Showing posts with label Ibukota Baru. Show all posts
Showing posts with label Ibukota Baru. Show all posts

24 May 2019

Palangkaraya dan Angan Sukarno


Oleh: Selamat Ginting
Jurnalis

Wacana pemindahan ibukota negara, kini kembali ramai dibahas. Presiden Sukarno sesungguhnya sudah mencanangkan pemindahan ibukota dari Jakarta ke Palangkaraya pada 1957. Bahkan pemerintah kolonial Belanda pada 1920-an juga pernah merencanakan ibukota ke Bandung. Ada apa dengan Jakarta?

Republika/Harun Husein
Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah (Republika/Harun Husein)

Presiden Sukarno yang pertama kali melontarkan ide memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan Tengah. Tepatnya di kota Palangkaraya. Kota ini dibelah oleh sungai Kahayan. Keinginan Sukarno memindahkan ibukota negara dilontarkan pada 1950-an. Ia sudah meramalkan Jakarta akan tumbuh tak terkendali.  
"Jadikanlah Kota Palangkaraya sebagai modal dan model," ujar Sukarno saat pertama kali menancapkan tonggak pembangunan kota ini pada 17 Juli 1957.
Apa alasan Sukarno memilih Palangkaraya?  Pertama; Kalimantan adalah pulau terbesar di Indonesia dan letaknya di tengah-tengah gugus pulau Indonesia. Kedua; menghilangkan sentralistik Jawa. Ketiga; pembangunan di Jakarta dan Jawa adalah konsep peninggalan Belanda. Ia ingin membangun sebuah ibu kota dengan konsepnya sendiri. Bukan peninggalan penjajah, tapi sesuatu yang orisinil.
Keempat; Jakarta punya sungai Ciliwung, Palangkaraya juga punya sungai Kahayan. Sukarno ingin memadukan konsep transportasi sungai dan jalan raya. Ia ingin Kahayan secantik sungai-sungai di Eropa. Warga dapat bersantai dan menikmati keindahan kota yang dialiri sungai.
"Janganlah mendirikan bangunan di sepanjang tepi Sungai Kahayan. Sebab lahan itu hendaknya diperuntukkan bagi taman, sehingga pada malam hari terlihat kerlap-kerlip lampu indah pada saat orang melewati sungai tersebut," kata Sukarno dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka. Penulis Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990.

Bantuan Uni Soviet
Untuk mewujudkan ide tersebut, Sukarno bekerjasama dengan Uni Soviet. Para insinyur dari negara komunis terbesar itu didatangkan untuk membangun  jalan raya di lahan gambut di Palangkaraya. Pembangunan ini berjalan dengan baik. Tapi seiring dengan terpuruknya perekonomian Indonesia di awal 1960-an, pembangunan Palangkaraya terhambat.
Puncaknya pasca 1965, stabilitas politik, ekonomi, sosial dan keamanan negara terguncang.  Sukarno pun dilengserkan dari singasana kekuasaannya. Maka, sejak itu, Palangkaraya tinggal kenangan. 
Kini, ramalan Sukarno menjadi kenyataan: Jakarta semakin semrawut! Sementara pembangunan di Palangkaraya berjalan lambat. Nyaris tak ada tanda-tanda kota ini pernah akan menjadi ibukota Republik. Yang ada hanya sebuah monumen sejarah. Sejarah sebagai pengingat Sukarno pernah punya mimpi besar memindahkan ibukota ke Palangkaraya.
Memang Jakarta sebagai ibukota negara, semakin tidak layak. Siapa pun yang menjadi gubernurnya, akan kesulitan mengatasi segudang masalah. Mulai dari kemacetan akut, kepadatan penduduk, pembangunan tak terencana, hingga banjir yang selalu mengintai jika musim hujan datang.

Jakarta Kota Rawa
Rawa Mangun, Rawa Angke, Rawa Gede, Rawa Belong, dan beberapa nama lain yang menggunakan kata rawa. Nama-nama itu menunjukkan beberapa wilayah Jakarta secara alami memang kawasan rawa. Sehingga tidak tepat dijadikan pemukiman atau pusat kota. Orang Belanda yang pertama kali membangun Batavia memahami wilayah ini berawa-rawa. Namun Belanda memiliki keahlian khusus di bidang hidrologi.  
Para arsitek Negeri Kincir Angin itu membangun Batavia mengacu pada pembangunan di negerinya. Negeri  Belanda, tiga perempat lahannya awalnya berada di bawah permukaan air laut. Namun disulap, dibuat bendungan (dam) menjadi kota untuk tempat tinggal. Jadilah Amsterdam, Roterdam dan lain-lain. Pengetahuan dan teknologi itu pula yang digunakan merekayasa Batavia. Dari rawa-rawa itu menjadi satu kota yang besar.

Sejak 1920-an
Wacana pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke wilayah lain bukan hal baru. Bahkan sebelum Indonesia merdeka pada awal 1920-an, Belanda sudah merencanakan pemindahan ibukota dari Batavia ke Bandung.
Beberapa wilayah juga pernah dijadikan alternatif ibukota pengganti Jakarta. Misalnya Palangkaraya, Jonggol (Bogor, Jawa Barat), Purwokerto, Lampung, Karawang, dan Palembang.
Sejarah mencatat, Indonesia pernah memindahkan ibukotanya beberapa kali pada 1945-1950. Jatuhnya ibukota Jakarta yang dikuasai Belanda, membuat Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan utusan dan menawarkan Yogyakarta menjadi ibukota negara. Saran ini disetujui Presiden Sukarno.  Pada 4 Januari 1946, ibukota Indonesia resmi pindah ke Yogyakarta. Istana Negara pindah ke Gedung Agung, berseberangan dengan Benteng Vredeburg.
Namun, saat Belanda melancarkan Agresi Militer II, Yogyakarta jatuh ke tangan tentara Belanda. Para pimpinan negara ditangkap. Dalam keadaan darurat, dibentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan ibukota kembali dipindahkan lagi. Dipilihlah Kota Bukittinggi, Sumatra Barat. Alasannya, karena Sjafrudin Prawiranegara disiapkan untuk memimpin pemerintahan darurat (presiden darurat) jika para pemimpin nasional ditangkap.
Pada 17 Agustus 1950, ibukota dikembalikan ke Jakarta berdasarkan UUD Sementara tahun 1950 dalam pasal 46. Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia,  Nomor 10, Tahun 1964, ditetapkan Jakarta sebagai ibukota negara. Disahkan  pada 31 Agustus 1964 oleh Presiden Sukarno.
Sejak itu, penduduk Jakarta melonjak sangat pesat akibat kebutuhan tenaga kerja kepemerintahan yang hampir semua terpusat di Jakarta. Pemerintah mulai melaksanakan program pembangunan proyek besar, seperti membangun pemukiman masyarakat, dan mengembangkan pusat-pusat bisnis kota. # end

Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...