Showing posts with label Pahlawan Revolusi. Show all posts
Showing posts with label Pahlawan Revolusi. Show all posts

19 December 2022

Deddy Corbuzier Berikan Panggung Untuk Keturunan PKI, Bela Negara Untuk Siapa?

Photo: Dokumen Pribadi
Keluarga Besar Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani


Salah satu musuh bagi Angkatan Darat adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Puncaknya saat peristiwa G-30S/PKI tahun 1965 ketika pimpinan Angkatan Darat, Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani dkk diculik dan dibunuh oleh pasukan Batalyon-1 Tjakrabirawa. Pasukan pengawal presiden yang disusupi PKI. Semua personel TNI selalu diingatkan tentang ancaman bahaya laten komunis. 

“Di satu sisi, pesohor Deddy Corbuzier yang kini diberikan pangkat Letkol (Tituler) Angkatan Darat, dalam beberapa tayangan di media sosialnya, justru memberikan panggung kepada keturunan PKI. Mengapa pemerintah tidak memperhatikan efek negatif dari kontroversi Deddy Corbuzier?” kata analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting di Jakarta, Senin (19/12/2022).

Menurut Selamat Ginting, bangsa Indonesia harus tetap mewaspadai munculnya bahaya komunis, karena PKI merupakan bahaya laten yang bisa menyusup dan bertransformasi dalam wujud baru. Disebut bahaya laten, karena komunis bisa  menyusup ke dalam sendi-sendi kehidupan bernegara. Bangsa Indonesia tidak boleh melupakan sejarah bangsanya agar tidak kehilangan jati dirinya.

“Saya tidak habis pikir saja, mengapa tayangan media sosial Deddy Corbuzier tidak dijadikan pertimbangan sebelum dia diberikan pangkat tituler? Masalah G30-S/PKI malah dijadikan bahan lelucon di medsosnya oleh seorang tamunya. Seolah-olah PKI tidak bersalah dalam peristiwa kelam bagi bangsa Indonesia,” kata Ginting mengkritik keras.

Dikemukakan, dalam peristiwa G-30S/PKI 1965, enam perwira tinggi dan satu perwira pertama menjadi korban kebiadaban PKI. Para kusuma bangsa itu adalah Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani, Letjen (Anumerta) Suprapto, Letjen (Anumerta) S. Parman, Mayjen (Anumerta) D.I Panjaitan, Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomihardjo, Mayjen (Anumerta) M.T Haryono, dan Kapten Zeni (Anumerta) Pierre Tenderan.

“Jika para keluarga pahlawan revolusi melihat tayangan medsos Deddy Corbuzier yang menjadikan peristiwa G30S/PKI sebagai lelucon di stand-up comedy maupun podcast-nya, apakah mereka bisa menerimanya? Ini masalah luka bangsa yang mestinya dipahami Deddy,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas. 

Selamat Ginting menjelaskan, perseteruan Angkatan Darat dengan PKI sudah terjadi sejak peristiwa Madiun September 1948. Peristiwa ini melibatkan golongan kiri, seperti Partai Buruh Indonesia, Partai Sosialis, dan Front Demokrasi Rakyat. Anggota golongan kiri itu didominasi anggota komunis yang berniat mendirikan negara komunis dengan pusatnya di Madiun, Jawa Timur.

“Di sinilah TNI Angkatan Darat menumpas pemberontakan yang dipimpin tokoh komunis Muso. Jadi komunis adalah musuh utama bagi Angkatan Darat,” ungkap Ketua bidang Politik, Pusat Studi Literasi Komunikasi Politik (Pustera Kompol) Unas.

Selamat Ginting mengingatkan jangan hanya karena seorang pesohor memiliki followers (pengikut) yang banyak, kemudian dengan mudah dan murahnya diberikan pangkat tituler. Kasus ini bisa menjadi bumerang bagi pemerintah, karena akan menjadi kontroversi dalam sejarah TNI.

“Ingat peristiwa 1965 ketika PKI menyusup ke dalam TNI dan mempengaruhi Resimen Tjakrabirawa, pengawal presiden. Mengapa hal ini tidak dijadikan pertimbangan agar TNI tidak mudah memberikan warga sipil pangkat kehormatan menjadi militer tituler,” pungkasnya.

/sgo

17 December 2022

Tendean dari Letnan Menjadi Kapten Deddy dari Letnan Menjadi Letkol, Kewarasan Bangsa Sedang Diuji

Photo: merdeka.com & Tempo.co

Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting membandingkan perjuangan yang dilakukan pahlawan revolusi Kapten Zeni (Anumerta) Pierre Tendean dengan pesohor Letnan Kolonel/Letkol (Tituler) Deddy Corbuzier. Perbandingan keduanya bagaikan bumi dengan langit.

“Pierre Tendean saat berpangkat Letnan Satu (Lettu) gugur dalam peristiwa G-30S/PKI tahun 1965. Ia kemudian dinaikkan pangkatnya satu tingkat menjadi Kapten Zeni (Anumerta). Sementara pesohor Deddy Corbuzier dari pangkat Letnan Dua (Letda) Komponen Cadangan (Komcad), tiba-tiba diberikan pangkat Letnan Kolonel (Letkol) Tituler, naik empat tingkat. Kita sedang diuji kewarasannya sebagai bangsa,” ungkap Selamat Ginting di Jakarta, Ahad (18/12/2022).

Menurut Selamat Ginting, semua pahlawan revolusi, termasuk Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani dan para jenderal lainnya, hanya mendapatkan kenaikan pangkat satu tingkat lebih tinggi dari pangkat semula. Begitu juga para prajurit TNI maupun Polri yang gugur dalam tugas hanya akan mendapatkan kenaikan pangkat anumerta, satu tingkat lebih tinggi.

“Mereka tidak akan pernah menggunakan tanda pangkat barunya, karena sudah berada di peti mati dan di alam kubur. Di mana keadilan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertahanan ketika memberikan pangkat Letkol Tituler kepada seorang pesohor Deddy Corbuzier?” ujar Ginting mempertanyakan.

Selamat Ginting mengaku sengaja membuat perbandingan antara Pierre Tendean dengan Deddy Corbuzier, karena semula keduanya sama-sama berpangkat letnan. Pierre Tendean dengan pangkat Lettu Zeni dan Deddy Corbuzier dengan pangkat awal Letda Komcad.   

Dikemukakan, Pierre Tendean merupakan lulusan Akademi Militer (Akmil) di Bandung tahun 1961. Setamat dari Akmil dia ditugaskan menjadi Komandan Peleton di Batalyon Zeni Tempur (Yonzipur)-1 Kodam Bukit Barisan, Medan. Setahun kemudian mendapatkan pendidikan intelijen dan pindah tugas di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD), kini disebut Pusat Intelijen Angkatan Darat (Pusintelad atau PIAD).

Pierre, lanjut Ginting, ditugaskan menjadi mata-mata ke Semenanjung Malaya (kini Malaysia) dalam konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia. Piere memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk menyusup ke Singapura dan Malaysia.

“Beberapa kali berhasil mengebom sejumlah tempat dan mampu menyelamatkan diri dari kejaran tentara Inggris. Ia kembali ke Tanah Air dengan selamat. Keberhasilannya itu membuat pimpinan ABRI memintanya menjadi ajudan Menko Hankam Kepala Staf ABRI Jenderal AH Nasution,” ujar Ginting, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas, Jakarta.  

Akhir hayat Pierre Tendean, kata Ginting, berakhir saat peristiwa G-30S/PKI. Perwira pertama itu diculik dan dibunuh pasukan Resimen Cakrabirawa pimpinan Letkol (Infateri) Untung. Ia gugur sebagai kusuma bangsa bersama enam jenderal pimpinan Angkatan Darat.

“Sementara Deddy Corbuzier nyaris tidak punya jasa dan kontribusi kepada bangsa dan negara sehebat Pierre Tendean. Namun diberikan pangkat kehormatan Letkol Tituler. Bagi para prajurit itu menyakitkan dan akan menurunkan moril prajurit TNI. Secara etika dan moral, peristiwa pemberian pangkat Letkol Tituler kepada Deddy penuh tanda tanya besar,” kata Ketua bidang Politik, Pusat Studi Literasi Komunikasi Politik (Pustera Kompol) Unas.

Ditegaskan, pemerintah terkesan mencari-cari pembenaran dan alasan untuk membenarkan keputusan kontroversial memberikan pangkat Letkol Tituler untuk seorang pesohor Deddy Corbuzier alias Dedi Cahyadi. “1001 alasan boleh saja dikemukakan, namun tidak ada kepantasan pangkat itu diberikan kepada seorang pesohor yang kontroversial,” ujar Ginting yang selama 30 tahun menjadi wartawan spesialis politik pertahanan keamanan negara.

Dia mengungkapkan, banyak artis atau seniman yang punya jasa dalam bela negara, seperti mendiang Kris Biantoro (Christoporus Soebiantoro). Bahkan menjadi relawan perang di Irian Barat selama enam bulan. Namun tidak diberikan  pangkat tituler oleh negara. 

“Bela negara tidah harus diberikan pangkat tituler, sebab bela negara merupakan kewajiban setiap warga negara yang telah diatur dalam konstitusi. Semua komponen bangsa bisa berkontribusi, tanpa harus menjadi militer maupun tentara tituler. Jadi tidak ada urgensi memaksa yang mengharuskan seorang pesohor mendapatkan pangkat Letkol Tituler,” pungkasnya.

/sgo

02 November 2021

PKI di Balik Retaknya Hubungan Jenderal Yani dengan Bung Karno (Bagian 2)

Foto: Cover Buku Achmad Yani Tumbal Revolusi
Amelia A. Yani

Letnan Jenderal Achmad Yani selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat meminta stafnya untuk mengkaji usulan Ketua Comite Central (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit. Aidit  mengusulkan Angkatan Kelima di luar Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Angkatan Kelima adalah buruh dan tani dipersenjatai untuk membantu ABRI dalam menghadapi ancaman nekolim (neo kolonialisme) yang terus memperkuat tentaranya di Malaysia.

Jenderal Yani menugaskan lima orang jenderal, yakni: Mayor Jenderal Siswondo Parman, Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal MT Haryono, Brigadir Jenderal DI Panjaitan, dan Brigadir Jenderal Soetoyo Siswomihardjo.

“Angkatan Kelima tidak perlu, oleh karena kita telah mempunyai pertahanan sipil (hansip) yang telah dan selalu bisa menampung semua kegiatan bela negara,” begitulah hasil rumusan dari tim perumus yang terdiri dari lima jenderal yang bertugas di Markas Besar Angkatan Darat tersebut.

Penolakan Jenderal Yani dan lima jenderal terhadap Angkatan Kelima harus dibayar mahal. Keenamnya bersama Jenderal Abdul Haris Nasution diisukan sebagai Dewan Jenderal yang anti Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) dan tidak mendukung kebijakan Presiden Sukarno. Padahal Sukarno menyetujui pembentukan Angkatan Kelima tersebut.

Bahkan pada pidato Presiden Sukarno 17 Agustus 1965 yang ditulis Wakil Ketua CC PKI Nyoto, Bung Karno justru menyatakan, mempersenjatai massa buruh dan tani merupakan gagasan pribadinya. “Saya mengucapkan terima kasih atas semua dukungan yang diberikan kepada gagasan saya untuk mempersenjatai buruh dan tani,” ujar Sukarno.

Kemudian Sukarno menambahkan, ”Saya  akan mengambil keputusan mengenai ini, dalam kapasitas saya selaku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata…”. Entah keputusan apa yang dimaksud Sukarno tersebut.

Simak video "Konflik Jenderal A. Yani dengan Bung Besar"


Yani menyadari keputusan Angkatan Darat bertentangan langsung dengan Presiden Sukarno dan PKI. Tapi ia meyakini bahwa inilah sikap Angkatan Darat. DN Aidit memang cemas, karena PKI tidak punya tentara, seperti di RRT. Padahal kata pemimpin partai komunis Cina, Mao Tse Tung, kekuasaan itu lahir dari ujung bedil. Karena itulah PKI merasa perlu mempersenjatai buruh dan tani. Jumlahnya sekitar 15 ribu orang dengan rincian buruh 5.000 dan tani 10 ribu orang.

Yani kecewa, karena Sukarno terpengaruh bahkan sangat mesra dengan komunis. Angkatan Darat mencatat, PKI sejak Mei 1965 terlihat begitu intensif melakukan aksi massa sepihak yang dibungkus dengan pelaksanaan landreform. Misalnya di Mantingan Jawa Timur, massa komunis yang dipelopori anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) berusaha mengambil paksa tanah wakaf milik Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo. Terjadi konflik massa para santri melawan BTI serta massa PKI.

Yani juga sangat marah ketika PKI mengeroyok dan mencincang Pembantu Letnan Dua (Pelda) Sujono di Bandar Betsy, Simalungun, Sumatra Utara. Aidit berkelit bahwa tindakan PKI di Bandar Betsy sebagai tindakan revolusioner sebagai awal dari pelaksanaan tuntutan landreform untuk memenuhi komando Presiden Sukarno.

“Kami diminta Bapak mencari koran yang memberitakan kasus Pelda Sujono tewas dibantai PKI di Bandar Betsy, Sumatra Utara,” kata Amelia Yani, putri ketiga dari Jenderal Achmad Yani dalam perbincangan dengan Selamat Ginting yang ditayangkan chanel youtube SGinting Offcial akhir Oktober 2021 lalu.

Bagaikan Ibukota Komunis

Peristiwa 14 Mei 1965 di Bandar Betsy dianggap angin lalu oleh PKI. Sepanjang Mei 1965, PKI justru gencar melempar isu Dewan Jenderal sebagai jenderal-jenderal yang akan menggulingkan Presiden Sukarno. Mereka terus memaksakan Angkatan Kelima. Dalam merayakan ulang tahun PKI tahun 1965, kaum komunis merayakannya besar-besaran.

Tamu-tamu berdatangan dari negara-negara komunis, seperti Republik Takyat Tiongkok atau Cina, Albania, Korea Utara, Vietnam Utara, dan Partai Komunis dari Uni Soviet. Jakarta saat itu seperti ibukota negara komunis. Gambar Sukarno, DN Aidit, Lenin, dan Karl Marx, Engels, Stalin dipajang di sejumlah jalan utama Ibukota.

“Kami terkejut, ternyata pembantu rumah kami adalah simpatisan PKI. Dia membawa bendera palu arit dan ikut dalam pawai di Gelora Senayan. Belakangan kami baru menyadari, jangan-jangan dia PKI yang memantau aktivitas Pak Yani di rumah. Sebab setelah peristiwa pembunuhan terhadap bapak, pembantu itu menghilang,” ujar Amelia Yani.

Pawai besar-besaran membuat Jakarta dan seluruh Pulau Jawa menjadi merah oleh bendera palu arit. Presiden Sukarno menyambut gembira dengan suasana gemuruh di stadion Gelora Senayan, Jakarta. Menggunakan pakaian Panglima Tertinggi lengkap dengan pita tanda jasa, brevet dan tongkat komandonya. Ia memeluk Ketua CC PKI DN Aidit dengan mesra. Disambut ratusan ribu massa seperti menggoyang Stadion Senayan.

“Apa sebab PKI bisa jadi demikian besar? Oleh karena PKI konsekuen progresif revolusioner. Aku berkata, PKI yo sanakku, ya kadang-ku, yen mati aku melu kelangan,” kata Bung Karno bersemangat.  PKI pada 1965 beranggotakan tiga juta orang, Pemuda Rakyat (sayap pemuda PKI) tiga juta orang, dan simpatisan 20 juta orang.

Selain memuji PKI, Sukarno kembali menegaskan sikapnya mengenai Nasakom, seperti tahun 1926. Awalnya Sukarno menggunakan istilah Nasionalis, Islam, Marxis. Kemudian diubah menjadi Nasionalis, Agama, dan Marxis (Nasamarx). Akhirnya menjadi Nasakom. Ide yang ditentang mantan Wakil Presiden Moh Hatta, Jenderal AH Nasution dan Jenderal Ahmad Yani selaku pimpinan ABRI.

Pujian terhadap PKI kemudian diimplementasikan Sukarno dengan memberikan Bintang Mahaputra untuk DN Aidit pada 17 Agustus 1965. PKI semakin mendapatkan angin menjadi anak emas Presiden Sukarno. Dua pekan setelah itu, massa PKI melakukan demonstrasi besar-besaran di Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Inggris di Jakarta.

Bahkan masa menerobos dan membakar kedutaan besar Inggris. Menghadapi massa yang tidak terkendali, Angkatan Darat menyelamatkan sejumlah diplomat Inggris dari amukan massa yang beringas. “Terima kasih dari saya seorang nekolim (neo kolonialisme),” begitulah karangan bunga yang dikirimkan Duta Besar Inggris di Jakarta Andrew Graham Gilsrist.

“Karangan bunga itu diberikan, karena personel Angkatan Darat menyelamatkan para diplomat dari amukan massa dan api yang membakar kedutaan Inggris. Tapi kemudian dijadikan isu oleh PKI bahwa Jenderal Yani sebagai antek Inggris. Sekaligus menjadi dasar dibuatnya dokumen Gilchrist yang berbunyi ‘our local army friends’ oleh biro khusus PKI yang dipimpin Syam Kamaruzaman,’ kata Amelia Yani.

Jenderal Yani memang pernah bersekolah militer di Inggris pada 1955. Tentu saja dikirim oleh negara untuk memperdalam ilmu militer.  Namun di depan Sukarno, Yani membantah sebagai antek Amerika maupun Inggris. “Anti komunis bukan berarti menjadi antek Amerika dan Inggris. Negara yang menyekolahkan saya ke Amerika dan Inggris. Bukan maunya saya sebagai tentara harus sekolah di mana,” kata Amelia Yani menirukan ucapan ayahandanya yang ditulis dalam buku catatan Yani.  

Hubungan dengan Sukarno

Yani yang semula akrab dengan Presiden Sukarno, lama-lama akhirnya berpisah jalan. Ia menolak ide Nasakom, karena sudah ada ideologi negara, Pancasila. Sebagai personel TNI telah ia disumpah untuk menjunjung ideologi Pancasila. Bukan ideologi lain. Ia juga menolak ide Angkatan Kelima yang digagas PKI dan Bung Karno.

Seperti diungkap di atas, tim Yani di Staf Umum Angkatan Darat sudah mengkaji masalah Nasakom dan Angkatan Kelima. Hasilnya menolak dua hal tersebut. Kelima Jenderal dalam tim tersebut bersama dengan Jenderal Yani dan Jenderal AH Nasution akhirnya harus menelan pil pahit, masuk dalam daftar penculikan dan akhirnya dibunuh pada 1 Oktober 1965. Hanya Jenderal Nasution yang selamat.

Amelia Yani juga menceritakan bahwa hubungan keluarganya dengan keluarga Sukarno tergolong baik dan akrab. Bahkan Yani dan istri kerap membantu Ibu Negara Fatmawati yang keluar dari istana, karena kecewa Sukarno kawin lagi. “Ibu saya suka membantu Bu Fatmawati yang tinggal di rumah kecil menyendiri, tidak lagi di Jalan Sriwijaya. Bapak juga beberapa kali meminta ajudan Mayor Subardi mengirimkan makanan dan bantuan lain untuk Bu Fatmawati,” ujar Amelia.

Setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap Jenderal Yani, lanjut Amelia, istri-istri Bung Karno juga mengunjungi rumah keluarga Yani di Jalan Lembang. Terutama Hartini dan Dewi. Bahkan Dewi yang berasal dari Jepang, hampir tiap hari menghibur istri Jenderal Yani. “Bu Dewi tentu saja ke sini atas perintah Presiden Sukarno sekaligus menawarkan agar Ibu kami bersedia mengelola Sarinah Jaya. Tapi ibu menolak, karena sudah terlanjut kecewa dengan sikap Presiden Sukarno.”

Nyawa tidak bisa ditukar dengan harta. Yayuk Ruliah Sutodiwiryo kehilangan respek pada Presiden Sukarno setelah kematian suaminya yang tragis. Padahal sebelumnya, ia merasa senang sekali tatkala Bung Karno hadir dalam acara syukuran rumah baru keluarga Yani di Jalan Suropati. Namun rumah tersebut hanya dihuni selama satu tahun. Yayuk juga kerap menampung curahan hati Fatmawati, istri ketiga Presiden Sukarno.

“Setelah bapak gugur, Ibu tidak mau lagi bicarakan tentang Bung Karno, sudah terlanjur kecewa,” ujar Amelia dengan rasa sedih. Ungkapan-ungkapan Amelia Yani dapat disaksikan dalam channel youtube SGinting Official.


/selamatgintingofficial

30 October 2021

Telepon Misterius di Rumah Jenderal Yani (Bagian 1)

Buku Agenda Jenderal A. Yani tentang Dewan Jenderal
Foto: Dokumen Pribadi

Kamis malam, 30 September 1965. Kolonel Soegandhi Kartosoebroto, bekas ajudan senior Presiden Sukarno mendatangi rumah Menteri/Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal TNI Achmad Yani di Jalan Lembang D-58, Menteng, Jakarta Pusat.

Ia bermaksud memberitahukan kepada Jenderal Yani bahwa Presiden Sukarno marah-marah di istana. “Apa itu Dewan Jenderal?! Apa itu Dewan Jenderal?!” kata Kolonel Sugandhi menirukan ucapan Sukarno yang sedang marah.

Kolonel Soegandhi, anggota DPR Gotong Royong itu menceritakan hal tersebut kepada Mayor CPM (Corps Polisi Militer) Subardi, ajudan dari Jenderal Achmad Yani, di rumah Panglima Angkatan Darat.

Soegandhi urung melaporkan langsung kepada Jenderal Yani. Ia menyampaikan hal tersebut kepada Mayor Subardi untuk disampaikan kepada orang nomor satu di Markas Besar Angkatan Darat. Alasannya masih ada tamu di kediaman Jenderal Yani.

Mengenai Dewan jenderal, Jenderal Yani sesungguhnya sudah menjelaskan kepada Presiden Sukarno. Yani dalam buku agendanya menyebutkan, Presiden Sukarno terpengaruh oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mengembuskan isu Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden pada 5 Oktober 1965.

“Isu dewan jenderal, jenderal-jenderal Pentagon berkulit sawo matang, serta dokumen Gilshrist tentang Our Local Army Friend dibuat oleh PKI untuk menyudutkan saya,” kata Yani dalam tulisan di agendanya.

Yani memang lulusan sekolah militer di Amerika Serikat dan Inggris saat berpangkat letnan kolonel senior. Ia mengikuti Pendidikan di US Army Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat. Kemudian melanjutkan pendidikan di Warfare Trainning di Inggris pada 1955.


Simak video "Firasat & Telepon Misterius di Rumah Jenderal A. Yani"


Mengenai isu-isu miring terhadap dirinya, Jenderal Yani mengirimkan surat kepada Presiden Sukarno.

“Isunya diputarbalikkan, seakan-akan kami (karena disekolahkan oleh negara ke Amerika) pro-Amerika, mata-mata Amerika dan akan menyingkirkan Presiden. Beberapa kali info tersebut disampaikan (PKI) pada Bapak Presiden bahwa AD (Angkatan Darat) akan coup, akan ini dan itu. Lama-lama kalau Bapak (Presiden RI) mendengar soal ini juga mulai percaya (PKI). Anti PKI tidak berarti otomatis pro Amerika, sebaliknya anti-Barat otomatis pro-Timur,” ujar Yani dalam suratnya kepada Presiden Sukarno.

Padahal, kata Yani, bukti-bukti ketaatan TNI sudah cukup diberikan terhadap setiap penyelewengan dari tujuan nasional, dari mana pun datangnya telah dan akan kita hadapi.  (Semua pemberontakan dan pergolakan di Tanah Air ditumpas oleh TNI atas nama negara).

Dewan jenderal yang dimaksud sesungguhnya adalah rapat para jenderal senior untuk menentukan sejumlah kolonel yang akan dipromosikan menjadi brigadir jenderal. Sejak berpangkat brigadir jenderal, Yani menjadi sekretaris Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti). Rapat biasanya dipimpin Letjen Gatot Subroto dan Mayor Jenderal GPH Djatikusumo. 

Nasakom dan Angkatan Kelima

Kembali soal kedatangan Kolonel Soegandhi. Ia tidak bisa masuk rumah Yani, karena Panglima Angkatan Darat masih menerima tamu hingga pukul 22.00 WIB. Sehingga Soegandhi menyampaikan pesan tersebut kepada ajudan Yani.

Tamu istimewa Yani malam itu adalah Panglima Kodam Brawijaya, Mayor Jenderal TNI Basuki Rachmat. Basuki melaporkan kepada Yani bahwa aktivis Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dari PKI melakukan perusakan kantor Gubernur Jawa Timur (Jatim).

Malam itu, Jenderal Yani sekalian mengajak Jenderal Basuki Rachmat untuk ikut menghadap Presiden Sukarno pada Jumat pagi, 1 Otober 1965 tentang situasi di Jawa Timur tersebut.

Yani juga sudah memberitahukan kepada ajudan bahwa Jumat pagi akan menghadap Presiden Sukarno. Sekaligus memberitahukan kepada istrinya  bahwa kemungkinan hari itu juga akan dicopot dari jabatan sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat.

“Bapak sudah memberitahukan kepada Ibu bahwa akan diganti oleh Mayor Jenderal TNI Moersid,” kata Amelia Yani, putri ketiga dari delapan bersaudara, anak kandung dari pasangan Jenderal Yani dengan Yayuk Ruliyah Sutodiwiryo. Keluarga mengetahui hal tersebut dari Mayor Subardi. 

Ketidakcocokan dengan Presiden Sukarno mengenai konsep Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) dan sikap keras Achmad Yani menolak Angkatan Kelima, menjadi sinyal retaknya hubungan Yani dengan Presiden Sukarno. Angkatan Kelima yang digagas PKI dan kemudian mendapatkan dukungan dari Presiden Sukarno ditentang keras oleh Angkatan Darat.

Angkatan Kelima di luar dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Angkatan Kelima yang diminta PKI agar buruh dan tani turut dipersenjatai untuk membantu perjuangan Indonesia dalam melawan Inggris yang mendirikan negara Federasi Malaysia. Jumlahnya sekitar 15 ribu orang, terdiri dari 5.000 buruh dan 10.000 tani.


Peringatan Haryono MT

Jenderal Yani marah besar ketika anak buahnya Pembantu Letnan Dua (Pelda) Sujono di Bandar Betsy, Simalungun, Sumatra Utara, tewas. Sujono gugur pada 14 Mei 1965 setelah kepalanya dicangkul oleh aktivis tiga organisasi sayap PKI, yaitu BTI (Barisan Tani Indonesia), PR (Pemuda Rakyat) dan Gerwani.  

Sepekan setelah peristiwa Bandar Betsy tersebut, Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal TNI MT Haryono menyarankan kepada Yani untuk bertindak terhadap PKI. “Kalau (Panglima Angkatan Darat) tidak mulai mengambil tindakan (terhadap PKI), tak pelak Anda akan dibunuh mereka,” kata Mayjen Haryono kepada Letjen Yani pada 20 Mei 1965.  

Malam semakin larut. Mayjen Basuki Rahmat pun pamit sambil memberikan hormat militer. Yani langsung menuju kamar tidurnya untuk istirahat. Mempersiapkan diri menerima keputusan untuk diganti oleh Mayor Jenderal Moersjid, Deputi I Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Saat Yani tidur, malam itu, dua kali telepon di rumahnya berdering. Setelah diangkat oleh putri keduanya, Emi Yani, di ujung telepon menanyakan “Bapak ada di rumah?” Tidak merasa curiga, sang putri menjawab, “Bapak ada di rumah sudah tidur.”

Pada malam Jumat itu, jelang pergantian hari, telepon dari orang tidak dikenal, kembali berdering. Lagi-lagi menanyakan posisi Jenderal Yani. “Bapak ada di rumah?” Kembali dijawab oleh Emi Yani, “Bapak ada di rumah sedang tidur.”  

Kisah-kisah di malam kelam itu diceritakan Amelia Yani, putri ketiga dari pahlawan revolusi Jenderal Achmad Yani, kepada penulis di kediaman Jenderal Yani, Jl Lembang D-58, Menteng, Jakarta Pusat, 28 Oktober 2021 lalu. Rumah ketika Jenderal Yani diculik dan dibunuh oleh Pasukan Gerakan 30 September (G-30-S) yang dibantu Pemuda Rakyat, organisasi sayap PKI.  

Bagaimana kisah selegkapnya? Ikuti wawancara Selamat Ginting dengan Amelia Yani dalam channel youtube SGinting Official.


/sgo

Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...