Photo: Butet Kertaredjasa membacakan puisi di peringatan Bulan Bung Karno di GBK. [Twitter] |
Kumpulan tulisan dan liputan sosial, politik, ketahanan dan keamanan negara
29 June 2023
Seniman Butet Jangan Ikuti Gaya Lekra yang Aktif Lakukan Propaganda Politi
09 November 2021
Kisah Mahabarata, Jenderal Brengsek, dan Mozaik Pembunuhan Pahlawan Revolusi (Bagian 3)
Sukarno, Oemar Dhani dan Achmad Yani
Foto: pwmu.co
Musyawarah Nasional Teknik pada 30 September 1965, berlangsung hingga larut malam. Malam sekitar pukul 23.00, Presiden Sukarno memberikan sambutan dengan membuat perumpamaan dari perwayangan, kisah Mahabarata. Menggambarkan suatu pelajaran untuk tidak ragu-ragu membunuh saudara sekalipun bila itu demi kepentingan perjuangan.
“Arjuna
lemas, lemas, lemas. Bagaimana aku harus membunuh saudara kandungku sendiri? Bagaimana
aku harus membunuh kawan lamaku sendiri? Bagaimana aku harus membunuh guruku
sendiri? ”
“Kerjakan
engkau punya kewajiban tanpa hitung-hitung untung atau rugi. Kewajibanmu
kerjakan!”
Setelah
peristiwa 30 September 1965, analogi dari pewayangan yang disampaikan Bung
Karno itu diasosiasikan dengan penculikan dan pembunuhan para jenderal dalam
peristiwa tersebut.
Apalagi
dalam kalimat terakhirnya, Sukarno mengucapkan kalimat, ”Saudara-saudara
sekarang boleh pulang tidur dan istirahat. Sedangkan Bapak masih harus bekerja
menyelesaikan soal-soal yang berat,
mungkin sampai jauh malam…..”
Kemudian para analis menghubungkan secarik kertas yang disampaikan Letnan Kolonel (Infanteri) Untung, Komandan Batalyon 1 Resimen Tjakrabirawa kepada Bung Karno. Ya, sebelum Sang Presiden mengawali pidatonya soal pewayangan tersebut.
Jendral
Brengsek
Dua pekan
sebelumnya, pada 13 September 1965, Presiden Sukarno menyerang Jenderal AH
Nasution di istana dengan kalimat yang menusuk hati. Memang dalam pidato itu
Sukarno tidak langsung menyebut nama. Tapi dengan kalimat yang sangat keras,
yakni “sebarisan jenderal brengsek”.
“Adanya
anak-anak revolusi yang tidak setia pada induknya, yakni barisan jenderal
brengsek.” Orang-orang Sukarno tahu yang dimaksud adalah Jenderal AH Nasution,
Jenderal A Yani dkk. Ini bukan yang pertama kali dilontarkan oleh Bung Karno.
Terutama sejak ia menerima informasi-informasi tentang isu adanya Dewan
Jenderal yang bermaksud menggulingkan dirinya.
Pada waktu
yang sama, para pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) melontarkan ucapan yang
sama. Sehingga tercipta opini bahwa Sukarno memang sejalan dengan PKI. Sesuatu
yang kemudian hari harus ditebus mahal oleh Presiden Sukarno.
Kedekatannya
dan menjadikan PKI sebagai anak emasnya membuat ia harus kehilangan pamor dari
umat Islam dan Angkatan Darat. Termasuk mundurnya Wakil Presiden Moh Hatta.
Sehingga akhirnya secara perlahan, ia kehilangan tampuk kepemimpinan nasional sebagai bagian dari episode G30S/PKI.
Apalagi
sepanjang September 1965, PKI sangat gencar menyerang secara gresif lawan-lawan
politiknya, terutama Angkatan Darat. Khususnya kepada Jenderal AH Nasution,
Jenderal A Yani yang digambarkan sebagai jenderal-jenderal ‘brengsek’ seperti
ungkapan Bung Karno, karena tidak loyal kepada Presiden.
Harian
Rakyat yang berafiliasi kepada PKI, misalnya. Pada 4 September 1965 menulis ada
perwira-perwira yang menuduh PKI akan melakukan kudeta. Namun, lima hari
kemudian, pada 9 September 1965, Ketua CC PKI DN Aidit malah menggambarkan akan
terjadi sesuatu yang pasti akan lahir. Sebuah isyarat dahsyat.
Ucapan Aidit dipertegas lagi oleh tokoh PKI Anwar Sanusi di depan sidang SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). “Yang paling penting sekarang ini, bagaimana kita memotong penyakit kanker dalam masyarakat kita, yaitu setan kota.” Ungkapan itu juga diasosiasikan kepada Jenderal Nasution, Jenderal Yani dkk.
Simak video "Catatan-catatan Penting Soal Sikap Jenderal Yani terhadap Isu Dewan Jenderal"
Setan
Kota dan Kematian
Kemudian
Aidit secara agresif menyampaikan pidato di depan Kongres III CGMI pada 29
September 1965. “Mahasiswa komunis harus berani berpikir dan berani berbuat. Berbuat,
berbuat, berbuat.” Pidato itu merupakan serangan khusus kepada Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) yang beberapa hari sebelumnya dibela Jenderal A
Yani.
Aidit kesal
usulan PKI untuk membubarkan HMI malah dibela oleh Jenderal Yani. “Kalau CGMI
tidak bisa membubarkan HMI, maka pakai sarung saja.”
Kemudian
pada tajuk rencana koran Harian Rakyat pada 30 September 1965 berbunyi, “Dengan
menggaruk kekayaan negara, setan-setan kota ini mempunyai maksud-maksud politik
yang jahat terhadap pemerintah dan revolusi. Mereka harus dijatuhi hukuman mati
di muka umum. Soalnya tinggal pelaksanaan. Tuntutan adil rakyat pasti berhasil.
Editorial
tersebut seakan membayangkan tentang rencana PKI terkait hukuman mati terhadap
para jenderal. Pernyataan-pernyataan keras tokoh-tokoh PKI serta editorial
Harian Rakyat, kelak menjadi mozaik bagaimana PKI memang berada di balik
pembunuhan para pahlawan revolusi, Jenderal A Yani dkk.
Jenderal Nasution yang dituding langsung oleh Bung Karno dan tokoh-tokoh PKI sebagai ‘jenderal brengsek’, selama September 1965, menahan diri untuk tidak menanggapi hinaan tersebut. Nasution juga tidak curiga ketika mendapatkan informasi Kolonel Abdul Latief memerisa pasukan penjaga rumahnya pada sore hari 30 September 1965. Alasannya, karena Latief adalah Komandan brigade Infanteri Kodam Jaya.
Sukarno
Marahi Jenderal
Nasution menceritakan,
suatu ketika Letjen A Yani mengantarkan Mayjen S Parman dan Brigjen Soetoyo menghadap
Presiden Sukarno. Mereka dimarahi habis-habisan oleh Bung Karno. Sukarno
mengecam pernyataan Angkatan Darat soal adanya musuh dari utara bagi Asia Tenggara,
seperti dibacakan Letjen A Yani di Bandung.
Keputusan
Yani dan para jenderal-jenderal Angkatan Darat dianggap tidak loyal terhadap
Presiden Sukarno. Sang presiden di Istana Tampak Siring, Bali sudah berencana
segera mengganti para jenderal tersebut. Bahkan menyebut pengganti Yani adalah
Mayjen Moersjid. Ia meminta jawaban
Moersjid apakah bersedia menggantikan Yani? Moersjid menjawab, bersedia.
Pada 29 September 1965, muncul Brigjen Mustafa Syarif Suparjo menghadap Presiden Sukarno. Suparjo melaporkan kesiapan pasukannya untuk bertindak terhadap jenderal-jenderal yang tidak loyal.
Jumat
Kelam
Jumat
dinihari 1 Oktober 1965, sekira pukul 04.00 WIB. Keluarga Letnan Jenderal
Achmad Yani masih tertidur. Putra bungsu Panglima Angkatan Darat, Irawan Sura
Edi Yani (Edi) terbangun. Ia mencari ibunya yang tidak ada di rumah Jalan
Lembang D-58. Sang Ibu, Nyonya Yayuk Ruliah belum pulang, masih berada di rumah
Jalan Taman Surapati.
Edi ditemani
asisten rumah tangga, biasa dipanggil Mbok Millah, duduk dekat pintu belakang,
menunggu ibunya datang. Pada menit-menit itulah sekelompok tentara dipimpin Pembantu
Letnan Satu (Peltu) Mukijan dari Brigif 1 Kodam Jaya dan Sersan Raswad segera
masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Pintu tidak dikunci, karena Nyonya
Yayuk Achmad Yani, biasanya akan pulang sekitar subuh hari.
Anggota
pasukan Tjakrabirawa masuk ke dalam rumah dan langsung menanyakan kepada
pembantu rumah tangga keluarga Jenderal Yani. Pasukan yang mengepung rumah Jenderal
Yani terdiri dari satu peleton dari Brigif 1 Kodam Jaya, saru regu dari Resimen
Tjakrabirawa, satu peleton dari Yonif 454 Kodam Diponegoro, satu peleton dari
Yonif 530 Kodam Brawijaya, satu regu daru AURI, dan regu sukarelawan Pemuda
Rakyat PKI.
Anak bungsu
Jenderal Yani diminta membangunkan bapaknya dengan alasan dipanggil Presiden di
istana. Edi pun membangunkan ayahnya.
“Ada apa?” tanya
Achmad Yani kepada pasukan Tjakrabirawa, pengawal Presiden Sukarno yang masuk
ke dalam rumahnya.
“Siap,
Jenderal. Bapak diminta menghadap Presiden Sukarno sekarang juga!”
“Loh
acaranya kan jam 7, bukan pagi-pagi
begini.” Yani memang sudah dijadwalkan menghadap Presiden sekalian
mengajak Panglima Kodam Brawijaya Mayjen Basuki Rachmat untuk melaporkan
Tindakan PKI yang merusak kantor Gubernur Jawa Timur. Yani juga sudah punya
firasat akan dicopot dari jabatan panglima Angkatan Darat, hari itu juga.
“Tetapi
jenderal harus berangkat detik ini juga, karena jenderal sedang ditunggu Bapak
Presiden,” jawab salah seorang anggota Tjakrabirawa.
Yani
menjawab,” Paling tidak saya harus mandi dulu!”
“Tidak
perlu, Jenderal. Di istana juga ada kamar mandi. Bila perlu dengan pakaian
piyama saja. Jenderal bisa berangkat bersama-sama kami.”
“Kau
prajurit, tahu apa?!” tegas Yani sambal meninju wajah sang prajurit, sehingga
jatuh terkapar.
Yani pun
berbalik masuk ke ruang makan dan menutup pintu. Saat itulah Sersan Raswad
memerintahkan Sersan Gijadi. “Tembak dia!” Gijadi pun langsung memberondongkan
senjata Thomson. Tujuh peluru menembus pintu, menerpa punggung Panglima
Angkatan Darat. Jenderal Yani roboh bersimbah darah di ruang makan.
Suara
tembakan itu membangunkan anak-anak sang jenderal. Indriyah Ruluati Yani (Ruli),
Herliah Emmy Yani (Emmy), Amelia Yani, Elina Elastria Yani (Elina atau Juwita),
Widna Ani Yani (Nanik), Reni Ina Yuniati Yani (Yuni), serta Untung Mufreni Yani
(Untung), berhamburan ke ruang makan. Sedangkan si bungsu Edi bersembunyi di
bawah mesin jahit. Delapan anak Jenderal Yani menjadi saksi, ayahnya ditarik
kakinya dengan posisi kepala di bawah membentur lantai dan jalan aspal.
Yani yang
masih mengenakan piyama biru diseret dan dilempar ke dalam mobil truk yang
sudah disiapkan pasukan pemberontak. “Ayo masuk semua, kalau tidak saya
tembak,” kata Amelia Yani, putri ketiga jenderal A Yani, menceritaka peristiwa
kelam yang menimpa ayahandanya pada 1 Oktober 1965, subuh hari.
Ia
menceritakan sejarah kelam itu kepada wartawan senior dan akademisi, Selamat
Ginting, akhir Oktober 2021 lalu. Sambil terbata-bata dan berkaca-kaca, Amelia
mengisahkan kepedihan serta catatan dalam buku harian Jenderal A Yani.
“Bapak
memang tegas menolak komunis. Jadi tidak setuju dengan Nasakom. Bapak masih
bisa terima jika kata kom (komunis) diganti dengan sosialisme Indonesia,
seperti sila kelima Pancasila,” ujar Amelia, sambil memperlihatkan catatan
goseran pena Achmad Yani, jenderal bertubuh atletis dengan tinggi sekitar 174
cm dan berat sekitar 74-75 kg.
Ikuti
bincang-bincang dengan Amelia Yani di channel youtube: SGinting Official
(Bagian ketiga). Tulisan diwebsite dirangkum penulis dari berbagai sumber.
/selamatgintingofficial
30 October 2021
Telepon Misterius di Rumah Jenderal Yani (Bagian 1)
Buku Agenda Jenderal A. Yani tentang Dewan Jenderal Foto: Dokumen Pribadi |
Kamis malam, 30 September 1965. Kolonel Soegandhi Kartosoebroto, bekas ajudan senior Presiden Sukarno mendatangi rumah Menteri/Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal TNI Achmad Yani di Jalan Lembang D-58, Menteng, Jakarta Pusat.
Ia bermaksud memberitahukan kepada Jenderal Yani bahwa Presiden Sukarno marah-marah di istana. “Apa itu Dewan Jenderal?! Apa itu Dewan Jenderal?!” kata Kolonel Sugandhi menirukan ucapan Sukarno yang sedang marah.
Kolonel Soegandhi, anggota DPR Gotong Royong itu menceritakan hal tersebut kepada Mayor CPM (Corps Polisi Militer) Subardi, ajudan dari Jenderal Achmad Yani, di rumah Panglima Angkatan Darat.
Soegandhi urung melaporkan langsung kepada Jenderal Yani. Ia menyampaikan hal tersebut kepada Mayor Subardi untuk disampaikan kepada orang nomor satu di Markas Besar Angkatan Darat. Alasannya masih ada tamu di kediaman Jenderal Yani.
Mengenai Dewan jenderal, Jenderal Yani sesungguhnya sudah menjelaskan kepada Presiden Sukarno. Yani dalam buku agendanya menyebutkan, Presiden Sukarno terpengaruh oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mengembuskan isu Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden pada 5 Oktober 1965.
“Isu dewan jenderal, jenderal-jenderal Pentagon berkulit sawo matang, serta dokumen Gilshrist tentang Our Local Army Friend dibuat oleh PKI untuk menyudutkan saya,” kata Yani dalam tulisan di agendanya.
Yani memang lulusan sekolah militer di Amerika Serikat dan Inggris saat berpangkat letnan kolonel senior. Ia mengikuti Pendidikan di US Army Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat. Kemudian melanjutkan pendidikan di Warfare Trainning di Inggris pada 1955.
Simak video "Firasat & Telepon Misterius di Rumah Jenderal A. Yani"
Kembali soal kedatangan Kolonel Soegandhi. Ia tidak bisa masuk rumah Yani, karena Panglima Angkatan Darat masih menerima tamu hingga pukul 22.00 WIB. Sehingga Soegandhi menyampaikan pesan tersebut kepada ajudan Yani.
Tamu istimewa Yani malam itu adalah Panglima Kodam Brawijaya, Mayor Jenderal TNI Basuki Rachmat. Basuki melaporkan kepada Yani bahwa aktivis Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dari PKI melakukan perusakan kantor Gubernur Jawa Timur (Jatim).
Malam itu, Jenderal Yani sekalian mengajak Jenderal Basuki Rachmat untuk ikut menghadap Presiden Sukarno pada Jumat pagi, 1 Otober 1965 tentang situasi di Jawa Timur tersebut.
Yani juga sudah memberitahukan kepada ajudan bahwa Jumat pagi akan menghadap Presiden Sukarno. Sekaligus memberitahukan kepada istrinya bahwa kemungkinan hari itu juga akan dicopot dari jabatan sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat.
“Bapak sudah memberitahukan kepada Ibu bahwa akan diganti oleh Mayor Jenderal TNI Moersid,” kata Amelia Yani, putri ketiga dari delapan bersaudara, anak kandung dari pasangan Jenderal Yani dengan Yayuk Ruliyah Sutodiwiryo. Keluarga mengetahui hal tersebut dari Mayor Subardi.
Ketidakcocokan dengan Presiden Sukarno mengenai konsep Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) dan sikap keras Achmad Yani menolak Angkatan Kelima, menjadi sinyal retaknya hubungan Yani dengan Presiden Sukarno. Angkatan Kelima yang digagas PKI dan kemudian mendapatkan dukungan dari Presiden Sukarno ditentang keras oleh Angkatan Darat.
Angkatan Kelima di luar dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Angkatan Kelima yang diminta PKI agar buruh dan tani turut dipersenjatai untuk membantu perjuangan Indonesia dalam melawan Inggris yang mendirikan negara Federasi Malaysia. Jumlahnya sekitar 15 ribu orang, terdiri dari 5.000 buruh dan 10.000 tani.
Peringatan Haryono MT
Jenderal Yani marah besar ketika anak buahnya Pembantu Letnan Dua (Pelda) Sujono di Bandar Betsy, Simalungun, Sumatra Utara, tewas. Sujono gugur pada 14 Mei 1965 setelah kepalanya dicangkul oleh aktivis tiga organisasi sayap PKI, yaitu BTI (Barisan Tani Indonesia), PR (Pemuda Rakyat) dan Gerwani.
Sepekan setelah peristiwa Bandar Betsy tersebut, Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal TNI MT Haryono menyarankan kepada Yani untuk bertindak terhadap PKI. “Kalau (Panglima Angkatan Darat) tidak mulai mengambil tindakan (terhadap PKI), tak pelak Anda akan dibunuh mereka,” kata Mayjen Haryono kepada Letjen Yani pada 20 Mei 1965.
Malam semakin larut. Mayjen Basuki Rahmat pun pamit sambil memberikan hormat militer. Yani langsung menuju kamar tidurnya untuk istirahat. Mempersiapkan diri menerima keputusan untuk diganti oleh Mayor Jenderal Moersjid, Deputi I Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Saat Yani tidur, malam itu, dua kali telepon di rumahnya berdering. Setelah diangkat oleh putri keduanya, Emi Yani, di ujung telepon menanyakan “Bapak ada di rumah?” Tidak merasa curiga, sang putri menjawab, “Bapak ada di rumah sudah tidur.”
Pada malam Jumat itu, jelang pergantian hari, telepon dari orang tidak dikenal, kembali berdering. Lagi-lagi menanyakan posisi Jenderal Yani. “Bapak ada di rumah?” Kembali dijawab oleh Emi Yani, “Bapak ada di rumah sedang tidur.”
Kisah-kisah di malam kelam itu diceritakan Amelia Yani, putri ketiga dari pahlawan revolusi Jenderal Achmad Yani, kepada penulis di kediaman Jenderal Yani, Jl Lembang D-58, Menteng, Jakarta Pusat, 28 Oktober 2021 lalu. Rumah ketika Jenderal Yani diculik dan dibunuh oleh Pasukan Gerakan 30 September (G-30-S) yang dibantu Pemuda Rakyat, organisasi sayap PKI.
Bagaimana kisah selegkapnya? Ikuti wawancara Selamat Ginting dengan Amelia Yani dalam channel youtube SGinting Official.
/sgo
01 October 2021
Saling Puji Sukarno dan Nyoto
29 September 2021
TNI Penjaga Ideologi Pancasila
Tanggapan pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting terhadap pernyataan mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo soal TNI dan PKI pada webinar, Ahad (26/9).
Pengamat komunikasi
politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting
menjelaskan, TNI merupakan benteng terakhir pengawal ideologi Pancasila. TNI menjadi
salah satu profesi di Indonesia yang wajib memegang teguh ideologi Pancasila. Bukan
ideologi lainnya di luar Pancasila.
“Jadi, TNI
sudah belajar banyak dari penghianatan ideologi lain, termasuk penghianatan PKI
(Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1948 dan 1965. Sehingga TNI berusaha
keras untuk tidak lagi disusupi ideologi lain, termasuk ideologi komunis,” kata
kandidat doktor ilmu politik itu di Jakarta, Rabu (29/9).
Ia
mengemukakan hal tersebut terkait pernyataan mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn)
Gatot Nurmantyo yang mengindikasikan terjadinya penyusupan di tubuh TNI pada
sebuah webinar Ahad (26/9) malam dengan tema: TNI vs PKI.
“Jangankan
komunis, ketika partai politik dan kelompok lainnya ragu-ragu menerima atau
menolak ide Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis), Angkatan Darat dengan
tegas menolak Nasakom, karena bertentangan dengan Pancasila. Itu pula yang
dimaksud politik TNI adalah politik negara,” ungkap Ginting.
Pimpinan TNI
tahun 1962-1965, lanjut Ginting, terutama Menteri Koordinator (Menko) Kepala
Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) Jenderal TNI AH Nasution, serta Menteri
/Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani dkk menolak tegas nasakomisasi,
ideologi komunis serta rencana pembentukan Angkatan Kelima, yakni buruh tani
dipersenjatai. Mereka kemudian menjadi korban kebiadaban PKI.
“Belajar
dari pengalaman buruk penghianatan PKI tersebut, TNI tentu berusaha keras akan
menolak ideologi lain. Sehingga menjadi tanda tanya besar jika ada yang
meragukan ideologi prajurit TNI saat ini,” ungkap dosen Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu.
Ginting tidak
sependapat dengan pernyataan tudingan Gatot Nurmantyo. Alasannya, kata dia, ada
dua hal. Pertama; para prajurit telah diikat dalam sumpah ketika dilantik
menjadi prajurit TNI. Dalam sumpah dan janji pertamanya dinyatakan: akan setia kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia) yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Kedua; para
prajurit TNI diikat dengan tujuh jalan hidupnya yang disebut Sapta Marga. Pada marga pertama dan kedua, jelas-jelas disebutkan
tentang Pancasila. Pada marga pertama, sebagai warga
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila. Kemudian pada
marga kedua, sebagai patriot Indonesia, pendukung serta pembela ideologi negara
yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah.
“Mengapa Gatot Nurmantyo tidak
mengacu pada dua hal tersebut? Apalagi Gatot pernah menjadi Panglima Kostrad
(Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat), KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat)
dan Panglima TNI. Mengapa dia meragukan penerusnya di TNI saat ini,” kata
Ginting dengan penuh tanya.
Setelah peristiwa pemberontakan
Gerakan 30 September 1965 (G30S)/PKI, menurut Ginting, dalam rekrutmen prajurit
TNI, sangat ketat menyeleksi penilaian mental ideologi. Bahkan ditelusuri
hingga garis keturunan orangtua dan kakek neneknya. Sering disebut sebagai
bersih diri dari ideologi lain, selain Pancasila.
Ia menjelaskan, para perwira tinggi
aktif saat ini, umumnya justru lahir setelah peristiwa kelam tahun 1965. Ia
mencontohkan Panglima Kostrad Letjen TNI Dudung Abdurachman, misalnya.
Kelahiran November 1965 dan dilahirkan dari keluarga besar TNI di Kodam Siliwangi.
Kodam Siliwangi dikenal sebagai Kodam yang sangat anti komunis sejak bernama
Divisi Siliwangi dipimpin Kolonel (Infanteri) AH Nasution.
“Ingat, ujung tombak penumpasan
pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun dan sekitarnya adalah Siliwangi,” kata
Ginting yang malang melintang sebagai wartawan senior dalam liputan pertahanan
keamanan negara itu.
Selain itu, Kostrad dan Resimen Para
Komando Angkatan Darat (RPKAD) menjadi ujung tombak penumpasan G30S/PKI tahun
1965. Cikal bakal RPKAD yang kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu
juga berasal dari Kodam Siliwangi. Sejumlah batalyon Kostrad di Jawa Barat,
umumnya juga berasal dari Kodam Siliwangi yang dialihkan kepada Kostrad.
Ginting menjelaskan, Kepala Staf
Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono, Kepala Staf Angkatan Udara
(KSAU) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo, seperti juga Letjen TNI Dudung Abdurachman
merupakan kelahiran 1965, Ketika TNI sedang menumpas pemberontakan PKI.
Ada pun Panglima TNI Marsekal TNI
Hadi Tjahjanto dan KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa, tergolong masih bayi pada
saat terjadinya pemberontakan PKI. Kedua perwira tinggi itu pun berasal dari
keluarga besar TNI. Mereka lahir dimana tidak ada tempat bagi ideologi di luar
Pancasila yang diterapkan sangat keras oleh pemerintahan Orde Baru.
“Cita-cita awal Orde Baru adalah
menjalankan Pancasila secara murni dan konsekuen. Itu nilai baik yang
diterapkan Orde Baru setelah belajar dari kegagalan Demokrasi Terpimpin atau
Orde Lama,” ungkap Ginting.
Selamat Ginting mengungkapkan, Sapta
Marga yang menjadi pedoman prajurit TNI dicetuskan pada 5 Oktober 1951, saat TNI merayakan ulang tahun yang keenam. Kode etik
prajurit TNi tersebut, dimaksudkan untuk mencegah perpecahan di dalam tubuh TNI,
terutama dari ideologi lain, selain Pancasila.
Ia menjelaskan, para tokoh perumus
Sapta Marga yang dipimpin Kolonel Bambang
Supeno merancang rumusan jalan hidup tentara itu dengan meminta masukan dari
sejumlah para pemikir TNI serta para tokoh bangsa. Antara lain Supomo, Ki Hajar
Dewantara, Husen Djajadiningrat dan Mohammad Yamin.
“Pimpinan TNI saat itu menyadari
bahwa ke depan TNI akan menghadapi tarikan ideologi lain di luar
Pancasila. Jadi, saat ini janganlah TNI
dituding-tuding lagi disusupi ideologi lain. Anggap saja sebuah peringatan,
tapi jangan menuding, karena berbahaya sekali. Apalagi TNI adalah garda
terakhir ideologi Pancasila,” pungkas Ginting.
/selamatgintingofficial
02 January 2019
Operasi Binter TNI Hadapi Proxy War
Posting Terkini
Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis
Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...
-
Credit Photo: CNN Enzo Zenz Allie akhirnya resmi dilantik menjadi prajurit taruna (pratar) pada akhir Oktober 2019 lalu. Pemuda ketur...
-
Foto: Republika Oleh Selamat Ginting Truk militer reo berwarna hijau, dengan posisi setir sebelah kiri, berhenti di depan rumah, Kompl...
-
Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...