis, ayahanda Andika Perkasa merupakan perwira lulusan Akademi Militer (Akmil) 1957 di Bandung. Dahulu masih disebut Akademi Zeni Angkatan Darat (Akziad) lulusan angkatan kedua.
Akziad mengisi kekosongan Akmil Yogyakarta yang hanya meluluskan dua angkatan. Kemudian ditutup pada 1950. Angkatan ketiga Akmil Yogyakarta, kemudian dikirim ke Akmil Breda, Belanda dan lulus tahun 1954-1955.
Jadi dalam sejarah militer Indonesia, lulusan Akziad pun dimasukkan ke dalam rumpun lulusan Akmil khusus Korps Zeni. Saat itu tidak banyak taruna yang bisa diterima di Akziad pada 1953. Hanya 35 orang dari seluruh Indonesia yang memenuhi syarat untuk menjadi taruna, termasuk FX Soenarto.
Salah satu persyaratannya, selain fisiknya standar taruna, juga harus memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi atau dikenal dalam bahasa Inggris: intelligence quotient (IQ). Fisik Korps Infanteri, otak Korps Zeni.
Karena itu pula pimpinan Angkatan Darat sering menugaskan mereka dalam posisi sebagai prajurit Infanteri, baik saat menghadapi DI/TII di Jawa Barat, PRRI/Permesta di Sumatra Barat dan Sumatra Utara. Terutama saat menjadi taruna dalam praktik pertempuran.
Bahkan dari 35 taruna yang diterima pada 1953 tersebut, hanya 17 orang yang berhasil lulus pada 1957 alias empat tahun pendidikan, termasuk Kolonel (Zeni) FX Soenarto. Sisanya 18 orang bersama dua orang lainnya yang seharusnya lulus tahun 1956, harus mengulang dan menjadi lulusan 1958.
Sedangkan lulusan 1959, antara lain Jenderal Try Sutrisno, yang berhasil menjadi KSAD, Panglima ABRI, dan puncaknya Wakil Presiden. Sedangkan lulusan 1960, antara lain Letjen Sudibyo, terakhir menjadi Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negaara (Bakin), kini disebut Bada Intelijen Negara (BIN). Lulusan 1961, antara lain Kapten (Anumerta) Pierre A Tendean. Lulusan 1962, antara lain Letjen Arie Sudewo, mantan Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA).
Jadi, ayahanda dari Andika Perkasa merupakan abang kelas dari Try Sutrisno. Karena itu tidak perlu heran jika Andika Perkasa memanggil mantan Wakil Presiden Try Sutrisno dengan sebutan Oom, Bahasa Belanda yang artinya saudara atau adik dari ayah.
Memang sangat berat untuk bisa menjadi taruna Akziad. Misalnya yang diterima pada 1952 hanya 29 taruna. Saat itu disebut kadet SPGIAD (Sekolah Perwira Genie Angkatan Darat (SPGIAD). Dari 29 taruna, hanya 12 yang berhasil lulus pada 1956. Sisanya 15 kadet keluar sebelum tamat. Kemudian dua orang mengundurkan diri sebelum menjalankan pendidikan.
Perwira Hebat dan Angka 7
Kolonel FX Soenarto ayahanda Andika Perkasa merupakan perwira hebat yang mampu lulus tepat waktu, bersama 16 taruna lainnya. Pendidikan Akziad menghasilkan perwira berkualifikasi insinyur (sarjana teknik) militer, dengan dosen-dosen teknik berasal dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Sehingga lulusan akademi ini kualitas ilmu tekniknya setara dengan lulusan insinyur teknik sipil dari ITB.
Maka, tak usah heran. Darah militer serta teknik sipil mengalir dalam diri Andika Perkasa. Andika Perkasa pun mengikuti jejak ayahnya melanjutkan pendidikan di Akmil Magelang dan lulus tahun 1987. Seperti tertulis di atas, ayahnya lulusan Akmil 1957 dari Korps Zeni.
Sedangkan ayah mertua Andika Perkasa, yakni Jenderal (Purn) Hendropriyono, lulusan Akmil 1967 dari Korps Infanteri. Hendro dari pasukan komando jabatan terakhirnya adalah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) semasa Presiden Megawati Soekarnoputri.
Angka tujuh (7) menjadi spesial bagi Andika. Baik dirinya, ayah mertua serta ayah kandungnya juga sama-sama lulusan Akmil dengan angka dibelakangnya sama-sama tujuh (7). Andika Perkasa lahir di Bandung 21 Desember 1964 merupakan anak keempat dari pasangan FX Soenarto dengan Udiati.
Ayahnya berasal dari Magelang, Jawa Tengah. Sedangkan Ibundanya, Udiati berasal dari Blitar, Jawa Timur. Ayahnya wafat pada 1997 dan ibunya wafat pada 2007. Jadi angka 7 (tujuh) juga punya kenangan menyedihkan bagi Andika Perkasa. Ia kerap menitikkan air mata sambil berdoa dengan tangan terbuka bagi kedua orangtuanya saat berziarah di Taman Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Jakarta Timur.
Kendati berasal dari pasukan komando, putra keempat dari delapan bersaudara itu, dikenal humanis. Dalam beberapa diskusi dengan jenderal bintang empat itu, penulis menyimpulkan ia seorang intelektual yang bisa menerima perbedaan pendapat. Mau mendengarkan pendapat yang berbeda dengan dirinya.
Salah satu pesan yang sering diingatkannya kepada para prajuritnya adalah sayangi keluarga dan sempatkan waktu untuk mengurus keluarga.
Kolonel Bersahaja
Ayahnya dikenal sebagai kolonel yang bersahaja. Tidak memiliki mobil pribadi, kecuali mobil dinas saat masih aktif menjadi perwira TNI. Kesederhanaan keluarganya menerpa Andika Perkasa menjadi remaja mandiri hingga memilih melanjutkan cita-cita ayahnya menjadi serdadu.
Andika menikah secara Islam dengan anak pertama dari Hendropriyono, yakni Diah Erwiany (Hetty). Pasangan tersebut dikarunia seorang anak bernama Alexander Akbar Wiratama Perkasa Hendropriyono. Lebih dikenal sebagai dokter Alex Perkasa. Foto Andika Perkasa menggunakan pakaian koko menyambut kelahiran cucunya, beredar di sejumlah media.
Cucu pertama KSAD Andika Perkasa dan istrinya, Diah Erwiany (Hetty Hendropriyono) diberi nama Arthur Ibrahim Perkasa-Hendropriyono. Sang cucu merupakan buah pernikahan dari putra Andika Perkasa, Alexander Akbar Wiratama Perkasa-Hendropriyono dengan Alvina. Alvina merupakan putri dari mantan Inspektur Jenderal Mabes TNI, yakni Letjen TNI (Purn) Muhammad Setyo Sularso, lulusan Akmil 1982 dari Korps Infanteri.
Arthur mengingatkan pada seorang jenderal besar Korps Zeni Amerika Serikat, panglima perang yang terkenal di Asia Pasifik. Pernah memiliki markas di Papua serta Morotai, Maluku. Dia adalah Jenderal Besar Douglas McArthur.
Gultor jadi Panglima
Selama menjadi KSAD, Andika banyak melakukan pembangunan Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad). Ia pun memilih Komandan Detasemen Mabesad berasal dari Korps Zeni yang memahami pembangunan atau teknik konstruksi.
Namun Andika bukan berasal dari Korps Zeni. Hasil psikotesnya ia menjadi perwira Korps Infanteri. Bahkan Andika menjadi pasukan komando dengan spesialisasi antiteror. Ia mengawali kariernya sebagai perwira pertama Infanteri korps baret merah (Kopassus). Dimulai di Grup 2 /Para Komando dan Satuan-81 /Penanggulangan Teror (Gultor) Kopassus selama 12 tahun.
Setelah itu ditugaskan di Departemen Pertahanan dan Keamanan dan Mabesad. Kembali bertugas lagi di Kopassus sebagai Komandan Batalyon 32/Apta Sandhi Prayuda Utama, Grup 3/Sandhi Yudha.
Kepintaran yang diturunkan Ayahnya dibuktikan dengan mengenyam pendidikan tinggi Strata-1 (Sarjana Ekonomi) di dalam negeri dan meraih tiga gelar akademik Strata-2 (M.A., M.Sc., M.Phil) serta satu gelar akademik Strata-3 (Ph.D/doktor) dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat.
Sempat terseok-seok pada saat berpangkat Letnan Kolonel selama sembilan tahun. Padahal Andika menjadi lulusan terbaik Pendidikan Sekolah Staf dan Komandan Angkatan Darat (Seskoad) 1999-2000.
Akhirnya Andika menjadi Kolonel pada 2010 dengan jabatan sebagai sekretaris pribadi Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letjen Johanes Suryo Prabowo, lulusan terbaik Akmil 1976 dari Korps Zeni. Kemudian Andika menjadi Komandan Resimen Induk Infanteri Kodam Jaya pada 2011. Setelah itu promosi menjadi Komandan Resor Militer (Danrem) 023/Kawal Samudera, Kodam I/Bukit Barisan (2012).
Pada saat Jenderal Budiman (lulusan terbaik Akmil 1978 dari Korps Zeni) menjadi KSAD, Andika mendapatkan promosi sebagai Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat. Di sinilah ia mendapatkan jabatan jenderal bintang satu (November 2013).
Dalam kurun waktu satu tahun kurang satu bulan, ia pun mendapatkan promosi menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres) mendampingi Presiden Jokowi yang baru dilantik sebagai presiden hasil pemilu 2014. Disinilah terjadi relasi kuasa antara Presiden Jokowi dengan Jenderal Andika Perkasa.
Dua tahun kemudian, Andika Perkasa dipromosikan menjadi Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) XII/Tanjungpura (2016). Selanjutnya promosi menjadi Letjen saat menjadi Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat (Dankodiklatad) (2018).
Bintangnya semakin terang ketika ia menduduki posisi Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) (2018). Sampai akhirnya menjadi orang nomor satu di Mabesad, sebagai KSAD.
Terakhir, setelah selama 2,5 tahun menjadi KSAD, sampai juga Jenderal Andika Perkasa menjadi puncuk pimpinan TNI. Tidak sia-sia ayah kandung almarhum Kolonel Soenarto dan ayah mertua Jenderal Hendropriyono mendidik dan mengawal generasi penerusnya hingga berhasil melampaui capaian kedua orangtuanya menjadi Panglima TNI. Selamat bertugas, Jenderal.
JAKARTA: Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting, mengatakan, proses uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) oleh DPR terhadap calon Panglima TNI, sebaiknya dihapuskan saja.
“Uji kepatutan dan kelayakan nyatanya lebih sebagai gimmick (upaya mencari perhatian) politik yang menampilkan kegenitan anggota parlemen dalam proses penentuan calon Panglima TNI,” kata Selamat Ginting di Jakarta, Kamis (4/11/2021).
Ia menanggapi rencana fit and propers test DPR terhadap calon Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Seperti diketahui surat presiden kepada DPR dalam penentuan calon panglima TNI sudah disampaikan pada Rabu (3/11/2021). DPR akan segera melakukan uji kepatutan dan kelayakan.
Menurut Selamat Ginting, penentuan siapa yang menjadi panglima TNI merupakan hak prerogratif Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, sesuai konstitusi. Jadi sebaiknya tidak lagi direcoki oleh DPR. Sistem politik Indonesia menganut sistem presidensil bukan sistem parlemen.
Dengan demikian, lanjutnya, UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya pasal 13 ayat 2, mesti diubah. Pasal dan ayat ini seperti ritual politik dalam pergantian Panglima TNI. Ayat (2) berbunyi: "Panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan DPR".
Terhadap ayat (2) penjelasannya: "Yang dimaksud dengan persetujuan DPR, adalah pendapat berdasarkan alasan dan pertimbangan yang kuat tentang aspek moral dan kepribadian, berdasarkan rekam jejak".
Simak video "Fit & Proper Test Calon Panglima TNI"
Namun, ujar Ginting, antara kehendak pada penjelasan dengan prakteknya, tidak sejalan. DPR justru tidak menjalankan apa yang tertuang dalam penjelasan ayat (2) tersebut. DPR justru berpotensi melampaui dan menyimpang dari semangat dan substansi penjelasan ayat (2) tersebut.
“Itulah yang saya bilang, fit and proper test seperti gimmick politik saja. Kegenitan parlemen di depan layar televisi, namun dengan mutu pertanyaan-pertanyaan yang tidak substansial. Bahkan kadang tidak bermutu, karena tidak memahami organisasi militer,” ujar kandidat doktor ilmu politik itu.
Selamat Ginting memberikan contoh ketika fit and proper test terhadap calon Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto pada 2006. Uji kepatutan dan kelayakannya sampai memakan waktu 13 jam.
“Mungkin inilah uji kepatutan dan kelayakan terlama di dunia. Bisa didaftarkan dalam buku rekor dunia. Menjadi panggung DPR untuk ‘ngerjai’ orang yang bukan pilihan partainya,” papar wartawan senior ini.
Jadi, kata dia, uji kepatutan dan kelayakan di DPR justru bisa menggiring TNI kembali dirayu masuk dalam ranah politik praktis. Akibatnya bisa menimbulkan birahi politik bagi personel TNI untuk melakukan politik praktis dengan melobi partai-partai politik di parlemen.
Kondisi tersebut, kata Selamat Ginting, akan mengembalikan TNI kembali ke titik nadir, seperti sebelum terjadinya reformasi 1998-1999. Sebab politikus sipil berpotensi menarik kembali para calon panglima TNI memasuki dunia politik. Di situlah akan terjadi politik dagang sapi untuk mendapatkan keuntungan.
“Nanti kalau kamu terpilih jadi panglima TNI, saya titip program ini, orang itu, serta kepentingan-kepentingan politik lainnya. Kira-kira begitu pesan-pesan titipannya. Apalagi, calon panglima TNI juga manusia biasa yang bisa tergoda rayuan politik,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas.
Atas dasar itulah, ia mengusulkan agar UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI terutama ayat yang menghadirkan peran DPR dihapuskan. Jadi cukup bunyi pasal 13 ayat (2) Presiden mengangkat/memberhentikan Panglima TNI. Tidak perlu lagi ada embel-embel: meminta persetujuan DPR.
Mengapa perlu diakhiri? Menurut Selamat Ginting, setidaknya ada tiga alasan penting. Pertama, mekanisme fit and proper test terhadap calon Panglima TNI, sesungguhnya tidak ada landasan hukum/aturan yang jelas.
Kedua, mekanisme yang dipaksakan itu justru bertolak belakang dengan semangat dan substansi penjelasan pasal 13, ayat (2) UU No. 34/2004. Ketiga, tes tersebut kurang substantif. Hanya basa-basi politik saja.
Dari ketiga alasan itu, menurut Ginting, memiliki risiko bagi organisasi TNI. Risikonya, dapat membelah jalur komando serta loyalitas tegak lurus TNI kepada Presiden sebagai kepala negara. Dengan memaksa tes di DPR, bisa terjadi loylitas ganda kepada parlemen.
“Jadi setop, dan sudahi saja uji kepatutan dan kelayakan calon panglima TNI di DPR. Seseorang yang sudah bintang empat, memang layak dicalonkan menjdi pimpinan TNI. Itu saja patokannya. Jangan lagi anggota DPR yang tidak mengerti apa-apa, tapi sok tahu menguji permasalahan yang dia juga tidak paham,” pungkas Ginting yang malang melintang dalam liputan masalah pertahanan keamanan negara.
Tanggapan Selamat Ginting, pengamat
komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta
mengenai surat presiden (surpres) yang mengusulkan Kepala Staf Angkatan Darat
(KSAD) Jenderal Andika Perkasa menjadi calon Panglima TNI.
Pengamat
pertahanan keamanan (hankam) dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat
Ginting mengharapkan, kekuatan pertahanan Indonesia harus bisa memadukan
kekuatan pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter. Pertahanan militer
diorganisasikan ke dalam komponen utama, yakni TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Sedangkan organisasi untuk pertahanan nirmiliter dibedakan atas dasar hakikat
dan jenis ancaman yang dihadapi.
“Dalam
menghadapi ancaman militer, pertahanan nirmiliter diorganisasikan ke dalam komponen
cadangan dan komponen pendukung. Keduanya disiapkan untuk menjadi pelapis komponen
utama,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas, Selamat
Ginting di Jakarta, Kamis (7/10).
Ia menanggapi peresmian penetapan komcad oleh Presiden Joko
Widodo (Jokowi) di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pasukan Khusus
(Pusdiklatpassus) di Batujajar, Bandung, Jawa Barat, Kamis (7/10). Menurut
Jokowi, komcad dibentuk guna mendukung TNI dalam menjalankan tugasnya untuk
menjaga kedaulatan negara dan keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia). Jokowi mengatakan, sistem pertahanan Indonesia ini bersifat semesta
yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional
lainnya.
Menurut Selamat
Ginting, dalam menghadapi ancaman nirmiliter, organisasi pertahanan nirmiliter
disusun ke dalam pertahanan sipil. Hal ini untuk mencegah dan menghadapi
ancaman yang berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan
teknologi.
Dalam menghadapi
ancaman yang berdimensi keselamatan umum, kata dia, bentuk pertahanan sipil
dilaksanakan melalui fungsi-fungsi keamanan. Antara lain penanggulangan dampak
bencana alam dan bencana yang ditimbulkan manusia, operasi kemanusiaan, SAR,
wabah penyakit dan kelaparan, gangguan pada pembangkit tenaga listrik,
transportasi, dan aksi pemogokan.
Dikemukakan, struktur
organisasi pertahanan sipil dalam pertahanan nirmiliter berbeda dengan struktur
sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer. Organisasi pada
pertahanan sipil bersifat fungsional dan berada dalam lingkup kewenangan
instansi pemerintah di luar bidang pertahanan.
Selamat Ginting
menjelaskan, dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia terbukti sistem pertahanan
dan keamanan rakyat semesta menjadi sistem yang mampu melawan penjajah dan
berhasil menjadikan Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat.
Oleh karena itu,
lanjutnya, sistem tersebut harus tetap dipertahankan dan dikembangkan. Sistem
tersebut untuk menegakkan kedaulatan NKRI, menjaga keutuhan wilayah negara, dan
menjamin keselamatan bangsa.
“Untuk menjamin
tegaknya NKRI, fungsi pertahanan negara sangat berperan dalam menjaga
kelangsungan bangsa,” kata Selamat Ginting, mantan wartawan senior Republika.
Menurutnya, komponen
cadangan dan komponen pendukung dapat diarahkan untuk mewujudkan kemampuan
pertahanan yang melampaui kekuatan pertahanan minimal. Sekaligus untuk
terwujudnya pertahanan nirmiliter dan kesadaran bela negara yang tinggi.
Jadi, kata dia,
pembentukan komponen cadangan lebih berorientasi pada aspek kewilayahan.
Sehingga setiap daerah memiliki kekuatan cadangan yang nyata dan dikembangkan
secara bertahap dan berlanjut sampai mencapai kekuatan yang proporsional.
Presiden Joko Widodo menginstruksikan TNI selalu sigap menghadapi spektrum ancaman yang lebih luas, seperti pelanggaran kedaulatan, pencurian kekayaan alam di laut, radikalisme, terorisme, ancaman siber, dan ancaman biologi, termasuk juga ancaman bencana alam.
Pernyataan itu dikemukakan Presiden Jokowi dalam HUT ke 76 TNI di halaman depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (5/10).
Menurut pengamat komunikasi politik dan militer dari Univeritas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting, intruksi presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI itu merupakan bentuk perintah agar TNI antara lain fokus pada upaya mengatasi gerakan separatisme dan pemberontakan bersenjata.
“Penggunaan kekuatan pertahanan militer dalam menghadapi ancaman separatisme dan pemberontakan bersenjata dilakukan berdasarkan putusan politik pemerintah dan dilindungi oleh undang-undang,” kata Selamat Ginting, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas di Jakarta, Selasa (5/10/2021).
Kandidat doktor ilmu politik itu mengemukakan, penggunaan kekuatan TNI dapat dilaksanakan melalui OMSP (Operasi Militer Selain Perang) dengan mengembangkan strategi operasi yang tepat dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.
“Menghadapi separatism bukan hanya dengan cara-cara militer semata, melainkan juga dengan cara nirmiliter dengan mengefektifkan fungsi-fungsi pembangunan nasional,” ujar Selamat Ginting yang malang melintang dalam liputan konflik di Papua.
Dikemukakan, akar masalah separatisme dapat diatasi melalui pendekatan kesejahteraan dan keadilan. Separatisme merupakan ancaman nyata yang melakukan regenerasi secara cepat. Karena itulah, kata dia, TNI harus memahami fenomena dalam menyusun strategi pertahanan nirmiliter.
Menurutnya, momentum demokratisasi sejak 1998-1999 dimanfaatkan oleh kelompok separatis guna mencapai tujuannya. Baik dengan menggunakan pola perjuangan nonbersenjata serta berusaha mencari perhatian dan dukungan internasional.
Untuk menghadapi kecenderungan ancaman separatisme, lanjut Selamat Ginting, unsur pertahanan nirmiliter harus berperan aktif untuk mencari dan menemukan solusi yang tepat dan efektif.
Aparat pembinaan territorial (binter) TNI, kata dia, harus bisa bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat. Termasuk melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat untuk menyadarkan kelompok separatis.
“Ancaman separatisme berakar pada faktor-faktor nirmiliter sehingga harus dihadapi pula dengan pendekatan nirmiliter,” kata Selamat Ginting, mantan wartawan senior Republika.
TNI, lanjutnya, harus bisa mengedepankan pendekatan nirmiliter dengan operasi binter untuk membawa seluruh warga Papua merasa nyaman tinggal dalam pangkuan Ibu Pertiwi, Indonesia. Hal ini penting agar bibit-bibit separatisme tidak berkembang.
Rasa kebanggaan rakyat Indonesia sebagai bangsa yang bersatu dalam wadah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan yang ber-Bhinneka Tunggal Ika harus terus ditanamkan dan dikembangkan di Papua. “Mumpung ada momentum bagus, yakni pelaksanaan PON (Pekan Olahraga Nasional) di Papua.”
Ancaman Terorisme
Sedangkan mengenai ancaman terorisme, menurut Selamat Ginting, Indonesia telah mememiliki undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003. Penerapan undang-undang tersebut cukup efektif dan memberikan efek tangkal yang besar.
Menurutnya, penanganan aksi kejahatan terorisme dapat dilakukan melalui pendekatan pertahanan militer. Secara hukum penanganan ancaman terorisme merupakan bagian dari fungsi pertahanan negara untuk melindungi segenap warga bangsanya.
Indonesia, lanjutnya, telah meratifikasi dua konvensi internasional mengenai pemberantasan terorisme. Yakni Konvensi Internasional Pemberantasan Pemboman oleh Terorisme Tahun 1997 serta Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999.
Dikemukakan, dengan menyadari bahwa terorisme memiliki jaringan internasional, Indonesia menjalin kerja sama dengan negara-negara lain untuk menangani masalah terorisme. Kerja sama tersebut diwujudkan dalam bentuk pertukaran informasi intelijen, pembangunan kapabilitas, serta pertemuan-pertemuan untuk membicarakan perkembangan ancaman terorisme dan langkahlangkah untuk mengatasinya.
Lalu di mana posisi TNI? Menurut pengamat militer itu, penanganan terhadap ancaman terorisme, baik terorisme internasional maupun terorisme dalam negeri merupakan bagian dari tugas TNI. Hal ini diamanatkan oleh Undang-Undang No.34 tahun 2004 tentang TNI.
Tugas tersebut, lanjutnya, dilaksanakan TNI dengan pola pendekatan preventif dan represif maupun koersif. Penanganan dengan pola preventif lebih diutamakan dengan mengintensifkan fungsi intelijen, penggunaan satuan-satuan khusus yang dipersiapkan sebagai kekuatan responsif, serta pemberdayaan Komando Kewilayahan TNI dan satuan-satuan TNI.
Fungsi intelijen yang dimiliki TNI dan jajarannya, kata Selamat Ginting, mempunyai tugas ikut dalam mengumpulkan informasi tentang kegiatan terorisme di seluruh wilayah kerja TNI. Sehingga TNI dapat mendayagunakan kemampuan intelijen yang berbasis manusia serta intelijen teknik.
Ia meyakini, pelaku-pelaku aksi terorisme juga memanfaatkan kemajuan teknologi dalam melakukan aksinya. Sehingga fungsi intelijen TNI dalam penanganan terorisme harus mengoptimalkan kemampuan penginderaan dini berbasis human intelligent.
“Tentu saja harus dilengkapi dengan sarana teknologi yang mampu mendeteksi kegiatan dan keberadaan pelaku kejahatan terorisme,” pungkas Selamat Ginting.