Showing posts with label Malari. Show all posts
Showing posts with label Malari. Show all posts

14 February 2020

Ali Moertopo, Soemitro, Soeharto, Siapa Dalang Malari?


Foto: tirto.id

Oleh Selamat Ginting

Para mahasiswa memprotes cara pembangunan dari bantuan asing. Juga menuding terjadi ketidakstabilan sosial. Orang-orang Jepang dan Cina bekerjasama dengan beberapa elite nasional ‘penjual negara’. Siapa mereka?

Latar belakang panggung didominasi warna merah. Terpampang kalimat: 20 tahun Indemo. 46 tahun Peristiwa 15 Januari. Pemilik acara, Hariman Siregar (70 tahun) mengenakan batik kombinasi warna kuning kecoklatan dan celana panjang coklat. Bergaya anak muda, ia pun menggunakan sepatu kets. Bukan sepatu pantovel, seperti orang yang sedang menghadiri undangan resmi.

Sang tokoh tetap bicara apa adanya. Bukan sedang bermain film, walau acara diselenggarakan di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jl HR Rasuna Said, Jakarta. Rabu, 15 Januari 2020, para aktivis hadir menyaksikan orasi Hariman, lelaki kelahiran Padang Sidempuan, Sumatra Utara.

Bekas ketua dewan mahasiswa (DM) Universitas Indonesia (UI) tahun 1973-1974 itu menilai, kondisi Indonesia saat ini mengalami kemunduran. Keadaan yang sama dan tidak bisa beranjak pada situasi yang terjadi ketika peristiwa demonstrasi mahasasiswa pada 15 Juli 1974. Ada  kemunduran demokrasi dan investasi asing yang ugal-ugalan.

''Waktu itu (1973-1974), saya masih yakin Indonesia dalam 20 tahun ke depan akan menjadi raksasa Asia. Ternyata tidak terjadi. Sama dengan kondisi sekarang, saat itu para mahasiwa sudah memperingatkan agar pembangunan jangan mengejar angka pertumbuhan. Tapi bagaimana meratakan keadilan dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat,” kata Hariman pada peringatan 46 tahun peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari 1974), di Jakarta, Rabu (15/1).

Hadir dalam acara itu, antara lain dua jenderal bintang empat. Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Santoso dan Laksamana (Purn) Tedjo Edhie Purdijanto, mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Saat Malaria 1974, kedua jenderal itu masih berstatus sebagai taruna. Keduanya lulus Akademi TNI tahun 1975.

Era 1974, beberapa nama jenderal menghiasi sejumlah media massa. Ada Pangab Jenderal Maraden Panggabean, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, Kaskopkamtib Laksamana Sudomo, Letnan Jenderal Ali Moertopo,  Letnan Jenderal Soejono Hiemardani, dan Letnan Jenderal Sutopo Juwono. Namun dari sekian banyak jenderal, episentrum berada pada Jenderal Soeharto. Saat itu ia berusia 53 tahun, masih sebagai jenderal aktif, sekaligus Presiden RI.

Inflasi tak Terkendali

Mengherankan, peristiwa malapetaka terbesar pertama di era Orde Baru itu, tidak pernah dibentuk tim investigasi. Kali ini yang hendak dibahas, siapa sesungguhnya dalang Malari 1974? Apakah ada keterlibatan Jenderal Soeharto? Atau berhenti pada persaingan Jenderal Soemitro dengan Jenderal  Ali Moertopo?

Membahas peristiwa itu, harus diketahui terlebih dahulu kondisi awal pemerintahan Orde Baru.  Pada awal Orde Baru, program pemerintah fokus pada penyelamatan ekonomi, memberantas inflasi, serta penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.

Hal ini berbeda dengan keadaan pada masa demokrasi terpimpin (Orde Lama) era Presiden Sukarno. Sukarno fokus pada pembangunan politik daripada pembangunan ekonomi. Puncaknya, keberhasilan Indonesia mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Namun, Sukarno gagal membangun ekonomi nasional. Inflasi tak terkendali.

Inflasi merupakan kondisi dimana terjadi kenaikan harga barang dan jasa dalam sebuah negara seiring dengan waktu. Efek inflasi sangat merugikan masyarakat, karena dengan jumlah uang yang sama, hanya dapat membeli barang yang sama dengan jumlah lebih sedikit. Nah, salah satu cara melawan efek dari inflasi adalah melakukan investasi. Tentu saja  harus memilih investasi yang memberikan imbal balik yang jauh di atas laju inflasi.

Investasi apa yang dipilih pemerintahan Soeharto? Awalnya, tentu saja sang jenderal dari Kemusuk Yogyakarta ini mengalami masalah ekonomi dan politik yang berat. Efek hancurnya perekonomian di akhir pemerintahan Sukarno adalah tingkat inflasi sebesar 650% setahun. Tidak memungkinkan bagi Orde Baru melaksanakan pembangunan secepatnya.

Sebagai pejabat presiden, Soeharto memilih kebijakan stabilisasi politik dan rehabilitasi bidang ekonomi terlebih dahulu. Kebijakan itu berupa kebijakan fiskal, moneter, dan impor.  Pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan penting, salah satunya peraturan 3 Oktober 1966. Peraturan itu memuat pokok-pokok usaha.

Pertama; anggaran belanja yang berimbang  untuk meniadakan salah satu sebab bagi inflasi, yaitu defisit dalam anggaran belanja. Kedua; pengekangan ekspansi kredit untuk usaha-usaha produktif, khususnya bidang pangan, eksport, prasarana dan industri. Ketiga; penundaan pembayaran hutang-hutang luar negeri dan usaha untuk mendapatkan kredit baru.

Keempat; penanaman modal asing guna membuka kesempatan pada luar negeri untuk turut serta membuka alam Indonesia, membuka kesempatan kerja serta membantu usaha peningkatan pendapatan nasional. (MD Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993, Sejarah Nasioanl Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka).

Pemerintah Orde Baru mempertegas dengan mengeluarkan kebijakan Undang-Undang tentang penanaman modal asing pada 10 Februari 1967.  Penanaman modal terbesar adalah perusahaan-perusahaan Jepang. Mereka sangat menonjol sejak awal kebijakan investasi baru dan pangsa investasinya meningkat terus.

Dana investasi Jepang sampai pada 1973 senilai US $ 534 juta untuk 135 proyek. Jumlah proyek terbanyak di Indonesia, mengalahkan investasi Amerika Serikat dengan 115 proyek.  Namun, dana investasi Jepang dan pinjaman dana asing mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa.

“Kami tak bangga kepada bantuan asing yang hanya berarti lebih banyak gedung-gedung mentereng menjulang, lebih banyak nightclub dan banjir Coca-cola, tetapi di lain pihak makin banyak rakyat tak mendapat pekarjaan, kehilangan tanah, tak punya rumah, industri-industri kecil mati, hutan-hutan menjadi gundul dan ladang minyak menjadi kering”  Begitulah bunyi memorandum GMII (Gerakan Mahasiswa Indonesia untuk Indonesia) kepada J.P Pronk, Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda. (Amir Husein Daulay dan Imran Hasibuan, 2011, Hariman dan Malari Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing, Jakarta: U-Communication).

Demonstrasi mahasiswa

Sejak itu mahasiswa terus memprotes cara pembangunan dari bantuan asing. Juga menuding terjadi ketidakstabilan sosial. Orang-orang Jepang dan Cina bekerjasama dengan beberapa elite nasional ‘penjual negara’. Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani dituding mahasiswa sebagai elite  nasional ‘penjual negara’.

Kedua jenderal itu merupakan asisten pribadi (aspri) Presiden Soeharto. Pada 1974 keduanya masih berpangkat mayjen. Ali juga sebagai komandan operasi khusus (opsus). Selain keduanya, lembaga CSIS (Centre for Strategic and Internasional Study) juga dituding sebagai badan kolaborasi penentu kebijakan pemerintah, sebagai antek imperialis asing.

Di sisi lain ada Soemitro  selaku Wakil Panglima ABRI (wapangab) meragkap Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (pangkopkamtib). Dia dianggap menentang modal asing, namun tidak menyerukan secara terbuka. Jenderal berperawakan gendut itu sejak November 1973, rajin mengunjungsi perguruan tinggi besar di Jakarta, Bandung Surabaya, dan Yogyakarta.

Ia berdalih, kunjungan itu atas perintah Presiden Soeharto, seperti diungkapkan dalam biografinya. Dalam buku ‘Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib’, karya Ramadha KH, “Pak Harto cerita tentang keadaan kampus yang resah dan meminta agar saya menenangkan kampus-kampus itu. Saya jawab “Bersedia, Pak.”

Dalam dialog dengan mahasiswa, Mitro mengakui semakin banyaknya kontradiksi sosial di tengah masyarakat. Ia menerima kritikan mahasiswa soal lembaga kopkamtib, aspri dan operasi khusus. Mitro setuju, kopkamtib, aspri, dan opsus mesti dihapuskan. Eratnya hubungan Mitro dengan mahasiswa, kemudian diisukan sebagai cara berkampanye untuk menjadi presiden. Apalagi saat itu di, Thailand, terjadi penggulingan Marsekal Thanom Kittikachorn pada Oktober 1973 oleh para mahasiswa.

Lalu, siapa tokoh utama mahasiswanya? Siapa lagi kalau bukan Hariman Siregar, Ketua DM UI yang dilantik pada Agustus 1973. Uniknya, saat pemilihan ketua DM UI, ia tercatat sebagai anggota Golkar ‘binaan; Ali Moertopo. Namun, kemudian mengundurkan diri partai penguasa tersebut. Hariman berdalih, ia dipilih oleh mahasiswa bukan oleh Golkar. Sebelumnya, ketia DM UI didominasi aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).

Jenderal Ali dikenal alergi dengan organisasi HMI. Tapi, Hariman justru memilih ketua komisariat HMI UI sebagai Sekjen DM UI. Judiherry Justam.  Ada pula Sjahrir yang aktif menyeruakan aspirasi rakyat menentang modal asing. Ia merupakan juru bicara Grup Diskusi Universitas Indonesia (GDUI).

Demonstrasi mahasiswa awal tahun 1974 tak bisa dibendung lagi. Termasuk menolak keberadaan aspri presiden yang dituding sebagai boneka asing. Mereka balik menuding para mahasiswa ditunggangi kekuatan anti Presiden Soeharto. Hariman pun dituding main dua kaki, sebagai orang Ali Moertopo, namun kerap mendatangi kantor Soemitro. Mitro menjalin komunikasi dua arah dengan para mahasiswa.  Bahasa Mitro, komunikasi timbal  balik.

Pada 11 Januari 1974, Presiden Soeharto menerima delegasi sejumlah Dewan Mahasiswa di istana. Mereka menyampaikan kecaman dan mempertanyakan kewibawaan presiden yang dirongrong tingkah laku para elite yang memperkaya diri. Hariman juga hadir dalam pertemuan itu, namun Soeharto tidak memberi tanggapan. Hanya mengangguk-anguk saja.  

Mahasiswa pun melaksanakan apel siaga pada 12 Januari mengajak masyarakat menyambut Perdana Menteri Kakuei Tanaka dengan demonstrasi. Termasuk memasang bendera setengah tiang pada hari kehadiran Tanaka. Mahasiswa juga mengajak media massa memboikot pemberitaan tentang kedatangan Tanaka.

Puncaknya, pada 15 Januari 1974, para demonstran menuju ke istana. Di luar dugaan, demonstrasi anti Jepang  berubah menjadi kerusuhan massal. Pada siang harinya, tiba-tiba proyek Senen, pabrik Coca-Cola, showroom Toyota Astra, dan sejumlah tempat di Jakarta dibakar, dirusak, dan dijarah massa. Ratusan kendaraan buatan Jepang hangus dibakar. Penjarahan di mana-mana, termasuk toko-toko emas dan permata.  Pemerintah menyebut, lebih dari 10 orang tewas, dan 300 luka-luka, dan 750 orang ditahan.

Dalang kerusuhan

Mengejutkan, Kopkamtib baru bertindak dua hari kemudian. Inilah yang menimbulkan  kecurigaan terhadap Mitro selaku Panglima Kopkamtib. ‘Dokumen Ramadi’ mengungkap rencana Jenderal Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus. Memang hanya ditulis ada seseorang jenderal berinisial S, akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan presiden sekitar April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh. Dokumen itu jelas menuding Jenderal Soemitro. (Adam A, 2009, Membongkar Manipulasi Sejarah Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Jakarta: Kompas).

Di sisi lain, Ali Moertopo dituding sebagai orang yang berada di balik kerusuhan dengan mengirimkan  sekelompok orang melakukan kekacauan dan pembakaran di Jakarta. Ali dan Soedjono menggalang orang-orang bekas DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dan GUPPI (Gerakan Usaha Perbaikan Pendidikan Indonesia). Melalui Ramadi dan Kiai Nur dari Banten, massa diarahkan merusak mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca-Cola. Kegiatan tersebut dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Jenderal Soemitro dan Letjen Sutopo Juwono (Cahyono, 1998, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ‘74).

“Peristiwa Malari merupakan bagian dari The Dark History Indonesia. Ada beberapa tokoh diduga sebagai dalang dari peristiwa tersebut. Selain Ali Moertopo dan Soemitro, ternyata ada juga versi yang mengatakan Soeharto sebagai dalang dari peristiwa Malari.” Euis Megiawati, 2016, dalam skripsinya berjudul Peristiwa Malaria dalam Pandangan Para Pelaku Sejarah, Universitas Pendidikan Indonesia.

Mengapa Soeharto juga dituding? Jawabannya bisa simple. Sekali peristiwa, dia bisa sekaligus menjinakkan Soemitro dan Ali Moertopo. Jenderal Mitro kemudian mundur dari posisinya sebagai Wakil panglima ABRI sekaligus panglima Kopkamtib. Jenderal Sutopo Juwono juga dicopot dari jabatan Kepala Badan koordinasi Intelijen Negara (Bakin).

Posisi Pangkopkamtib belakangan dipercayakan kepada Laksamana Sudomo. Jabatan Kepala Bakin diserahkan kepada Letjen Yoga Sugomo. Kemudian jabatan asisten pribadi presiden juga dihapuskan seperti tutntan mahasiswa dan Jenderal Soemitro. Mitro dan Sutopo memang gerah, karena jabatan aspri presiden merecoki kerja Kopkamtib dan Bakin. Ada empat anggota aspri, yakni: Ali Moertopo bidang khusus, Sudjono Hoemarhani bidang perekonomian, Letjen Suryo bidang keuangan, dan Mayjen Tjokropranolo bidang pengamanan.

“Pak Harto tidak terlibat dalam peristiwa Malari. Ia mampu melakukan orkestra secara baik antara orang lapangan dan orang intelijen. Kalau tidak, mana mungkin ia bisa berkuasa hingga 32 tahun?,” ujar Jenderal (Purn) Wijoyo Suyono, mantan kepala Staf kopkamtib melalui sambungan telepon.

/selamatgintingofficial

13 February 2020

Becak dan Kolonel Ramadi Agen Intelijen yang Dibunuh

Foto: MimbarUntan.com


Oleh Selamat Ginting

Era 1970-an merupakan akhir masa kejayaan becak di Jakarta. Sebelum itu, ribuan becak bebas beroperasi di jalan-jalan ibu kota negara.  Gubernur Jakarta, Letjen (Marinir) Ali Sadikin menerbitkan instruksi larangan produksi dan memasukkan becak ke Ibu Kota. Pemerintah mengeluarkan aturan jalur yang dilarang dilewati becak, dan hanya menyisakan di pinggiran Jakarta.
Becak begitu ngetop era itu. Ada beberapa lagu tentang angkutan rakyat tersebut, seperti lagu anak-anak ‘Naik Becak’ karya Saridjah Niung alias Bu Soed, istri dari Raden Bintang Soedibjo. Ada pula lagu ‘Abang Becak’ yang dipopulerkan grup musik Bimbo. “Putar-putar, putar putar kaki mengayuh. Pergi jauh, keringat pun lalu jatuh…”
Ya, keringat Roy Simanjuntak pun jatuh di pengadilan. Ia adalah salah seorang ketua KAPBI (Kesatuan Pengemudi Becak Indonesia).  Roy ditangkap aparat keamanan dalam peristiwa malapetaka 15 Januari 1974 (Malari).  Dalam peristiwa itu, banyak gerombolan non mahasiswa. Ada pula sejumlah preman, dan tukang-tukang becak dari luar ibukota yang sengaja didatangkan.
“Mereka sengaja disusupkan ke dalam gerakan mahasiswa untuk melakukan kerusuhan seperti penjarahan, pengerusakan dan pembakaran gedung-gedung.  Beberapa oknum yang terlibat di dalam kerusuhan itu diduga sengaja diperintah oleh kelompok Letjen Ali Moertopo, asisten pribadi (aspri) Presiden Soeharto,” pengakuan mantan aktivis mahasiswa Malari, Salim Hutadjulu yang diakses di Youtube pada 28 Desember 2012. Salim Hutajulu pada 1974 merupakan aktivis senat mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia.

Selain preman dan tukang becak, ada pula Kyai Nur dari pondok pesantren di Banten. Nur mengaku terlibat di dalam kerusuhan Malari 1974. Menurut pengakuan Roy Simanjuntak dan Nur kepada Salim Hutadjulu, mereka diperintah seseorang bernama Ramadi. Salim sempat berada di dalam satu sel penjara bersama Roy dan Nur. Di sel itulah kedua orang tersebut mengakui sebagai anak buah Jenderal Ali Moertopo.

Agen Intelijen

Siapa Ramadi? Ternyata dia bekas kolonel korps hukum , salah satu anggota MPR dari Partai Golkar, sejak 1971. Kolonel Ramadi juga pimpinan Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI). Menurut Salim Hutadjulu, sosok Ramadi dekat dengan dua Aspri presiden yaitu Letjen Ali Moertopo dan Letjen Soedjono Hoemardhani.
 
Berdasarkan keterangan Heru Cahyono dalam buku ‘Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980: Dari Pemilu sampai Malari’ Ramadi berkantor di Jalan Timor 14 Jakarta, di situlah markas GUPPI. Dalam rapat di markas GUPPI itu, Ramadi bukan bicara soal pendidikan Islam, melainkan menyiapkan gerakan huru-hara di Jakarta. Sekaligus menunggangi aksi mahasiswa menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka (halaman 37).
Ramadi pula yang diduga pembuat dokumen yang menuding Jenderal Soemitro hendak menggulingkan Presiden Soeharto melalui aksi mahasiswa, seperti di Thailand.  Dokumen ini dikenal dengan sebutan Dokumen Ramadi. Rapat terakhir juga memutusan, sasaran perusakan adalah mobil-mobil Jepang serta kantor Toyota Astra dan Coca-Cola. 

Gerakan ini akan dibungkus dengan isu ‘bantulah mahasiswa’ untuk menciptakan kesan bahwa kerusuhan dilakukan mahasiswa. Bila berhasil, operasi itu bisa memukul Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro yang dikenal dekat dengan mahasiswa. Sekaligus menghukum para aktivis mahasiswa yang mendesak agar aspri dan opsus dihapuskan. 
Pertemuan rahasia di Jalan Timor itu dihadiri para orang-orang binaan Ali Moertopo  yang berasal dari mantan aktivis Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Antara lain Danu Muhammad Hasan (mantan Panglima DI Jawa Barat) dan Ki Mansyur, bekas Gubernur DI/TII Hadir pula. anak Kartosoewirjo, Dardo Kartosoewirjo.

Rapat memutuskan Ramadi sebagai simpul lapangan kerusuhan. Massa yang dimobilisasi berasal dari kelompok aktivis DI/TII Karawang. Termasuk pengikut GUPPI Banten. Di sana massa akan dikoordinasi Kyai Nur. Di luar massa Islam, tukang becak dan preman yang digalang Roy Simanjuntak di Jakarta juga akan bergerak. Roy mendapat tugas khusus menciptakan kerusuhan di wilayah Senen hingga Harmoni.

Pitut Soeharto, salah seorang kepercayaan Ali Moertopo di Opsus, dalam wawancara dengan Heru Cahyono, tidak menyangkal jika sebagian orang binaan Ali di DI/TII terlibat dalam peristiwa Malari.  Pitut mengaku ditugasi Ali menggarap berbagai kelompok Islam, juga tidak membantah kabar orang binaan Ali kerap berkunjung ke kantor GUPPI beberapa hari sebelum Malari. Pitut juga membenarkan bahwa mobil Ramadi kerap dipinjamkan kepada orang-orang binaan Ali. 

Menurut Heru Cahyono, Ramadi dkk juga diiming-imingi jabatan. Ramadi dijanjikan menjadi menteri dalam negeri. Belakangan dia malah dipenjara tanpa kejelasan kapan akan dibebaskan. Hal itulah yang membuat dia sakit hati dan merasa dikhianati. Dari situlah muncul pengakuan Ramadi bahwa Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani berada ada di balik kerusuhan Malari.
Kemudian pada awal Desember 1974, Ramadi dipindahkan ke rumah sakit. Keluarganya juga dilarang menjenguk. Satu pekan kemudian, Ramadi koma dan meninggal dunia. Ramadi diduga sengaja dibunuh. Soemitro mengatakan, “Ramadi sengaja dibungkam, karena tahu terlalu banyak tahu tentang permainan di belakang layar kasus Malari. “Ini salah satu teori dalam intelijen. Kalau seseorang sudah tahu terlalu banyak, ia harus dilenyapkan”.

CSIS Terlibat Rusuh

Usai mengundurkan diri dari dinas militer, Soemitro mengutip laporan intelijen,  menuturkan, Ali menggerakan massa melalui jaringan Opsus, CSIS, GUPPI dan jaringan intel lepas yang dipimpinnya untuk menyingkirkan dirinya dan Sutopo Juwono sebagai Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Soemitro juga menuding bahwa Komandan Pelaksana Operasi Malari diserahkan kepada anggota Opsus Bambang Trisulo dengan didukung sejumlah mahasiswa UI antara lain Freddy Latumahina, Leonard Tomasoa dan Aulia Rahman. Menurut Soemitro, Bambang menggelontorkan uang Rp. 30juta untuk memuluskan gerakan Malari. Sedangkan Aulia Rahman mengamini Bambang adalah tangan kanan Ali Moertopo (halaman 60 – 61). 

Soemitro juga menyebut pendiri CSIS, Jusuf Wanandi dan adiknya Sofyan Wanandi sering menggelontorkan dana Soedjono Hoemardani kepada GUPPI pada awal 1970-an. “Ada urusan apa Lim Bian Khoen (Sofyan Wanandi) yang bukan muslim mondar-mandir ke kantor GUPPI dengan sedan mewah warna hitamnya?” tulis Soemitro.
Sofyan dan Jusuf Wanandi disebut Soemitro berperan secara konseptual dalam jaringan Ali dan Soedjono. Soemitro menyodorkan bukti keterlibatan Sofyan Wanandi dengan mengutip percakapan Roy Simanjuntak yang mengorganisasi tukang becak pada 15 Januari dengan Sofyan keesokan harinya. Waktu itu Roy ketakutan diburu Polisi Militer. Ketika itu, menurut Soemitro, Sofyan mengatakan, “Kalau ada apa-apa, sebut saja nama Soedjono Hoemardani dan Ali Moertopo.” (halaman 62-63). 

Hariman dan Jenderal Tergusur

Dalam buku Massa Misterius Malari: Rusuh Politik Pertama Dalam Sejarah Orde Baru, terbitan Tempo Publishing 2014, mengungkapkan Hariman Siregar sebagai binaan Ali Moertopo. Begitu pula dalam buku memoir Jenderal Yoga Soegomo. Sebagai Kepala Bakin, Yoga ditugaskan Presiden Soeharto untuk menyelidiki kerusuhan Malari.

Menurut versi Yoga, ucapan-ucapan provokatif dan agitatif  dari Hariman Siregar dan teman-temannya menjelang meletusnya Malari, membuktikan adanya penggarapan yang dilakukan oleh kalangan tertentu dengan memanfaatkan generasi muda sebagai media perjuangan mereka. Salah satu pernyataan Hariman yang mengindikasikan dia sengaja menggiring gerakan mahasiswa untuk menciptakan kondisi yang tepat bagi sebuah kerusuhan massal adalah ucapannya dalam rapat Dewan Mahasiswa se-Jakarta di IKIP Rawamangun.

Saya mau revolusi lebih dari Muangthai dan Athena. Caranya, kita adu antara Aspri [Asisten Presiden/Ali Moertopo-Soedjono Hoemardani] dan Pangkopkamtib [Jenderal Soemitro] agar Presiden jatuh.” (halaman 249-250).

Hariman menurut Yoga, sangat aktif memprovokasi gerakan-gerakan mahasiswa. Misalnya melakukan pertemuan di Bandung dengan pengurus Dewan Mahasiswa UI, ITB, ITT, IKIP, Unpar, Unpad, Unbraw dan ITS. Hariman juga ke Jogjakarta untuk bertemu dengan ITS, Undip, Unair dan beberapa perguruan tinggi di Jogjakarta (halaman 229-230).

Memang mahasiswa bergerak dengan isu utama anti modal asing, karena dinilai merugikan ekonomi Indonesia. Mereka juga berdemonstrasi dengan isu-isu lain sebagai tuntutan mereka, di antaranya ; “Ganyang korupsi/Stop pemborosan pembangunan”, “Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga, Jepang merusak Indonesia” (Adi Suryadi Culla, 1999, Patah Tumbuh Hilang Berganti : Sketsa Pegolakan Mahasiswa Dalam Politik dan Sejarah Indonesia (1908-1998). Raja Grafindo Persada : Jakarta).

Mengapa mahasiswa menuntut ketiga Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND),  yakni: Kopkamtib, Opsus dan Aspri dibubarkan? Pada awalnya, pembentukkan ketiga lembaga tersebut bertujuan mengawal proses pembangunan pemerintahan di segala bidang demi mencapai stabilitas nasional. Namun pada proses perkembangannya, justru membuat jurang pertikaian di tubuh pemerintahan.  Terjadi pergeseran fungsi dari ketiga kelembagaan tersebut dari tujuan pembentukkannya.

Misalnya, Kopkamtib. Semula dibentuk untuk memulihkan keamanan dan ketertiban akibat Gerakan 30 September 1965 seperti Keputusan Presiden (Keppres)/Panglima Tertinggi ABRI/Panglima Besar Komando Operasi Tertinggi No. 179/KOTI/1965. Belakangan, berubah kewenangannya menjadi lembaga yang mengawasi pemberitaan, pengamanan proses Pemilihan Umum, diberikan kewenangan menangkap, menginterogasi, menahan dan lain sebagainya.

Begitu juga lembaga Opsus yang dibentuk pada 1963. Semula untuk membangun kontak rahasia dengan pemerintahan Malaysia selama konfrontasi Dwikora.  Belakangan malah sebagai lembaga yang membantu untuk memastikan suara pro-pemerintah pada Pepera Papua tahun 1969, dan Pemilu1971. Termasuk melakukan fusi partai-partai politik, memperkuat Sekber Golkar. Bahkan penggalangan media massa untuk propaganda stabilitas dan pembangunan pemerintahan.  Ikut pula melakukan intervensi dan filtrasi dalam rapat-rapat yang dilakukan partai maupun organisasi politik.

Sedangkan lembaga aspri presiden, pada masa awal kepemimpinan Orde Baru sebagai tumpuan utama presiden dalam sebuah proses pembuatan keputusan. Soeharto lebih percaya kepada Aspri-nya daripada terhadap kabinetnya. Hak ini menimbulkan ketidaksenangan di jajaran kabinet pemerintahan. Akinatnya terjadi persaingan tidak sehat untuk pengaruh.

Persaingan paling terlihat, apalagi jika bukan rivalitas antara Soemitro dengan Ali Moertopo. Usai Malari, sejumlah jenderal menjadi korban. Antara lain Jenderal Soemitro lengser dari jabatan wakil pangab dan pangkopkamtib, Letjen Sutopo Juwono dicopotdari jabatan sebagai Kepala Bakin, dan Letjen Sayiman Suryohadiprojo digeser dari jabatan Wakil KSAD.

/selamatgintingofficial.com

12 February 2020

Malari, Konsinyir, dan Konflik Horizontal

Foto: Republika


Oleh Selamat Ginting

Truk militer reo berwarna hijau, dengan posisi setir sebelah kiri, berhenti di depan rumah, Komplek TNI AD Berland, Jalan Kesatrian IX, Kelurahan Kebon Manggis, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur. Kendaraan angkut militer beroda 10  itu, memang setiap pagi dan sore hari berhenti di depan rumah. Itulah kendaraan bekas pakai tentara Amerika Serikat dalam perang Vietnam yang menjadi kendaraan jemputan ayahku.

Dari belakang truk turun seorang sersan dan mengetuk pintu rumah. Dengan sikap tegap memberi hormat dan menyerahkan surat perintah. “Perintah konsinyir, komandan!” kata sang sersan kepada ayahku, perwira seksi operasi Yonzikon 13, Resimen Zeni 2. Kesatuan bantuan tempur Angkatan Darat yang bermarkas di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
“Tunggu saya berpakaian lima menit,” jawab ayahku (saat itu berusia 34 tahun), seorang perwira berpangkat letnan satu Korps Zeni Angkatan Darat.

Sekejap  ayah pun berpakaian lapangan tempur hijau, lengkap dengan pistol FN  di pinggang kanan dan pisau belati di pinggang sebelah kiri.  Termasuk helm baja menutupi kepalanya.  Ransel yang memang sudah diletakkan di dekat pintu, langsung digendongnya. Menyalami dan mencium pipi ibu dan kami anak-anaknya, satu per satu. Lalu memeluk erat-erat. Kemudian setengah berlari, naik truk berpenggerak 6x6, persis di samping sopir. 

Sebagai perwira seksi operasi batalyon, tentu saja ayahku punya peran untuk menentukan langkah operasi untuk menggerakkan pasukannya di lapangan. Di bagian belakang, sudah terisi penuh sejumlah bintara dan tamtama batalyon lengkap dengan pakaian tempur lapangan, termasuk senjata laras panjang jenis SP. 

Saat itu saya yang duduk di kelas 1 sekolah dasar, tidak tahu apa-apa. Tidak tahu apa yang dimaksud dengan istilah konsinyir. Tidak tahu apa yang terjadi pada pertengahan Januari 1974 itu. Juga belum mengetahui kalau Pasar Senen, Jakarta Pusat terbakar.

Konsinyir adalah istilah militer dimana para prajurit dipersiapkan untuk menghadapi segala kemungkinan yang terburuk.  Apabila keadaan ini diberlakukan, acap kali para prajurit sama sekali tidak diperkenankan keluar kesatriaan atau kompleks. Tidak diizinkan memberitahukan kepada keluarga dan dilarang berkomunikasi dengan keluarga. Untuk menghibur keluarga prajurit, biasanya kesatuan menyiapkan layar tancap semalam suntuk. Jadi kalau ada layar tancap, kemungkinan itulah tanda-tanda konsinyir. 

Anak-anak tentara sudah paham itu. Namun jangan heran jika istri atau anak-anak tentara tidak mengetahui penugasan yang sedang dijalani oleh suami maupun sang bapak. Sudah jadi milik negara, bukan lagi milik keluarga. 
Jangan ditanya, kapan pulangnya.  Tunggu saja kabar dari utusan batalyon, apakah mengantarkan kalung identitas dan bendera  merah putih atau foto-fotonya saja. Itu artinya gugur di medan tugas. Jenazahnya di mana? Itu urusan negara! Titik.

Sebenarnya pada Januari 1974 itu menjadi hari-hari menyenangkan bagi kami. Kumpul kembali dengan sang ayah. Sebab sebelumnya selama 1,5 tahun, ia  ditugaskan ke Irian Jaya. Membangun lapangan terbang Wagette di hutan belatara, sekaligus operasi keamanan di ujung timur, Indonesia. Logistik maupun peralatannya diterjunkan dari pesawat terbang lewat parasut maupun kapal laut dan sungai-sungai. Melawan ganasnya alam dan ancaman malaria.

Rupanya baru beberapa bulan saja menikmati kebersamaan, sudah menghadapi perintah operasi lagi. Untungnya tidak lama, hanya menghadapi demonstrasi para mahasiswa dan para perusuh yang membakar sejumlah kawasan di Jakarta.
Pasukannya bergabung ke Markas Kodam V Jayakarta di kawasan Cililitan, Jakarta Timur, sebelum disebar ke titik-titik kerusuhan di Jakarta. Saat itu Panglima Kodam adalah Mayjen GH Mantik. Jenderal bintang dua berdarah Manado, Sulawesi Utara. Sementara komandan Korps Zeni AD, Brigjen Bambang S. Sedangkan Komandan Yonzikon 13, Letnan Kolonel (Zeni) Parwoto Wirjo Pranowo, alumni  Akmil Jurtek Bandung, 1960. Seangkatan dengan Soedibyo yang kelak menjadi Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin)

Peristiwa Malari, baru saya pahami dengan lengkap saat kuliah semester lima di jurusan ilmu politik di Fisip Unas, Jakarta.  Pembahasan masalah itu terungkap dalam mata kuliah konsensus dan konflik politik. Saat itu dosennya adalah Doktor Maswadi Rauf.
Itulah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Tokoh-tokohnya, antara lain  Hariman Siregar dan Syahrir. Peristiwa yang terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang, Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta, 14-17 Januari 1974.
Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Karena dijaga ketat ABRI, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. 

Pada 17 Januari 1974, pukul 08.00 WIB, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar langsung oleh Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.
Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya,  kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.
Usai demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, sebagian wilayah Jakarta terbakar. Tentara pun diperintahkan untuk konsinyir, terutama yang berdinas di kesatuan tempur maupun bantuan tempur. 

Akhir dari peristiwa itu, Presiden Soeharto memberhentikan Jenderal Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, dan langsung mengambilalih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan, termasuk membebas tugaskan Mayjen Ali Moertopo.  Kepala Bakin, Letnan Jenderal Sutopo Juwono digantikan oleh Mayjen Yoga Soegomo.

Itulah salah satu konflik elite politik pertama yang sangat mencuat di era pemerintahan Orde Baru. Konflik elite militer akan berimbas ke mana-mana dan mengancam stabilitas nasional. Tidak bisa dibayangkan jika konflik ini melibatkan kesatuan-kesatuan militer. Mereka hanya tahu perintah atasannya. Perintah adalah segalanya!

Presiden Soeharto saat itu 53 tahun, masih belum pensiun kendati sudah menjadi presiden. Ia masih militer aktif. Jenderal bintang empat. Karena itulah jabatan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, langsung diambilalihnya. 

Kita tidak bisa membayangkan jika punya presiden lemah saat terjadinya konflik elite. Apalagi yang melibatkan petinggi militer sekaligus memegang kendali mata rantai komando.  Bisa-bisa terjadi perang saudara.
Saat ini gejala konflik horizontal terjadi di depan mata kita. Antar-komponen anak bangsa bertikai. Seperti ada yang mengadu domba. Entahlah. Kita tidak ingin konflik ini terus berlangsung. Kita ingin konflik segera berakhir dan semua komponen bangsa bisa bergandengan tangan. 

Semoga pemimpin nasional kita bisa membaca suasana batin masyarakat yang sedang keruh. Belajarlah dari sejarah bangsa, Tuan Presiden.

/selamatgintingofficial

Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...