Showing posts with label Kivlan. Show all posts
Showing posts with label Kivlan. Show all posts

12 June 2019

Kivlan dan Teori Agenda Setting (Kivlan and Agenda Setting Theory)



Oleh: Selamat Ginting
Jurnalis

Kasus yang dialami Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen, menjadi topik paling panas dalam dua hari ini. Hal ini setelah Kepolisian secara sepihak mengungkap peran mantan Kepala Staf Kostrad tersebut, dalam dugaan rencana pembunuhan empat tokoh.

Kivlan disebut sebagai sosok pemberi perintah kepada pria berinisial HK alias Iwan untuk mencari eksekutor pembunuh empat tokoh. “Peran Kivlan memberi perintah kepada tersangka HK untuk mencari eksekutor pembunuh," kata wakil direktur reserse kriminal umum (wadireskrimum) Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Polisi Ary Syam Indradi di Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (11/6/2019).

Menurutnya, Kivlan memberi uang Rp150 juta kepada tersangka HK untuk membeli senjata api. Senjata itu yang akan digunakan saat mengeksekusi atau membunuh empat tokoh nasional serta satu orang pimpinan lembaga survei.

Selain itu, Kivlan juga menyerahkan uang Rp5 juta kepada tersangka lainnya, yakni IT, untuk melakukan pengintaian terhadap satu orang pemimpin lembaga survei yang juga digadang-gadang untuk dibunuh.

Bahkan polisi memutar kesaksian tersangka kasus senjata api ilegal, Kurniawan alias Iwan atau HK. HK mengaku diperintahkan Kivlan Zen untuk mencari senjata dan membunuh empat tokoh tersebut.

Versi kubu Kivlan

Pengacara Kivlan Zen, Muhammad Yountri meragukan pengakuan HK tersebut. Menurutnya, justru HK yang mendatangi Kivlan dan mengatakan, mantan Kepala Staf Kostrad tersebut akan dibunuh oleh empat tokoh itu.

"Sampai saat ini kita mau ketemu Iwan enggak bisa, dikhawatirkan cerita Iwan dengan yang kami terima dari Pak Kivlan itu berbeda. Iwan justru datang ke Pak Kivlan mengatakan bahwa Pak Kivlan mau dibunuh oleh empat orang itu," kata Yountri dalam keterangan persnya, Selasa (16/11/2019).

Dia mengatakan, Kivlan Zen memang meminta HK untuk mencarikan senjata. Senjata itu akan digunakan untuk berburu babi hutan, karena di lingkungan rumah Kivlan di Gunung Picung masih ada hutan.

Senjata yang diberikan Iwan, tak cocok sehingga Kivlan menolaknya. "Iwan bilang, 'ini ada senjata, Pak'. Pak Kivlan bilang,  itu bukan untuk bunuh babi tapi bunuh tikus," kata Yountri.

Versi dia, uang Rp 150 juta atau 15 ribu dolar Singapura itu akan digunakan untuk aksi saat Supersemar, Maret 2019. Dia membantah Kivlan Zen merencanakan pembunuhan pada empat jenderal purnawirawan, yakni: Menko Polhukam, Wiranto; Menko Kemaritiman, Luhut Panjaitan; Kepala BIN, Budi Gunawan; dan Staf Khusus Presiden bidang intelijen, Gories Mere.

Agenda setting

Kasus ini menarik, karena sebelum penetapan tersangka, tidak pernah melalui gelar perkara yang menghadirkan sejumlah pihak, termasuk orang yang dituduh, para tersangka serta kuasa hukumnnya. Sehingga barang bukti yang dituduhkan tidak diketahui secara jelas. Padahal kasus yang membidik Kivlan ini, terkait kasus makar, kepemilikan senjata api, dan perencanaan pembunuhan.

Gelar perkara penting untuk membuat hukum lebih objektif. Penetapan tersangka oleh penyidik merupakan tindakan subjektif oleh penyidik selaku 'hakim' pertama. Padahal hukum berpijak pada objektifitas. Maka, pihak-pihak yang terkait mesti diberikan hak untuk mendapatkan hukum objektif. Tidak bisa hanya karena ucapan seseorang, kemudian secara serta merta penyidik menetapkan seeseorang menjadi tersangka.

Tidak bisa juga polisi mengatakan nanti saja di pengadilan dibuktikan. Penetapan tersangka merupakan 'pencabutan' hak konstitusi seseorang. Aparat hukum tidak bisa 'semau gue' mencabut hak konstitusi, tanpa memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada tertuduh untuk memberikan jawaban. Hak jawab kalau dalam istilah pers.

Berbeda jika tertuduh tertangkap tangan sedang melakukan kejahatan yang melanggar hukum. Gelar perkara tak diperlukan lagi, sebab kejahatan sedang berlangsung.

Melihat pemberitaan pers, kasus ini tidak bisa dipisahkan dari teori agenda setting. Teori ini diperkerkenalkan oleh Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw dalam tulisan berjudul “The Agenda Setting Function of Mass Media” yang diterbitkan dalam Public Opinion Quarterly pada 1972.

Menurut kedua pakar komunikasi ini, jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting (Effendy, 2003:287).

Dengan teknik pemilihan dan penonjolan, media memberikan petunjuk tentang mana isu yang lebih penting. Media lebih memilih menonjolkan pernyataan dari sumber yang mana. Karena itu, model agenda setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media kepada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak kepada persoalan itu.

Singkatnya, apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Begitu juga sebaliknya. Apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat. #Selesai.

=======================================
By: Selamat Ginting
Journalist


The case experienced by Major General (Ret.) Kivlan Zen became the hottest topic in two days. This was after the Police unilaterally revealed the role of the former Kostrad Chief of Staff, in the alleged plot to murder four figures.

Kivlan is referred to as an instructor to the man with the initials HK aka Iwan to find the executor of the killers of four figures. "The role of Kivlan gave orders to HK suspects to find executors for murderers," said deputy director of the general police crime investigation (Wadireskrimum) Polda Metro, Adjunct Commissioner of Police Ary Syam Indradi at the Coordinating Ministry for Politics, Jakarta, Tuesday (06/11/2019).

According to him, Kivlan gave Rp150 million to HK suspects to buy firearms. The weapon will be used when executing or killing four national figures and one leader of a survey institution.

Also, Kivlan also handed over Rp. 5 million to other suspects, namely IT, to conduct surveillance of one of the leaders of a survey institution who was also suspected of being killed.

Even the police played the testimony of suspects in illegal firearms, Kurniawan alias Iwan or HK. HK claimed to have been ordered by Kivlan Zen to search for weapons and kill the four figures.

A version of the Kivlan stronghold

The lawyer for Kivlan Zen, Muhammad Yountri doubted HK's confession. According to him, it was precisely HK who came to Kivlan and said that the former Kostrad Chief of Staff would be killed by the four figures.

"Until now we want to meet Iwan, we cannot, it is feared that Iwan's story with what we received from Pak Kivlan is different. Iwan came to Pak Kivlan saying that Mr. Kivlan wanted to be killed by those four people," Yountri said in a press release on Tuesday ( 11/16/2019).

He said Kivlan Zen did ask HK to find weapons. The weapon will be used to hunt wild boar, because in the Kivlan house environment on Mount Picung there is still forest.

The weapon Iwan gave, was not suitable so Kivlan refused. "Iwan said, 'this is a weapon, sir.' Mr. Kivlan said it was not to kill a pig but to kill a mouse," Yountri said.

His version, the Rp 150 million or 15 thousand Singapore dollars will be used for the action during Supersemar, March 2019. He denied that Kivlan Zen planned the murder of four retired generals, namely: Coordinating Minister for Politics and Security, Wiranto; Coordinating Minister for Maritime Affairs, Luhut Panjaitan; Head of BIN, Budi Gunawan; and Presidential Intelligence Special Staff, Gories Mere.

Agenda settings

This case is interesting because, before the determination of the suspect, it was never through the title of the case that presented several parties, including those accused, the suspects and their attorneys. So that the alleged evidence is not known. Even though the case that targeted Kivlan was related to treason cases, possession of firearms, and planning of the murder.

An important case title is to make the law more objective.  The determination of the suspect by the investigator is a subjective act by the investigator as the first 'judge'. Though the law rests on objectivity. Therefore, the parties concerned must be given the right to obtain an objective law. It can't be just because of someone's words, then the investigator immediately determines someone to be a suspect.

Nor can the police say that later it will be proven in court. The determination of suspects is 'revocation' of one's constitutional rights. Law enforcers cannot 'want me' to revoke constitutional rights, without giving the accused a chance to give an answer first. The right to answer in press terms.

It is different if the accused is caught in the act of committing a crime that violates the law. The case title is no longer needed because crime is ongoing.

Looking at press reports, this case cannot be separated from the agenda-setting theory. This theory was introduced by Maxwell McCombs and Donald L. Shaw in a paper entitled "The Agenda for Setting Function of Mass Media" which was published in Public Opinion Quarterly in 1972.

According to these two communication experts, if the media puts pressure on an event, then the media will influence the audience to consider it important (Effendy, 2003: 287).

With the selection and bulging techniques, the media provides clues about which issues are more important. The media prefers to highlight the statement from which source. Therefore, the agenda-setting model assumes that there is a positive relationship between the assessment that the media gives to a problem and the attention given by the audience to the problem.

In short, what is considered important by the media will also be considered important by the community. Vice versa. What the media forget, will also escape the attention of the public. #End.

03 June 2019

Habis Manis, Kivlan Dibuang (Bagian ke-2, selesai)

Foto: Republika Onli\ne

Oleh Selamat Ginting


Makar pertama
Namanya mulai muncul lagi pada 2017, Mayjen (Purn) Kivlan bersama mantan Kadispenum Puspen TNI Brigjen (Purn) Adityawarman Thaha (Akmil 1970). Mereka dituding melakukan permufakatan jahat bersama putri proklamator, Rachmawati Soekarnoputri, Sri Bintang Pamungkas, Hatta Taliwang dll.
Hal ini terkait dengan pertemuan bersama sejumlah aktivis untuk memperjuangkan agar UUD 1945 kembali ke naskah yang asli. Tokoh di balik aksi ini sebenarnya ada juga mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto. 
Kivlan juga aktif mengampanyekan anti komunis dan mendukung pemutaran film Penghianatan G30S/PKI setiap 30 September. Aksinya ini tentu saja bentuk konsistensinya sebagai aktivis KAPPI yang menentang ideologi komunis di Indonesia. “Saya dibilang aneh, karena anti PKI. Biar saja. Komunis memang ideologi yang dilarang di Indonesia,” ujar Kivlan. 

Tahanan polisi
Dalam sepekan ini, namanya muncul kembali di media. Kali ini, ia benar-benar ditahan di rumah tahanan Polisi Militer Kodam Jaya di Guntur, Jakarta Selatan, Kamis (30/5/2019).  Ia ditetapkan sebagai tersangka kepemilikan senjata api illegal oleh kepolisian. 
Berhenti sampai di situ? Ternyata tidak. Ia juga menyandang status tersangka kasus dugaan makar. Termasuk terlibat dalam rencana pembunuhan empat tokoh nasional. “Membunuh siapa?  Menurut saya agak-agak mustahil,” ujar Menteri Pertahanan Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu.
Ia mengaku bukan meragukan  keterlibatan Kivlan dalam dugaan pembunuhan tersebut. Namun berdasarkan pengalamannya, tidak ada pembunuhan yang dilakukan sembarangan. “Enggak ada itu bunuh-bunuh sembarangan. Nanti akan saya tanyakan ke dia (Kivlan),” ujar Ryamizard.
Lain lagi dengan Menko Polhukam Jenderal (Purn) Wiranto.  “Ini kan proses hukum jalan. Jadi gak usahlah kita berspekulasi. Tokoh manapun boleh mengatakan ini itu. Nanti dari alur analisis hukum akan ketahuan dengan jelas,” ujar Wiranto.
Lagi-lagi Ryamizard mengatakan, para purnawirwan (Kivlan Zen dan Mayjen Purn Soenarko) tidak patut sampai ditahan dengan tuduhan makar. Alasannya, mereka banyak berjasa untuk bangsa dan negara. “Ada abang kelas dan adik kelas saya di Akmil,” kata  Ryamizard, lulusan Akmil 1974. Ia pernah menggantikan Kivlan Zen sebagai Panglima Divisi Infanteri 2 Kostrad.

Bukan ruang hampa
Makar? Bagi ilmuwan komunikasi,  teks-teks dalam media tidak berdiri di alam hampa; teks-teks dalam media merupakan sebuah cara dalam memandang realitas. Teks-teks tersebut membantu mendefinisikan realitas dan memberi model yang sesuai pada sikap dan tingkah laku masyarakat.
Nah, terkait dengan makar yang dituduhkan polisi terhadap purnawirawan jenderal Kivlan Zen dan Soenarko, ada teks-teks yang tidak berdiri sendiri.  Polisi mengacu tuduhan makar kepada purnawirawan jenderal TNI itu berdasarkan pasal 103, 106, dan 107 KUHP. Bisa diartikan ingin membunuh presiden dan wakil presiden dan ingin memisahkan diri dari wilayah negara dan menggulingkan kekuasaan dengan kekerasan.
Punya apa Kivlan dan Soenarko? Mereka adalah jenderal tak punya pasukan dan tak punya persenjatan untuk melakukan makar. Dalam negara demokrasi, walau mereka jenderal, tetapi sudah pensiun, mereka ini adalah warga sipil. Purnawirawan yang menyuarakan demokrasi bahwa ada dugaan kecurangan pemilu.
Mari kita amati pola kerja polisi untuk menjerat orang dengan tuduhan makar. Begitu mudahnya. Hanya berpatokan adanya laporan seseorang. Orangnya pun itu-itu saja. Seketika dengan sangat cepat, polisi membuat proses hukum. Padahal untuk kasus lain, publik bisa jengkel karena lambannya proses di kepolisian. Tuduhan pun dikenakan kepada para aktivis kubu oposisi, seperti : Egy Sujana, Lieus Sungkharisma. Terbaru adalah Dahnil Anzar Simanjuntak, juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi. Dahnil menjadi saksi atas dugaan makar di Polda Sumatra Utara.

Nuansa politis
Maka wajar bagi wartawan yang kritis, kasus ini kuat dugaan bukan semata kasus hukum, melainkan kental dengan nuansa politik. Mengapa hanya pensiunan jenderal TNI saja? Bukankah jenderal purnawirawan polisi seperti mantan Kapolda Metro Jaya Komjen (Purn) Sofjan Jacob (Akpol 1970) juga mengeluarkan statemen yang keras terkait dugaan kecurangan pemilu?
Memang betul Sofjan Jacob diperiksa di Polda Metro Jaya, Senin (27/5/2019) lalu. Namun statusnya hingga kini belum jelas. Apakah polisi juga tega menjadikan Sofjan sebagai tersangka? Mantan Kapolda Metro Jaya, datang ke Polda Metro Jaya diperiksa untuk dijadikan tersangka?   
Penerapan pasal makar berdasarkan KUHP sesungguhnya sudah ketinggalan zaman. Pasal-pasal tersebut merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda untuk melindungi kerajaan. Kita sebenarnya sudah lelah dengan tuduhan makar, seperti tahun 2017 lalu. Kasus ini tidak pernah berlanjut. Apakah ini hanya untuk menakut-nakuti saja, termasuk menakut-nakuti pensiunan jenderal?
Jika iya, rasanya negara seperti pepatah habis manis, sepah dibuang. Misalnya, ketika membutuhkan Kivlan, negara (Mabes TNI) memanggilnya. Namun setelah tidak ada kepentingan, Kivlan pun dijebloskan ke penjara. Beginikah? Para purnawirawan tentu tidak ingin Kivlan hanya sebagai tokoh ikonik. Hadir ketika pemerintah membutuhkan jasanya. Setelah itu, mendapatkan perlakuan yang tidak layak.  Sedih! # End

Habis Manis, Kivlan Dibuang (Bagian ke-1 dari 2 tulisan)

Foto: Republika Online
Oleh Selamat Ginting

Para purnawirawan tentu tidak ingin Kivlan hanya sebagai tokoh ikonik. Hadir ketika pemerintah membutuhkan jasanya saja. Setelah itu?

Pekan keempat April 2016. Selama beberapa hari, saya mengikuti perjalanan dinas Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo ke Indonesia Timur. Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Namun jadwal kunjungan dipercepat satu hari dari jadwal semula. Panglima harus segera ke Jakarta, malam itu juga. Ada apakah? Semua perwira tinggi terdiam. Tak ada yang bisa memberikan penjelasan.
Begitu pesawat mendarat di Halim Perdana Kusuma, Gatot langsung masuk jeep yang menjemputnya. Ia segera pergi meninggalkan komplek militer Halim. Malam itu juga saya mencari tahu ada berita penting apa di Jakarta, sehingga Gatot tergopoh-gopoh?
Akhirnya saya mendapatkan jawaban. Terjadi penyenderaan kapal penarik tongkang batubara di perairan Laut Sulu, Filipina. “Betul, Bang. Yang disandera warga Indonesia,” kata seorang kolonel senior, saat saya hubungi via telepon. Awak kapal yang disandera sebanyak 10 orang.

Diplomasi jenderal
Seketika saya ingat seseorang jenderal yang kontroversial. Mayjen (Purn) Kivlan Zen. Ingatan itu melambung ke tahun 1995-1996. Ketika itu di sebuah hotel di Jakarta. Saya berkenalan dengan sosok Kivlan, jenderal bintang satu (brigjen). Saya meminta tolong kepada jenderal lulusan Akademi Militer (Akmil) 1971 agar bisa mewawancarai Nur Misuari, seorang revolusioner pemimpin Front Pembebasan Nasional Moro.
Saya terkejut, Kivlan dengan mudah membawa Misuari ke sebuah ruangan untuk bertemu dengan saya, wartawan muda. Padahal, Misuari adalah Gubernur Wilayah Otonomi Muslim Mindanao. Misuari begitu ‘menurut’ apa yang diminta Kivlan, anak Medan keturunan Minang dan lahir di Langsa Aceh. Kultur tiga daerah itu melekat pada diri Kivlan menjadi lelaki nekat.
Ini jenderal unik, pikirku saaat itu. Entah belajar diplomasi dari mana, tentara kelahiran 1946 tersebut. Saat itu saya juga mewawancarai Kivlan tentang resepnya bisa ‘menundukkan’ Misuari. “Ah gampang itu. Model gertak anak Medan. Aku ancam, kalau tidak mau menerima 8 dari 10 poin, kau tidak akan dapat apa-apa. Lebih baik, terima saja tawaran pemerintah Filipina,” ujar Kivlan seraya terkekeh-kekeh.
Akhirnya Misuari memang menerima saran Kivlan. Sejak itu nama Kivlan cukup dikenal oleh keluarga Misuari di Filipina Selatan. Ia saat itu menjadi pengamat militer Indonesia untuk perdamaian di Filipina Selatan. Jabatan sebelumnya adalah Kepala Staf Divisi Infanteri 1 Kostrad.

Urakan
Kivlan juga pernah menjadi Komandan Brigade Infanteri 6 Divisi Infanteri 2 Kostrad, serta Komandan Resimen Candra Dimuka Akmil, Magelang. Riwayat jabatan militernya lebih dari separuhnya dihabiskan di baret hijau Kostrad. Maka wajar jika ia pernah dipercaya menjadi Panglima Divisi Infanteri 2 Kostrad, dan kemudian menjadi Kepala Staf Kostrad. Panglima Kostrad saat itu, Letjen Prabowo Subianto. Karier militer Kivlan ‘jalan di tempat’ bersamaan pergantian rezim.

Kivlan juga pernah bertugas cukup lama di Brigif Linud 18 Kostrad, serta Danyonif 303 Brigif 13 Kostrad. Ia pun matang bertugas di Papua saat perwira pertama di Yonif 753 Kodam Cendrawasih. Menjadi penegak kedaulatan NKRI di Papua pada 1972-1983, serta penegak kedaulatan NKRI di Timor Timur pada 1985-1988. Untuk tugas teritorial, ia pernah menjadi Kepala Staf Kodam Wirabuana, Sulawesi Selatan.
Gaya Kiv, panggilan akrab teman-temannya di Akmil 1971, memang cenderung urakan. Ia kadang terlihat seperti aktivis mahasiswa daripada purnawirawan tentara. Sebelum masuk taruna Akmil, Kiv memang sempat kuliah di Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Sumatra Utara.

Saat SMA, ia bergabung dengan Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Medan, selama tiga tahun. Di situ ia sudah menjadi aktivis KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) yang anti komunis. Saat kuliah, ia bergabung dalam  Himpunan Mahasiswa Islam  (HMI) Cabang Medan, selama tiga tahun. 
Ia berani menentang seniornya untuk berdebat terbuka. Sekitar dua bulan lalu, Kiv tertangkap kamera sedang beradu mulut dengan Menko Polhukam Jenderal (Purn) Wiranto di acara Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD). “Abang jangan begitulah…” kata Kiv kepada Wiranto.

Adu mulut itu dilerai Ketua Umum PPAD Letjen (Purn) Kiki Syahnakri. Kiki merupakan teman seangkatan Kivlan di Akmil 1971. Ada beberapa jenderal cukup terkenal dari lulusan tersebut, misalnya: Letjen (Purn) Slamet Supriyadi, Letjen (Purn) Dhamari Chaniago, Letjen (Purn) Sugiyono, dan Letjen (Purn) Suadi Marasabessy. Ada pula Mayjen (Purn) Sang Nyoman Suwisma, dan almarhum Mayjen (Purn) Ismet Yuzairi.

Diminta TNI
Kivlan memang kontroversial. Namun jasanya dicatat oleh Mabes TNI. Saat itu Jenderal Gatot Nurmantyo mempersiapkan operasi militer untuk membebaskan sandera di laut Sulu, Filipina, pada April 2016 lalu. Panglima Kostrad, Komandan Jenderal Kopassus, Komandan Korps Marinir, dan Komandan Korps Pasukan Khas, serta Kepala Bais TNI sudah dipanggil. Termasuk merancang operasi besar-besaran di luar negeri (Filipina).
Bukan hanya melalui cara militer saja, tetapi juga dicoba dari sisi diplomasi. Untuk itu, Mabes TNI meminta bantuan Kivlan. Ia diminta membantu Bais TNI untuk menjadi negosiator dengan pelaku penyanderaan, kelompok Abu Sayaf.
Memang peran Kivlan kali ini, tidak seperti tahun 1995-1996. Suasana di Filipina Selatan sudah berubah. Sejumlah pihak juga berusaha membebaskan sandera, seperti Yayasan Sukma, milik Surya Paloh. Dan tentu saja Bais TNI sebagai operator di lapangan.
Dua gelombang sandera bisa dibebaskan dengan peran masing-masing negosiator.  Apa pun, Mabes TNI ingat peran dan jasa Kivlan di Filipina Selatan. Ia senior yang dimintai pendapat untuk kasus-kasus penyanderaan yang hingga kini masih sering terjadi.
Bukan kali itu saja pimpinan TNI memanggil Kivlan dan memerlukan jasanya. Pada November 1998, misalnya. Ia diminta Panglima TNI Jenderal Wiranto membentuk pengamanan swakarsa atau Pam Swakarsa untuk membantu pengamanan Sidang Istimewa MPR. Padahal saat itu Mayjen Kivlan Zen tidak punya jabatan. Jabatannya sebagai Kas Kostrad dicopot oleh Wiranto bersamaan dengan pencopotan jabatan Pangkostrad untuk Prabowo serta Danjen Kopassus untuk Mayjen Muchdi PR.

Wiranto meminta Kivlan, karena memiliki kemampuan penggalangan yang cukup baik ke kelompok-kelompok Islam. Namun dalam perkembangannya, Kivlan mengaku justru ‘dikerjain’ Wiranto, karena dana yang dijanjikan tidak kunjung tiba. Akhirnya ia harus membayar utang ke sejumlah rumah makan dan keperluan Pam Swakarsa lainnya dengan cara menjual rumah serta hartanya.  (Bersambung)

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...