Foto: Wikipedia |
Oleh Selamat Ginting
Mengapa Jenderal Sarwo diisukan akan melakukan makar? Mengapa ia terbuang dari lingkaran kekuasaan?
Penangguhan penahanan terhadap mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen dan mantan Komandan Jenderal Kopassus Soenarko, tak berujung. Kedua jenderal itu tetap tidak bisa menikmati dua hari Idul Fitri 1440 Hijriah atau 2019 Masehi. Mereka masih di rumah tahanan (rutan) Polisi Militer Kodam Jaya di Guntur, Jakarta Selatan.
“Belum ada info lebih lanjut soal penangguhan penahanan,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo kepada wartawan di Jakarta, Selasa (4/6/2019) lalu. Artinya, kedua jenderal pensiunan itu tetap ditahan saat Idul Fitri.
Kasus Jenderal Kivlan dan Narko mengingatkan penulis pada 30 tahun lalu, sekitar 1989-1990. Saat masih menjadi mahasiswa FISIP, jurusan ilmu politik, Universitas Nasional, Jakarta. Sejak mahasiswa, turut simpati terhadap kasus yang menimpa sejumlah jenderal yang dizalimi dan beroposisi era Presiden Soeharto .
Jenderal sederhana
Pada 1989, misalnya. Bersama sejumlah aktivis mahasiswa Unas, datang malam hari ke Komplek Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur. Melayat almarhum Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, yang wafat pada November 1989. Bagi penulis, Jenderal Sarwo adalah pahlawan yang berhasil menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965-1967.
Sarwo sebagai jenderal sederhana dan bersahaja. Bukan pencitraan! Tinggal di rumah dinas Kopassus tipe 70. Rumah perwira tinggi, bintang tiga, seperti layaknya rumah komandan kompi, untuk pangkat lettu senior atau kapten. Sederhana dan tidak cukup luas. Bangunan dan perabotan rumahnya juga sederhana. Bukan seperti bayangan semula. Bayangan semula seperti rumah dinas Komplek Perwira Tinggi Angkatan Darat di belakang Gedung Balai Kartini, Jl Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Ia memang jenderal flamboyan. Tingkah laku tentara ini menarik perhatian dan mudah dikenali wartawan. Mahasiswa tahun 1965-1967 menyukai penampilannya dengan baret merah, loreng darah mengalir, dan keakrabannya dengan kelompok pemuda, mahasiswa, dan pelajar yang anti PKI. Kolonel Sarwo melindungi demonstrasi menentang Presiden Sukarno dalam aksi Tritura (tiga tuntutan rakyat).
Aksi gelombang demonstrasi Tritura pada Januari 1966 muncul karena pemerintah Sukarno tidak segera mengambil tindakan membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keadaan negara semakin parah dari sisi politik dan ekonomi. Harga barang-barang naik sangat tinggi, terutama bahan bakar minyak (BBM). Tuntutan Tritura adalah; pembubaran PKI, perombakan kabinet Dwikora, dan turunkan harga pangan.
Kembali ke rumah duka Sarwo Edhie pada malam menjelang hari Pahlawan 1989. Malam itu, tidak terlihat sosok Letkol (Infanteri) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menantu Sarwo Edhie. Dari daftar riwayat hidupnya, SBY sedang menjadi perwira siswa Seskoad di Bandung. Ada tiga menantu Sarwo yang saat itu juga berpangkat sama. Selain SBY (lulusan Akmil 1973), ada Letkol Erwin Sudjono (Akmil 1975), dan Letkol Hadi Utomo (Akmil 1970).
Sarwo memang sederhana. Bahkan irit sekali, karena tidak memiliki cukup uang. Supaya irit dan tidak bolak balik cuti meninggalkan tugasnya sebagai duta besar di Korea Selatan, ia sampai menikahkan tiga putrinya sekaligus dalam satu hari.
Mereka menikah pada akhir Juli 1976. Hal itu diungkapkan almarhumah Kristiani Herrawati dalam buku ‘Ani Yudhoyono Kepak Sayap Putri Prajuirit’. Putri kedua Sarwo, Wrahasti Cendrawasih menikah dengan Erwin Sudjono. Putri ketiga, Kristiani Herrawati menikah dengan SBY. Putri keempat, Mastuti Rahayu menikah dengan Hadi Utomo. Putri pertama Sarwo, Wijiasih Cahyasasi sudah menikah lebih dahulu di Korea Selatan.
Itulah empat putri Sarwo Edhie. Anak kelimanya adalah Pramono Edhie Wibowo. Ia mengikuti jejak ayahnya menjadi Kopassus. Saat ayahnya wafat, Pramono Edhie sudah berpangkat Kapten (Infanteri). Anak keenam, Retno Cahyaningtyas dan ketujuh Hartanto Edhie Wibowo.
King Maker
Siapa sesungguhnya Sarwo pada saat pemerintahan Presiden Soeharto? Menurut wartawan senior dan guru besar ilmu politik, Prof Dr Salim Said dalam buku ‘Menyaksikan 30 tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016)’, nasib Sarwo senaas beberapa ‘king maker’ lainnya. King maker adalah istilah bagi sosok yang membuat orang lain menjadi raja.
Sarwo berperan menjadikan Jenderal Soeharto sebagai Presiden. Ia menjadi Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang kini dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Komandan RPKAD yang menghabisi PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur era 1965-1967. Soeharto resmi menjadi presiden pada 1968.
Setelah menjadi Komandan RPKAD yang legendaris, ia dipromosikan menjadi Panglima Kodam Bukit Barisan di Medan (1967-1968). Kemudian Panglima Kodam Cenderawasih di Jayapura (1968-1970). Saat menjadi Panglima di Medan, cerita Salim Said, Sarwo diisukan akan melakukan kudeta (makar) terhadap Presiden Soeharto.
Sarwo terkejut dengan isu tersebut. Ia pun menghadap Presiden Soeharto membantah isu tersebut. Pak Harto tak menjawab hanya tersenyum saja, seperti gaya khasnya. Akhirnya Sarwo tahu siapa orang yang mengembuskan isu dirinya akan melakukan makar. Lingkaran intelijen Presiden Soeharto diduga berusaha menyingkirkannya dan menjauhkannya dari sang presiden.
Masih di era itu, Sarwo pun akan diplot menjadi duta besar di Uni Soviet. Rumors tersebut membuat morilnya jatuh. Bagaimana mungkin ia yang memberangus komunis di Indonesia, kemudian akan di tempatkan di Moskow. Negeri ‘tirai besinya’ komunis. Sebuah penghinaan baginya. Ia merasa kembali ‘dikerjain’ kelompok intelijen di lingkaran Soeharto. Hal tersebut terungkap dalam buku ‘Ani Yudhoyono Kepak Sayap Putri Prajuirit’.
Namun, rencana penempatan itu batal. Sarwo justru dipindahkan menjadi Panglima Kodam Cendrawasih. Situasi genting, karena akan ada penentuan pendapat rakyat (pepera) 1969 atau referendum rakyat Irian Jaya. Apakah akan tetap memlih Indonesia atau ikut Belanda? Nasib karier militer Sarwo juga akan ditentukan di sini.
Hasilnya, rakyat Irian Jaya tetap memilik Indonesia sebagai Ibu Pertiwinya. Keberhasilan Brigjen Sarwo di Irian Jaya tidak lantas mengangkat karier militernya. Misalnya menjadi panglima Kodam di Pulau Jawa. Ia justru dipromosikan menjadi mayjen dengan jabatan Gubernur Akabri di Magelang selama empat tahun (1970-1974). Di sini hikmahnya, ia mengenal ketiga calon menantunya.
Calon Presiden
Kemudian Sarwo menjadi duta besar RI di Korea Selatan pada 1974-1978. Lalu ditugas karyakan sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Luar Negeri selama lima tahun, 1978-1983. Pensiun sebagai letjen. Ia tidak diberi kesempatan menjadi panglima Kodam di Jawa yang lebih prestise. Sehingga kehilangan kesempatan menjadi Panglima Kowilhan untuk jenderal bintang tiga. Sembilan tahun, Sarwo tanpa jabatan militer. Jenderal tanpa pasukan membuatnya kehilangan kharisma, seperti era 1965-1967.
Usai pensiun, ia diberi tugas sebagai Kepala Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7) pada 1984-1987. Ia juga diberi jabatan sebagai dewan pengawas Bank Bumi Daya. Kemudian namanya masuk sebagai calon Ketua DPR periode 1987-1992 dari Fraksi Golkar DPR RI.
Sarwo sudah mengundurkan diri sebagai Kepala BP-7 untuk menyongsong jabatan lain. Namun, Presiden Soeharto justru memilih Letjen Kharis Suhud sebagai Ketua DPR. Bukan dirinya. Padahal media massa memperkirakan Sarwo akan menjadi orang nomor satu di lembaga legislatif.
Sarwo kemudian mundur teratur sebagai anggota DPR. Ia cuma menjalaninya selama sekitar setengah tahun sebagai anggota parlemen. Di balik itu, pada 1984, sesungguhnya sejumlah bekas aktivis mahasiswa 1966 sudah menghubungi Sarwo dan memintanya menjadi calon presiden periode 1988-1983. Alasan para mantan aktivis mahasiswa, Soeharto sudah 20 tahun menjadi presiden. Sudah cukup lama menduduki jabatan tersebut dan pada era itu semakin otoriter.
Pertemuan rahasia para mantan aktivis mahasiswa dengan Sarwo itu pernah diungkapkan Fahmi Idris pada penulis sekitar tahun 1999 di kantornya, Kementerian Tenaga Kerja. Pertemuan aktivis dengan Sarwo dilakukan usai penangkapan terhadap mantan Panglima Kodam Siliwangi, Letjen (Purn) HR Dharsono.
Tuduhannya tidak main-main. Mantan sekjen ASEAN itu dituduh akan melakukan makar atau subversif pada 1984. Subversif adalah upaya pemberontakan dalam merobohkan struktur kekuasaan termasuk negara. Sedangkan maker diartikan sebagai upaya membunuh atau merampas kemerdekaan atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden dalam memerintah.
Penangkapan terhadap jenderal yang turut menjadikan Soeharto sebagai presiden itu terjadi usai sejumlah peristiwa berdarah Tanjung Priok, dan peledakan Bank BCA di dua lokasi di Jakarta. Dalam persidangan Dharsono membantah semua tuduhan makar atau subversif kepada dirinya. Namun ia tetap harus mendekam di penjara selama lebih dari lima tahun.
Sebelum kasus yang menimpa Dharsono, para mantan aktivis mahasiswa juga sudah menjajaki kemungkinan Sarwo menjadi calon presiden, saat menjadi duta besar di Korea Selatan. Entah Presiden Soeharto mengetahui pertemuan itu atau tidak. Yang jelas, Sarwo terus ‘dikurung’ dalam jabatan-jabatan yang tidak populer. Soeharto memang cenderung tidak menyukai jenderal-jenderal popular di lingkarannya. Tidak boleh ada dua matahari kembar, begitulah dalam konsep kekuasaan Jawa. Satu harus terbuang. Sang flamboyant harus terbuang.
Setahun setelah mengundurkan diri sebagai anggota DPR, Sarwo wafat dalam usia 64 tahun. Sang flamboyan yang bersahaja itu disemayamkan di Jalan Flamboyan, Komplek Kopassus, Cijantung. Ia dimakamkan pada Hari Pahlawan di pemakaman keluarga di Mupasan, Purworejo, Jawa Tengah.
Untuk mengormati jasa Sarwo Edhie, pada 1997, Presiden Soeharto memberikan kenaikan pangkat kepada mantan anak buahnya itu. Almarhum Sarwo menjadi jenderal kehormatan bintang empat bersama mantan kepala staf pertama Angkatan Darat, almarhum GPH Djatikusumo.
/selamatgintingofficial