28 April 2019

Bila Jenderal Bikin Partai (2)

Oleh Selamat Ginting
Jurnalis
Pemerhati militer

Wiranto dan Hendro, Sudahlah …

Bendera Partai. Ilustrasi
Foto:Republika

Partai pecahan Golkar yang dibentuk para jenderal, kini berada di ujung tanduk. Kemungkinan tidak akan berhasil lolos ke Senayan, karena berada di bawah ambang batas parlemen. 

Wajah Wiranto terlihat tegang. Ia mencoba untuk tersenyum, namun kekecewaan terlihat dari raut wajahnya. Pendiri Partai Hanura atau Hati Nurani Rakyat itu meminta kader partainya tidak saling menyalahkan. 

Partai Hanura besutan Jenderal (Purn) Wiranto, kemungkinan tidak lolos ke Senayan. Gagal meraih 4 persen suara minimal ke DPR RI atau parliamentary threshold. Berdasarkan hasil hitung cepat atau quick count sejumlah lembaga, Hanura tidak lolos ke DPR periode 2019-2024, karena berada di bawah ambang batas parlemen 4 persen. 

"Tidak perlu saling menyalahkan. Dua kali Partai Hanura lolos pemilu, ya syukuri. Kalau sekarang tidak lolos, kita introspeksi. Tidak perlu salah menyalahkan, apalagi menyalahkan saya," kata Wiranto kepada para wartawan di salah satu kantor BUMN, kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (26/4/2019).

Ia berdalih dirinya konsentrasi sebagai Menteri Politik Hukum dan Keamanan, sehingga tidak mengurus Partai Hanura. "Saya (sebagai Menko Polukam) masih mengurus pemilu biar aman, ngurus Hanura nanti saja," ujarnya. 

Hasil hitung cepat sejumlah lembaga, Hanura hanya meraih kurang dari 1,5 persen suara. Turun drastis dari pemilu 2014 lalu, Hanura saat itu mengantongi 5,26 persen suara. 

Partai Hanura didirikan pada 2006. Pertama ikut Pemilu pada 2009 meraih 3,77 persen dan lolos ambang batas. Pada Pemilu 2014, Hanura juga berhasil lolos ke DPR. Kini partai yang dipimpin Osman Sapta Odang itu berada di ujung tanduk. Partai ini masuk dalam koalisi pendukung pasangan calon presiden-wakil presiden, Jokowi-KH Ma'ruf Amin.

Partai Hanura merupakan pecahan Partai Golkar. Pecahan Partai Golkar lainnya yang kemungkinan tidak lolos ke Senayan adalah Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang dipimpin Diaz Hendropriyono, anak mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Hor (Purn) AM Hendropriyono.

Berdasarkan hitung cepat sejumlah lembaga, PKPI yang merupakan metamorfosa dari PKP, juga berada di bawah ambang batas. Partai pendukung pemerintah ini  suaranya di bawah 1 persen. Pada 2014 lalu, PKPI juga hanya mampu meraih 0,91 persen. Artinya sejak 2004, 2009, 2014, dan 2019 PKP atau PKPI gagal ke Senayan.

Jadi, partai besutan jenderal yang masih eksis, tinggal Gerindra yang dinakhodai Prabowo serta Demokrat, milik SBY. Baik Wiranto dan Hendro yang selama ini hubungannya ‘tidak baik’ terhadap Prabowo maupun SBY, partainya kemungkinan harus tersingkir dari Senayan. 

Dampak reformasi
Golkar harus berhadapan dengan masyarakat usai lengsernya Presiden Soeharto pada Mei 1998. Mereka dianggap bagian dari rezim Orde Baru. Golkar meresponsnya dengan melakukan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub).  Melakukan pemilihan ketua umum untuk mengganti Harmoko pada Juli 1998.

Berhadapan antara kubu Akbar Tanjung mewakili politikus sipil melawan kubu Jenderal (Purn) Edi Sudrajat yang berasal dari kalangan militer. Akbar tampil sebagai pemenang. Mengalahkan kubu Edi yang didukung mantan Wakil Presiden Jenderal (Purn) Try Sutrisno.
Akbar berusaha mempertahankan eksistensi dan melakukan tiga langkah perubahan. Pertama; menghapuskan peran dewan pembina yang memiliki kekuasaan penuh. Kedua; mengubah Golkar menjadi Partai Golkar. Ketiga; menetapkan mekanisme pemilihan ketua umum Partai Golkar dengan cara Musyawarah Nasional (Munas). 

Keputusan itu menimbulkan perbedaan pandangan. Beberapa kader senior keluar dari Partai Golkar. Mereka membentuk partai baru, Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) dipimpin Edi Sudradjat. Membawa gerbong ormas Kosgoro, pimpinan Hayono Isman, anak dari Mayjen (Purn) Mas Isman, pendiri KINO Sekber Golkar. Mereka mendeklarasikan pada 15 Januari 1999. Inilah awal pecahnya Golkar di era reformasi.

Onderbouw Golkar lainnya, MKGR juga memisahkan diri. Mereka menjadi partai politik. Dipimpin Mien Sugandhi, istri dari Mayjen (Purn) Sugandhi, pendiri KINI Sekber Golkar. Pucuk pimpinan organisasi massa yang berafiliasi ke Golkar juga membentuk partai baru. Pemuda Pancasila pimpinan Yapto S Soerjospemarno mencoba peruntungan. Membentuk Partai Patriot Pancasila.

Pada 1999 Partai Golkar ikut dalam pemilu pertama era reformasi. Hasilnya, mendapatkan suara terbesar kedua dengan jumlah 22,44 persen di DPR setelah suara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebesar 33,74 persen. Ada pun partai-partai pecahan Golkar, kesulitan meraih suara. PKP hanya mendapatkan 1,01 persen Partai MKGR meraih 0,19 persen.   

Pada 2003, Jenderal (Purn) R Hartono keluar dari Partai Golkar. Mantan KSAD dan menteri dalam negeri era Presiden Soeharto itu mendirikan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Menggandeng putri sulung mantan Presiden Soeharto, Siti Hardijanto Soeharto. 

Konvensi
Jelang pemilu 2004, Golkar  menyelenggarakan konvensi presiden untuk mencari calon presiden dalam pilpres 2004. Sejumlah nama elite militer muncul, seperti: Jenderal (Purn) Wiranto, Jenderal Hor (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jenderal Hor (Purn) Agum Gumelar, dan Letjen (Purn) Prabowo Subianto. Selain itu ada Akbar Tanjung, Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Jusuf Kalla, dan Agung Laksono. Belakangan SBY batal mendaftar, begitu juga Agum Gumelar. Termasuk Jusuf Kalla dan Agung Laksono. Konvensi presiden Partai Golkar dimenangi Wiranto yang mengalahkan Akbar Tanjung di putara kedua.

Pada pemilu legislatif 2004, Golkar tampil sebagai pemenang (21,58 persen). Namun kalah dalam pemilihan presiden yang dimenangi SBY yang berpasangan dengan kader Golkar Jusuf Kalla. Partai-partai pecahan Golkar bergelimpangan pada pemilu 2004. Mereka menjadi partai gurem, seperti: PKPI yang merupakan metamorfosa dari PKP (1,26 persen), PKPB (2,11 persen), dan Partai Patriot Pancasila (0,95 persen).  

Pada tahun itu juga Partai Golkar juga menyelenggarakan Munas untuk memilih ketua umum. Wakil Presiden Jusuf Kalla terpilih sebegai ketua umum 2004-2009. Beberapa tokoh keluar dari Partai Golkar, yakni Wiranto dan Prabowo. Wiranto mendirikan Partai Hanura sedangkan Prabowo mendirikan Partai Gerindra.

Pada pemilu 2009, jumlah suara Partai Golkar turun ke posisi kedua 14,45 persen setelah suara Partai Demokrat dengan 20,85 persen. Sedangkan partai pecahan Golkar yang eksis adalah Partai Gerindra 4,46 persen, dan Partai Hanura 3,77 persen. Sementara partai pecahan Golkar lainnya, semakin tidak berdaya dan gagal mengirimkan wakilnya ke Senayan. PKPB hanya meraih 1,40 persen, PKPI 0,90 persen, Partai Patriot yang merupakan metamorfosa dari Partai Patriot Pancasila hanya mendapat 0,53 persen.

Tahun itu juga berlangsung Munas. Aburizal Bakrie mengalahkan rivalnya, Surya Paloh. Surya kecewa dan menyatakan keluar dari Golkar, mendirikan Partai Nasional Demokrasi (Nasdem).

Pada tahun 2014 Partai Golkar tetap berada di posisi ke dua dengan perolehan 14,75 persen. Berada di bawah PDIP yang meraih 18,95 persen. Urutan selanjutnya; Gerindra 11,81 persen, Demokrat 10,19 persen, PKB 9,04 persen, PAN 7,59 persen, PKS 6,79 persen, Nasdem 6,72 persen, PPP 6,53 persen, dan Hanura 5,26 persen.
#END

Bila Jenderal Bikin Partai (1)

Oleh: Selamat Ginting
Jurnalis
Pemerhati militer

Jenderal Bentuk KINO Hadang PKI dan Sukarno

Bendera Partai Politik. Ilustrasi
Foto : Republika

Lima jenderal Angkatan Darat menyepakai berkumpul pada 1964. Mareka bukan cuma jenderal, tetapi juga memiliki organisasi massa. Mereka adalah Mayjen Jamin Ginting (Gakari: Gerakan Karya Rakyat Indonesia), Mayjen Sugandhi (MKGR; Musyawarah Keluarga Gotong Royong), Mayjen Mas Isman (Kosgoro; Koperasi Serbaguna Gotong Royong), Mayjen Suhardiman (Soksi: Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia), dan Mayjen Suprapto Sukowati (Hankam: Ormas Pertahanan Keamanan). 

Lima organisasi itu ditambah dengan dua organisasi lainnya, yakni Organisasi Profesi dan Gerakan Pembangunan. Jadi total ada tujuh organisasi: Gakari, MKGR, Kosgoro, Soksi, Hankam, Organisasi Profesi, dan Gerakan Pembangunan. Inilah yang disebut KINO atau Kelompok Induk Organisasi. Mereka menyatu dalam wadah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).

Dibentuk untuk menghadapi kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan barisan pendukung Presiden Sukarno. Itulah kumpulan berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekber Golkar pada 20 Oktober 1964. Sekber Golkar tidak berada di bawah pengaruh partai politik tertentu. 

Jumlah anggotanya bertambah pesat. Semula berjumlah 61 organisasi. Kemudian berkembang mencapai 291 organisasi. Terpilih sebagai ketua pertama, Brigjen Djuhartono. Ia kemudian digantikan Mayjen Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I, Desember 1965. 

Pemilu 1971

Untuk menghadapi Pemilu 1971, tujuh KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber Golkar, mengeluarkan keputusan bersama pada 4 Februari 1970. Sepakat menjadi peserta Pemilu melalui satu nama dan tanda gambar, yaitu: Golongan Karya (Golkar). Logo dan nama ini, sejak Pemilu 1971, tetap dipertahankan sampai sekarang. 

Pada Pemilu 1971 ini, Sekber Golkar ikut serta menjadi salah satu konsestan. Pihak parpol memandang remeh keikutsertaan Golkar sebagai kontestan Pemilu. Mereka meragukan kemampuan komunikasi politik Golkar kepada grassroot level. NU, PNI dan Parmusi yang mewakili kebesaran dan kejayaan masa lampau sangat yakin keluar sebagai pemenang. Mereka tidak menyadari kalau perpecahan dan kericuhan internal mereka telah membuat tokoh-tokohnya berpindah ke Golkar. 

Hasilnya Golkar sukses mengantongi 62,79 persen suara. Perolehan suaranya pun cukup merata di seluruh provinsi, berbeda dengan parpol yang berpegang kepada basis tradisional. NU hanya menang di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, Partai Katholik di Nusa Tenggara Timur, PNI di Jawa Tengah, Parmusi di Sumatra Barat dan Aceh. Sedangkan Murba tidak memperoleh suara signifikan sehingga tidak memperoleh kursi DPR. 

Kemudian, sesuai ketentuan dalam ketetapan MPRS mengenai perlunya penataan kembali kehidupan politik Indonesia, pada 17 Juli 1971, Sekber Golkar mengubah  menjadi Golkar. Mereka menyatakan diri bukan parpol, walau pun fungsinya sama dengan partai politik. Alasannya, terminologi golongan lebih mengutamakan pembangunan dan karya. 

September 1973, Golkar menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) I di Surabaya. Mayjen Amir Murtono terpilih sebagai Ketua Umum. Konsolidasi Golkar pun mulai berjalan seiring dibentuknya wadah-wadah profesi, seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). 

Setelah peristiwa G30S tahun 1965, Sekber Golkar, dengan dukungan Jenderal Soeharto melancarkan aksi melumpuhkan kekuatan PKI, kemudian juga kekuatan Sukarno. Golkar dan khsusnya TNI-AD menjadi tulang punggung rezim Orde Baru. 

Keluarga besar Golkar sebagai jaringan konstituen, dibina sejak awal Orde Baru.  Dibuat aturan informal, jalur A untuk ABRI, jalur B untuk birokrasi dan jalur G untuk Golkar atau di luar birokrasi dan militer. Pemuka ketiga jalur terebut melakukan fungsi pengendalian melalui Dewan Pembina yang memiliki peran strategis selama sekitar 32 tahun. 
Setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri pada Mei 1998, keberadaan Golkar mulai ditentang.

* photo diambil dari republika.co.id

27 April 2019

Darah Mengalir di Cijantung, Arah Komando di Prabowo

Oleh: Selamat Ginting
Jurnalis
Pemerhati militer

24 April 2019

Sejumlah petinggi TNI aktif saat ini pernah menjadi anak buah langsung Prabowo Subianto saat berdinas di Kopassus. Siapa mereka?

Prabowo Subianto
Foto: Republika/Amri Amrullah


Bukan di jantung ibu kota. Tapi di pinggiran kota. Cijantung. Di situlah Markas Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Angkatan Darat. Pagi itu, loreng darah mengalir  memompa semangat pasukan komando. Seperti fungsi utama jantung, memompa darah ke seluruh tubuh. 

Ya, pasukan khusus ini bagaikan jantungnya TNI. Seperti darah bertugas membawa nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan oleh organ-organ tubuh.  Sekaligus mengangkut zat-zat sisa. Itulah prajurit terlatih.

"Di sinilah tempatnya prajurit-prajurit pilihan. Prajurit yang ditempa dengan berbagai latihan, tantangan, dan medan pertempuran," kata Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto, dalam sambutan upacara hari ulang tahun Kopassus, 24 April 2019 di Cijantung, Jakarta Timur. 

Ada lima jenderal bintang empat aktif hadir di acara kesatuan bermotto: Berani, Benar, Berhasil. Mereka adalah Panglima TNI, KSAD Jenderal Andika Perkasa, KSAL Laksamana Siwi Sukma Adji, KSAU Marsekal Yuyu Sutisna, dan Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian.

Mengapa Kopassus begitu istimewa? 

Tentu saja karena sejumlah keberhasilan dalam operasi-operasi khusus yang diamanatkan kepada mereka. Itu salah satunya.  

Pasukan berbaret merah darah, hari itu sedang merayakan hari jadinya ke 67 tahun. Mestinya hari jadi satuan ini pada 16 April lalu. Didirikan pada 16 April 1952 di Bandung. Ibu kandung Kopassus adalah Kodam Siliwangi. Cikal bakalnya adalah Kesatuan Komando (Kesko) Tentara dan Teritorium (TT) III Siliwangi. Satuan setingkat detasemen. Markasnya di Batujajar, Bandung.

Sebagai komandan pertama, Mayor (Infanteri) Rokus Bernardus Visser. Ia mantan anggota Korps Speciale Troepen KNIL (tentara Belanda). Visser kemudian berganti nama menjadi  Muhammad Idjon Djanbi. Dia menjadi komandan selama empat tahun (1952-1956). Usai bertugas, pangkatnya dinaikkan menjadi letnan kolonel.

Pada 1953-1954, kendali Kesko tidak lagi di bawah Siliwangi, melainkan langsung di bawah Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Jadilah namanya, Keskoad. Saat itu Keskoad belum menggunakan baret merah, melainkan baret coklat. Mirip baret korps artileri. Lorengnya pun bukan seperti darah mengalir. Melainkan loreng macan tutul. 

Loreng bekas Korps Marinir Amerika Serikat pada Perang Dunia Kedua. Loreng Negeri Paman Sam itu diwariskan kepada tentara Negeri Kincir Angin. Angin membawa pakaian itu dari tentara Belanda diwariskan untuk Kesko Siliwangi yang dipimpin Mayor Visser.

Visser kecewa ketika MBAD pada 1953, tidak bersedia menyiapkan baret khusus untuk Keskoad. Belakangan MBAD memberikan baret warna coklat mirip korps artileri. Visser tak kurang akal, ia mencelupkan baret ke air teh kental agar berwarna kemerahan. Sang mayor ingin mengenakan baret merah seperti yang dulu dipakainya. Baret selama sekolah pelatihan pasukan penerjun, warna merah darah.

Sedangkan loreng darah mengalir pertama kali diperkenalkan pada hari TNI, 5 Oktober 1964 di Senayan. Satuan ini bukan lagi setingkat detasemen atau batalyon.  Tetapi sudah setingkat resimen atau brigade. Dipimpin seorang kolonel. Saat di Senayan dipimpin Kolonel (Infanteri) Moeng Parahadimulyo. 

Operasi pertama menggunakan baret merah dan loreng darah mengalir, saat menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965-1967. Saat Dipimpin Kolonel (Infanteri) Sarwo Edhie Wibowo sebagai Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (Menparakoad atau RPKAD).

Dipecat
Operasi itu melengkapi operasi-operasi sebelumnya, seperti menumpas DI/TII, RMS, Andi Aziz, Kahar Muzakar, PRRI dan Permesta, Trikora, serta Dwikora. Saat operasi Permesta di Sulawesi Utara terjadi peristiwa yang tidak mengenakan bagi kesatuan ini.

Mereka mesti menghadapi orang yang sangat berjasa. Pendiri Kesko, yakni Brigjen Alex Evert Kawilarang. Dia mantan Komandan TT III Siliwangi, sejak  1951 hingga 1956. AE Kawilarang kecewa dengan kebijakan pemerintah pusat yang tidak adil terhadap daerah. 

Buntut pembelaan Kawilarang terhadap Permesta, membuat pangkatnya diturunkan menjadi kolonel. Sebelumnya dia atase pertahanan RI di Amerika Serikat dengan pangkat brigjen pada 1956-1958. 

Kawilarang tidak sendirian mengalami 'pemecatan' jelang 1960. Sebelumnya dua rekan, sesama lulusan Akademi Militer KNIL Belanda di Bandung, mengalami nasib yang sama 'dipecat' oleh Presiden Sukarno. AE Kawilarang dan AH Nasution dari korps infanteri. Sedangkan TB Simatupang dari korps zeni. Lulusan terbaik, namun karena orang Indonesia, posisinya digeser jadi ranking dua. Ranking satu untuk orang Belanda. 

Nasution dipecat sebagai KSAD. Sedangkan Simatupang dipecat sebagai KSAP (Kepala Staf Angkatan Perang). Jabatan tertinggi menggantikan posisi Panglima Besar Sudirman. Kedua tokoh Sumatra Utara itu 'dipecat' usai peristiwa 27 Oktober 1952. Tentara mengepung istana, karena tidak setuju dengan campur tangan sipil terhadap urusan militer.

Di situ sekaligus 'dihabisinya' tentara dengan latar belakang KNIL. Tentara dengan background PETA, kemudian menguasai TNI. Namun tiga tahun setelah itu, Presiden Sukarno memanggil Nasution dan Simatupang untuk aktif lagi dalam dunia militer. Simatupang sudah patah arang. Nasution akhirnya dikembalikan posisinya sebagai KSAD. Hal ini setelah GPH Djatikusumo, KSAD pertama juga menolak diposisikan kembali sebagai orang nomor satu di Angkatan Darat. 

Nasution gantikan Banbang Utoyo yang menghadapi penolakan dari sejumlah perwira senior.  Utoyo hanya empat bulan sebagai KSAD. Pada periode itu, Nasution jadi KSAD pada 1955-1962. 

Urusan 'pecat memecat' pada awal kemerdekaan seperti hal 'biasa'. Nasution pun pernah 'memecat' Kolonel Soeharto dari dinas militer. Namun Soeharto dibela Gatot Subroto. Surat pemecatan akhirnya dianulisasi, setelah Gatot meloby Sukarno. 

Selebritas
Nama RPKAD harum semerbak saat menumpas PKI. Mereka begitu popular di media massa, baik televisi, radio, maupun koran. Sampai masyarakat mengelu-elukannya sebagai super hero Indonesia. 

Pada 1967, Komandan RPKAD diganti. Brigjen Widjojo Sudjono alias Billy, menjadi komandan gantikan Sarwo Edhie. Nama satuan diubah, dan ditingkatkan sekelas komando tempur. Jadilah Pusat Pasukan Khusus disingkat Puspassus. 

Billy memeriksa kembali kemampuan anak buahnya. Karena terlanjur jadi 'selebritas', kemampuan perorangan pun menurun. Maka dia melarang personel Puspassus tampil di media massa. Ia gembleng kembali latihan menembak, lempar pisau, bela diri, terjun militer, dan lain-lain. 

Tiga tahun Billy jadi komandan Puspassus (1967-1970). Ia mantan komandan pasukan khusus yang tertua dan masih aktif. Jenderal bintang empat purnawirawan dengan jabatan terakhir Kepala Staf Kopkantib. Baru-baru ini, jelang pemilu, Billy  bersama Letjen (Purn)  Sayidiman Suryohadiprojo mengunjungi kediaman Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. 

Kedua jenderal usianya bukan 29 tahun. Tetapi 92 tahun! Inilah dua jenderal paling sepuh yang kini paling dihormati. Sayidiman dikenal sebagai jenderal pemikir. Dia lulusan pertama Akademi Militer Yogyakarta, tahun 1948. Ranking tiga terbaik. 

Ranking pertama Kun Suryoatmojo memilih menjadi bankir di Bank Indonesia. Sedangkan ranking kedua, Subroto, ke perusahaan minyak dan berhasil menjadi menteri pertambangan dan energi era Presiden Soeharto. 

Sayidiman sempat menjadi komandan resimen taruna Akademi Militer Jurusan Teknik di Bandung (1960-1962). Di situ, ia berhasil mengintegrasikan dengan Akmil Jurusan Tempur di Magelang. Gubernur Akademi Militernya, GPH Djatikusumo, mantan KSAD dan Direktur Zeni.

Sayidiman saat jadi Wakil KSAD tahun 1974, awalnya akan diplot menjadi KSAD. Namun pecahnya peristiwa Malari 1974, membuat namanya terpental. Ia pun digeser menjadi Gubernur Lemhannas. "Saya jadi korban fitnah politik."

Usai pertemuan dengan Prabowo, Sayidiman menitipkan pesan khusus via WA kepada Letjen (Purn) Johanes Suryo Prabowo. Suryo mantan komandan / kepala zeni Kopassus, saat berpangkat letnan kolonel. Ia juga sempat menjadi pelatih demolisi Kopassus. Setelah itu Suryo jadi Danyon Zipur 10 Amfibi, Divif 2 Kostrad. Dalam dua posisi itu Suryo digantikan Budiman yang kelak menjadi KSAD pada 2013-2014. Sayidiman minta Suryo mengamankan Prabowo Subianto dari pihak-pihak luar yang tidak bertanggung jawab. 

Anak buah
Pada acara HUT Kopasuss, hadir sejumpah mantan Komandan Jenderal Kopassus. Termasuk komandan ke-15, Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto yang menjadi 'episentrum' bagi para wartawan.

Prabowo menjabat sebagai Danjen Kopassus sejak 1 Desember 1995 hingga 20 Maret 1998. Ia mengenakan setelan jas krem dan baret merah. Prabowo didampingi Danjen Kopassus saat ini, Mayjen I Nyoman Cantiasa. 

Hadir pula, di antaranya mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo, mantan Kepala BIN Jenderal Hor (Purn) AM Hendropriyono, mantan KSAD Jenderal (Purn) Mulyono, serta mantan Kasum TNI Letjen (Purn) J Suryo Prabowo.

Mengenakan kaca mata hitam, kepada wartawan Prabowo  mengaku ingat saat masih aktif di Kopassus. Saat masa muda, dan saat masih agak kurus. Ia juga menilai penampilan para prajurit Kopassus sangat luar biasa. Dia mengaku sangat bangga karena Kopassus masih memiliki kualitas yang sangat tinggi.

"Saya bangga sekali bahwa kualitas Kopassus masih sangat, sangat, sangat tinggi. Jadi saya sangat bangga hari ini," kata Prabowo, mantan Panglima Kostrad dan Komandan Sesko TNI. 

Sekitar 14 tahun Prabowo berdinas di Kopassus (1976-1985), dan 1993-1998. Selain itu sembilan tahun di Kostrad (1985-1993 dan 1998). Sejumlah petinggi TNI aktif saat ini pernah merasakan jadi anak buah langsung Prabowo saat di Kopassus.

Mereka umumnya lulusan Akmil 1980-an, misalnya: KSAD Jenderal Andika Perkasa (1987), Kepala BNPB Letjen Doni Monardo (1985), Sesmenko Polhukam Letjen Agus Surya Bakti (1984), dan Irjen TNI Letjen Muhammad Herindra (1987).

Selain itu, mantan Pangdam Merdeka Mayjen Madsuni (1988 A), Pangdam Jaya Mayjen Eko Margiyono (1989), dan Pangdivif 2 Kostrad Mayjen Tri Yuniarto (1989), serta Danjen Kopassus Mayjen I Nyoman Cantiasa (1990). Tim Mawar yang sempat menghebohkan jagat pada 1998, mayoritas sudah perwira tinggi bintang satu. 

Prabowo tetap menjadi media darling pada acara di Kopassus itu. Sepak terjang dan gerak geriknya dipantaun pers. Posisinya sebagai calon presiden nomor urut 02, menjadi salah satu alasan. 

Kini ia masih fokus pada penghitungan suara pemilihan presiden. Hasil real count Pilpres 2019 internal Prabowo-Sandi menang sekitar 62%. Hal itu berdasarkan input data C1. Bahkan Prabowo sudah tiga kali mendeklarasikan klaim kemenangannya. Menurut Prabowo, hasil real count diperoleh dari penghitungan di 320 ribu TPS dan sekitar 40 persen total suara yang masuk.

Namun secara konstitusi, publik masih menunggu pengumuman resmi dari Komisi Pemilihan Umum, 22 Mei 2019 mendatang. Publik tentu menunggu arah komando Prabowo kepada pendukungnya. 

# End.

22 April 2019

Babinsa Ditarik dari Gelanggang Pemilu. Ada apa, Jenderal?

Oleh: Selamat Ginting
Jurnalis
Pemerhati militer


Hari Kartini. Namun, kali ini pertanyaan teman-teman kepada saya, tak ada kaitannya dengan perjuangan Ibu Kita, Raden Ajeng Kartini. Juga bukan soal bukunya, Habis Gelap Terbitlah Terang.

Tapi soal 'gelapnya' suasana yang menyelimuti Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad). Gelap setelah adanya instruksi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa. 

Perintah orang nomor satu di Mabesad sebagai tindak lanjut acara video conference. Vicon antara Wakil Asisten Teritorial (Waaster) KSAD Brigjen Gathut Setyo Utomo dengan para asisten teritorial (aster) komando utama (kotama) AD, Jumat (19/4/2019) malam.

Apa yang dibahas? Apalagi kalau bukan soal pemilu. Ya, ini memang soal pemilu. Perhelatan demokrasi yang menjadi tanggung jawab sejumlah komponen bangsa. Termasuk tanggung jawab TNI AD untuk mengamankan ajang ini agar berlangsung aman, tertib, dan tentu saja jujur dan adil.

Disebutkan, adanya laporan yang masuk ke KSAD. Aparat komando wilayah (apkowil) dalam hal ini babinsa (bintara pembina desa) melaksanakan pencarian data dengan pencatatan di TPS (tempat pemungutan suara), merekap hasil pemilu di PPK (panitia pemilihan kecamatan) dan menfoto formulir C1 (catatan hasil penghitungan suara). 

Berdasarkan hal tersebut, diperintahkan kepada seluruh jajaran apkowil sbb:
1. Tidak ada lagi apkowil (babinsa) melaksanakan pencarian data untuk mendapatkan informasi sebagaimana hal tersebut di atas.
2. Tidak ada lagi laporan perolehan suara yang dikirimkan via WA, dikirim lewat EMAIL atas permintaan.
3. Laporan yang dikirimkan adalah laporan yang berdasarkan hasil keputusan dari KPUD sesuai jadwal pengumuman, sudah disahkan, sudah dipublikasikan kepada masyarakat.  Bukan hasil pencatatan/mencari data/memfoto dengan cara yang tidak benar.

Sejak malam itu juga hingga pukul 24.00, perintah sudah harus disampaikan kepada seluruh babinsa dan apkowil lainnya.

Jika tidak, bagaimana? Apabila keesokan harinya masih ada foto yang viral terkait hal tersebut dan diterima oleh KSAD, maka konsekuensi ada pada komandan Kodim dan Aster.

Pertanyaan publik

Instruksi KSAD tersebut viral dan menjadi bahan pertanyaan publik. 
Perintah KSAD sangat serius dengan sanksi keras terhadap para dandim dan para aster Kotama. Tembusannya antara lain kepada para panglima Kodam, kepala staf Kodam, maupun inspektur Kodam. 

Pertanyaan inilah sejak Sabtu (20/4/2019) muncul di WA saya. Ada apa dengan fungsi pembinaan teritorial (binter) AD? Ada apa dengan Angkatan Darat? Baru pada pemilu kali ini, para babinsa ditarik dari pantauan pemilu di PPK.

Di sisi lain. Kepala Polda Metro Jaya, Irjen Gatot Eddy Purnomo, menyampaikan alasan pihaknya mengumpulkan formulir C1 plano penghitungan suara Pemilu 2019.

Ia berdalih jajaranya mengumpulkan C1 untuk pegangan atau data internal yang dipersiapkan. Tujuannya mengantisipasi hal yang tidak diinginkan seperti konflik akibat perbedaan suara.

Benarkah hanya untuk itu? Sebab publik sejak awal mempertanyakan, bagaimana bentuk implementasi netralitas polisi pada pemilu, kali ini?

Walau pun beberapa kali Kepala Polri Jenderal Muhammad Tito Karnavian 'berbusa-busa' menyatakan netralitasnya. Namun ucapan dan implementasinya akan diuji masyarakat di lapangan. 

Tugas mendata hasil C1 di kepolisian, ujung tombaknya adalah bhabinkamtibmas (bhayangkara  pembina keamanan dan ketertiban masyarakat). Bhabinkamtibmas adalah rekan kerja babinsa di kelurahan atau desa hingga kecamatan. 

Menurut Peraturan Kepala Staf TNI AD Nomor 19/IV/2008 tertanggal 8 April 2008, seorang babinsa berkewajiban melaksanakan pembinaan teritorial (binter) sesuai petunjuk atasannya, yaitu komandan Komando Rayon Militer (koramil).

Secara pokok, tugasnya mengumpulkan dan memelihara data pada aspek geografi, demografi, hingga sosial dan potensi nasional di wilayah kerjanya. 

Babinsa menjadi ujung tombak informasi awal operasi militer selain perang, berupa operasi kemanusiaan TNI AD atau gabungan. 

Termasuk memberikan informasi awal terkini tentang kondisi dan situasi wilayahnya. Ya, mereka memang memiliki tugas penting. Berhubungan langsung dengan keamanan, memelihara ketertiban serta deteksi dan pencegahan dini. 

Mereka juga yang pertama dan sering mendapatkan informasi, baik yang berkaitan dengan kejahatan, keamanan dan terorisme. Termasuk kondisi sosial politik saat pemilu, kali ini.

Mereka pihak pertama yang bisa mendeteksi kejadian-kejadian yang tidak diinginkan, sehingga bisa dicegah. Langkah preventif aktif. Maka wajar saja jika para babinsa pun turut mencatat hasil pemilu melalui formulir C1. 

Dilumpuhkan

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy'ari mengatakan pada dasarnya formulir C1 yang asli itu merupakan milik KPU, dan tidak boleh ada pihak lain yang meminta formulir asli C1 tersebut. 

Tetapi tidak ada larangan bagi babinsa maupun bhabinkamtibmas untuk mencatat atau memfoto hasil C1. Tugas seperti itu sudah dilakukan sejak pemilu era refornasi 1999. Hasil pemilu bisa diketahui masyarakat dan bagian dari keterbukaan informasi publik. 

Penarikan babinsa di satu sisi, serta semakin 'aktifnya' bhabinkamtibmas di sisi lain, justru mengundang tanda tanya besar. Mengapa fungsi babinsa dilumpuhkan?

Jangan lupa makna konsep operasi teritorial TNI. Inilah sesungguhnya 
model komunikasi yang terbangun dalam perang gerilya. Wafatnya Panglima Besar Jenderal  Besar Soedirman pada 1950, tidak serta merta konsep operasi teritorial ini dihapuskan. Justru dilanjutkan pimpinan TNI penerusnya.

Kemudian, Jenderal Besar Abdul Haris Nasution yang mengenalkan konsep operasi terstruktur. Dikenal dengan sebutan Operasi Pembinaan Teritorial (Binter) TNI melalui metode komunikasi sosial (Komsos) TNI.

Operasi Binter melalui Komsos semakin terlembaga setelah Jenderal Besar Soeharto menjadi Presiden RI. Binter yang berfokus pada Komsos  dijadikan instrumen penting oleh Presiden Soeharto. Utamanya untuk menanggulangi ancaman dan berbagai gerakan anti Pancasila yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Maka Satuan Komando Teritorial TNI AD yang tergelar dari  tingkat pusat sampai tingkat kecamatan dan desa menjadi pelaksana Binter yang difokuskan pada kegiatan komunikasi sosial dan pembinaan ketahanan masyarakat dan wilayah (Bintahwil), serta Bakti TNI.

Pasca pemerintahan Orde Baru, TNI semakin mengedepankan pendekatan komunikasi sosial dengan masyarakat.  Saat TNI dipimpin Jenderal Gatot Nurmantyo, misalnya. Dicanangkan  program  binter yang komprehensif. Dikenal dengan istilah Serbuan Teritorial. 

Sebuah implementasi komitmen TNI dalam membantu pemerintah mempercepat program pembangunan guna mewujudkan tatanan masyarakat yang berkembang maju dan sejahtera.

Era reformasi, TNI memandang penting membangun kesepahaman dengan rakyat melalui komunikasi sosial. Hal ini sebagai prasyarat dalam mewujudkan keamanan dan keselamatan bangsa. 

TNI wajib membangun komunikasi sosial kemasyarakatan yang lebih dialogis dan persuasif. TNI dan rakyat harus memiliki semangat rasa persatuan yang solid dan manunggal. 

Kini sebagian masyatakat justru terpukul. Terpukul oleh brutalnya pencatatan hasil pemilu di KPUD/KPU yang tidak sesuai dengan hasil fornulir C1. Ada yang berbuat curang sejak tingkat TPS.

Karena itu kehadiran aparat babinsa yang memiliki bukti sesuai hasil C1, justru akan dapat mengetahui siapa sesungguhnya pembajak konstitusi.

Apalagi pada Kamis (18/4/2019), 
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menegaskan, aparat keamanan tidak akan memberi toleransi atas tindakan yang mengganggu ketertiban masyarakat dalam menyikapi Pemilu 2019.

TNI dan Polri akan menjaga stabilitas keamanan hingga berakhirnya seluruh tahapan pemilu 2019. Hal itu disampaikannya dalam jumpa pers di Kantor Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Jakarta.

"Kami tidak akan menoleransi dan menindak tegas semua upaya yang akan mengganggu ketertiban masyarakat serta aksi-aksi inkonstitusional yang merusak proses demokrasi," kata Marsekal Hadi  didamping Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian. 

Kesalahan input data atau kesengajaan yang masih dilakukan di KPUD/KPU berpotensi sebagai tindakan inkonstitusional. Sekaligus memantik kerusuhan horizontal. Tindakan yang merusak proses demokrasi.

Kehadiran babinsa yang memiliki catatan hasil C1 sejatinye merupakan tindakan konstitusional. Tidak ada yang dilanggar. Bahkan sebuah cipta kondisi yang semakin penting dan mendesak.

Mengapa? Karena spektrum ancaman di era global ini sangat berat dan kompleks. Antara lain berupa ancaman proxy war. Bentuk peperangan antarnegara yang bersifat halus, tidak menggunakan kekuatan militer.

Ancaman potensi konflik horizontal dampak dari hasil pemilu, kini ada di depan mata kita semua. Mengapa Jenderal Andika Perkasa justru menarik mereka dari tugasnya melindungi masyarakat? Ada apa sesungguhnya, Jenderal? 

Kami bertanya dan berharap kegelapan misteri bobroknya pemilu kali ini bisa terungkap menjadi terang benderang. Bagai buku karya RA Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang. 

# End.

20 April 2019

Kegentingan Memaksa, Jenderal! (3)

Oleh
Selamat Ginting

Jurnalis

Bagian III

Serangan Wiranto
Menjadi aneh, ketika Wiranto tidak bisa tampil lagi dalam pilpres 2014, namun mengembuskan isu kasus 1998 soal Dewan Kehormatan Perwira (DKP). Wiranto bersama Hendro dan Agum menjadi trio yang menyudutkan Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasa saat menghadapi Jokowi berpasangan dengan JK.

“Isu usang 20 tahun lalu yang digoreng terus.  Justru hasil DKP tidak ada pernyataan pelanggaran HAM oleh Prabowo, tidak ada peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang melibatkan Prabowo,” kata Suryo Prabowo, jenderal korps Zeni, lulusan terbaik Akmil 1976.

Baginya, ucapan Agum Gumelar, justru memperlihatkan kecemburuan pribadi Agum terhadap Prabowo.  Dari sisi sebagai pengusaha, Agum kalah. Dari sisi politik juga kalah. “Agum mau jadi gubernur DKI Jakarta saja tidak bisa, karena kurang dukungan. Maju dalam pilkada Jawa Barat juga kalah. Sedangkan Prabowo bisa membuat partai politik besar.”

Rivalitas
Prabowo dan Wiranto setelah keluar dari Partai Golkar membuat partai politik sendiri. Bahkan Gerindra kini menjadi partai ketiga terbesar pada pemilu 2014. Padahal Partai Gerindra, baru berdiri pada 2008. Ikut pemilu 2009, langsung lolos ke Senayan. 

Kini, Gerindra berpeluang menjadi partai nomor dua terbesar pada pemilu 2019. Partai besutan Prabowo jauh lebih laku jual daripada Partai Hanura, besutan Wiranto. Hanura malah terancam tidak akan lolos ke Senayan pada pemilu kali ini. 

Lain lagi dengan Kivlan Zen. Menurutnya, Wiranto tidak perlu digubris, Sebab dari sisi militer sesungguhnya Wiranto sudah gagal. Gagal menghadapi kerusuhan Mei 1998, namun ngotot ingin menjadi panglima ABRI. “Dia panglima yang gagal, makanya kami mengusulkan agar Presiden Habibie tidak memilih Wiranto lagi sebagai panglima ABRI,” kata Kivlan dalam sebuah wawancara. 

Hubungan Kivlan dan Wiranto pun selalu panas. Terakhir saat acara silaturahmi Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD). Keduanya beradu mulut soal peristiwa 1998. Namun ditengahi oleh Ketua Umum PPAD, Letjen (Purn) Kiki Syahnakri. 

Mengenai tudingan upaya kudeta oleh Prabowo dkk juga ditepis Letjen Marinir (Purn) Suharto. Menurutnya, jika saja mau, bisa saja dilakukan kudeta. Apalagi Kostrad, Kopassus, Kodam Jaya ditambah Korps Marinir memiliki jumlah pasukan yang cukup besar. 

“Saya bersama Prabowo (Pangkostrad), Muchdi (Danjen Kopassus), Sjafrie (Pangdam Jaya) berada di Jakarta. Tidak ada upaya untuk itu. Jadi fitnah jangan dikembangkan lagi,” kata mantan Komandan Korps Marinir itu dalam sebuah publikasi. 

Inkonsistensi Agum
Terhadap dukung-mendukung calon presiden dan wapres, organisasi paguyuban purnawirawan TNI-Polri menyatakan netral dan tidak berpolitik praktis.  

“Saya harus kawal gerbong ini sebagai lembaga yang netral dan tidak berpolitik praktis. Soal pilihan politik, dikembalikan kepada anggota  di tempat pemungutan suara. Pengurus PPAL yang menjadi pendukung pasangan calon, harus mengundurkan diri,” kata  Ketua Umum PPAL, Laksamana (Purn) Ade Supandi.

Hal senada dikemukakan Ketua Umum PPAD, Letjen (Purn) Kiki Syahnakri; Ketua Umum PPAU, Marsekal (Purn) Djoko Suyanto; serta Ketua Umum PP Polri, Jenderal (Purn) Bambang Hendarso Danuri.

Ketua Umum PEPABRI, Jenderal Hor (Purn) Agum Gumelar juga menyuarakan hal yang sama. Namun Agum justru berpolitik praktis dengan selalu menyerang Prabowo sejak pilpres 2014 dan 2019. 

Agum anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Jokowi. Sehingga netralitasnya sebagai Ketua Umum PEPABRI yang menaungi purnawirawan TNI dan Polri menjadi bias. Selain Agum, Subagyo HS dan Yusuf Kertanegara juga menjadi anggota Wantimpres. Mereka bekas personel DKP tahun 1998.

Agum selalu bicara soal pelanggaran HAM pada 1998, namun tidak pernah bicara masalah yang sama untuk sejumlah peristiwa. Misalnya saja kasus Talangsari, Lampung, pada Februari 1989 yang diduga menewaskan 47 orang dan 88 lainnya hilang, seperti data Kontras (Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan). Dalam peristiwa tersebut, Komandan Korem 043 Garuda Hitam adalah Kolonel Hendropriyono. Kemudian digantikan Kolonel Agum Gumelar.  Begitu juga kasus Munir Thalib, pada 2004. Kasus itu diduga menyeret nama Hendro sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).

Dukungan sahabat 
Salah satu yang mengetahui peristiwa kerusuhan 1998 adalah mantan Pangdam Jaya, Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin. Sjafrie, kini bergabung dengan kubu Prabowo. Padahal ia sempat disebut turut Wiranto pasca konflik elite militer tahun 1998 itu. 

Baru-baru ini, Sjafrie tampil di twitter. Ia memposting kegiatannya menghadiri kampanye Prabowo Sandi  di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, 7 April lalu. Ia menggunakan baju koko putih dan kopiah hitam. Lalu menuliskan kalimat:  Ya Allah lenyapkanlah kezaliman dan kesombongan. 

Setelah itu muncul foto Sjafrie bersama Prabowo saat keduanya berpangkat letnan kolonel. Keduanya menggunakan pakaian dinas lapangan loreng, lengkap dengan baretnya, Sjafrie berbaret Kopassus, dan Prabowo berbaret Linud Kostrad dengan kalimat: sahabat lama. Kemudian muncul lagi foto saat keduanya menjadi taruna. Termasuk foto taruna SBY. 

Kegentingan yang memaksa para jenderal menyatu. Tak ada lagi batas kelompok, apalagi menurut agama. Ada Johanes Suryo Prabowo yang Katolik, Romulo Simbolon dan Musa Bangun yang Kristen Protestan, misalnya.  Termasuk Yunus Yosfiah (1965), Syarwan Hamid (1966), dua letjen purnawirawan yang dikenal dekat dengan mantan Panglima ABRI, almarhum Jenderal (Purn) Feisal Tanjung (1961).

Bahkan Syarwan, mantan Kassospol ABRI itu, beberapa waktu lalu memposting tulisannya bahwa presiden dan jajarannya, berpotensi menjadi pengkhianat bangsa. Tulisan itu viral.
“Semakin hari bertambah terus warga Cina yang patut diduga berstatus atau berkualifikasi paramiliter masuk ke Indonesia. Terbanyak di bagian Timur.   Saya kira bagi mereka yang punya rasa memiliki terhadap NKRI, terlebih yang memiliki kualifikasi intel atau punya aparat intel, pasti akan sangat risau dan gemas,” kata Syarwan.

“Terkutuklah kalian (elite negeri), jika kelak terjadi petaka pada negeri ini. Insya Allah, saya yakin rakyat akan memobilisasi perlawanan, jika gejalanya akan menjadi serius,” pungkas Syarwan.

Ya, ancaman invasi Cina, menjadi salah satu alasan berkumpulnya para perwira tinggi purnawirawan TNI Polri di kubu 02 Prabowo. Mereka melupakan konflik-konflik lama dan ingin ada perubahan. Perubahan harus ada pemimpin. Pemimpin yang tegas dan mampu menyelesaikan ancaman di depan mata tersebut.

(Habis)

Kegentingan Memaksa, Jenderal! (2)

Oleh
Selamat Ginting

Jurnalis

Bagian II

Pindah haluan
Perang melawan ancaman invasi ekonomi Cina di Indonesia, seperti diisyaratkan Romulo Simbolon, menjadi ‘kegentingan’ yang memaksa para jenderal menyatu. Nyaris sejumlah jenderal yang tadinya berseberangan dengan Prabowo, kini justru berkumpul mendukung mantan Panglima Kostrad serta Komandan Jenderal Kopassus tersebut.

Romulo, awalnya bukan ‘kelompok’ Prabowo saat masih militer aktif. Namun kegentingan, memaksa para jenderal itu menyatu untuk melakukan perubahan. Utamanya melawan ancaman invasi Cina di Indonesia.

Ia dulu dikenal sebagai karib almarhum Letjen Agus Wirahadikusuma (WK).  Lulusan Akmil 1973 juga. Prabowo, Romulo, dan Agus WK, kebetulan punya tanggal kelahiran yang sama, 17 Oktober 1951. Ketiganya justru dikenal ‘berseberangan’ dengan Jenderal Wiranto. Wiranto kini berada di belakang kubu Presiden Jokowi. 

Konflik elite militer pada 1998 itu memang tidak bisa dilepaskan dari dua figur utama, Wiranto versus Pranowo. Namun, tidak semua jenderal yang  dulunya dianggap kubu Wiranto, berada di barisan Jokowi. 

Yang mengejutkan adalah tampilnya Letjen (Purn) Djamari Chaniago. Ia mengenakan kemeja safari krem empat kantong dan peci merah hati khas Gerindra. Lulusan Akmil 1971 itu tergabung dalam Persatuan Purnawirawan Indonesia Raya (PPIR), sayap Partai Gerindra. PPIR kini dipimpin Mayjen (Purn) Musa Bangun (1983), mantan Koordinator Staf Ahli KSAD. 

Ada pun Djamari pada Agustus 1998, menjadi sekretaris Dewan Kehormatan Perwira  (DKP) yang memeriksa Prabowo. Sebagai Ketua DKP adalah KSAD, Jenderal Subagyo HS (Akmil 1970), dan wakil ketua Letjen Fachrul Razi (1970). Anggota:  Letjen Yusuf Kartanegara (1966), Letjen Arie J Kumaat (1966), Letjen Agum Gumelar (1968), dan Letjen SBY (1973)

Dari personel DKP, SBY dan Djamari Chaniago, kini berada dalam kubu Prabowo. Sementara Arie Kumaat sudah meninggal dunia. Hanya Agum Gumelar dan Fachrul Razi yang masih terus mencecar Prabowo.  Sedangkan Subagyo HS dan Yusuf Kartanegara, selama ini tidak pernah bicara kasus yang melibatkan Prabowo.

Djamari malah meminta para purnawirawan jangan takut untuk memilih Prabowo dalam pilpres 2019.  Dengan tekad dan kemampuan yang dimiliki purnawirawan saatnya berbuat untuk bangsa dan negara. 

“Negara masih membutuhkan purnawirawan.  Berhasil atau tidaknya perjuangan kita, ukurannya satu.  Menangkan Prabowo sandi pada pipres 2019,” kata Djamari, mantan Kasum TNI yang pernyataannya beredar di youtube.

Agum Gumelar, bukan hanya menyerang Prabowo. Belakangan ia juga menyerang SBY yang dianggapnya tidak punya pendirian. Ia menyesalkan SBY, karena mendukung Prabowo jadi calon presiden. Padahal SBY dan Agum sama-sama anggota DKP 1998. 

Terhadap serangan Agum tersebut, kepada pers SBY menjawab. "Teman-teman, tentu saja saya sangat bisa menjawab dan melawan 'pembunuhan karakter' dari Pak Agum Gumelar terhadap saya tersebut. Tetapi tidak perlu saya lakukan karena saya pikir tidak tepat dan tidak bijaksana. Saya malu kalau harus bertengkar di depan publik," kata SBY, pertengahan Maret 2019 lalu.

SBY menuturkan, di tengah situasi politik yang semakin panas, diperlukan sikap yang menyejukkan. SBY khawatir terhadap situasi Tanah Air jika pimpinan atau elite politik tidak pandai mengelola situasi itu.  ia meyakini apa yang disampaikan Agum belum tentu atas sepengetahuan Presiden Jokowi. Meskipun Agum sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Jokowi.

Dari kubu Wiranto yang berbalik dukung Prabowo, ada pula nama Letjen (Purn) Yayat Sudradjat (1982). Yayat, mantan Sesmenko Polhukam.  Ia juga bergabung dalam purnawirawan Baret Merah pendukung Prabowo. 

Publik tahu, Agum Gumelar, Fachrul Razi, serta Hendropriyono (1967) selama ini kerap menyerang Prabowo dalam peristiwa 1998. Dari kubu Prabowo, biasanya yang menghadapi mereka adalah mantan Kasum TNI dan wakil KSAD, Letjen (Purn) Johanes Suryo Prabowo (1976) dan mantan Kas Kostrad, Mayjen (Purn) Kivlan Zen (1971).

Kasus peristiwa 1998, sesungguhnya dianggap telah selesai dalam kontestasi pemilihan presiden sejak 2004. Saat itu, baik Prabowo, Wiranto, dan Agum Gumelar mengikuti konvensi presiden Partai Golkar pada 2004. Namun belakangan Agum mundur. SBY batal mengikuti kontestasi tersebut.  Wiranto tampil sebagai pemenang konvensi mengalahkan ketua umum Golkar, Akbar Tanjung. Peserta konvensi lainnya adalah Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. 

Agum memilih bergabung menjadi cawapresnya Hamzah Haz. Sedangkan SBY menjadi capres berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK). Hasil akhir pilpres, SBY dan JK menjadi pemenang mengalahkan pasangan Megawati dan Hasyim Muzadi di putaran kedua. Di putaran pertama yang gugur adalah pasangan Wiranto dan Solahuddin Wahid, Amien Rais dan Siswono Yudohusodo, serta Hamzah Haz dan Agum Gumelar.

Kasus 1998 juga tidak ada masalah bagi Prabowo pada pilpres 2009.  Saat itu Megawati berpasangan dengan Prabowo. Kontestan lainnya adalah JK berpasangan dengan Wiranto. Mereka menantang pejawat, SBY yang berpasangan dengan Budiono. SBY kembali menjadi presiden 2009-2014.

(bersambung)

19 April 2019

Kegentingan Memaksa, Jenderal! (1)

Oleh
Selamat Ginting
Jurnalis

Bagian I

Mengunakan baret hitam, lengkap dengan tanda bintang tiga dan wing terjun lintas udara.  Wajahnya yang keras dibalut pakaian loreng lengan pendek dan celana gelap. Suaranya lantang menggelegar dan berapi-api. Menggema di sebuah gelanggang remaja.  
Ia memang bukan perwira remaja lagi. Tapi jenderal gaek. Jenderal yang sarat dengan pengalaman di medan tempur. Setidaknya empat kali ia mengikuti operasi Seroja di Timor Timur dalam kurun waktu 1975 hingga 1985.

Pensiunan jenderal bintang tiga korps infanteri itu, tampil sebagai orator yang ‘membakar’. Membakar semangat di Gelanggang Remaja Otista (Oto Iskandar Dinata), Jakarta Timur, pertengahan Maret 2019 lalu. Dia adalah Letnan Jenderal (Purn) Romulo Simbolon, mantan Sekretaris Menko Polhukam, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. (SBY).

“Perubahan itu butuh pemimpin!,” kata Romulo dengan suara menggelegar.  Gelanggang remaja bergetar dengan gemuruh tepuk tangan dalam acara ‘Silaturrahmi Prabowo dengan Purnawirawan TNI, Polri dan Relawan’ oleh Sekoci Padi (Prabowo Sandi) tersebut. Pidato itu viral di jagat maya, dalam beberapa hari terakhir ini.  

Romulo bersama  Prabowo, SBY, Ryamizard dkk sama-sama masuk Akademi Militer  (Akmil) atau AKABRI Darat pada 1970.  Mereka sudah bersahabat sejak sama-sama menjadi prajurit taruna di lembah Tidar, Magelang, Jawa Tengah. Romulo dan SBY, lulus 1973. Sedangkan Prabowo dan Ryamizard, lulus 1974.

Romulo mewakili para perwira tinggi TNI dan Polri menjadi pembicara dalam silaturahmi itu. Sedikitnya 100 perwira tinggi TNI dan Polri hadir. Mulai dari bintang satu hingga bintang empat.  Di antaranya mantan KSAU  Marsekal (Purn) Imam Sufaat, dan mantan KSAL Laksamana (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno. Mereka bertekad membantu pemenangan Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019. 

Judul pidato tanpa teks itu dinamai ‘Old Solidiers Never Die dan  Perubahan’. Ia menguraikan perjuangan para serdadu yang kini sudah tua dalam sejumlah operasi pasca kemerdekaan. Mulai dari Trikora Irian Barat , Dwikora ganyang Malaysia, PKI, PGRS Paraku, dan Timor Timur.  “Apakah kita bisa melupakan para pahlawan yang gugur?” ujar mantan Deputi bidang Pertahanan Negara, Kemenko Polhukam.

Ia meminta hadirin mengingat kembali semangat juang rekan-rekannya yang mengorbankan jiwa raga. “Hari ini kita ingin perubahan, tapi ada apa dengan bangsa ini?” kata Romulo. 

Menurutnya, ketahanan nasional sedang tercabik-cabik. Retak. Retak di bidang ideologi. Pancasila mulai akan dipingggirkan. Paham komunis berkembang. Ada juga yang ingin memasukkan paham dari Timur Tengah yang tidak sesuai dengan Pancasila.

Di bidang politik. Keretakan kekuatan politik sangat mengkhawatirkan. Kalau tidak ada perubahan di bidang ekonomi, bangsa ini akan terjajah atau sudah terjajah.  Penjajahan ekonomi kedua. VOC hadir selama 350 tahun. “Tapi hari-hari ini, ekonomi kita luar biasa dicengkeram oleh oligarki ekonomi.” 

Ia mempertanyakan bunyi: keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Sila kelima Pancasila. Sekarang ditaruh di mana?  Sebab, yang ada sekarang bukan daulat ekonomi rakyat. Melainkan daulat ekonomi pasar. Belum lagi ada invasi besar-besaran dalam pembangunan (infrastruktur). Ia meminta masyarakat bisa membedakan membangun di Indonesia dengan membangun Indonesia.

“Dia (Cina) membangun ekonominya di Indonesia, berarti dia (Cina) yang punya. Relakah itu ada rumah kita? Relakah kita jadi bangsa pesuruh? Kita ingin jadi bangsa majikan!” ujar mantan Kepala Staf Kodam Jaya itu.

Ia menegaskan tidak senang dengan adanya rencana (pembangunan infrastruktur) kereta api Indonesia oleh Cina. Berapa ratus tahun (kemungkinan) tak akan kembali modalnya. Mereka akan terus di Indonesia. Berdaulat ekonominya di Indonesia. Inilah penjajahan!
Di bidang sosial budaya. Apa yang dirasakan sekarang ini? Dulu bangsa ini kaget membaca berita ditemukan 1 kg heroin, karena sangat banyak. Tapi, hari ini, sekian ton heroin ditemukan. Diselundupkan ke Indonesia. Sumbernya dari satu negara, Cina. “Apa maunya Cina? Apa mau menjajah Indonesia?” ujar mantan Komandan Brigif 1 Ibukota Jakarta, dengan suara gemetar.

Ia mengaku sangat prihatin. Prihatin, karena kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum, rendah. Terjadi  diskriminasi hukum, tebang pilih hukum, dan hukum untuk kekeuasaan. “Hilang kepercayaan rakyat, bahaya negara ini!”. 

Yang paling menyedihkan, lanjutnya, apakah konflik di Timur Tengah akan pindah ke Indonesia? Agama sedang dicabik-cabik. Diadu domba antar-umat beragama. Sangat menyedihkan.

“Keretakan-keretakan yang menganga seperti kata Pak Prabowo.  Apakah Republik Indonesia masih akan ada pada tahun 2030? Menurut saya, bisa-bisa tahun 2025. Apalagi Cina sedang membangun angkatan bersenjatanya.”

Menurutnya, ada yang sedang berhadap-hadapan di sana. Tempatnya bukan  di Suriah, Irak, atau Yaman. Dilihat dari geo-staretgis, geo-politik, geo-ekonomi, maka Indonesia kemungkinan yang akan jadi kancah konflik. Konflik pasifik. Indonesia terancam!

Pertahanan
Bidang hankam. Menurutnya moral prajurit  sedang turun. Jiwa juang prajuritnya juga turun. Ada yang menyanyi menghina Mars ABRI (TNI). Bubarkan saja. Ganti dengan Menwa atau Pramuka.  Namun, dijawab  (Mabes TNI) sebagai masukan dan kritik. “Bullshit (omong kosong), hati ini sakit.”

Dikemukakan, mungkin yang memelesetkan lagu mars ABRI tersebut tidak melihat prajurit-prajutit yang  gugur demi bangsa dan negara.  Doktrin TNI dilatih, dididik, dipersenjatai untuk bertempur.  Kini, TNI sedang dilemahkan.  “Bagaimana mungkin prajurit tempur dari Kopassus, Kostrad,  Raider dan lain-lain di daerah operasi, namanya satgas penegakan hukum?”.

Padahal doktrin dan latihan operasi melawan gerilya adalah: cari, kejar, bunuh. Ia merasa sedih sekali. Karena telah merasakan berkali-kali  pertempuran sejak 1975 hingga 1985. “Saya bertemu Pak Prabowo di medan tempur di Kota Ailiu, Timor Timur,  tahun 1976. Beliau baru selesai pendidikan Kopassus.”

Sekarang, katanya lagi, pertahanan mulai dipinggirkan. Back to barrack (kembali ke barak). Ini sebuah penghinaan.  Kalau back to basic it’s okay.  “Belum lagi kawan kita. Democratic policing.  Pertahanan keamanan dan HAM (hak asasi manusia) dianggap tidak penting. Keretakan-keretakan  terjadi di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan. Padahal ancaman ada di depan mata.” 

Apa yang harus dilakukan?  Jawabannya, kata Romulo adalah perubahan.  “Kita mau perubahan. Prabowo sudah menyampaikan reorientasi pembangunan nasional. Kita dukung! Kembali ke UUD 1945 yang disempurnakan dengan adendum. Bukan dengan melakukan perubahan menjadi UUD 2002. Kita dukung.  Tapi perubahan perubahan perlu pemimpin! Perubahan perlu pemimpin!” katanya menggema dan disambut tepuk tangan riuh. 

Ia minta para purnawirawan sebagai old solidier (prajurit tua) jangan ragu.  Purnawirawan masih ditunggu, semangatnya masih ditunggu.  Tidak menunggu diberlakukannya UU pertahanan negara yang menyatakan purnawirawan adalah komponen cadangan pertahanan negara. 

“Begitu keadaan darurat, kita semua (gunakan) pakaian dinas dan bawa senjata. Tapi kita tidak tunggu itu. Tidak tunggu keadaan darurat. Perubahan perlu pemimpin!”
“Pemimpin itu adalah Prabowo. Prabowo!” jawab sejumlah hadirin di gelanggang remaja itu. Sejumlah purnawirawan pun berdiri bertepuk tangan, membahana. 

(bersambung)

Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...