Showing posts with label Soeharto. Show all posts
Showing posts with label Soeharto. Show all posts

31 January 2022

One Way Ticket

Foto: Panglima Mandala Trikora, Mayjen Soeharto mengunjungi pasukan Zeni di Morotai, Kepulauan Maluku, yang sedang membuat pangkalan udara darurat untuk menyerang tentara Belanda di Papua


Tulisan Lawas (31 Januari 2014)

"Operasi ini hanya untuk satu kali jalan, tidak untuk kembali. Saya perkirakan, 60 persen dari kalian akan mati, hanya 40 persen yang selamat dan bisa kembali. Jika tidak sanggup, mundur!. Saya beri waktu hanya satu menit untuk berpikir ulang."

Itulah salah satu amanat Panglima Mandala Pembebasan Irian Barat, Mayor Jenderal Soeharto kepada para prajurit yang tergabung dalam Operasi Mandala Trikora di Morotai, Kepulauan Maluku, pada pertengahan 1962.
Tetapi tidak ada satu pun prajurit yang mundur. Semua menyatakan siap mati demi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu dari prajurit itu adalah ayahanda yang saat itu masih bujangan dan berusia 22 tahun. Sersan Dua Sampit Ginting, komandan regu dari kesatuan Batalyon Zeni Tempur (Yonzipur) 7 Kostrad. Saat itu Kostrad masih bernama Korps Tentara 1 Tjadangan Umum Angkatan Darat (Korra 1/Tjaduad).

Untuk menghadapi tentara Belanda, pada 1962-1963 Kostrad membentuk delapan batalyon zeni tempur (yonzipur) dan batalyon zeni konstruksi (yonzikon), terdiri dari Yonzipur 7, Yonzipur 9/Para, Yonzipur 10/Amfibi, Yonzikon 11, Yonzikon 12, Yonzikon 13, Yonzikon 14, dan Yonzikon 15. (Dulu masih disebut Yonzikon 1, 2, 3, 4, dan 5).

Tugas yonzipur maupun yonzikon, antara lain membuat pangkalan udara maupun pangkalan laut darurat. Darurat, karena dibuat dari bahan-bahan yang ada di pulau seluas sekitar 1.800 kilometer persegi itu. Pangkalan udara untuk penyerangan yang berada di bibir Pasifik itu, dibuat dari batang-batang pohon kelapa.

Sebagai komandan regu di Yonzipur 7 yang bertugas di Morotai, selain membuat pangkalan untuk penyerangan, ayahanda juga disiapkan untuk melakukan penyerbuan darat ke Papua, tempat tentara Belanda bercokol. Begitu juga dengan pasukan yonzikon.

Sementara Yonzipur 9/Para juga mendapatkan tugas menyerang lewat cara penerjunan dari udara. Sedangkan Yonzipur 10/Amfibi juga bertugas menyerang lewat pendaratan amfibi, seperti pasukan KKO/Marinir TNI-AL.

Namun, pasukan yang berpangkalan di Morotai itu tidak jadi melakukan penyerbuan ke Papua, karena terjadi perundingan diplomatik pada Januari 1963. Belanda khawatir dengan kekuatan militer Indonesia saat itu, baik Angkatan Darat dibantu Brimob Polri, Angkatan Laut, apalagi Angkatan Udaranya. Pada masa itu, kekuatan militer Indonesia adalah yang terkuat di belahan Selatan dunia. Indonesia berwibawa di kancah diplomasi internasional, karena memiliki militer yang kuat.

Pasukan 'one way ticket' itu, setelah bertugas selama sekitar satu tahun, tanpa logistik memadai, memperoleh Satyalencana Satya Dharma. Dan kelak, mereka menjadi Veteran Irian Barat. Kini sebagian besar, termasuk ayahanda, sudah almarhum. Hormat kami padamu, prajurit sejati!

Kini, kita bisa melihat diplomasi RI lemah, karena peralatan dan kekuatan militernya pun lemah. Sehingga negara-negara lain tidak lagi takut kepada Indonesia. Tak usah jauh-jauh Singapura, Malaysia dan Australia sering bertindak kurangajar menginjak-injak kedaulatan RI.

/selamatgintingofficial


14 February 2020

Ali Moertopo, Soemitro, Soeharto, Siapa Dalang Malari?


Foto: tirto.id

Oleh Selamat Ginting

Para mahasiswa memprotes cara pembangunan dari bantuan asing. Juga menuding terjadi ketidakstabilan sosial. Orang-orang Jepang dan Cina bekerjasama dengan beberapa elite nasional ‘penjual negara’. Siapa mereka?

Latar belakang panggung didominasi warna merah. Terpampang kalimat: 20 tahun Indemo. 46 tahun Peristiwa 15 Januari. Pemilik acara, Hariman Siregar (70 tahun) mengenakan batik kombinasi warna kuning kecoklatan dan celana panjang coklat. Bergaya anak muda, ia pun menggunakan sepatu kets. Bukan sepatu pantovel, seperti orang yang sedang menghadiri undangan resmi.

Sang tokoh tetap bicara apa adanya. Bukan sedang bermain film, walau acara diselenggarakan di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jl HR Rasuna Said, Jakarta. Rabu, 15 Januari 2020, para aktivis hadir menyaksikan orasi Hariman, lelaki kelahiran Padang Sidempuan, Sumatra Utara.

Bekas ketua dewan mahasiswa (DM) Universitas Indonesia (UI) tahun 1973-1974 itu menilai, kondisi Indonesia saat ini mengalami kemunduran. Keadaan yang sama dan tidak bisa beranjak pada situasi yang terjadi ketika peristiwa demonstrasi mahasasiswa pada 15 Juli 1974. Ada  kemunduran demokrasi dan investasi asing yang ugal-ugalan.

''Waktu itu (1973-1974), saya masih yakin Indonesia dalam 20 tahun ke depan akan menjadi raksasa Asia. Ternyata tidak terjadi. Sama dengan kondisi sekarang, saat itu para mahasiwa sudah memperingatkan agar pembangunan jangan mengejar angka pertumbuhan. Tapi bagaimana meratakan keadilan dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat,” kata Hariman pada peringatan 46 tahun peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari 1974), di Jakarta, Rabu (15/1).

Hadir dalam acara itu, antara lain dua jenderal bintang empat. Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Santoso dan Laksamana (Purn) Tedjo Edhie Purdijanto, mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Saat Malaria 1974, kedua jenderal itu masih berstatus sebagai taruna. Keduanya lulus Akademi TNI tahun 1975.

Era 1974, beberapa nama jenderal menghiasi sejumlah media massa. Ada Pangab Jenderal Maraden Panggabean, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, Kaskopkamtib Laksamana Sudomo, Letnan Jenderal Ali Moertopo,  Letnan Jenderal Soejono Hiemardani, dan Letnan Jenderal Sutopo Juwono. Namun dari sekian banyak jenderal, episentrum berada pada Jenderal Soeharto. Saat itu ia berusia 53 tahun, masih sebagai jenderal aktif, sekaligus Presiden RI.

Inflasi tak Terkendali

Mengherankan, peristiwa malapetaka terbesar pertama di era Orde Baru itu, tidak pernah dibentuk tim investigasi. Kali ini yang hendak dibahas, siapa sesungguhnya dalang Malari 1974? Apakah ada keterlibatan Jenderal Soeharto? Atau berhenti pada persaingan Jenderal Soemitro dengan Jenderal  Ali Moertopo?

Membahas peristiwa itu, harus diketahui terlebih dahulu kondisi awal pemerintahan Orde Baru.  Pada awal Orde Baru, program pemerintah fokus pada penyelamatan ekonomi, memberantas inflasi, serta penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.

Hal ini berbeda dengan keadaan pada masa demokrasi terpimpin (Orde Lama) era Presiden Sukarno. Sukarno fokus pada pembangunan politik daripada pembangunan ekonomi. Puncaknya, keberhasilan Indonesia mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Namun, Sukarno gagal membangun ekonomi nasional. Inflasi tak terkendali.

Inflasi merupakan kondisi dimana terjadi kenaikan harga barang dan jasa dalam sebuah negara seiring dengan waktu. Efek inflasi sangat merugikan masyarakat, karena dengan jumlah uang yang sama, hanya dapat membeli barang yang sama dengan jumlah lebih sedikit. Nah, salah satu cara melawan efek dari inflasi adalah melakukan investasi. Tentu saja  harus memilih investasi yang memberikan imbal balik yang jauh di atas laju inflasi.

Investasi apa yang dipilih pemerintahan Soeharto? Awalnya, tentu saja sang jenderal dari Kemusuk Yogyakarta ini mengalami masalah ekonomi dan politik yang berat. Efek hancurnya perekonomian di akhir pemerintahan Sukarno adalah tingkat inflasi sebesar 650% setahun. Tidak memungkinkan bagi Orde Baru melaksanakan pembangunan secepatnya.

Sebagai pejabat presiden, Soeharto memilih kebijakan stabilisasi politik dan rehabilitasi bidang ekonomi terlebih dahulu. Kebijakan itu berupa kebijakan fiskal, moneter, dan impor.  Pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan penting, salah satunya peraturan 3 Oktober 1966. Peraturan itu memuat pokok-pokok usaha.

Pertama; anggaran belanja yang berimbang  untuk meniadakan salah satu sebab bagi inflasi, yaitu defisit dalam anggaran belanja. Kedua; pengekangan ekspansi kredit untuk usaha-usaha produktif, khususnya bidang pangan, eksport, prasarana dan industri. Ketiga; penundaan pembayaran hutang-hutang luar negeri dan usaha untuk mendapatkan kredit baru.

Keempat; penanaman modal asing guna membuka kesempatan pada luar negeri untuk turut serta membuka alam Indonesia, membuka kesempatan kerja serta membantu usaha peningkatan pendapatan nasional. (MD Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993, Sejarah Nasioanl Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka).

Pemerintah Orde Baru mempertegas dengan mengeluarkan kebijakan Undang-Undang tentang penanaman modal asing pada 10 Februari 1967.  Penanaman modal terbesar adalah perusahaan-perusahaan Jepang. Mereka sangat menonjol sejak awal kebijakan investasi baru dan pangsa investasinya meningkat terus.

Dana investasi Jepang sampai pada 1973 senilai US $ 534 juta untuk 135 proyek. Jumlah proyek terbanyak di Indonesia, mengalahkan investasi Amerika Serikat dengan 115 proyek.  Namun, dana investasi Jepang dan pinjaman dana asing mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa.

“Kami tak bangga kepada bantuan asing yang hanya berarti lebih banyak gedung-gedung mentereng menjulang, lebih banyak nightclub dan banjir Coca-cola, tetapi di lain pihak makin banyak rakyat tak mendapat pekarjaan, kehilangan tanah, tak punya rumah, industri-industri kecil mati, hutan-hutan menjadi gundul dan ladang minyak menjadi kering”  Begitulah bunyi memorandum GMII (Gerakan Mahasiswa Indonesia untuk Indonesia) kepada J.P Pronk, Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda. (Amir Husein Daulay dan Imran Hasibuan, 2011, Hariman dan Malari Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing, Jakarta: U-Communication).

Demonstrasi mahasiswa

Sejak itu mahasiswa terus memprotes cara pembangunan dari bantuan asing. Juga menuding terjadi ketidakstabilan sosial. Orang-orang Jepang dan Cina bekerjasama dengan beberapa elite nasional ‘penjual negara’. Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani dituding mahasiswa sebagai elite  nasional ‘penjual negara’.

Kedua jenderal itu merupakan asisten pribadi (aspri) Presiden Soeharto. Pada 1974 keduanya masih berpangkat mayjen. Ali juga sebagai komandan operasi khusus (opsus). Selain keduanya, lembaga CSIS (Centre for Strategic and Internasional Study) juga dituding sebagai badan kolaborasi penentu kebijakan pemerintah, sebagai antek imperialis asing.

Di sisi lain ada Soemitro  selaku Wakil Panglima ABRI (wapangab) meragkap Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (pangkopkamtib). Dia dianggap menentang modal asing, namun tidak menyerukan secara terbuka. Jenderal berperawakan gendut itu sejak November 1973, rajin mengunjungsi perguruan tinggi besar di Jakarta, Bandung Surabaya, dan Yogyakarta.

Ia berdalih, kunjungan itu atas perintah Presiden Soeharto, seperti diungkapkan dalam biografinya. Dalam buku ‘Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib’, karya Ramadha KH, “Pak Harto cerita tentang keadaan kampus yang resah dan meminta agar saya menenangkan kampus-kampus itu. Saya jawab “Bersedia, Pak.”

Dalam dialog dengan mahasiswa, Mitro mengakui semakin banyaknya kontradiksi sosial di tengah masyarakat. Ia menerima kritikan mahasiswa soal lembaga kopkamtib, aspri dan operasi khusus. Mitro setuju, kopkamtib, aspri, dan opsus mesti dihapuskan. Eratnya hubungan Mitro dengan mahasiswa, kemudian diisukan sebagai cara berkampanye untuk menjadi presiden. Apalagi saat itu di, Thailand, terjadi penggulingan Marsekal Thanom Kittikachorn pada Oktober 1973 oleh para mahasiswa.

Lalu, siapa tokoh utama mahasiswanya? Siapa lagi kalau bukan Hariman Siregar, Ketua DM UI yang dilantik pada Agustus 1973. Uniknya, saat pemilihan ketua DM UI, ia tercatat sebagai anggota Golkar ‘binaan; Ali Moertopo. Namun, kemudian mengundurkan diri partai penguasa tersebut. Hariman berdalih, ia dipilih oleh mahasiswa bukan oleh Golkar. Sebelumnya, ketia DM UI didominasi aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).

Jenderal Ali dikenal alergi dengan organisasi HMI. Tapi, Hariman justru memilih ketua komisariat HMI UI sebagai Sekjen DM UI. Judiherry Justam.  Ada pula Sjahrir yang aktif menyeruakan aspirasi rakyat menentang modal asing. Ia merupakan juru bicara Grup Diskusi Universitas Indonesia (GDUI).

Demonstrasi mahasiswa awal tahun 1974 tak bisa dibendung lagi. Termasuk menolak keberadaan aspri presiden yang dituding sebagai boneka asing. Mereka balik menuding para mahasiswa ditunggangi kekuatan anti Presiden Soeharto. Hariman pun dituding main dua kaki, sebagai orang Ali Moertopo, namun kerap mendatangi kantor Soemitro. Mitro menjalin komunikasi dua arah dengan para mahasiswa.  Bahasa Mitro, komunikasi timbal  balik.

Pada 11 Januari 1974, Presiden Soeharto menerima delegasi sejumlah Dewan Mahasiswa di istana. Mereka menyampaikan kecaman dan mempertanyakan kewibawaan presiden yang dirongrong tingkah laku para elite yang memperkaya diri. Hariman juga hadir dalam pertemuan itu, namun Soeharto tidak memberi tanggapan. Hanya mengangguk-anguk saja.  

Mahasiswa pun melaksanakan apel siaga pada 12 Januari mengajak masyarakat menyambut Perdana Menteri Kakuei Tanaka dengan demonstrasi. Termasuk memasang bendera setengah tiang pada hari kehadiran Tanaka. Mahasiswa juga mengajak media massa memboikot pemberitaan tentang kedatangan Tanaka.

Puncaknya, pada 15 Januari 1974, para demonstran menuju ke istana. Di luar dugaan, demonstrasi anti Jepang  berubah menjadi kerusuhan massal. Pada siang harinya, tiba-tiba proyek Senen, pabrik Coca-Cola, showroom Toyota Astra, dan sejumlah tempat di Jakarta dibakar, dirusak, dan dijarah massa. Ratusan kendaraan buatan Jepang hangus dibakar. Penjarahan di mana-mana, termasuk toko-toko emas dan permata.  Pemerintah menyebut, lebih dari 10 orang tewas, dan 300 luka-luka, dan 750 orang ditahan.

Dalang kerusuhan

Mengejutkan, Kopkamtib baru bertindak dua hari kemudian. Inilah yang menimbulkan  kecurigaan terhadap Mitro selaku Panglima Kopkamtib. ‘Dokumen Ramadi’ mengungkap rencana Jenderal Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus. Memang hanya ditulis ada seseorang jenderal berinisial S, akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan presiden sekitar April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh. Dokumen itu jelas menuding Jenderal Soemitro. (Adam A, 2009, Membongkar Manipulasi Sejarah Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Jakarta: Kompas).

Di sisi lain, Ali Moertopo dituding sebagai orang yang berada di balik kerusuhan dengan mengirimkan  sekelompok orang melakukan kekacauan dan pembakaran di Jakarta. Ali dan Soedjono menggalang orang-orang bekas DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dan GUPPI (Gerakan Usaha Perbaikan Pendidikan Indonesia). Melalui Ramadi dan Kiai Nur dari Banten, massa diarahkan merusak mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca-Cola. Kegiatan tersebut dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Jenderal Soemitro dan Letjen Sutopo Juwono (Cahyono, 1998, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ‘74).

“Peristiwa Malari merupakan bagian dari The Dark History Indonesia. Ada beberapa tokoh diduga sebagai dalang dari peristiwa tersebut. Selain Ali Moertopo dan Soemitro, ternyata ada juga versi yang mengatakan Soeharto sebagai dalang dari peristiwa Malari.” Euis Megiawati, 2016, dalam skripsinya berjudul Peristiwa Malaria dalam Pandangan Para Pelaku Sejarah, Universitas Pendidikan Indonesia.

Mengapa Soeharto juga dituding? Jawabannya bisa simple. Sekali peristiwa, dia bisa sekaligus menjinakkan Soemitro dan Ali Moertopo. Jenderal Mitro kemudian mundur dari posisinya sebagai Wakil panglima ABRI sekaligus panglima Kopkamtib. Jenderal Sutopo Juwono juga dicopot dari jabatan Kepala Badan koordinasi Intelijen Negara (Bakin).

Posisi Pangkopkamtib belakangan dipercayakan kepada Laksamana Sudomo. Jabatan Kepala Bakin diserahkan kepada Letjen Yoga Sugomo. Kemudian jabatan asisten pribadi presiden juga dihapuskan seperti tutntan mahasiswa dan Jenderal Soemitro. Mitro dan Sutopo memang gerah, karena jabatan aspri presiden merecoki kerja Kopkamtib dan Bakin. Ada empat anggota aspri, yakni: Ali Moertopo bidang khusus, Sudjono Hoemarhani bidang perekonomian, Letjen Suryo bidang keuangan, dan Mayjen Tjokropranolo bidang pengamanan.

“Pak Harto tidak terlibat dalam peristiwa Malari. Ia mampu melakukan orkestra secara baik antara orang lapangan dan orang intelijen. Kalau tidak, mana mungkin ia bisa berkuasa hingga 32 tahun?,” ujar Jenderal (Purn) Wijoyo Suyono, mantan kepala Staf kopkamtib melalui sambungan telepon.

/selamatgintingofficial

12 February 2020

Malari, Konsinyir, dan Konflik Horizontal

Foto: Republika


Oleh Selamat Ginting

Truk militer reo berwarna hijau, dengan posisi setir sebelah kiri, berhenti di depan rumah, Komplek TNI AD Berland, Jalan Kesatrian IX, Kelurahan Kebon Manggis, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur. Kendaraan angkut militer beroda 10  itu, memang setiap pagi dan sore hari berhenti di depan rumah. Itulah kendaraan bekas pakai tentara Amerika Serikat dalam perang Vietnam yang menjadi kendaraan jemputan ayahku.

Dari belakang truk turun seorang sersan dan mengetuk pintu rumah. Dengan sikap tegap memberi hormat dan menyerahkan surat perintah. “Perintah konsinyir, komandan!” kata sang sersan kepada ayahku, perwira seksi operasi Yonzikon 13, Resimen Zeni 2. Kesatuan bantuan tempur Angkatan Darat yang bermarkas di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
“Tunggu saya berpakaian lima menit,” jawab ayahku (saat itu berusia 34 tahun), seorang perwira berpangkat letnan satu Korps Zeni Angkatan Darat.

Sekejap  ayah pun berpakaian lapangan tempur hijau, lengkap dengan pistol FN  di pinggang kanan dan pisau belati di pinggang sebelah kiri.  Termasuk helm baja menutupi kepalanya.  Ransel yang memang sudah diletakkan di dekat pintu, langsung digendongnya. Menyalami dan mencium pipi ibu dan kami anak-anaknya, satu per satu. Lalu memeluk erat-erat. Kemudian setengah berlari, naik truk berpenggerak 6x6, persis di samping sopir. 

Sebagai perwira seksi operasi batalyon, tentu saja ayahku punya peran untuk menentukan langkah operasi untuk menggerakkan pasukannya di lapangan. Di bagian belakang, sudah terisi penuh sejumlah bintara dan tamtama batalyon lengkap dengan pakaian tempur lapangan, termasuk senjata laras panjang jenis SP. 

Saat itu saya yang duduk di kelas 1 sekolah dasar, tidak tahu apa-apa. Tidak tahu apa yang dimaksud dengan istilah konsinyir. Tidak tahu apa yang terjadi pada pertengahan Januari 1974 itu. Juga belum mengetahui kalau Pasar Senen, Jakarta Pusat terbakar.

Konsinyir adalah istilah militer dimana para prajurit dipersiapkan untuk menghadapi segala kemungkinan yang terburuk.  Apabila keadaan ini diberlakukan, acap kali para prajurit sama sekali tidak diperkenankan keluar kesatriaan atau kompleks. Tidak diizinkan memberitahukan kepada keluarga dan dilarang berkomunikasi dengan keluarga. Untuk menghibur keluarga prajurit, biasanya kesatuan menyiapkan layar tancap semalam suntuk. Jadi kalau ada layar tancap, kemungkinan itulah tanda-tanda konsinyir. 

Anak-anak tentara sudah paham itu. Namun jangan heran jika istri atau anak-anak tentara tidak mengetahui penugasan yang sedang dijalani oleh suami maupun sang bapak. Sudah jadi milik negara, bukan lagi milik keluarga. 
Jangan ditanya, kapan pulangnya.  Tunggu saja kabar dari utusan batalyon, apakah mengantarkan kalung identitas dan bendera  merah putih atau foto-fotonya saja. Itu artinya gugur di medan tugas. Jenazahnya di mana? Itu urusan negara! Titik.

Sebenarnya pada Januari 1974 itu menjadi hari-hari menyenangkan bagi kami. Kumpul kembali dengan sang ayah. Sebab sebelumnya selama 1,5 tahun, ia  ditugaskan ke Irian Jaya. Membangun lapangan terbang Wagette di hutan belatara, sekaligus operasi keamanan di ujung timur, Indonesia. Logistik maupun peralatannya diterjunkan dari pesawat terbang lewat parasut maupun kapal laut dan sungai-sungai. Melawan ganasnya alam dan ancaman malaria.

Rupanya baru beberapa bulan saja menikmati kebersamaan, sudah menghadapi perintah operasi lagi. Untungnya tidak lama, hanya menghadapi demonstrasi para mahasiswa dan para perusuh yang membakar sejumlah kawasan di Jakarta.
Pasukannya bergabung ke Markas Kodam V Jayakarta di kawasan Cililitan, Jakarta Timur, sebelum disebar ke titik-titik kerusuhan di Jakarta. Saat itu Panglima Kodam adalah Mayjen GH Mantik. Jenderal bintang dua berdarah Manado, Sulawesi Utara. Sementara komandan Korps Zeni AD, Brigjen Bambang S. Sedangkan Komandan Yonzikon 13, Letnan Kolonel (Zeni) Parwoto Wirjo Pranowo, alumni  Akmil Jurtek Bandung, 1960. Seangkatan dengan Soedibyo yang kelak menjadi Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin)

Peristiwa Malari, baru saya pahami dengan lengkap saat kuliah semester lima di jurusan ilmu politik di Fisip Unas, Jakarta.  Pembahasan masalah itu terungkap dalam mata kuliah konsensus dan konflik politik. Saat itu dosennya adalah Doktor Maswadi Rauf.
Itulah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Tokoh-tokohnya, antara lain  Hariman Siregar dan Syahrir. Peristiwa yang terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang, Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta, 14-17 Januari 1974.
Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Karena dijaga ketat ABRI, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. 

Pada 17 Januari 1974, pukul 08.00 WIB, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar langsung oleh Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.
Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya,  kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.
Usai demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, sebagian wilayah Jakarta terbakar. Tentara pun diperintahkan untuk konsinyir, terutama yang berdinas di kesatuan tempur maupun bantuan tempur. 

Akhir dari peristiwa itu, Presiden Soeharto memberhentikan Jenderal Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, dan langsung mengambilalih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan, termasuk membebas tugaskan Mayjen Ali Moertopo.  Kepala Bakin, Letnan Jenderal Sutopo Juwono digantikan oleh Mayjen Yoga Soegomo.

Itulah salah satu konflik elite politik pertama yang sangat mencuat di era pemerintahan Orde Baru. Konflik elite militer akan berimbas ke mana-mana dan mengancam stabilitas nasional. Tidak bisa dibayangkan jika konflik ini melibatkan kesatuan-kesatuan militer. Mereka hanya tahu perintah atasannya. Perintah adalah segalanya!

Presiden Soeharto saat itu 53 tahun, masih belum pensiun kendati sudah menjadi presiden. Ia masih militer aktif. Jenderal bintang empat. Karena itulah jabatan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, langsung diambilalihnya. 

Kita tidak bisa membayangkan jika punya presiden lemah saat terjadinya konflik elite. Apalagi yang melibatkan petinggi militer sekaligus memegang kendali mata rantai komando.  Bisa-bisa terjadi perang saudara.
Saat ini gejala konflik horizontal terjadi di depan mata kita. Antar-komponen anak bangsa bertikai. Seperti ada yang mengadu domba. Entahlah. Kita tidak ingin konflik ini terus berlangsung. Kita ingin konflik segera berakhir dan semua komponen bangsa bisa bergandengan tangan. 

Semoga pemimpin nasional kita bisa membaca suasana batin masyarakat yang sedang keruh. Belajarlah dari sejarah bangsa, Tuan Presiden.

/selamatgintingofficial

18 June 2019

Rezim Murka Lawan Jenderal Pembangkang


Foto: Republika Online

Oleh Selamat Ginting
Mengapa jenderal kritis harus dilawan dengan hukum subversif dan tuduhan makar?

Peristiwa 26 tahun lalu.  Tepatnya, Juni 1993. Salah satu liputan politik paling menarik perhatian penulis saat awal menjadi wartawan. Ketika itu, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) BJ Habibie mengundang Letjen Marinir (Purn) Ali Sadikin dkk berkunjung ke PT PAL Surabaya.
Apa menariknya? Sangat menarik, karena mantan Gubernur DKI Jakarta bersama sejumlah jenderal dan politikus masuk dalam daftar kaum ‘pembangkang’. Membangkang terhadap pemerintah Orde Baru, pimpinan Jenderal (Purn) Soeharto. Kelompok pembangkang di antaranya adalah jenderal-jenderal militer dan polisi yang tergabung dalam penandatangan Petisi 50, tahun 1980.
Sebut saja, mantan Menko Hankam / Kepala Staf ABRI, Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution; mantan Panglima Kodam Siliwangi, Letjen (Purn) HR Darsono, mantan Panglima Kostrad, Letjen (Purn) A Kemal Idris, mantan Menteri / Wakil Panglima Angkatan Laut, Letjen (Purn) Ali Sadikin; mantan Kepala Polri, Jenderal (Purn) Hoegeng dll.
Selama 13 tahun, kelompok Petisi 50 menjadi oposisi terhadap Presiden Soeharto. Undangan Habibie kepada para pembangkang itu menarik perhatian pers. Tentu saja ingin mengetahui apa reaksi Jenderal Soeharto. Di luar dugaan, kata Habibie, Pak Harto justru merestui inisiatif tersebut.

"Habibie, mereka adalah kawan seperjuangan saya. Mereka adalah Angkatan 45 yang berperan menjadikan kamu seperti sekarang ini," begitu ucapan Pak Harto yang dikutip Habibie. Sejak itulah hubungan antara pemerintah dan penggagas Petisi 50 yang semula kaku dan membeku, perlahan mulai cair. Babak baru percaturan politik era Orde Baru dimulai.
Jenderal kritis
Petisi 50, bukan orang sembarangan. Mereka seperti diakui Soeharto, mempunyai jasa untuk bangsa dan negara. Gerakan oposisi ini diawali dari kelompok Brasildi.  Nama ini tidak ada hubungannya dengan negara paling banyak menjadi juara dunia sepakbola, Brasil. Brasildi adalah akronim dari divisi yang kemudian menjadi komando daerah militer (kodam). Brawijaya, Siliwangi, dan Diponegoro. Komando utama militer di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. 
Grup diskusi ini beranggotakan sejumlah pensiunan elite dari tiga divisi tersebut.  Brawijaya diwakili antara lain Letjen (Purn) GPH Djatikusumo, Letjen (Purn) Sudirman dan Letjen (Purn) M. Yassin. Djatikusumo adalah orang pertama yang menjadi KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat). Dari Siliwangi, ada nama-nama seperti:  Letjen (Purn) Kemal Idris, Brigjen (Purn) Alex Kawilarang, Letjen (Purn) AY Mokoginta. Dari Diponegoro ada nama-nama seperti: Mayjen (Purn) Moenadi H, Mayjen (Purn) Brotosewoyo, dan Mayjen (Purn) Iskandar Ranuwiharjo.
Para purnawirawan kritis itu aktif melakukan diskusi saat situasi politik memanas jelang pemilu 1977. Brasildi kemudian menjadi Fosko (Forum Studi Komunikasi) TNI AD 1978, Yayasan Kartika Eka Paksi. Pimpinannya adalah GPH Djatikusumo.  Salah satu kesimpulan diskusi  para jenderal pensiunan itu menilai suasana politik ‘kurang sehat’. Bahkan Sidang Umum MPR 1978, mirip perang!
Mereka juga mengritik TNI/ABRI belum menempatkan dirinya di atas semua golongan. Menyimpang dari semangat politik TNI adalah politik negara.  Belakangan mantan Panglima Siliwangi yang juga Sekjen ASEAN, Letjen (Purn) HR Dharsono masuk ke dalam Fosko dan diangkat menjadi sekjen mendampingi Djatikusumo.
Kritik mereka terhadap Mabes ABRI semakin keras dan mempertanyakan arah kebijakan Dwifungsi ABRI. Juga protes keras terhadap langkah politik Golkar sebagai partai pemerintah yang membuat sejumlah rekayasa ‘kecurangan’ pemilu dan sidang umum.
Langkah berani para purnawirawan membuat KSAD Jenderal Widodo serba salah.  Ia tak bisa lagi mengendalikan para seniornya yang sudah purnawirawan.  Widodo serba salah harus menjelaskannya kepada Presiden Soeharto. Akhirnya ia membubarkan Fosko pada Mei 1979. Namun membiarkan para jenderal gaek itu membuat wadah baru Forum Komunikasi dan Studi Purna Yudha (FKS).
Dituduh makar
Para senior ini ingin langsung menemui Presiden Soeharto, tanpa melalui KSAD. Jenderal Widodo mempersilakan. Momentumnya saat Soeharto ke Jawa Tengah, November 1979. Di luar dugaan, mereka malah dituduh hendak makar terhadap pemerintah. Sekali lagi dituding akan melakukan makar. Pertemuan pun tidak jadi berlangsung.
Setelah itu, Jenderal (Purn) AH Nasution berinisiatif memperlebar para tokoh, bukan hanya pensiunan TNI Angkatan Darat. Mengundang pensiunan Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian, serta sejumlah tokoh bangsa. Lahirlah Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB),  pada Juli 1978. Proklamator Mohamad  Hatta, Sunario, Ahmad Subardjo, Ali Sadikin, Hoegeng Imam Santoso, dll.
AH Nasution dkk mengritik Orde Baru belum menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara benar.  Kemudian Ali Sadikin dkk bertemu DPR dan mengeluarkan pernyataan keras terhadap pemerintahan Orde Baru yang dinilainya cenderung semakin otoriter.
Presiden Soeharto pun murka. Murka saat rapat pimpinan ABRI pada 27 Maret 1980 di Pekanbaru. Dilanjutkan pada hari jadi ke 28 tahun Kopassanda, kini Kopassus, 16 April 1980 di Cijantung, Jakarta. Soeharto mengingatkan jajaran TNI/ABRI akan adanya kelompok yang ingin mengganti Pancasila. Ia mengaku tak ingin ada konflik bersenjata.
“… (kalau terpaksa) lebih baik menculik seorang dari 2/3 anggota (MPR) yang hendak mengubah UUD 1945 dan Pancasila, agar kuorum tak tercapai,” kata Soeharto.
Aku Pancasila
Soeharto mulai ‘mempersonifikasikan’ dirinya sebagai Pancasila. ‘Akulah’ Pancasila. Sehingga yang berseberangan dengan dirinya dianggap bukan Pancasila.  Soeharto juga menolak isu-isu negatif yang ditujukan pada diri dan keluarganya.

Pernyataan Soeharto dibalas oleh para senior, terutama purnawirawan TNI dan Polri. Ali Sadikin, Hoegeng, Mayjen (Purn) Aziz Saleh dkk kemudian mengundang AY Mokoginta dan M Yassin dari FKS Purna Yudha. Mereka merancang petisi yang dinamai Surat Keprihatinan. Surat itu ditandatangani pada 5 Mei 1980. Sejumlah tokoh bangsa yang ikut andatangan, antara lain: Syafrudin Prawiranegara, Kasman Singodimejo, M Natsir, dan Slamet Bratanata.
Ada 50 orang yang ikut menandatangani surat keprihatinan, maka dinamai Petisi 50. Surat itu dikirim ke DPR dan meminta lembaga legislatif menanggapinya.  Sejumlah anggota DPR dari F-PP dan F-PDI memimta Syafrudin Prawiranegara, Kasman Singodimejo, M Natsir, Slamet Bratanata, pimpinan DPR meneruskan pertanyaan kepada pemerintah.  
Lalu, pada 14 Juni 1980, Ketua DPR Daryatmo meneruskan pertanyaan itu kepada Presiden. Dua bulan kemudian, Presiden Soeharto menjawab melalui Menteri/Sekretaris Negara, Sudharmono.  Namun  dianggap oleh kelompok Petisi 50 bukan merupakan jawaban. Ali Sadikin dkk menganggap persoalan belum selesai.
"Apa yang dilakukan oleh mereka yang menamakan diri Petisi 50, tidak saya sukai," kata Pak Harto dalam otobiografi ‘Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya’.
Perang pun dimulai. Pemerintah Soeharto mencekal (cegah tangkal) ke luar negeri bagi semua anggota Petisi 50 yang tidak bersedia mencabut pernyataannya. Bukan cuma itu, sejumlah hak perdatanya juga ditutup. Misalnya, Ali Sadikin tidak bisa mendapat kredit dari bank.  Perusahannya, PT Arkalina terpaksa ditutup.
Ayah Ton


Konflik antara Presiden Soeharto dengan kelompok Petisi 50 terus berlanjut. Puncaknya pada 1984. Terjadi peristiwa Tanjung Priok dan pengeboman Bank BCA di Jakarta. Dua peristiwa itu menjadi pintu masuk bagi rezim Soeharto memberangus kelompok oposisi, baik Petisi 50 maupun gerakan Islam.

Dua tokoh Petisi 50, mantan Menteri Perindustrian (1966-1968) M Sanusi dan Letjen (Purn) HR Dharsono ditangkap Kopkamtib. Keduanya dituduh terkait pengeboman itu.  Sanusi dituduh sebagai koordinator para pelaku teror yang melakukan pengeboman dan gerakan makar lainnya. 

Dalam persidangan terungkap, adanya rekayasa terhadap peran Sanusi. Para saksi mencabut kesaksian mereka dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Mereka mengaku diintimidasi dan disiksa di penjara saat membuat BAP.  

Sedangkan Jenderal Dharsono dituduh memimpin rapat-rapat para teroris setelah meletusnya peristiwa Tanjung Priok.  Sang  jenderal pun dipenjara selama hampir enam tahun.  Padahal ia hanya memprotes tindakan ABRI yang menembaki rakyat di Tajung Priok.  Tindakan sewenang-wenang yang menewaskan sejumlah orang. Ia minta pemerintah dari pimpinan ABRI harus bertanggung jawab terhadap hilangnya nyawa rakyat.

Begitulah saat rezim panik. Semua lawan politik dikriminalisasi dengan rekayasa hukum.  Oposisi diberangus tanpa ampun. Tak peduli dengan jasa-jasa para bekas menteri maupun pensiunan jenderal.  

Pada 1990, sebagai mahasiswa, penulis turut simpati dan menyambut bebasnya Letnan Jenderal (Purn) Hartono Rekso Dharsono atau dikenal sebagai HR Dharsono dari penjara LP Cipinang. Memakai kaos putih bergambar HR Dharsono dan menyambutnya bagai pahlawan menang perang.
 
Setelah bebas dari penjara, ia mengalami penyakit bronchitis dan kanker. Tentu saja dampak penderitaan yang dialaminya selama di penjara. Ia wafat pada pertengahan 1996.  Ironisnya, pemerintah melarang jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Ia hanya dimakamkan di pemakaman umum.

Letjen (Purn) Kemal Idris sampai menangis melihat perlakuan pemerintah terhadap HR Dharsono. “Ini seperti pemakaman kucing. Padahal dia pahlawan.”  Sebab, semua tanda kehormatan negara, tanda jasa, serta pensiunnya sebagai jenderal, tidak pernah dicabut oleh negara.     

/selamatgintingofficial






Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...