Kumpulan tulisan dan liputan sosial, politik, ketahanan dan keamanan negara
13 November 2021
Membasuh Darah Jenderal Yani (Bagian 4)
09 November 2021
Kisah Mahabarata, Jenderal Brengsek, dan Mozaik Pembunuhan Pahlawan Revolusi (Bagian 3)
Sukarno, Oemar Dhani dan Achmad Yani
Foto: pwmu.co
Musyawarah Nasional Teknik pada 30 September 1965, berlangsung hingga larut malam. Malam sekitar pukul 23.00, Presiden Sukarno memberikan sambutan dengan membuat perumpamaan dari perwayangan, kisah Mahabarata. Menggambarkan suatu pelajaran untuk tidak ragu-ragu membunuh saudara sekalipun bila itu demi kepentingan perjuangan.
“Arjuna
lemas, lemas, lemas. Bagaimana aku harus membunuh saudara kandungku sendiri? Bagaimana
aku harus membunuh kawan lamaku sendiri? Bagaimana aku harus membunuh guruku
sendiri? ”
“Kerjakan
engkau punya kewajiban tanpa hitung-hitung untung atau rugi. Kewajibanmu
kerjakan!”
Setelah
peristiwa 30 September 1965, analogi dari pewayangan yang disampaikan Bung
Karno itu diasosiasikan dengan penculikan dan pembunuhan para jenderal dalam
peristiwa tersebut.
Apalagi
dalam kalimat terakhirnya, Sukarno mengucapkan kalimat, ”Saudara-saudara
sekarang boleh pulang tidur dan istirahat. Sedangkan Bapak masih harus bekerja
menyelesaikan soal-soal yang berat,
mungkin sampai jauh malam…..”
Kemudian para analis menghubungkan secarik kertas yang disampaikan Letnan Kolonel (Infanteri) Untung, Komandan Batalyon 1 Resimen Tjakrabirawa kepada Bung Karno. Ya, sebelum Sang Presiden mengawali pidatonya soal pewayangan tersebut.
Jendral
Brengsek
Dua pekan
sebelumnya, pada 13 September 1965, Presiden Sukarno menyerang Jenderal AH
Nasution di istana dengan kalimat yang menusuk hati. Memang dalam pidato itu
Sukarno tidak langsung menyebut nama. Tapi dengan kalimat yang sangat keras,
yakni “sebarisan jenderal brengsek”.
“Adanya
anak-anak revolusi yang tidak setia pada induknya, yakni barisan jenderal
brengsek.” Orang-orang Sukarno tahu yang dimaksud adalah Jenderal AH Nasution,
Jenderal A Yani dkk. Ini bukan yang pertama kali dilontarkan oleh Bung Karno.
Terutama sejak ia menerima informasi-informasi tentang isu adanya Dewan
Jenderal yang bermaksud menggulingkan dirinya.
Pada waktu
yang sama, para pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) melontarkan ucapan yang
sama. Sehingga tercipta opini bahwa Sukarno memang sejalan dengan PKI. Sesuatu
yang kemudian hari harus ditebus mahal oleh Presiden Sukarno.
Kedekatannya
dan menjadikan PKI sebagai anak emasnya membuat ia harus kehilangan pamor dari
umat Islam dan Angkatan Darat. Termasuk mundurnya Wakil Presiden Moh Hatta.
Sehingga akhirnya secara perlahan, ia kehilangan tampuk kepemimpinan nasional sebagai bagian dari episode G30S/PKI.
Apalagi
sepanjang September 1965, PKI sangat gencar menyerang secara gresif lawan-lawan
politiknya, terutama Angkatan Darat. Khususnya kepada Jenderal AH Nasution,
Jenderal A Yani yang digambarkan sebagai jenderal-jenderal ‘brengsek’ seperti
ungkapan Bung Karno, karena tidak loyal kepada Presiden.
Harian
Rakyat yang berafiliasi kepada PKI, misalnya. Pada 4 September 1965 menulis ada
perwira-perwira yang menuduh PKI akan melakukan kudeta. Namun, lima hari
kemudian, pada 9 September 1965, Ketua CC PKI DN Aidit malah menggambarkan akan
terjadi sesuatu yang pasti akan lahir. Sebuah isyarat dahsyat.
Ucapan Aidit dipertegas lagi oleh tokoh PKI Anwar Sanusi di depan sidang SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). “Yang paling penting sekarang ini, bagaimana kita memotong penyakit kanker dalam masyarakat kita, yaitu setan kota.” Ungkapan itu juga diasosiasikan kepada Jenderal Nasution, Jenderal Yani dkk.
Simak video "Catatan-catatan Penting Soal Sikap Jenderal Yani terhadap Isu Dewan Jenderal"
Setan
Kota dan Kematian
Kemudian
Aidit secara agresif menyampaikan pidato di depan Kongres III CGMI pada 29
September 1965. “Mahasiswa komunis harus berani berpikir dan berani berbuat. Berbuat,
berbuat, berbuat.” Pidato itu merupakan serangan khusus kepada Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) yang beberapa hari sebelumnya dibela Jenderal A
Yani.
Aidit kesal
usulan PKI untuk membubarkan HMI malah dibela oleh Jenderal Yani. “Kalau CGMI
tidak bisa membubarkan HMI, maka pakai sarung saja.”
Kemudian
pada tajuk rencana koran Harian Rakyat pada 30 September 1965 berbunyi, “Dengan
menggaruk kekayaan negara, setan-setan kota ini mempunyai maksud-maksud politik
yang jahat terhadap pemerintah dan revolusi. Mereka harus dijatuhi hukuman mati
di muka umum. Soalnya tinggal pelaksanaan. Tuntutan adil rakyat pasti berhasil.
Editorial
tersebut seakan membayangkan tentang rencana PKI terkait hukuman mati terhadap
para jenderal. Pernyataan-pernyataan keras tokoh-tokoh PKI serta editorial
Harian Rakyat, kelak menjadi mozaik bagaimana PKI memang berada di balik
pembunuhan para pahlawan revolusi, Jenderal A Yani dkk.
Jenderal Nasution yang dituding langsung oleh Bung Karno dan tokoh-tokoh PKI sebagai ‘jenderal brengsek’, selama September 1965, menahan diri untuk tidak menanggapi hinaan tersebut. Nasution juga tidak curiga ketika mendapatkan informasi Kolonel Abdul Latief memerisa pasukan penjaga rumahnya pada sore hari 30 September 1965. Alasannya, karena Latief adalah Komandan brigade Infanteri Kodam Jaya.
Sukarno
Marahi Jenderal
Nasution menceritakan,
suatu ketika Letjen A Yani mengantarkan Mayjen S Parman dan Brigjen Soetoyo menghadap
Presiden Sukarno. Mereka dimarahi habis-habisan oleh Bung Karno. Sukarno
mengecam pernyataan Angkatan Darat soal adanya musuh dari utara bagi Asia Tenggara,
seperti dibacakan Letjen A Yani di Bandung.
Keputusan
Yani dan para jenderal-jenderal Angkatan Darat dianggap tidak loyal terhadap
Presiden Sukarno. Sang presiden di Istana Tampak Siring, Bali sudah berencana
segera mengganti para jenderal tersebut. Bahkan menyebut pengganti Yani adalah
Mayjen Moersjid. Ia meminta jawaban
Moersjid apakah bersedia menggantikan Yani? Moersjid menjawab, bersedia.
Pada 29 September 1965, muncul Brigjen Mustafa Syarif Suparjo menghadap Presiden Sukarno. Suparjo melaporkan kesiapan pasukannya untuk bertindak terhadap jenderal-jenderal yang tidak loyal.
Jumat
Kelam
Jumat
dinihari 1 Oktober 1965, sekira pukul 04.00 WIB. Keluarga Letnan Jenderal
Achmad Yani masih tertidur. Putra bungsu Panglima Angkatan Darat, Irawan Sura
Edi Yani (Edi) terbangun. Ia mencari ibunya yang tidak ada di rumah Jalan
Lembang D-58. Sang Ibu, Nyonya Yayuk Ruliah belum pulang, masih berada di rumah
Jalan Taman Surapati.
Edi ditemani
asisten rumah tangga, biasa dipanggil Mbok Millah, duduk dekat pintu belakang,
menunggu ibunya datang. Pada menit-menit itulah sekelompok tentara dipimpin Pembantu
Letnan Satu (Peltu) Mukijan dari Brigif 1 Kodam Jaya dan Sersan Raswad segera
masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Pintu tidak dikunci, karena Nyonya
Yayuk Achmad Yani, biasanya akan pulang sekitar subuh hari.
Anggota
pasukan Tjakrabirawa masuk ke dalam rumah dan langsung menanyakan kepada
pembantu rumah tangga keluarga Jenderal Yani. Pasukan yang mengepung rumah Jenderal
Yani terdiri dari satu peleton dari Brigif 1 Kodam Jaya, saru regu dari Resimen
Tjakrabirawa, satu peleton dari Yonif 454 Kodam Diponegoro, satu peleton dari
Yonif 530 Kodam Brawijaya, satu regu daru AURI, dan regu sukarelawan Pemuda
Rakyat PKI.
Anak bungsu
Jenderal Yani diminta membangunkan bapaknya dengan alasan dipanggil Presiden di
istana. Edi pun membangunkan ayahnya.
“Ada apa?” tanya
Achmad Yani kepada pasukan Tjakrabirawa, pengawal Presiden Sukarno yang masuk
ke dalam rumahnya.
“Siap,
Jenderal. Bapak diminta menghadap Presiden Sukarno sekarang juga!”
“Loh
acaranya kan jam 7, bukan pagi-pagi
begini.” Yani memang sudah dijadwalkan menghadap Presiden sekalian
mengajak Panglima Kodam Brawijaya Mayjen Basuki Rachmat untuk melaporkan
Tindakan PKI yang merusak kantor Gubernur Jawa Timur. Yani juga sudah punya
firasat akan dicopot dari jabatan panglima Angkatan Darat, hari itu juga.
“Tetapi
jenderal harus berangkat detik ini juga, karena jenderal sedang ditunggu Bapak
Presiden,” jawab salah seorang anggota Tjakrabirawa.
Yani
menjawab,” Paling tidak saya harus mandi dulu!”
“Tidak
perlu, Jenderal. Di istana juga ada kamar mandi. Bila perlu dengan pakaian
piyama saja. Jenderal bisa berangkat bersama-sama kami.”
“Kau
prajurit, tahu apa?!” tegas Yani sambal meninju wajah sang prajurit, sehingga
jatuh terkapar.
Yani pun
berbalik masuk ke ruang makan dan menutup pintu. Saat itulah Sersan Raswad
memerintahkan Sersan Gijadi. “Tembak dia!” Gijadi pun langsung memberondongkan
senjata Thomson. Tujuh peluru menembus pintu, menerpa punggung Panglima
Angkatan Darat. Jenderal Yani roboh bersimbah darah di ruang makan.
Suara
tembakan itu membangunkan anak-anak sang jenderal. Indriyah Ruluati Yani (Ruli),
Herliah Emmy Yani (Emmy), Amelia Yani, Elina Elastria Yani (Elina atau Juwita),
Widna Ani Yani (Nanik), Reni Ina Yuniati Yani (Yuni), serta Untung Mufreni Yani
(Untung), berhamburan ke ruang makan. Sedangkan si bungsu Edi bersembunyi di
bawah mesin jahit. Delapan anak Jenderal Yani menjadi saksi, ayahnya ditarik
kakinya dengan posisi kepala di bawah membentur lantai dan jalan aspal.
Yani yang
masih mengenakan piyama biru diseret dan dilempar ke dalam mobil truk yang
sudah disiapkan pasukan pemberontak. “Ayo masuk semua, kalau tidak saya
tembak,” kata Amelia Yani, putri ketiga jenderal A Yani, menceritaka peristiwa
kelam yang menimpa ayahandanya pada 1 Oktober 1965, subuh hari.
Ia
menceritakan sejarah kelam itu kepada wartawan senior dan akademisi, Selamat
Ginting, akhir Oktober 2021 lalu. Sambil terbata-bata dan berkaca-kaca, Amelia
mengisahkan kepedihan serta catatan dalam buku harian Jenderal A Yani.
“Bapak
memang tegas menolak komunis. Jadi tidak setuju dengan Nasakom. Bapak masih
bisa terima jika kata kom (komunis) diganti dengan sosialisme Indonesia,
seperti sila kelima Pancasila,” ujar Amelia, sambil memperlihatkan catatan
goseran pena Achmad Yani, jenderal bertubuh atletis dengan tinggi sekitar 174
cm dan berat sekitar 74-75 kg.
Ikuti
bincang-bincang dengan Amelia Yani di channel youtube: SGinting Official
(Bagian ketiga). Tulisan diwebsite dirangkum penulis dari berbagai sumber.
/selamatgintingofficial
02 November 2021
PKI di Balik Retaknya Hubungan Jenderal Yani dengan Bung Karno (Bagian 2)
Foto: Cover Buku Achmad Yani Tumbal Revolusi Amelia A. Yani |
Letnan Jenderal Achmad Yani selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat meminta stafnya untuk mengkaji usulan Ketua Comite Central (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit. Aidit mengusulkan Angkatan Kelima di luar Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Angkatan Kelima adalah buruh dan tani dipersenjatai untuk membantu ABRI dalam menghadapi ancaman nekolim (neo kolonialisme) yang terus memperkuat tentaranya di Malaysia.
Jenderal
Yani menugaskan lima orang jenderal, yakni: Mayor Jenderal Siswondo Parman,
Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal MT Haryono, Brigadir Jenderal DI Panjaitan,
dan Brigadir Jenderal Soetoyo Siswomihardjo.
“Angkatan
Kelima tidak perlu, oleh karena kita telah mempunyai pertahanan sipil (hansip)
yang telah dan selalu bisa menampung semua kegiatan bela negara,” begitulah
hasil rumusan dari tim perumus yang terdiri dari lima jenderal yang bertugas di
Markas Besar Angkatan Darat tersebut.
Penolakan
Jenderal Yani dan lima jenderal terhadap Angkatan Kelima harus dibayar mahal.
Keenamnya bersama Jenderal Abdul Haris Nasution diisukan sebagai Dewan Jenderal
yang anti Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) dan tidak mendukung kebijakan
Presiden Sukarno. Padahal Sukarno menyetujui pembentukan Angkatan Kelima
tersebut.
Bahkan pada
pidato Presiden Sukarno 17 Agustus 1965 yang ditulis Wakil Ketua CC PKI Nyoto,
Bung Karno justru menyatakan, mempersenjatai massa buruh dan tani merupakan
gagasan pribadinya. “Saya mengucapkan terima kasih atas semua dukungan yang
diberikan kepada gagasan saya untuk mempersenjatai buruh dan tani,” ujar
Sukarno.
Kemudian
Sukarno menambahkan, ”Saya akan
mengambil keputusan mengenai ini, dalam kapasitas saya selaku Panglima
Tertinggi Angkatan Bersenjata…”. Entah keputusan apa yang dimaksud Sukarno
tersebut.
Simak video "Konflik Jenderal A. Yani dengan Bung Besar"
Yani
menyadari keputusan Angkatan Darat bertentangan langsung dengan Presiden
Sukarno dan PKI. Tapi ia meyakini bahwa inilah sikap Angkatan Darat. DN Aidit
memang cemas, karena PKI tidak punya tentara, seperti di RRT. Padahal kata pemimpin
partai komunis Cina, Mao Tse Tung, kekuasaan itu lahir dari ujung bedil. Karena
itulah PKI merasa perlu mempersenjatai buruh dan tani. Jumlahnya sekitar 15
ribu orang dengan rincian buruh 5.000 dan tani 10 ribu orang.
Yani kecewa,
karena Sukarno terpengaruh bahkan sangat mesra dengan komunis. Angkatan Darat
mencatat, PKI sejak Mei 1965 terlihat begitu intensif melakukan aksi massa
sepihak yang dibungkus dengan pelaksanaan landreform. Misalnya di
Mantingan Jawa Timur, massa komunis yang dipelopori anggota Barisan Tani
Indonesia (BTI) berusaha mengambil paksa tanah wakaf milik Pondok Pesantren
Gontor di Ponorogo. Terjadi konflik massa para santri melawan BTI serta massa
PKI.
Yani juga sangat
marah ketika PKI mengeroyok dan mencincang Pembantu Letnan Dua (Pelda) Sujono
di Bandar Betsy, Simalungun, Sumatra Utara. Aidit berkelit bahwa tindakan PKI
di Bandar Betsy sebagai tindakan revolusioner sebagai awal dari pelaksanaan
tuntutan landreform untuk memenuhi komando Presiden Sukarno.
“Kami diminta Bapak mencari koran yang memberitakan kasus Pelda Sujono tewas dibantai PKI di Bandar Betsy, Sumatra Utara,” kata Amelia Yani, putri ketiga dari Jenderal Achmad Yani dalam perbincangan dengan Selamat Ginting yang ditayangkan chanel youtube SGinting Offcial akhir Oktober 2021 lalu.
Bagaikan
Ibukota Komunis
Peristiwa 14
Mei 1965 di Bandar Betsy dianggap angin lalu oleh PKI. Sepanjang Mei 1965, PKI
justru gencar melempar isu Dewan Jenderal sebagai jenderal-jenderal yang akan
menggulingkan Presiden Sukarno. Mereka terus memaksakan Angkatan Kelima. Dalam
merayakan ulang tahun PKI tahun 1965, kaum komunis merayakannya besar-besaran.
Tamu-tamu
berdatangan dari negara-negara komunis, seperti Republik Takyat Tiongkok atau
Cina, Albania, Korea Utara, Vietnam Utara, dan Partai Komunis dari Uni Soviet.
Jakarta saat itu seperti ibukota negara komunis. Gambar Sukarno, DN Aidit,
Lenin, dan Karl Marx, Engels, Stalin dipajang di sejumlah jalan utama Ibukota.
“Kami
terkejut, ternyata pembantu rumah kami adalah simpatisan PKI. Dia membawa
bendera palu arit dan ikut dalam pawai di Gelora Senayan. Belakangan kami baru
menyadari, jangan-jangan dia PKI yang memantau aktivitas Pak Yani di rumah.
Sebab setelah peristiwa pembunuhan terhadap bapak, pembantu itu menghilang,”
ujar Amelia Yani.
Pawai
besar-besaran membuat Jakarta dan seluruh Pulau Jawa menjadi merah oleh bendera
palu arit. Presiden Sukarno menyambut gembira dengan suasana gemuruh di stadion
Gelora Senayan, Jakarta. Menggunakan pakaian Panglima Tertinggi lengkap dengan
pita tanda jasa, brevet dan tongkat komandonya. Ia memeluk Ketua CC PKI DN
Aidit dengan mesra. Disambut ratusan ribu massa seperti menggoyang Stadion
Senayan.
“Apa sebab
PKI bisa jadi demikian besar? Oleh karena PKI konsekuen progresif revolusioner.
Aku berkata, PKI yo sanakku, ya kadang-ku, yen mati aku melu kelangan,”
kata Bung Karno bersemangat. PKI pada
1965 beranggotakan tiga juta orang, Pemuda Rakyat (sayap pemuda PKI) tiga juta
orang, dan simpatisan 20 juta orang.
Selain
memuji PKI, Sukarno kembali menegaskan sikapnya mengenai Nasakom, seperti tahun
1926. Awalnya Sukarno menggunakan istilah Nasionalis, Islam, Marxis. Kemudian
diubah menjadi Nasionalis, Agama, dan Marxis (Nasamarx). Akhirnya menjadi
Nasakom. Ide yang ditentang mantan Wakil Presiden Moh Hatta, Jenderal AH
Nasution dan Jenderal Ahmad Yani selaku pimpinan ABRI.
Pujian terhadap
PKI kemudian diimplementasikan Sukarno dengan memberikan Bintang Mahaputra
untuk DN Aidit pada 17 Agustus 1965. PKI semakin mendapatkan angin menjadi anak
emas Presiden Sukarno. Dua pekan setelah itu, massa PKI melakukan demonstrasi
besar-besaran di Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Inggris di Jakarta.
Bahkan masa
menerobos dan membakar kedutaan besar Inggris. Menghadapi massa yang tidak
terkendali, Angkatan Darat menyelamatkan sejumlah diplomat Inggris dari amukan
massa yang beringas. “Terima kasih dari saya seorang nekolim (neo
kolonialisme),” begitulah karangan bunga yang dikirimkan Duta Besar Inggris di
Jakarta Andrew Graham Gilsrist.
“Karangan
bunga itu diberikan, karena personel Angkatan Darat menyelamatkan para diplomat
dari amukan massa dan api yang membakar kedutaan Inggris. Tapi kemudian
dijadikan isu oleh PKI bahwa Jenderal Yani sebagai antek Inggris. Sekaligus
menjadi dasar dibuatnya dokumen Gilchrist yang berbunyi ‘our local army
friends’ oleh biro khusus PKI yang dipimpin Syam Kamaruzaman,’ kata Amelia Yani.
Jenderal
Yani memang pernah bersekolah militer di Inggris pada 1955. Tentu saja dikirim
oleh negara untuk memperdalam ilmu militer. Namun di depan Sukarno, Yani membantah sebagai
antek Amerika maupun Inggris. “Anti komunis bukan berarti menjadi antek Amerika
dan Inggris. Negara yang menyekolahkan saya ke Amerika dan Inggris. Bukan
maunya saya sebagai tentara harus sekolah di mana,” kata Amelia Yani menirukan
ucapan ayahandanya yang ditulis dalam buku catatan Yani.
Hubungan
dengan Sukarno
Yani yang semula
akrab dengan Presiden Sukarno, lama-lama akhirnya berpisah jalan. Ia menolak
ide Nasakom, karena sudah ada ideologi negara, Pancasila. Sebagai personel TNI
telah ia disumpah untuk menjunjung ideologi Pancasila. Bukan ideologi lain. Ia
juga menolak ide Angkatan Kelima yang digagas PKI dan Bung Karno.
Seperti
diungkap di atas, tim Yani di Staf Umum Angkatan Darat sudah mengkaji masalah
Nasakom dan Angkatan Kelima. Hasilnya menolak dua hal tersebut. Kelima Jenderal
dalam tim tersebut bersama dengan Jenderal Yani dan Jenderal AH Nasution
akhirnya harus menelan pil pahit, masuk dalam daftar penculikan dan akhirnya
dibunuh pada 1 Oktober 1965. Hanya Jenderal Nasution yang selamat.
Amelia Yani
juga menceritakan bahwa hubungan keluarganya dengan keluarga Sukarno tergolong
baik dan akrab. Bahkan Yani dan istri kerap membantu Ibu Negara Fatmawati yang
keluar dari istana, karena kecewa Sukarno kawin lagi. “Ibu saya suka membantu
Bu Fatmawati yang tinggal di rumah kecil menyendiri, tidak lagi di Jalan Sriwijaya.
Bapak juga beberapa kali meminta ajudan Mayor Subardi mengirimkan makanan dan
bantuan lain untuk Bu Fatmawati,” ujar Amelia.
Setelah
peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap Jenderal Yani, lanjut Amelia,
istri-istri Bung Karno juga mengunjungi rumah keluarga Yani di Jalan Lembang.
Terutama Hartini dan Dewi. Bahkan Dewi yang berasal dari Jepang, hampir tiap
hari menghibur istri Jenderal Yani. “Bu Dewi tentu saja ke sini atas perintah
Presiden Sukarno sekaligus menawarkan agar Ibu kami bersedia mengelola Sarinah
Jaya. Tapi ibu menolak, karena sudah terlanjut kecewa dengan sikap Presiden
Sukarno.”
Nyawa tidak
bisa ditukar dengan harta. Yayuk Ruliah Sutodiwiryo kehilangan respek pada
Presiden Sukarno setelah kematian suaminya yang tragis. Padahal sebelumnya, ia
merasa senang sekali tatkala Bung Karno hadir dalam acara syukuran rumah baru
keluarga Yani di Jalan Suropati. Namun rumah tersebut hanya dihuni selama satu
tahun. Yayuk juga kerap menampung curahan hati Fatmawati, istri ketiga Presiden
Sukarno.
“Setelah
bapak gugur, Ibu tidak mau lagi bicarakan tentang Bung Karno, sudah terlanjur
kecewa,” ujar Amelia dengan rasa sedih. Ungkapan-ungkapan Amelia Yani dapat
disaksikan dalam channel youtube SGinting Official.
/selamatgintingofficial
30 October 2021
Telepon Misterius di Rumah Jenderal Yani (Bagian 1)
Buku Agenda Jenderal A. Yani tentang Dewan Jenderal Foto: Dokumen Pribadi |
Kamis malam, 30 September 1965. Kolonel Soegandhi Kartosoebroto, bekas ajudan senior Presiden Sukarno mendatangi rumah Menteri/Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal TNI Achmad Yani di Jalan Lembang D-58, Menteng, Jakarta Pusat.
Ia bermaksud memberitahukan kepada Jenderal Yani bahwa Presiden Sukarno marah-marah di istana. “Apa itu Dewan Jenderal?! Apa itu Dewan Jenderal?!” kata Kolonel Sugandhi menirukan ucapan Sukarno yang sedang marah.
Kolonel Soegandhi, anggota DPR Gotong Royong itu menceritakan hal tersebut kepada Mayor CPM (Corps Polisi Militer) Subardi, ajudan dari Jenderal Achmad Yani, di rumah Panglima Angkatan Darat.
Soegandhi urung melaporkan langsung kepada Jenderal Yani. Ia menyampaikan hal tersebut kepada Mayor Subardi untuk disampaikan kepada orang nomor satu di Markas Besar Angkatan Darat. Alasannya masih ada tamu di kediaman Jenderal Yani.
Mengenai Dewan jenderal, Jenderal Yani sesungguhnya sudah menjelaskan kepada Presiden Sukarno. Yani dalam buku agendanya menyebutkan, Presiden Sukarno terpengaruh oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mengembuskan isu Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden pada 5 Oktober 1965.
“Isu dewan jenderal, jenderal-jenderal Pentagon berkulit sawo matang, serta dokumen Gilshrist tentang Our Local Army Friend dibuat oleh PKI untuk menyudutkan saya,” kata Yani dalam tulisan di agendanya.
Yani memang lulusan sekolah militer di Amerika Serikat dan Inggris saat berpangkat letnan kolonel senior. Ia mengikuti Pendidikan di US Army Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat. Kemudian melanjutkan pendidikan di Warfare Trainning di Inggris pada 1955.
Simak video "Firasat & Telepon Misterius di Rumah Jenderal A. Yani"
Kembali soal kedatangan Kolonel Soegandhi. Ia tidak bisa masuk rumah Yani, karena Panglima Angkatan Darat masih menerima tamu hingga pukul 22.00 WIB. Sehingga Soegandhi menyampaikan pesan tersebut kepada ajudan Yani.
Tamu istimewa Yani malam itu adalah Panglima Kodam Brawijaya, Mayor Jenderal TNI Basuki Rachmat. Basuki melaporkan kepada Yani bahwa aktivis Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dari PKI melakukan perusakan kantor Gubernur Jawa Timur (Jatim).
Malam itu, Jenderal Yani sekalian mengajak Jenderal Basuki Rachmat untuk ikut menghadap Presiden Sukarno pada Jumat pagi, 1 Otober 1965 tentang situasi di Jawa Timur tersebut.
Yani juga sudah memberitahukan kepada ajudan bahwa Jumat pagi akan menghadap Presiden Sukarno. Sekaligus memberitahukan kepada istrinya bahwa kemungkinan hari itu juga akan dicopot dari jabatan sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat.
“Bapak sudah memberitahukan kepada Ibu bahwa akan diganti oleh Mayor Jenderal TNI Moersid,” kata Amelia Yani, putri ketiga dari delapan bersaudara, anak kandung dari pasangan Jenderal Yani dengan Yayuk Ruliyah Sutodiwiryo. Keluarga mengetahui hal tersebut dari Mayor Subardi.
Ketidakcocokan dengan Presiden Sukarno mengenai konsep Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) dan sikap keras Achmad Yani menolak Angkatan Kelima, menjadi sinyal retaknya hubungan Yani dengan Presiden Sukarno. Angkatan Kelima yang digagas PKI dan kemudian mendapatkan dukungan dari Presiden Sukarno ditentang keras oleh Angkatan Darat.
Angkatan Kelima di luar dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Angkatan Kelima yang diminta PKI agar buruh dan tani turut dipersenjatai untuk membantu perjuangan Indonesia dalam melawan Inggris yang mendirikan negara Federasi Malaysia. Jumlahnya sekitar 15 ribu orang, terdiri dari 5.000 buruh dan 10.000 tani.
Peringatan Haryono MT
Jenderal Yani marah besar ketika anak buahnya Pembantu Letnan Dua (Pelda) Sujono di Bandar Betsy, Simalungun, Sumatra Utara, tewas. Sujono gugur pada 14 Mei 1965 setelah kepalanya dicangkul oleh aktivis tiga organisasi sayap PKI, yaitu BTI (Barisan Tani Indonesia), PR (Pemuda Rakyat) dan Gerwani.
Sepekan setelah peristiwa Bandar Betsy tersebut, Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal TNI MT Haryono menyarankan kepada Yani untuk bertindak terhadap PKI. “Kalau (Panglima Angkatan Darat) tidak mulai mengambil tindakan (terhadap PKI), tak pelak Anda akan dibunuh mereka,” kata Mayjen Haryono kepada Letjen Yani pada 20 Mei 1965.
Malam semakin larut. Mayjen Basuki Rahmat pun pamit sambil memberikan hormat militer. Yani langsung menuju kamar tidurnya untuk istirahat. Mempersiapkan diri menerima keputusan untuk diganti oleh Mayor Jenderal Moersjid, Deputi I Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Saat Yani tidur, malam itu, dua kali telepon di rumahnya berdering. Setelah diangkat oleh putri keduanya, Emi Yani, di ujung telepon menanyakan “Bapak ada di rumah?” Tidak merasa curiga, sang putri menjawab, “Bapak ada di rumah sudah tidur.”
Pada malam Jumat itu, jelang pergantian hari, telepon dari orang tidak dikenal, kembali berdering. Lagi-lagi menanyakan posisi Jenderal Yani. “Bapak ada di rumah?” Kembali dijawab oleh Emi Yani, “Bapak ada di rumah sedang tidur.”
Kisah-kisah di malam kelam itu diceritakan Amelia Yani, putri ketiga dari pahlawan revolusi Jenderal Achmad Yani, kepada penulis di kediaman Jenderal Yani, Jl Lembang D-58, Menteng, Jakarta Pusat, 28 Oktober 2021 lalu. Rumah ketika Jenderal Yani diculik dan dibunuh oleh Pasukan Gerakan 30 September (G-30-S) yang dibantu Pemuda Rakyat, organisasi sayap PKI.
Bagaimana kisah selegkapnya? Ikuti wawancara Selamat Ginting dengan Amelia Yani dalam channel youtube SGinting Official.
/sgo
Posting Terkini
Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis
Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...
-
Credit Photo: CNN Enzo Zenz Allie akhirnya resmi dilantik menjadi prajurit taruna (pratar) pada akhir Oktober 2019 lalu. Pemuda ketur...
-
Foto: Republika Oleh Selamat Ginting Truk militer reo berwarna hijau, dengan posisi setir sebelah kiri, berhenti di depan rumah, Kompl...
-
Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...