Wawancara melalui link zoom (10/10/21) dok. selamat ginting official |
“Saya diperintahkan untuk bertugas di kampung halaman leluhur di Sulawesi Utara agar mengetahui problem rakyat. Itu yang saya terjemahkan ketika diperintahkan KSAD Jenderal Andika Perkasa untuk menjadi Inspektur Kodam (Irdam) XIII Merdeka di Sulawesi Utara (Sulut) lebih setahun yang lalu,” kata Brigadir Jenderal TNI Junior Tumilaar di Bandung, Ahad (10/10).
Ya, itulah tanah
tumpah leluhurnya sebagai orang Minahasa, Sulawesi Utara. Ia mengaku sangat mencintai
kampung halaman keluarga dalam menjalankan tugas negara. Hal itu dikemukakannya
saat bincang pagi dengan pengamat komunikasi politik dan militer dari
Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting, melalui link zoom. Brigjen Junior Tumilaar, pagi itu, berada di rumahnya Komplek
Perumahan Angkatan Darat (KPAD) di Gegerkalong, Bandung, Jawa Barat.
Ia mengaku
memahami tentang risiko yang harus dihadapinya dengan membuat surat terbuka
kepada Kepala Polri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo. Surat yang intinya
sebagai protes atas tindakan oknum lembaga kepolisian Sulut yang memanggil
untuk memeriksa anakbuahnya, bintara pembina desa (babinsa).
“Saya tahu
risikonya, termasuk akan dipanggil untuk diperiksa Pusat Polisi Militer
Angkatan Darat (Puspomad). Soal pencopotan sebagai Irdam XIII Merdeka, saya
siap melaksanakannya. Saya ini orang teknik tempur, jadi tahu risiko
pertempuran,” ujar abituran (lulusan) Akademi Militer (Akmil) 1988-A dari Korps
Zeni.
Dalam pertempuran, kata Junior, tidak bisa dihindari akan ada korban. Sehingga dia siap menjadi korban dalam pertempuran tersebut untuk kemenangan yang lebih besar. “Surat saya yang disebut Bung Selamat Ginting dalam tulisannya seperti graffiti komunikasi memang merupakan bentuk protes,” ujar Junior yang mengawali tugas sebagai Komandan Peleton Zeni Tempur (Zipur) di Detasemen Zipur 5 di Ambon tahun 1988.
Guru dan
dosen militer
Ia
menjelaskan dalam karier militernya lebih banyak ditugaskan di lembaga
pendidikan selama sekitar 17 tahun.
Mulai sebagai guru militer di Pusat Pendidikan Zeni (Pusdikzi) selama
lima tahun, dilanjutkan sebagai Wakil Komandan Pusdikzi selama sekitar dua
tahun. Begitu juga penugasan di Komando Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat
(Kodiklatad), hingga menjadi dosen utama di Sekolah Staf dan Komando Angkatan
Darat (Seskoad). Total sekitar 17 tahun dari 33 tahun pengabdiannya sebagai
militer.
“Jiwa saya
guru, guru militer. Guru militer maupun dosen militer itu harus berani. Protes
saya itu bentuk edukasi, pendidikan agar tidak ada lagi kesewenangan oknum
polisi memeriksa anak buah saya sebagai babinsa,” kata mantan Komandan Kodim di
Tapanuli Tengah itu.
Dia mengaku
awalnya sudah menyampaikan ada kekeliruan dari kepolisian melalui forum resmi
kepada Polda dan juga kepada forum pimpinan daerah Sulawesi Utara. Ternyata
tidak ada tindak lanjut apapun. Bahkan seperti tidak ada persoalan sama sekali.
Sehingga dia membuat surat terbuka kepada Kepala Polri yang tembusannya
ditujukan kepada Panglima TNI, KSAD, dan Panglima Kodam XIII Merdeka.
“Saya tidak mau institusi saya disepelekan, institusi saya tidak dihormati, institusi saya dilecehkan. Sebagai Irdam, saya adalah pengawas. Saya mengawasi dan memeriksa, ada yang tidak beres. Saya ambil risiko, termasuk membela rakyat yang tertindas. Masa sebagai jenderal saya takut kehilangan jabatan? Saya rela berkorban untuk institusi TNI, Angkatan Darat, untuk Kodam dan untuk rakyat Sulawesi Utara tempat saya berdinas.”
Tugas di
Enam Kodam
Setidaknya, Junior
memang sudah malang melintang tugas di 5-6 Kodam di Indonesia, mulai dari
Maluku, Papua, Kalimantan Timur, Aceh, Sumatra Utara, Jawa Barat, Jakarta,
Sulawesi. Sehingga ia memahami masalah rakyat. Termasuk masalah pertanahan dan
kasus-kasus yang menimpa rakyat.
Menurutnya,
sebagai perwira Korps Zeni ia diberikan ilmu tentang tanah dan asal usul tanah.
Termasuk dokumen-dokumen pertanahan dari zaman kolonial Belanda. Masalah tanah
dalam institusi militer diserahkan penanganannya kepada Korps Zeni di Kodam.
Sehingga ia mempelajari status-status tanah di wilayah Indonesia yang digunakan
oleh militer.
“Sama dengan
kasus di Sulawesi Utara, saya pelajari juga status tanah yang dimiliki sejumlah
korporasi. Kok bisa mereka menguasai tanah-tanah rakyat, tanah ulayat, tanah
adat. Sudah sekian lama terjadi, tapi tidak ada yang berani melawan kezaliman. Bisa
jadi kasus tanah di Sulawesi Utara, di Sentul Bogor, dan Toba di Sumatera Utara
juga mengundang pertanyaan besar. Bagaimana rakyat terusir dari kampung
halamannya, tanah dari nenek moyangnya tak bisa ditempati. Rasanya harus ada
keadilan bagi rakyat,” kata Brigjen Junior yang pernah menjadi staf ahli bidang
lingkungan hidup di Kodam Bukit Barisan.
Sebagai
tentara, kata dia, maka prajurit harus menyesuaikan diri dalam tugas di
sejumlah daerah. Seperti saat dirinya bertugas di Aceh, Junior menghormati
kebiasaan dan tradisi masyarakat Aceh. Termasuk keyakinan agama masyarakat
setempat jangan dijadikan kendala, tetapi justru harus bisa menyatu dengan
rakyat.
“TNI itu
tentara rakyat dan tidak boleh dimanfatkan oleh golongan-golongan mana pun,
baik politik maupun korporasi atau ekonomi. Itu petuah panglima besar almarhum
jenderal Sudirman,” kata Junior yang menyandang pangkat kolonel selama delapan
tahun dengan enam jabatan. Sementara pangkat letnan kolonel disandangnya selama
12 tahun dengan delapan jabatan.
Ia memang
bukan perwira karbitan, namun melalui perjuangan berliku menjadi jenderal. Kini
setelah kasusnya viral, hasil pemeriksaan Puspomad berbuntut ia harus
kehilangan jabatan bergengsi sebagai Irdam XIII Merdeka. “Jabatan itu amanah,
kalau diambil ya harus siap, jangan dipikirkan,” kata Junior sambil tertawa
lepas.
Senin
(11/10) ini dia akan kembali menjalani pemeriksaan di Markas Puspomad di
Jakarta. “Jika dianggap bersalah oleh institusi saya, Markas Besar Angkatan
Darat (Mabesad), saya akan terima dan patuhi,” kata jenderal yang sudah
berkarier militer selama 33 tahun dan berpengalaman dalam tugas teritorial,
tempur, pendidikan, serta staf.
Mengenai
rencana menghadapi pensiun pada Mei 2022 mendatang, Junior mengaku sudah siap.
Dia mengaku tidak tertarik untuk masuk dalam dunia politik, seperti mencalonkan
sebagai kepala daerah. “Bidang saya bukan di situ. Jiwa saya adalah guru. Guru
itu memberitahu tentang kebenaran. Jadi setelah pensiun saya akan menjadi
guru,” kata kandidat doktor hubungan internasional tersebut.
Ia mengaku
belum bisa melanjutkan kuliah lagi walau pun tinggal penelitian disertasi.
Alasannya, antara lain karena tidak memiliki cukup dana untuk melanjutkannya.
Ia lebih memilih membiayai kuliah anak-anaknya daripada menuntaskan kuliah
doktoralnya di Universitas Padjajaran, Bandung.
“Modal kuat
saya karena ditempa lama di lembaga pendidikan militer, jadi nurani saya tinggi
untuk membela ketidakadilan di tengah masyarakat. Saat menjadi Komandan Kodim
di Sibolga, saya pelajari falsafah orang Sumatra Utara. Saya pelajari
antropologi sosial bidaya serta kearifan lokalnya. Jadi saya tidak kesulitan
dalam tugas-tugas teritorial. Itulah hakikatnya tentara rakyat,” ujar mantan
perwira menengah ahli nuklir, biologi, dan kimia (Nubika) di Pusat Zeni
Angkatan Darat.
Perihal
namanya, Junior mengungkapkan bahwa marga atau fam Tumilaar di Minahasa, artinya
adalah yang dirindukan. Sementara Junior adalah nama pemberian kakeknya, berarti
yang muda atau penerus keluarga.
Ya, sesuai
dengan namanya Junior Tumilaar, dialah jenderal penerus yang dirindukan.
Selamat mengabdi, Jenderal yang dirindukan!
/selamatgintingofficial