Photo: cnnindonesia.com |
Konflik kepentingan politik antara Ketua Umum
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Sukarnoputri dengan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mementahkan rencana duet Prabowo Subianto dengan
Ganjar Pranowo untuk kontestasi pemilihan presiden (pilpres) 2024.
“Megawati menolak mentah-mentah rencana
politik pihak-pihak yang ingin menyatukan Prabowo dengan Ganjar dalam menghadapi kontestasi
pilpres 2024 mendatang. PDIP tetap menempatkan Ganjar sebagai bakal calon
presiden (capres), tidak untuk bakal calon wakil presiden (cawapres),” kata
analis politik Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting di Jakarta, Senin
(2/10).
Menurutnya, konflik kepentingan politik di
antara Megawati dengan Jokowi, kali ini tidak bisa diselesaikan dengan
konsensus politik. Megawati adalah queen maker (penentu keputusan) politik bagi
koalisi pendukung Ganjar. Sedangkan Jokowi menjadi king maker politik bagi
koalisi pendukung Prabowo.
“Jadi jelas ada konflik politik yang tidak
bisa ditutupi dari kedua elite politik itu. Padahal Megawati masih punya utang
politik terhadap Prabowo melalui Perjanjian Batutulis Mei 2009, isi poinnya
antara lain PDIP akan mendukung Prabowo dalam pilpres,” ungkap Ginting, dosen
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas.
Nyatanya, lanjut Ginting, utang politik itu tidak
direalisasikan pada pilpres 2014 dan 2019. Dengan keputusan Rapat Kerja
Nasional (Rakernas) PDIP yang berakhir kemarin, maka pupus sudah Prabowo
mendapatkan dukungan dari PDIP.
Dikemukakan, memang Jokowi sebagai presiden
yang mendapatkan dukungan dari PDIP, namun belum tentu pula Jokowi akan
berpihak kepada PDIP dalam pilpres 2024 ini. Jokowi ini bukan kader murni PDIP,
melainkan pengusaha yang menjadi aktor politik dan membutuhkan perahu politik.
“Jokowi itu butuh perahu PDIP untuk berlayar
menggapai posisi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan Presiden RI. Ambisi
politiknya sudah terwujud dan sekarang dia juga ingin menjadi king maker
politik seperti Megawati,” kata Ginting yang lama menjadi wartawan bidang
politik dan militer.
Menurut Ginting, PDIP merupakan marwah politik
bagi keluarga Megawati yang membawa trah Sukarno. Sebagai partai pemenang
pemilu 2014 dan 2019, Megawati tidak sudi kader partainya (Ganjar) harus
mengalah menjadi bakal cawapres.
“Koalisi bisa terjadi dalam perspektif
Megawati dengan komposisi Ganjar sebagai bakal capres dan Prabowo sebagai bakal
cawapres. Mengingat Prabowo sebagai ketua umum Partai Gerindra (Gerakan
Indonesia Raya) posisinya berada di bawah PDIP,” ujar Ginting.
Di sisi lain, lanjutnya, Prabowo juga tidak
mau mengalah bila ditempatkan sebagai posisi bakal cawapres. Sebab inilah
kemungkinan terakhir Prabowo mengikuti kontestasi pilpres, mengingat pada
pilpres 2029, usia Prabowo sudah 78 tahun.
“Di luar itu, Jokowi lebih merasa bisa
mengendalikan Prabowo yang juga mendukung keluarga Jokowi berkiprah dalam
politik dengan sokongan dari Partai Gerindra. Sedangkan Ganjar, praktis dalam
genggaman politik Megawati,” kata Ginting yang mengenyam pendidikan doktoral
ilmu politik.
Dikemukakan, rencana politik Megawati tidak
sama dengan rencana politik Prabowo maupun Jokowi. Kemungkinan Kongres PDIP
2025 mendatang, jika mulus akan terjadi peralihan estafet kepemimpinan dari
Megawati kepada putrinya Puan Maharani.
“Bisa jadi Megawati tidak lagi memiliki
kepercayaan politik yang tinggi kepada Jokowi setelah terjadinya dinamika
politik yang hebat, seperti putra bungsu Jokowi, Kaesang Jokowi justru tidak
berada di kandang banteng. Melainkan memegang bunga mawar putih alias PSI
(Partai Solidaritas Indonesia,” pungkas Ginting.
/sgo