Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

13 November 2021

Membasuh Darah Jenderal Yani (Bagian 4)

Pertemuan dengan Keluarga Besar Jenderal A. Yani
di Museum Sasmita Loka
Foto: dokumen pribadi

“Cukup Bapakmu saja yang menjadi tumbal negara. Jadi anak-anak jangan ada lagi yang jadi tentara,” begitulah pesan yang diungkapkan Yayuk Ruliyah Sutodiwiryo kepada dua anak lelakinya, Untung Mufreni Yani (Untung), dan Irawan Sura Edi Yani (Edi).

Yayuk merupakan ibu delapan anak dari perkawinannya dengan pahlawan revolusi Jenderal TNI (Anumerta) Achmad Yani. Yani adalah Menteri/Panglima Angkatan Darat pada 1962-1965. Saat ini jabatan tersebut disebut Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Untung (67 tahun) merupakan anak ketujuh dan Edi (63 tahun) anak bungsu pasangan tersebut. Dalam peristiwa 1 Oktober 1965, Edi yang diminta pasukan Tjakrabirawa, pengawal Presiden Sukarno untuk membangunkan ayahnya sekitar pukul 04.00-an WIB. Ia tidak tahu kalau pasukan itu justru akan menculik dan membunuh ayahnya.

Anak-anak Yani tidak sampai hati melihat ibunya membasuh wajahnya dengan darah Jenderal Yani. Darahnya menggumpal di lantai dekat ruangan makan keluarga akibat tembakan membabi buta dari pasukan Tjakrabirawa.

Pesan dari ibunda dikemukakan oleh Untung kepada penulis dalam pertemuan keluarga besar Jenderal A Yani di Museum Sasmita Loka Jenderal A Yani, Jalan Lembang D-58, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (9/11/2021). 

“Kami sebenarnya ingin menjadi tentara seperti Bapak (Jenderal A Yani), tapi kami tidak ingin membantah pesan dari Ibu,” ujar Edi. “Takut kualat membantah petuah Ibu,” kata Untung, melengkapi.

Batal Jadi Tentara

Bukan hanya Untung dan Edi saja yang hadir, melainkan empat kakaknya. Anak pertama; Indriyah Ruliati Yani (Ruli), anak ketiga; Amelia Yani (Amel), anak kelima; Widna Ani Yani (Nanik), dan anak keenam; Reni Ina Yuniati (Yuni). Sementara anak kedua; Herliah Emmy Yani (Emmi) wafat tahun 2007, dan anak keempat; Elina Elastria (Elina/Juwita) berhalangan hadir. 

Bahkan lanjut Untung, Jenderal Sarwo Edhie Wibowo yang merupakan sahabat ayahnya, beberapa kali menawarkan dirinya dan Edi untuk mendaftar ke Akademi Militer (Akmil). “Om Sarwo akan memberikan rekomendasi, tapi kami tetap ingat petuah Ibu,” ungkap Untung.

Nanik (70 tahun) menceritakan almarhum ayahnya kerap menceritakan tentang para taruna Akmil di Magelang maupun Bandung yang gagah, pintar, dan calon patriot bangsa. Misalnya saat keluarga mengunjungi Jawa Tengah, yang tidak pernah dilupakan adalah cerita tentang taruna di Magelang. 

“Sepertinya bapak ingin anak perempuannya menikah dengan tentara lulusan Akmil,” ujar Nanik sambil tersenyum, penuh arti. Namun, lanjut Nanik, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965/Partai Komunis Indonesia (PKI) yang merenggut nyawa ayahnya (Jenderal A Yani), ibunya meminta agar anak-anaknya menjauh dari kehidupan tentara. “Kalau perlu tidak ada yang menikah dengan taruna, walau lulusan Akmil sekalipun,” ungkap Nanik.

Namun, takdir berkata lain. Dua anak perempuan pasangan Jenderal Yani dan Yayuk Riliyah, ternyata mendapatkan jodoh tentara lulusan Akmil. Anak pertama; Ruli suaminya adalah Brigadir Jenderal TNI (Purn) Soedarsono, lulusan Akmil 1965 dari Korps Infanteri. Satu kelas dengan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar. 

“Kalau saya sudah kepalang tanggung. Karena waktu bapak masih hidup, calon suami saya masih taruna dan sudah pernah ke rumah. Juga sudah berkenalan dengan bapak dan ibu saya. Bahkan pada 30 September 1965, Mas Soedarsono sempat menemui Bapak,” ujar Ruli (76 tahun), mengenang masa lalunya. 

Brigjen Soedarsono terakhir berdinas militer di Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) yang kini menjadi BIN. Ia juga sempat menjadi anggota DPR RI setelaj pensiun dari militer.

Lain lagi cerita Nanik. Suaminya adalah Mayor Jenderal TNI (Purn) Judi Magio Jusuf. Lulusan Akmil 1973 dari Korps Infanteri. Teman satu kelas dengan Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono. Mayjen Judi M Jusuf terakhir dalam dinas militer sebagai Asisten Pengamanan KSAD. Jadi dua menantu Jenderal Yani memiliki keahlian di bidang intelijen. 

“Saya terus terang ingat pesan Ibu, jangan menikah dengan tentara. Tapi Mas Judi yang desak terus. Akhirnya saya menyerah sambil minta maaf kepada Ibu,” ungkap Naik yang disambut gelak tawa saudara-saudaranya. 

Sahabat Sarwo

Yuni (68 tahun) juga menceritakan bagaimana keluarganya tersobsesi kehidupan Angkatan Darat dengan segala suka dan dukanya. Setelah ayahnya gugur, banyak anggota masyarakat silih berganti mengunjungi rumah duka selama satu tahun. 

“Om Sarwo (Sarwo Edhie Wibowo) juga kerap datang mengunjungi kami. Datang dikawal panser. Menanyakan keadaan kami. Ibu selama sekitar satu tahun terus berduka dan lebih banyak berada di dalam kamar,” kenang Yuni.

Sarwo Edhie merupakan teman satu kelas dengan Yani waktu pendidikan Shodanco (komandan kompi) bagi tentara PETA (Pembela Tanah Air) di Bogor, Oktober 1943. Yani sebelumnya sempat menjadi Sersan pada Dinas Topografi KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indische Leger), Belanda dan berdinas di Bandung. Sempat bertempur dengan Jepang di Ciater, sebagai pengalaman pertamanya dalam perang. 

Ia sempat meringkuk beberapa bulan di kamp tawanan perang Jepang, setelah tentara Negeri Matahari Terbit itu menundukkan tentara Belanda di Indonesia, pada 1942. Para tentara Belanda dan pribumi yang menjadi tentara KNIL pun menjadi tawanan perang. Sampai akhirnya dibebaskan dan pemuda Yani menjadi pengangguran. 

Yani dan Sarwo sempat berada dalam batalyon yang sama. Mayor Yani sebagai Komandan Batalyon 3 Resimen Magelang. Sedangkan Kapten Sarwo Edhie sebagai komandan kompi. Resimen ini berada di bawah Divisi V yang bermarkas di Purwokerto. Panglima Divisinya adalah Kolonel R Soedirman, kelak menjadi Panglima Besar.

Yani pula yang mempromosikan Sarwo menjadi Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) walau ditentang beberapa pihak. Kelak keputusan Yani justru benar dan Sarwo menjadi komandan penumpas PKI. 

Tamu dan Trauma

Yuni menceritakan, selama sekitar satu tahun, nyaris tamu tiada henti mendatangi rumah duka. Untuk menerima kedatangan tamu, mereka membuat seragam tentara khas Angkatan Darat. “Kami minta brevet wing para (terjun payung militer) kepada Om Sarwo untuk melengkapi seragam agar terlihat lebih gagah. Om Sarwo memberikan enam wing untuk kami berenam,” ujar Yuni. 

Jika para tamu datang, keenam anak Jenderal Yani menyambut dengan rasa hormat dengan berbaris rapi. Komandannya adalah Amelia yang punya bakat memimpin. Ia juga menjadi aktivis KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) yang mengritisi kepemimpinan Presiden Sukarno. Dalam lubuk hatinya sesungguhnya Amelia protes terhadap negara atas gugurnya ayahandanya sebagai kusuma bangsa. 

“Dua kakak kami pada Desember 1965 melanjutkan pendidikan tinggi di Kota Bonn Jerman Barat. Sekaligus untuk melupakan trauma,” ujar Amel (72 tahun). Sehingga sebagai anak ketiga, Amelia menjadi yang tertua, ia memimpin adik-adiknya. 

Belakangan, Amel juga melanjutkan pendidikan tinggi ke Inggris. Hal ini setelah mendapatkan saran dari psikolog setelah Amel juga sakit-sakitan akibat trauma tidak bisa melupakan peristiwa terbunuhnya ayahanda di depan mata anak-anaknya. Kemudian Amel bekerja untuk UNDP (United Nations Development Programme).

“Wah itu (Amelia) komandan galak memimpin adik-adiknya,” celetuk Untung, disambut gelak tawa kakak-kakaknya. “Harus galak supaya nurut semua,” jawab Amelia, tersenyum. Beruntung kedelapan anak dari Jenderal Yani mengenyam pendidikan tinggi semuanya. Awalnya di Universitas Indonesia (UI), kemudian melanjutkan ke luar negeri dan Kembali lagi ke UI. Bahasa Inggris menjadi menu wajib bagi keluarga ini. Bahkan ibunda mereka, Yayuk Ruliyah juga mengikuti kursus bahasa Inggris selama sekitar dua tahun. 

“Bapak ingin agar ibu bisa berkomunikasi dengan para istri atase pertahanan asing di Indonesia. Sehingga ibu mengikuti kursus Bahasa Inggris,” kenang Amel. Sedangkan Jenderal Yani menguasai tiga bahasa asing, Inggris, Belanda, dan Jepang.

Misi dan Hukuman

Yani Sebagai tentara, Yani pernah mengenyam pendidikan militer di Amerika Serikat dan Inggris selama 1,5 tahun pada 1954-1956. Usai sebagai Komandan Operasi 17 Agustus 1958-1959, Yani menjadi bintang baru militer Indonesia. Ia juga pernah menjalankan program ‘Misi Yani’ ke Eropa Timur untuk membeli alat utama sistem senjata (alutsista) pada 1960. Alutsista itu untuk persiapan merebut Irian Barat dari tangan Belanda.

Misi rahasia Brigjen Yani ke sejumlah negara, termasuk Yusgoslavia. Belakangan Yugoslavia terpecah-belah pada tahun 1991 setelah runtuhnya rezim-rezim Komunis di Eropa Timur. Kroasia, dan Slovenia memilih merdeka. Kemudian diikuti pula oleh Bosnia dan Herzegovina pada 1992. Kelak nasib mengantarkan Amelia Yani menjadi Duta Besar RI di Bosnia dan Herzegovina pada 2016-2020. 

Jika remaja Amel aktif di KAPPI sejak di SMA Santa Ursula, maka kakak-kakaknya memilih organisasi mahasiswa yang berbeda-beda. “Ruli di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dan ikut resimen mahasiswa. Emmi di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia),” ungkap Amel.

Kini Ruli juga masih mengajar di Fakultas Psikologi di Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjadi) di Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Perguruan tinggi swasta (PTS) di bawah Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP) milik Angkatan Darat. PTS yang menggunakan nama ayahandanya. Ia menjadi dosen istimewa dengan usia 76 tahun namun masih energik.

Sedangkan Emmi menikah dengan pengusaha Soebronto Laras. Sepulang dari Jerman, Emmi kembali melanjutkan pendidikan di UI. Kemudian berbisnis sebagai pemegang franchise sekaligus managing director restoran ayam goreng Church 's Texas Fried Chicken. Putri kedua Jenderal Yani ini meninggal pada awal Januari 2007, karena sakit komplikasi liver dan paru-paru yang dideritanya sejak lima bulan.

Jika Ruli dan Emmi melanjutkan kuliah di Jerman, lain lagi dengan adik-adiknya. Amel, Juwita serta Yuni melanjutkan kuliah di Inggris. Sedangkan Nanik melanjutkan kuliah di Prancis. Sementara dua adiknya yang lelaki, Untung dan Edi melanjutkan pendidikan di Amerika Serikat. 

Kedua anak lelaki Jenderal Yani dibantu oleh sahabat ayahnya Kolonel Benson. Teman sama-sama Yani waktu melajutkan sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Fort Leavenworth di Kansas. Benson juga sempat menjadi atase militer Amerika di Jakarta. “Kami sering berlatih bahasa Inggris walau masih ngawur-ngawuran di dalam mobil ketika mengikuti pesiar dengan bapak dan ibu ke puncak setiap Sabtu dan Minggu,” ujar Untung. 

Amel menceritakan, perjalanan ke puncak hampir dilakukan setiap pekan. Ayahnya menyetir mobil sendiri didampingi ibunya di depan, Sedangkan di belakangnya khususnya anak keenam, ketujuh, dan kedelapan. 

“Jadi Yuni, Untung dan Edi mendampingi bapak dan ibu satu mobil. Sementara yang lain berada dalam mobil lainnya berlima. Kemudian dikawal satu mobil ajudan dan pengawal serta mobil logistik,” ungkap Amel mengenang masa-masa indah bersama kedua orangtuanya.

Suatu ketika, kenang Yuni. Ia Bersama Untung dan Edi mencoba ikut-ikutan orang di kampung kawasan Cipayung, Puncak. Menghisap rokok dari daun kawung, namun tidak ada tembakaunya. Aksi ikut-ikutan itu diketahui ayahnya.

“Waduh saya dihukum harus menghisap pipa cangklong rokok tapi tanpa rokok dan tembakau, sampai bibir pegal. Itulah hukuman dari bapak agar anak-anaknya tidak merokok,” ujar Yuni. 

Akibat mengalami flu berkepanjangan, Brigjen Yani pada 1960 berhenti merokok. Karena itu ia tidak menginginkan anak-anaknya merokok sejak muda. “Hukuman dari bapak kepada anak laki-lakinya adalah menyentil telinga. Waduh sakit juga,” cerita Untung sambil terbahak-bahak.

Keenam anaknya mengakui ayahnya tidak galak. Justru ibunya yang lebih keras terhadap anak-anaknya. Mungkin Jenderal Yani menyadari jika dirinya tidak bisa selalu menemani anak-anaknya jika sedang melaksanakan tugas operasi, kunjungan kerja keliling Indonesia maupun luar negeri, serta sekolah militer di negara lain. 

Istri Jenderal Jual Sembako

Banyak yang tidak tahu bagaimana janda Achmad Yani itu harus menerima kenyataan pahit. Bukan lagi menjadi istri pejabat negara, Panglima Angkatan Darat. Ia harus menghidupi keluarganya, karena pension janda jenderal bintang empat hanya menerima sekitar Rp150 ribu, sejak akhir 1965.

“Anak-anakku…. Kalian bukan lagi anak Menteri Panglima Angkatan Darat. Kini kalian adalah anak pedagang sembako. Begitu kira-kira pesan ibuku,” kata Ruli mengenang beratnya beban hidup keluarganya.

Setiap hari sejak Senin hingga Jumat dari pagi hingga malam hari, ibunya mesti masuk pasar keluar pasar. Banting tulang untuk membiayai hidup keluarganya. Termasuk membiayai sekolah anak-anaknya. Menjual semacam bahan sembilan pokok dan barang-barang lainnya. Termasuk jual beli tanah di Kawasan Jakarta. Laba dari berdagang itu antara lain untuk menyekolahkan anak-anaknya.

Mereka tidak lagi menerima fasilitas sekelas menteri dan jenderal. Semua fasilitas negara ditarik, baik rumah maupun kendaraan. Hanya menyisakan satu ajudan untuk keselamatan ibundanya. Semua sisa-sisa harta dijual agar bisa membeli rumah yang berada persis di depan rumah tempat peristiwa terbunuhnya Jenderal yani di Jalan Lembang.

“Ibu sulit melupakan rumah di Jalan Lembang ini. Karena darah bapak di lantai setelah ditembak pasukan Tjakrabirawa, langsung diusapkannya ke wajah dan tubuh ibu,” ungkap Amel.

Hidup Zig Zag

Ruli menceritakan, mungkin dia yang paling tahu bagaimana penderitaan sebagai anak kolong (tentara). Sebagai anak pertama, ia merasakan bagaimana ayahnya harus pindah ke sana kemari karena panggilan tugas. Termasuk tiba-tiba harus meninggalkan rumah dinas serta kendaraan dinas saat ayahnya harus sekolah ke Amerika dan Inggris.

“Ibuku yang biasa naik mobil dinas sebagai istri komandan, tiba-tiba harus naik sepeda membonceng kami ke sekolah dan membawakan makanan bekal untuk anak-anak di sekolah saat di Tegal.”

Begitulah pasang surut dan kehidupan zig zag begitu terasa. Tentunya yang utama kondisi setelah peristiwa G30S/PKI, Bagi Ruli dan adik-adiknya, paling menyakitkan dan tidak bisa dilupakan hingga saat ini adalah peristiwa dibunuhnya ayahanda.

Bagi keluarga besar, Jenderal Yani tentulah pahlawan luar biasa dengan segala plus minusnya sebagai manusia. Pahlawan revolusi itu mendapatkan tempat terhormat dalam panggung sejarah Indonesia. Peti jenazahnya di atas panser dikawal jenderal senior Letjen GPH Djatikusumo, KSAD pertama.

Hal ini menandakan penghormatan tertinggi TNI untuk segala bakti Yani “Een en militair” (seorang militer sampai ke tulang sumsumnya). Itulah pahlawan kusuma bangsa dari Jenar, Purworejo, Jawa Tengah. Jenderal yang memegang psinsip menolak Angkatan Kelima dan Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis), walau jabatan dan nyawa menjadi pertaruhannya.

/selamatgintingofficial

30 October 2021

Telepon Misterius di Rumah Jenderal Yani (Bagian 1)

Buku Agenda Jenderal A. Yani tentang Dewan Jenderal
Foto: Dokumen Pribadi

Kamis malam, 30 September 1965. Kolonel Soegandhi Kartosoebroto, bekas ajudan senior Presiden Sukarno mendatangi rumah Menteri/Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal TNI Achmad Yani di Jalan Lembang D-58, Menteng, Jakarta Pusat.

Ia bermaksud memberitahukan kepada Jenderal Yani bahwa Presiden Sukarno marah-marah di istana. “Apa itu Dewan Jenderal?! Apa itu Dewan Jenderal?!” kata Kolonel Sugandhi menirukan ucapan Sukarno yang sedang marah.

Kolonel Soegandhi, anggota DPR Gotong Royong itu menceritakan hal tersebut kepada Mayor CPM (Corps Polisi Militer) Subardi, ajudan dari Jenderal Achmad Yani, di rumah Panglima Angkatan Darat.

Soegandhi urung melaporkan langsung kepada Jenderal Yani. Ia menyampaikan hal tersebut kepada Mayor Subardi untuk disampaikan kepada orang nomor satu di Markas Besar Angkatan Darat. Alasannya masih ada tamu di kediaman Jenderal Yani.

Mengenai Dewan jenderal, Jenderal Yani sesungguhnya sudah menjelaskan kepada Presiden Sukarno. Yani dalam buku agendanya menyebutkan, Presiden Sukarno terpengaruh oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mengembuskan isu Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden pada 5 Oktober 1965.

“Isu dewan jenderal, jenderal-jenderal Pentagon berkulit sawo matang, serta dokumen Gilshrist tentang Our Local Army Friend dibuat oleh PKI untuk menyudutkan saya,” kata Yani dalam tulisan di agendanya.

Yani memang lulusan sekolah militer di Amerika Serikat dan Inggris saat berpangkat letnan kolonel senior. Ia mengikuti Pendidikan di US Army Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat. Kemudian melanjutkan pendidikan di Warfare Trainning di Inggris pada 1955.


Simak video "Firasat & Telepon Misterius di Rumah Jenderal A. Yani"


Mengenai isu-isu miring terhadap dirinya, Jenderal Yani mengirimkan surat kepada Presiden Sukarno.

“Isunya diputarbalikkan, seakan-akan kami (karena disekolahkan oleh negara ke Amerika) pro-Amerika, mata-mata Amerika dan akan menyingkirkan Presiden. Beberapa kali info tersebut disampaikan (PKI) pada Bapak Presiden bahwa AD (Angkatan Darat) akan coup, akan ini dan itu. Lama-lama kalau Bapak (Presiden RI) mendengar soal ini juga mulai percaya (PKI). Anti PKI tidak berarti otomatis pro Amerika, sebaliknya anti-Barat otomatis pro-Timur,” ujar Yani dalam suratnya kepada Presiden Sukarno.

Padahal, kata Yani, bukti-bukti ketaatan TNI sudah cukup diberikan terhadap setiap penyelewengan dari tujuan nasional, dari mana pun datangnya telah dan akan kita hadapi.  (Semua pemberontakan dan pergolakan di Tanah Air ditumpas oleh TNI atas nama negara).

Dewan jenderal yang dimaksud sesungguhnya adalah rapat para jenderal senior untuk menentukan sejumlah kolonel yang akan dipromosikan menjadi brigadir jenderal. Sejak berpangkat brigadir jenderal, Yani menjadi sekretaris Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti). Rapat biasanya dipimpin Letjen Gatot Subroto dan Mayor Jenderal GPH Djatikusumo. 

Nasakom dan Angkatan Kelima

Kembali soal kedatangan Kolonel Soegandhi. Ia tidak bisa masuk rumah Yani, karena Panglima Angkatan Darat masih menerima tamu hingga pukul 22.00 WIB. Sehingga Soegandhi menyampaikan pesan tersebut kepada ajudan Yani.

Tamu istimewa Yani malam itu adalah Panglima Kodam Brawijaya, Mayor Jenderal TNI Basuki Rachmat. Basuki melaporkan kepada Yani bahwa aktivis Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dari PKI melakukan perusakan kantor Gubernur Jawa Timur (Jatim).

Malam itu, Jenderal Yani sekalian mengajak Jenderal Basuki Rachmat untuk ikut menghadap Presiden Sukarno pada Jumat pagi, 1 Otober 1965 tentang situasi di Jawa Timur tersebut.

Yani juga sudah memberitahukan kepada ajudan bahwa Jumat pagi akan menghadap Presiden Sukarno. Sekaligus memberitahukan kepada istrinya  bahwa kemungkinan hari itu juga akan dicopot dari jabatan sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat.

“Bapak sudah memberitahukan kepada Ibu bahwa akan diganti oleh Mayor Jenderal TNI Moersid,” kata Amelia Yani, putri ketiga dari delapan bersaudara, anak kandung dari pasangan Jenderal Yani dengan Yayuk Ruliyah Sutodiwiryo. Keluarga mengetahui hal tersebut dari Mayor Subardi. 

Ketidakcocokan dengan Presiden Sukarno mengenai konsep Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) dan sikap keras Achmad Yani menolak Angkatan Kelima, menjadi sinyal retaknya hubungan Yani dengan Presiden Sukarno. Angkatan Kelima yang digagas PKI dan kemudian mendapatkan dukungan dari Presiden Sukarno ditentang keras oleh Angkatan Darat.

Angkatan Kelima di luar dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Angkatan Kelima yang diminta PKI agar buruh dan tani turut dipersenjatai untuk membantu perjuangan Indonesia dalam melawan Inggris yang mendirikan negara Federasi Malaysia. Jumlahnya sekitar 15 ribu orang, terdiri dari 5.000 buruh dan 10.000 tani.


Peringatan Haryono MT

Jenderal Yani marah besar ketika anak buahnya Pembantu Letnan Dua (Pelda) Sujono di Bandar Betsy, Simalungun, Sumatra Utara, tewas. Sujono gugur pada 14 Mei 1965 setelah kepalanya dicangkul oleh aktivis tiga organisasi sayap PKI, yaitu BTI (Barisan Tani Indonesia), PR (Pemuda Rakyat) dan Gerwani.  

Sepekan setelah peristiwa Bandar Betsy tersebut, Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal TNI MT Haryono menyarankan kepada Yani untuk bertindak terhadap PKI. “Kalau (Panglima Angkatan Darat) tidak mulai mengambil tindakan (terhadap PKI), tak pelak Anda akan dibunuh mereka,” kata Mayjen Haryono kepada Letjen Yani pada 20 Mei 1965.  

Malam semakin larut. Mayjen Basuki Rahmat pun pamit sambil memberikan hormat militer. Yani langsung menuju kamar tidurnya untuk istirahat. Mempersiapkan diri menerima keputusan untuk diganti oleh Mayor Jenderal Moersjid, Deputi I Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Saat Yani tidur, malam itu, dua kali telepon di rumahnya berdering. Setelah diangkat oleh putri keduanya, Emi Yani, di ujung telepon menanyakan “Bapak ada di rumah?” Tidak merasa curiga, sang putri menjawab, “Bapak ada di rumah sudah tidur.”

Pada malam Jumat itu, jelang pergantian hari, telepon dari orang tidak dikenal, kembali berdering. Lagi-lagi menanyakan posisi Jenderal Yani. “Bapak ada di rumah?” Kembali dijawab oleh Emi Yani, “Bapak ada di rumah sedang tidur.”  

Kisah-kisah di malam kelam itu diceritakan Amelia Yani, putri ketiga dari pahlawan revolusi Jenderal Achmad Yani, kepada penulis di kediaman Jenderal Yani, Jl Lembang D-58, Menteng, Jakarta Pusat, 28 Oktober 2021 lalu. Rumah ketika Jenderal Yani diculik dan dibunuh oleh Pasukan Gerakan 30 September (G-30-S) yang dibantu Pemuda Rakyat, organisasi sayap PKI.  

Bagaimana kisah selegkapnya? Ikuti wawancara Selamat Ginting dengan Amelia Yani dalam channel youtube SGinting Official.


/sgo

11 October 2021

10 Oktober dan Akhir Rambut Kuncir Sun Yat Sen

Mengingatkan pada Republika On Line 11 Oktober 2018.

https://www.republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/10/11/pgeyi0385-10-oktober-dan-akhir-rambut-kuncir-sun-yat-sen

Foto: Wikipedia

Beberapa tahun silam, berkesempatan mempelajari sejarah revolusi Cina di Negeri Tirai Bambu. Di Guangzhou terdapat monumen tentang Bapak Cina Modern, Sun Yat Sen. Ia dokter, politikus, dan revolusioner.  Kegagalan demi kegagalan menjadi cap dirinya.

Barulah yang ke-11 kali, ia berhasil melakukan kudeta terhadap kekaisaran Cina. Anda yang suka nonton film-film kekaisaran, tentu akrab dengan lelaki berpenampilan rambut dikuncir. Ya, selama kekuasaan Dinasti Qing, orang Cina wajib memanjangkan kuncirnya. Tapi kaum pemberontak mencukur habis semua kuncirnya pada 10 Oktober 1911. 

Pencukuran ini menandai perebutan Kota Wuchang oleh kaum pemberontak dengan menyerang istana raja muda. Kota ini sudah berada di bawah kekuasaan kaum pemberontak sebelum fajar pagi menyingsing. Salah seorang yang berada di balik pemberontakan itu adalah dokter Sun Yat Sen. Dia pimpinan Zhongguo Dongmenghui. Sampai 10 kali melakukan revolusi, ia gagal. Baru setelah 11 kali, berhasil.

Pemberontakan dipimpin komandan lapangan Kolonel Li Yuanhong. Sun saat itu sedang di Amerika. Pada 10 Oktober itulah para pejuang nasionalis di Cina mendeklarasikan berdirinya negara republik. Dengan demikian, setelah 2.000 tahun diperintah para raja, Cina bukan lagi berbentuk kekaisaran melainkan menjadi negara Republik Cina.

Peristiwa itu populer disebut Revolusi 1911 atau Revolusi Cina. Sun Yat Sen dkk berhasil menjungkalkan kekaisaran dinasti Qing, yang telah berkuasa sejak 1644. Hasilnya, “Kaisar Terakhir” Cina, Pu Yi, resmi turun dari kekuasaan pada 12 Februari 1912.

Revolusi itu merupakan reaksi atas ketidakmampuan dinasti Qing mengangkat kembali kejayaan Cina. Bahkan, Kekaisaran Cina dalam tahun-tahun terakhir tunduk kepada kekuatan-kekuatan asing, baik dari Barat maupun dari Jepang.  Rakyat dibiarkan melarat, sehingga membuat Sun Yat Sen dan para pejuang melancarkan perlawanan untuk mengakhiri kekuasaan raja di Cina.

Sun Yat Sen menjadi Presiden sementara Republik Cina, dari 29 Desember 1911 hingga 10 Maret 1912. Ia dapat julukan sebagai Bapak Negara Cina Modern, baik di Cina daratan maupun Taiwan. Kemudian menjadi presiden definitif pada 1919-1925. Sun digantikan penerusnya Jenderal Ciang Kai Sek.

Negara itu kemudian dilanda perang saudara selama bertahun-tahun. Berujung pada pertikaian dua kubu – yaitu kekuatan nasionalis pimpinan Jenderal Chiang Kai-sek dan kubu Komunis pimpinan Mao Zedong. Pada 1949, kubu Nasionalis akhirnya tersingkir dari Cina Daratan. Mereka lalu pindah ke Pulau Taiwan dengan tetap memakai nama negara Republik China. Kubu komunis pada 1 Oktober 1949 mendirikan negara baru bernama Republik Rakyat China.

Namun, pemerintah dan rakyat RRC – termasuk di Hong Kong dan Makau – tetap merayakan perjuangan 10 Oktober 1911 itu sebagai Peringatan Revolusi Xinhai. Sedangkan Republik Cina di Taiwan menjadikan 10 Oktober sebagai hari jadi negara mereka. Kala itu Sun Yatsen dan orang Taiwannya sudah benar-benar berambut klimis dan tak kuciran lagi.

/selamatgintingofficial

30 September 2021

PNI, PKI, Sukarno, Nasakom, dan Angkatan Darat

Foto: Republika, 28 September 2020

Dikemukakan, hal itu juga dikemukakan oleh Ketua Umum PNI Ali Sastroamijoyo pada ulang tahun ke 45 PKI. Ia menyatakan PNI bersedia bekerjasama dengan PKI. Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 1959-1960 sudah terang-terangan menyatakan ketidaksukaan kedekatan Sukarno dengan PKI. Ia akhirnya mundur dari posisi Wakil Presiden, karena Sukarno dianggap sudah tidak bisa diberitahu lagi.

14 February 2020

Ali Moertopo, Soemitro, Soeharto, Siapa Dalang Malari?


Foto: tirto.id

Oleh Selamat Ginting

Para mahasiswa memprotes cara pembangunan dari bantuan asing. Juga menuding terjadi ketidakstabilan sosial. Orang-orang Jepang dan Cina bekerjasama dengan beberapa elite nasional ‘penjual negara’. Siapa mereka?

Latar belakang panggung didominasi warna merah. Terpampang kalimat: 20 tahun Indemo. 46 tahun Peristiwa 15 Januari. Pemilik acara, Hariman Siregar (70 tahun) mengenakan batik kombinasi warna kuning kecoklatan dan celana panjang coklat. Bergaya anak muda, ia pun menggunakan sepatu kets. Bukan sepatu pantovel, seperti orang yang sedang menghadiri undangan resmi.

Sang tokoh tetap bicara apa adanya. Bukan sedang bermain film, walau acara diselenggarakan di Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jl HR Rasuna Said, Jakarta. Rabu, 15 Januari 2020, para aktivis hadir menyaksikan orasi Hariman, lelaki kelahiran Padang Sidempuan, Sumatra Utara.

Bekas ketua dewan mahasiswa (DM) Universitas Indonesia (UI) tahun 1973-1974 itu menilai, kondisi Indonesia saat ini mengalami kemunduran. Keadaan yang sama dan tidak bisa beranjak pada situasi yang terjadi ketika peristiwa demonstrasi mahasasiswa pada 15 Juli 1974. Ada  kemunduran demokrasi dan investasi asing yang ugal-ugalan.

''Waktu itu (1973-1974), saya masih yakin Indonesia dalam 20 tahun ke depan akan menjadi raksasa Asia. Ternyata tidak terjadi. Sama dengan kondisi sekarang, saat itu para mahasiwa sudah memperingatkan agar pembangunan jangan mengejar angka pertumbuhan. Tapi bagaimana meratakan keadilan dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat,” kata Hariman pada peringatan 46 tahun peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari 1974), di Jakarta, Rabu (15/1).

Hadir dalam acara itu, antara lain dua jenderal bintang empat. Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Djoko Santoso dan Laksamana (Purn) Tedjo Edhie Purdijanto, mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam). Saat Malaria 1974, kedua jenderal itu masih berstatus sebagai taruna. Keduanya lulus Akademi TNI tahun 1975.

Era 1974, beberapa nama jenderal menghiasi sejumlah media massa. Ada Pangab Jenderal Maraden Panggabean, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, Kaskopkamtib Laksamana Sudomo, Letnan Jenderal Ali Moertopo,  Letnan Jenderal Soejono Hiemardani, dan Letnan Jenderal Sutopo Juwono. Namun dari sekian banyak jenderal, episentrum berada pada Jenderal Soeharto. Saat itu ia berusia 53 tahun, masih sebagai jenderal aktif, sekaligus Presiden RI.

Inflasi tak Terkendali

Mengherankan, peristiwa malapetaka terbesar pertama di era Orde Baru itu, tidak pernah dibentuk tim investigasi. Kali ini yang hendak dibahas, siapa sesungguhnya dalang Malari 1974? Apakah ada keterlibatan Jenderal Soeharto? Atau berhenti pada persaingan Jenderal Soemitro dengan Jenderal  Ali Moertopo?

Membahas peristiwa itu, harus diketahui terlebih dahulu kondisi awal pemerintahan Orde Baru.  Pada awal Orde Baru, program pemerintah fokus pada penyelamatan ekonomi, memberantas inflasi, serta penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat.

Hal ini berbeda dengan keadaan pada masa demokrasi terpimpin (Orde Lama) era Presiden Sukarno. Sukarno fokus pada pembangunan politik daripada pembangunan ekonomi. Puncaknya, keberhasilan Indonesia mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Namun, Sukarno gagal membangun ekonomi nasional. Inflasi tak terkendali.

Inflasi merupakan kondisi dimana terjadi kenaikan harga barang dan jasa dalam sebuah negara seiring dengan waktu. Efek inflasi sangat merugikan masyarakat, karena dengan jumlah uang yang sama, hanya dapat membeli barang yang sama dengan jumlah lebih sedikit. Nah, salah satu cara melawan efek dari inflasi adalah melakukan investasi. Tentu saja  harus memilih investasi yang memberikan imbal balik yang jauh di atas laju inflasi.

Investasi apa yang dipilih pemerintahan Soeharto? Awalnya, tentu saja sang jenderal dari Kemusuk Yogyakarta ini mengalami masalah ekonomi dan politik yang berat. Efek hancurnya perekonomian di akhir pemerintahan Sukarno adalah tingkat inflasi sebesar 650% setahun. Tidak memungkinkan bagi Orde Baru melaksanakan pembangunan secepatnya.

Sebagai pejabat presiden, Soeharto memilih kebijakan stabilisasi politik dan rehabilitasi bidang ekonomi terlebih dahulu. Kebijakan itu berupa kebijakan fiskal, moneter, dan impor.  Pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan penting, salah satunya peraturan 3 Oktober 1966. Peraturan itu memuat pokok-pokok usaha.

Pertama; anggaran belanja yang berimbang  untuk meniadakan salah satu sebab bagi inflasi, yaitu defisit dalam anggaran belanja. Kedua; pengekangan ekspansi kredit untuk usaha-usaha produktif, khususnya bidang pangan, eksport, prasarana dan industri. Ketiga; penundaan pembayaran hutang-hutang luar negeri dan usaha untuk mendapatkan kredit baru.

Keempat; penanaman modal asing guna membuka kesempatan pada luar negeri untuk turut serta membuka alam Indonesia, membuka kesempatan kerja serta membantu usaha peningkatan pendapatan nasional. (MD Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1993, Sejarah Nasioanl Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka).

Pemerintah Orde Baru mempertegas dengan mengeluarkan kebijakan Undang-Undang tentang penanaman modal asing pada 10 Februari 1967.  Penanaman modal terbesar adalah perusahaan-perusahaan Jepang. Mereka sangat menonjol sejak awal kebijakan investasi baru dan pangsa investasinya meningkat terus.

Dana investasi Jepang sampai pada 1973 senilai US $ 534 juta untuk 135 proyek. Jumlah proyek terbanyak di Indonesia, mengalahkan investasi Amerika Serikat dengan 115 proyek.  Namun, dana investasi Jepang dan pinjaman dana asing mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa.

“Kami tak bangga kepada bantuan asing yang hanya berarti lebih banyak gedung-gedung mentereng menjulang, lebih banyak nightclub dan banjir Coca-cola, tetapi di lain pihak makin banyak rakyat tak mendapat pekarjaan, kehilangan tanah, tak punya rumah, industri-industri kecil mati, hutan-hutan menjadi gundul dan ladang minyak menjadi kering”  Begitulah bunyi memorandum GMII (Gerakan Mahasiswa Indonesia untuk Indonesia) kepada J.P Pronk, Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda. (Amir Husein Daulay dan Imran Hasibuan, 2011, Hariman dan Malari Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing, Jakarta: U-Communication).

Demonstrasi mahasiswa

Sejak itu mahasiswa terus memprotes cara pembangunan dari bantuan asing. Juga menuding terjadi ketidakstabilan sosial. Orang-orang Jepang dan Cina bekerjasama dengan beberapa elite nasional ‘penjual negara’. Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani dituding mahasiswa sebagai elite  nasional ‘penjual negara’.

Kedua jenderal itu merupakan asisten pribadi (aspri) Presiden Soeharto. Pada 1974 keduanya masih berpangkat mayjen. Ali juga sebagai komandan operasi khusus (opsus). Selain keduanya, lembaga CSIS (Centre for Strategic and Internasional Study) juga dituding sebagai badan kolaborasi penentu kebijakan pemerintah, sebagai antek imperialis asing.

Di sisi lain ada Soemitro  selaku Wakil Panglima ABRI (wapangab) meragkap Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (pangkopkamtib). Dia dianggap menentang modal asing, namun tidak menyerukan secara terbuka. Jenderal berperawakan gendut itu sejak November 1973, rajin mengunjungsi perguruan tinggi besar di Jakarta, Bandung Surabaya, dan Yogyakarta.

Ia berdalih, kunjungan itu atas perintah Presiden Soeharto, seperti diungkapkan dalam biografinya. Dalam buku ‘Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib’, karya Ramadha KH, “Pak Harto cerita tentang keadaan kampus yang resah dan meminta agar saya menenangkan kampus-kampus itu. Saya jawab “Bersedia, Pak.”

Dalam dialog dengan mahasiswa, Mitro mengakui semakin banyaknya kontradiksi sosial di tengah masyarakat. Ia menerima kritikan mahasiswa soal lembaga kopkamtib, aspri dan operasi khusus. Mitro setuju, kopkamtib, aspri, dan opsus mesti dihapuskan. Eratnya hubungan Mitro dengan mahasiswa, kemudian diisukan sebagai cara berkampanye untuk menjadi presiden. Apalagi saat itu di, Thailand, terjadi penggulingan Marsekal Thanom Kittikachorn pada Oktober 1973 oleh para mahasiswa.

Lalu, siapa tokoh utama mahasiswanya? Siapa lagi kalau bukan Hariman Siregar, Ketua DM UI yang dilantik pada Agustus 1973. Uniknya, saat pemilihan ketua DM UI, ia tercatat sebagai anggota Golkar ‘binaan; Ali Moertopo. Namun, kemudian mengundurkan diri partai penguasa tersebut. Hariman berdalih, ia dipilih oleh mahasiswa bukan oleh Golkar. Sebelumnya, ketia DM UI didominasi aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam).

Jenderal Ali dikenal alergi dengan organisasi HMI. Tapi, Hariman justru memilih ketua komisariat HMI UI sebagai Sekjen DM UI. Judiherry Justam.  Ada pula Sjahrir yang aktif menyeruakan aspirasi rakyat menentang modal asing. Ia merupakan juru bicara Grup Diskusi Universitas Indonesia (GDUI).

Demonstrasi mahasiswa awal tahun 1974 tak bisa dibendung lagi. Termasuk menolak keberadaan aspri presiden yang dituding sebagai boneka asing. Mereka balik menuding para mahasiswa ditunggangi kekuatan anti Presiden Soeharto. Hariman pun dituding main dua kaki, sebagai orang Ali Moertopo, namun kerap mendatangi kantor Soemitro. Mitro menjalin komunikasi dua arah dengan para mahasiswa.  Bahasa Mitro, komunikasi timbal  balik.

Pada 11 Januari 1974, Presiden Soeharto menerima delegasi sejumlah Dewan Mahasiswa di istana. Mereka menyampaikan kecaman dan mempertanyakan kewibawaan presiden yang dirongrong tingkah laku para elite yang memperkaya diri. Hariman juga hadir dalam pertemuan itu, namun Soeharto tidak memberi tanggapan. Hanya mengangguk-anguk saja.  

Mahasiswa pun melaksanakan apel siaga pada 12 Januari mengajak masyarakat menyambut Perdana Menteri Kakuei Tanaka dengan demonstrasi. Termasuk memasang bendera setengah tiang pada hari kehadiran Tanaka. Mahasiswa juga mengajak media massa memboikot pemberitaan tentang kedatangan Tanaka.

Puncaknya, pada 15 Januari 1974, para demonstran menuju ke istana. Di luar dugaan, demonstrasi anti Jepang  berubah menjadi kerusuhan massal. Pada siang harinya, tiba-tiba proyek Senen, pabrik Coca-Cola, showroom Toyota Astra, dan sejumlah tempat di Jakarta dibakar, dirusak, dan dijarah massa. Ratusan kendaraan buatan Jepang hangus dibakar. Penjarahan di mana-mana, termasuk toko-toko emas dan permata.  Pemerintah menyebut, lebih dari 10 orang tewas, dan 300 luka-luka, dan 750 orang ditahan.

Dalang kerusuhan

Mengejutkan, Kopkamtib baru bertindak dua hari kemudian. Inilah yang menimbulkan  kecurigaan terhadap Mitro selaku Panglima Kopkamtib. ‘Dokumen Ramadi’ mengungkap rencana Jenderal Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus. Memang hanya ditulis ada seseorang jenderal berinisial S, akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan presiden sekitar April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh. Dokumen itu jelas menuding Jenderal Soemitro. (Adam A, 2009, Membongkar Manipulasi Sejarah Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Jakarta: Kompas).

Di sisi lain, Ali Moertopo dituding sebagai orang yang berada di balik kerusuhan dengan mengirimkan  sekelompok orang melakukan kekacauan dan pembakaran di Jakarta. Ali dan Soedjono menggalang orang-orang bekas DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dan GUPPI (Gerakan Usaha Perbaikan Pendidikan Indonesia). Melalui Ramadi dan Kiai Nur dari Banten, massa diarahkan merusak mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca-Cola. Kegiatan tersebut dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Jenderal Soemitro dan Letjen Sutopo Juwono (Cahyono, 1998, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ‘74).

“Peristiwa Malari merupakan bagian dari The Dark History Indonesia. Ada beberapa tokoh diduga sebagai dalang dari peristiwa tersebut. Selain Ali Moertopo dan Soemitro, ternyata ada juga versi yang mengatakan Soeharto sebagai dalang dari peristiwa Malari.” Euis Megiawati, 2016, dalam skripsinya berjudul Peristiwa Malaria dalam Pandangan Para Pelaku Sejarah, Universitas Pendidikan Indonesia.

Mengapa Soeharto juga dituding? Jawabannya bisa simple. Sekali peristiwa, dia bisa sekaligus menjinakkan Soemitro dan Ali Moertopo. Jenderal Mitro kemudian mundur dari posisinya sebagai Wakil panglima ABRI sekaligus panglima Kopkamtib. Jenderal Sutopo Juwono juga dicopot dari jabatan Kepala Badan koordinasi Intelijen Negara (Bakin).

Posisi Pangkopkamtib belakangan dipercayakan kepada Laksamana Sudomo. Jabatan Kepala Bakin diserahkan kepada Letjen Yoga Sugomo. Kemudian jabatan asisten pribadi presiden juga dihapuskan seperti tutntan mahasiswa dan Jenderal Soemitro. Mitro dan Sutopo memang gerah, karena jabatan aspri presiden merecoki kerja Kopkamtib dan Bakin. Ada empat anggota aspri, yakni: Ali Moertopo bidang khusus, Sudjono Hoemarhani bidang perekonomian, Letjen Suryo bidang keuangan, dan Mayjen Tjokropranolo bidang pengamanan.

“Pak Harto tidak terlibat dalam peristiwa Malari. Ia mampu melakukan orkestra secara baik antara orang lapangan dan orang intelijen. Kalau tidak, mana mungkin ia bisa berkuasa hingga 32 tahun?,” ujar Jenderal (Purn) Wijoyo Suyono, mantan kepala Staf kopkamtib melalui sambungan telepon.

/selamatgintingofficial

13 February 2020

Becak dan Kolonel Ramadi Agen Intelijen yang Dibunuh

Foto: MimbarUntan.com


Oleh Selamat Ginting

Era 1970-an merupakan akhir masa kejayaan becak di Jakarta. Sebelum itu, ribuan becak bebas beroperasi di jalan-jalan ibu kota negara.  Gubernur Jakarta, Letjen (Marinir) Ali Sadikin menerbitkan instruksi larangan produksi dan memasukkan becak ke Ibu Kota. Pemerintah mengeluarkan aturan jalur yang dilarang dilewati becak, dan hanya menyisakan di pinggiran Jakarta.
Becak begitu ngetop era itu. Ada beberapa lagu tentang angkutan rakyat tersebut, seperti lagu anak-anak ‘Naik Becak’ karya Saridjah Niung alias Bu Soed, istri dari Raden Bintang Soedibjo. Ada pula lagu ‘Abang Becak’ yang dipopulerkan grup musik Bimbo. “Putar-putar, putar putar kaki mengayuh. Pergi jauh, keringat pun lalu jatuh…”
Ya, keringat Roy Simanjuntak pun jatuh di pengadilan. Ia adalah salah seorang ketua KAPBI (Kesatuan Pengemudi Becak Indonesia).  Roy ditangkap aparat keamanan dalam peristiwa malapetaka 15 Januari 1974 (Malari).  Dalam peristiwa itu, banyak gerombolan non mahasiswa. Ada pula sejumlah preman, dan tukang-tukang becak dari luar ibukota yang sengaja didatangkan.
“Mereka sengaja disusupkan ke dalam gerakan mahasiswa untuk melakukan kerusuhan seperti penjarahan, pengerusakan dan pembakaran gedung-gedung.  Beberapa oknum yang terlibat di dalam kerusuhan itu diduga sengaja diperintah oleh kelompok Letjen Ali Moertopo, asisten pribadi (aspri) Presiden Soeharto,” pengakuan mantan aktivis mahasiswa Malari, Salim Hutadjulu yang diakses di Youtube pada 28 Desember 2012. Salim Hutajulu pada 1974 merupakan aktivis senat mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia.

Selain preman dan tukang becak, ada pula Kyai Nur dari pondok pesantren di Banten. Nur mengaku terlibat di dalam kerusuhan Malari 1974. Menurut pengakuan Roy Simanjuntak dan Nur kepada Salim Hutadjulu, mereka diperintah seseorang bernama Ramadi. Salim sempat berada di dalam satu sel penjara bersama Roy dan Nur. Di sel itulah kedua orang tersebut mengakui sebagai anak buah Jenderal Ali Moertopo.

Agen Intelijen

Siapa Ramadi? Ternyata dia bekas kolonel korps hukum , salah satu anggota MPR dari Partai Golkar, sejak 1971. Kolonel Ramadi juga pimpinan Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI). Menurut Salim Hutadjulu, sosok Ramadi dekat dengan dua Aspri presiden yaitu Letjen Ali Moertopo dan Letjen Soedjono Hoemardhani.
 
Berdasarkan keterangan Heru Cahyono dalam buku ‘Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980: Dari Pemilu sampai Malari’ Ramadi berkantor di Jalan Timor 14 Jakarta, di situlah markas GUPPI. Dalam rapat di markas GUPPI itu, Ramadi bukan bicara soal pendidikan Islam, melainkan menyiapkan gerakan huru-hara di Jakarta. Sekaligus menunggangi aksi mahasiswa menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka (halaman 37).
Ramadi pula yang diduga pembuat dokumen yang menuding Jenderal Soemitro hendak menggulingkan Presiden Soeharto melalui aksi mahasiswa, seperti di Thailand.  Dokumen ini dikenal dengan sebutan Dokumen Ramadi. Rapat terakhir juga memutusan, sasaran perusakan adalah mobil-mobil Jepang serta kantor Toyota Astra dan Coca-Cola. 

Gerakan ini akan dibungkus dengan isu ‘bantulah mahasiswa’ untuk menciptakan kesan bahwa kerusuhan dilakukan mahasiswa. Bila berhasil, operasi itu bisa memukul Panglima Kopkamtib Jenderal Soemitro yang dikenal dekat dengan mahasiswa. Sekaligus menghukum para aktivis mahasiswa yang mendesak agar aspri dan opsus dihapuskan. 
Pertemuan rahasia di Jalan Timor itu dihadiri para orang-orang binaan Ali Moertopo  yang berasal dari mantan aktivis Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Antara lain Danu Muhammad Hasan (mantan Panglima DI Jawa Barat) dan Ki Mansyur, bekas Gubernur DI/TII Hadir pula. anak Kartosoewirjo, Dardo Kartosoewirjo.

Rapat memutuskan Ramadi sebagai simpul lapangan kerusuhan. Massa yang dimobilisasi berasal dari kelompok aktivis DI/TII Karawang. Termasuk pengikut GUPPI Banten. Di sana massa akan dikoordinasi Kyai Nur. Di luar massa Islam, tukang becak dan preman yang digalang Roy Simanjuntak di Jakarta juga akan bergerak. Roy mendapat tugas khusus menciptakan kerusuhan di wilayah Senen hingga Harmoni.

Pitut Soeharto, salah seorang kepercayaan Ali Moertopo di Opsus, dalam wawancara dengan Heru Cahyono, tidak menyangkal jika sebagian orang binaan Ali di DI/TII terlibat dalam peristiwa Malari.  Pitut mengaku ditugasi Ali menggarap berbagai kelompok Islam, juga tidak membantah kabar orang binaan Ali kerap berkunjung ke kantor GUPPI beberapa hari sebelum Malari. Pitut juga membenarkan bahwa mobil Ramadi kerap dipinjamkan kepada orang-orang binaan Ali. 

Menurut Heru Cahyono, Ramadi dkk juga diiming-imingi jabatan. Ramadi dijanjikan menjadi menteri dalam negeri. Belakangan dia malah dipenjara tanpa kejelasan kapan akan dibebaskan. Hal itulah yang membuat dia sakit hati dan merasa dikhianati. Dari situlah muncul pengakuan Ramadi bahwa Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani berada ada di balik kerusuhan Malari.
Kemudian pada awal Desember 1974, Ramadi dipindahkan ke rumah sakit. Keluarganya juga dilarang menjenguk. Satu pekan kemudian, Ramadi koma dan meninggal dunia. Ramadi diduga sengaja dibunuh. Soemitro mengatakan, “Ramadi sengaja dibungkam, karena tahu terlalu banyak tahu tentang permainan di belakang layar kasus Malari. “Ini salah satu teori dalam intelijen. Kalau seseorang sudah tahu terlalu banyak, ia harus dilenyapkan”.

CSIS Terlibat Rusuh

Usai mengundurkan diri dari dinas militer, Soemitro mengutip laporan intelijen,  menuturkan, Ali menggerakan massa melalui jaringan Opsus, CSIS, GUPPI dan jaringan intel lepas yang dipimpinnya untuk menyingkirkan dirinya dan Sutopo Juwono sebagai Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Soemitro juga menuding bahwa Komandan Pelaksana Operasi Malari diserahkan kepada anggota Opsus Bambang Trisulo dengan didukung sejumlah mahasiswa UI antara lain Freddy Latumahina, Leonard Tomasoa dan Aulia Rahman. Menurut Soemitro, Bambang menggelontorkan uang Rp. 30juta untuk memuluskan gerakan Malari. Sedangkan Aulia Rahman mengamini Bambang adalah tangan kanan Ali Moertopo (halaman 60 – 61). 

Soemitro juga menyebut pendiri CSIS, Jusuf Wanandi dan adiknya Sofyan Wanandi sering menggelontorkan dana Soedjono Hoemardani kepada GUPPI pada awal 1970-an. “Ada urusan apa Lim Bian Khoen (Sofyan Wanandi) yang bukan muslim mondar-mandir ke kantor GUPPI dengan sedan mewah warna hitamnya?” tulis Soemitro.
Sofyan dan Jusuf Wanandi disebut Soemitro berperan secara konseptual dalam jaringan Ali dan Soedjono. Soemitro menyodorkan bukti keterlibatan Sofyan Wanandi dengan mengutip percakapan Roy Simanjuntak yang mengorganisasi tukang becak pada 15 Januari dengan Sofyan keesokan harinya. Waktu itu Roy ketakutan diburu Polisi Militer. Ketika itu, menurut Soemitro, Sofyan mengatakan, “Kalau ada apa-apa, sebut saja nama Soedjono Hoemardani dan Ali Moertopo.” (halaman 62-63). 

Hariman dan Jenderal Tergusur

Dalam buku Massa Misterius Malari: Rusuh Politik Pertama Dalam Sejarah Orde Baru, terbitan Tempo Publishing 2014, mengungkapkan Hariman Siregar sebagai binaan Ali Moertopo. Begitu pula dalam buku memoir Jenderal Yoga Soegomo. Sebagai Kepala Bakin, Yoga ditugaskan Presiden Soeharto untuk menyelidiki kerusuhan Malari.

Menurut versi Yoga, ucapan-ucapan provokatif dan agitatif  dari Hariman Siregar dan teman-temannya menjelang meletusnya Malari, membuktikan adanya penggarapan yang dilakukan oleh kalangan tertentu dengan memanfaatkan generasi muda sebagai media perjuangan mereka. Salah satu pernyataan Hariman yang mengindikasikan dia sengaja menggiring gerakan mahasiswa untuk menciptakan kondisi yang tepat bagi sebuah kerusuhan massal adalah ucapannya dalam rapat Dewan Mahasiswa se-Jakarta di IKIP Rawamangun.

Saya mau revolusi lebih dari Muangthai dan Athena. Caranya, kita adu antara Aspri [Asisten Presiden/Ali Moertopo-Soedjono Hoemardani] dan Pangkopkamtib [Jenderal Soemitro] agar Presiden jatuh.” (halaman 249-250).

Hariman menurut Yoga, sangat aktif memprovokasi gerakan-gerakan mahasiswa. Misalnya melakukan pertemuan di Bandung dengan pengurus Dewan Mahasiswa UI, ITB, ITT, IKIP, Unpar, Unpad, Unbraw dan ITS. Hariman juga ke Jogjakarta untuk bertemu dengan ITS, Undip, Unair dan beberapa perguruan tinggi di Jogjakarta (halaman 229-230).

Memang mahasiswa bergerak dengan isu utama anti modal asing, karena dinilai merugikan ekonomi Indonesia. Mereka juga berdemonstrasi dengan isu-isu lain sebagai tuntutan mereka, di antaranya ; “Ganyang korupsi/Stop pemborosan pembangunan”, “Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga, Jepang merusak Indonesia” (Adi Suryadi Culla, 1999, Patah Tumbuh Hilang Berganti : Sketsa Pegolakan Mahasiswa Dalam Politik dan Sejarah Indonesia (1908-1998). Raja Grafindo Persada : Jakarta).

Mengapa mahasiswa menuntut ketiga Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND),  yakni: Kopkamtib, Opsus dan Aspri dibubarkan? Pada awalnya, pembentukkan ketiga lembaga tersebut bertujuan mengawal proses pembangunan pemerintahan di segala bidang demi mencapai stabilitas nasional. Namun pada proses perkembangannya, justru membuat jurang pertikaian di tubuh pemerintahan.  Terjadi pergeseran fungsi dari ketiga kelembagaan tersebut dari tujuan pembentukkannya.

Misalnya, Kopkamtib. Semula dibentuk untuk memulihkan keamanan dan ketertiban akibat Gerakan 30 September 1965 seperti Keputusan Presiden (Keppres)/Panglima Tertinggi ABRI/Panglima Besar Komando Operasi Tertinggi No. 179/KOTI/1965. Belakangan, berubah kewenangannya menjadi lembaga yang mengawasi pemberitaan, pengamanan proses Pemilihan Umum, diberikan kewenangan menangkap, menginterogasi, menahan dan lain sebagainya.

Begitu juga lembaga Opsus yang dibentuk pada 1963. Semula untuk membangun kontak rahasia dengan pemerintahan Malaysia selama konfrontasi Dwikora.  Belakangan malah sebagai lembaga yang membantu untuk memastikan suara pro-pemerintah pada Pepera Papua tahun 1969, dan Pemilu1971. Termasuk melakukan fusi partai-partai politik, memperkuat Sekber Golkar. Bahkan penggalangan media massa untuk propaganda stabilitas dan pembangunan pemerintahan.  Ikut pula melakukan intervensi dan filtrasi dalam rapat-rapat yang dilakukan partai maupun organisasi politik.

Sedangkan lembaga aspri presiden, pada masa awal kepemimpinan Orde Baru sebagai tumpuan utama presiden dalam sebuah proses pembuatan keputusan. Soeharto lebih percaya kepada Aspri-nya daripada terhadap kabinetnya. Hak ini menimbulkan ketidaksenangan di jajaran kabinet pemerintahan. Akinatnya terjadi persaingan tidak sehat untuk pengaruh.

Persaingan paling terlihat, apalagi jika bukan rivalitas antara Soemitro dengan Ali Moertopo. Usai Malari, sejumlah jenderal menjadi korban. Antara lain Jenderal Soemitro lengser dari jabatan wakil pangab dan pangkopkamtib, Letjen Sutopo Juwono dicopotdari jabatan sebagai Kepala Bakin, dan Letjen Sayiman Suryohadiprojo digeser dari jabatan Wakil KSAD.

/selamatgintingofficial.com

Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...