Showing posts with label Pemilu. Show all posts
Showing posts with label Pemilu. Show all posts

02 July 2023

Netralitas Polri Jangan di Panggung Depan Saja

HUT Bhayangkara ke-77
Photo: jatim.viva.co.id

Hari Bhayangkara 1 Juli 2023 mestinya dijadikan momentum bagi Polri untuk bersikap netral dalam pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) 2024. Netral jangan hanya di panggung depan saja, melainkan juga di panggung belakang sesuai realitas politik.

Berulang kali pimpinan Polri menyatakan akan bersikap netral dalam Pemilu. Pernyataan itu jangan hanya di panggung depan untuk konsumsi pers dan publik. Tetapi juga harus di panggung belakang, sesuai realitas politik.

Menurut pandangan ilmuwan sosial dari Kanada, Erving Goffman dalam konsep dramaturgi politik, sifat politik bagaikan panggung teater. Ada panggung depan (front stage) dan ada pula panggung belakang (back stage).

Panggung depan adalah realitas yang telah disortir dan dipertunjukkan kepada audiens, baik media massa dan publik. Sementara panggung belakang justru realitas politik yang sesungguhnya. Jadi netralitas Polri itu jangan seperti panggung sandiwara saja. Harus dibuktikan hingga panggung belakang.

Presiden Jokowi dalam pidato Hari Bhayangkara 2023 mengingatkan Polri, saat ini masyarakat ikut mengawasi kinerja Polri sehingga gerak-geriknya tidak akan bisa ditutupi. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri yang berulang tahun ke 77 merupakan hal yang penting.

Kepala Negara juga menyampaikan apresiasi terhadap Polri yang berhasil meningkatkan kepercayaan dari masyarakat, dari sebelumnya 60 persen menjadi di atas 70 persen.

Kepercayaan masyarakat itu harus dibuktikan Polri, khususnya dalam kontestasi pemilu 2024 yang sudah berjalan tahapannya sejak Juni 2022 lalu. Netral itu jangan hanya dibibir saja, tapi juga di hati setiap insan Polri sebagai aparatur negara.


Konsolidasi Demokrasi

Netralitas Polri dalam Pemilu merupakan salah satu syarat terciptanya konsolidasi demokrasi di Indonesia. Parlemen, media massa, akademisi, dan masyarakat harus ikut mengawasi Polri agar dapat menjadi aktor negara yang profesional.

Haram hukumnya bagi Polri dan juga TNI terlibat dalam politik praktis, termasuk saat berlangsungnya Pemilu.

Dikemukakan, untuk mengetahui kualitas konsolidasi demokrasi, antara lain bisa dilihat dari kebijakan, perilaku insan Polri, baik di panggung depan maupun panggung belakang tentang sikap netralitasnya dalam pemilu. Hal ini, karena Polri mempunyai tugas dalam keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).

Mereka istilahnya wasit yang menjaga keamanan berlangsungnya pemilu. Jika penjaga keamanannya tidak netral, maka turut menghancurkan citra bangsa sebagai negara demokratis. Badan pengawas pemilu (Bawaslu) juga bisa memberikan teguran kepada Polri jika diduga tidak netral dalam pemilu.

Dia mengingatkan Polri, karena memiliki aparat bintara pembina (babin) kamtibmas hingga desa-desa, sehingga diharapkan bisa mendeteksi apabila ada potensi terjadinya gangguan terhadap penyelenggaraan pemilu.

Apalagi, Polri sudah memiliki regulasi yang mengatur netralitas personelnya. Misalnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Pasal 28 ayat (1) berbunyi: Polri bersikap netral dalam kehidupan politik tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. 

Pimpinan Polri sudah beberapa kali mengeluarkan telegram arahan netralitas saat pemilu. Tapi jangan hanya di panggung depan saja, dalam aplikasinya juga harus netral. Jangan ikut cawe-cawe negatif dalam pemilu, pileg, pilkada, maupun pilpres.

Contohnya, jangan cawe-cawe seperti ikut-ikutan menyuruh atau memasang baliho, spanduk tanda partai politik dan caleg, atau calon presiden dan wakil presiden. Termasuk menghadiri undangan deklarasi caleg, capres/cawapres, dan sejenisnya.


/sgo

29 June 2023

Prabowo Harus Mundur Sebagai Menhan Jika Maju Dalam Pilpres

Photo: republika.co.id


Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto harus mundur dari kabinet jika maju dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024. Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu sudah dideklarasikan akan maju sebagai bakal calon presiden (capres) oleh Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang terdiri dari Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Prabowo dan para menteri serta pejabat setingkat menteri wajib mundur dari kabinet jika ingin mengikuti kontestasi pemilihan presiden (pilpres). Setidaknya saat partai politik atau gabungan partai politik mendaftarkan namanya menjadi bakal capres maupun wapres di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Prabowo sebagai pejabat negara harus fokus menjalankan tugasnya, sehingga wajib mundur dari posisinya sebagai Menhan jika ingin mengikuti kontestasi pilpres. Tidak mungkin bisa fokus menjalankan tugasnya sebagai pejabat negara jika ada keinginan menjadi presiden maupun wakil presiden. Begitu juga pejabat negara lainnya yang hendak mengikuti pemilihan legislatif, wajib mundur tidak bisa ditawar-tawar lagi. 

Mereka, harus menyertakan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali. Surat pengunduran diri sebagai pejabat negara disampaikan partai politik atau gabungan partai politik kepada KPU sebagai dokumen, persyaratan capres maupun cawapres, seperti amanat Pasal 170 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Otomatis ketua umum Partai Gerindra Prabowo dan menteri lainnya akan kehilangan kursinya di kabinet apabila maju dalam kontestasi pilpres. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 170 ayat (2) dari UU tentang Pemilu. 

Memang ada pengecualian jabatan yang tidak mengharuskan mundur jika mengikuti kontestasi pilpres. Jabatan itu adalah presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR/DPR/DPD. Selain itu juga gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota, seperti amanat Pasal 170 ayat (1) UU tentang Pemilu. 

Mengenai posisi pengganti menteri, menjadi kewenangan presiden yang memiliki hak prerogratif. Terserah hendak mengganti orang dari partai politik yang sama atau dari kalangan profesional. 

Ada nama-nama menteri yang berpotensi akan maju dalam pilres 2024, seperti Prabowo Subianto dari Partai Gerindra, Airlangga Hartarto dari Partai Golkar, Sandiaga Uni dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Termasuk Erick Thohir yang diusung Partai Amanat Nasional (PAN) untuk bisa maju dalam kontestasi pilpres. 

Selain pejabat negara dari bidang eksekutif dan legislatif, UU juga mengamanatkan pejabat negara lainnya mesti mundur jika akan maju dalam pilpres. Mereka adalah ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Termasuk kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, seperti duta besar luar biasa dan berkuasa penuh.

Untuk kepala daerah, seperti Ganjar Pranowo, bakal capres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), harus meminta izin terlebih dulu kepada presiden untuk maju dalam pilpres.

Bagaimana jika presiden tidak memberikan izin kepala daerah? Ini menarik untuk diulas. Apabila sampai 15 hari presiden tidak memberikan izin, maka undang-undang menganggap izin dianggap sudah diberikan. Jadi presiden tidak boleh cawe-cawe menghalang-halangi kepala daerah yang akan maju dalam pilpres.

/sgo

Capres Tolak Mundur Sebagai Pejabat Negara, Timbulkan Konflik Kepentingan

Photos: istockphoto.com

Jika pejabat negara akan maju dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres), namun menolak mengundurkan diri, akan menimbulkan konflik kepentingan yang merugikan negara. Sulit dibedakan posisi sebagai pejabat negara atau bakal calon presiden atau wakil presiden (capres/cawapres).

Menjadi bias, apakah Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan atau sebagai bakal capres? Apakah Ganjar Pranowo sebagai gubernur atau sebagai bakal capres? Jika sebagai Gubernur Jawa Tengah, mengapa banyak beraktivitas di Jakarta? Ini yang disebut sebagai konflik kepentingan.

Contohnya, jelang pilpres 2014 Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa yang akan maju sebagai bakal cawapres, mengundurkan diri sebagai menteri kabinet. Saat itu Hatta Rajasa didampingi bakal capres Prabowo Subianto menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyerahkan surat pengunduran diri sebagai menteri.

Apa yang dilakukan Hatta Rajasa pada 2014 lalu, mestinya sekarang diikuti Prabowo, Ganjar maupun para menteri yang akan mengikuti kontestasi pilpres. Apa yang dilakukan Presiden SBY mestinya juga ditiru Pesiden Jokowi. Tirulah yang bagus dan bukan berkelit mencari celah.

Contoh baik lainnya, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Laiskodat baru saja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala daerah. Alasannya, Viktor akan maju sebagai anggota DPR periode 2024-2029 dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

Pengunduran diri Viktor Laiskodat sebagai Gubernur NTT, karena persyaratan untuk maju sebagai caleg. Itu kan bagus dan bisa menjadi contoh baik. Mengapa tidak diikuti Ganjar.

Memang, Mahkamah Konstitusi (MK) membolehkan menteri yang ingin maju sebagai capres atau cawapres tidak perlu mundur dari jabatannya. Putusan ini berdasarkan permohonan dari Partai Garuda yang menguji Pasal 170 ayat (1) Undang Undang tentang Pemilu.

Keputusan MK yang ambigu, karena tidak sepenuhnya dikabulkan. Apalagi uji materi itu diajukan partai di luar parlemen dan partai itu tidak memiliki menteri. Dalam keputusan itu tetap dengan catatan harus mendapatkan izin dari Presiden. Masalahnya justru di sini, jika presiden bersikap tidak netral, atau cawe-cawe karena memiliki kandidat untuk pilpres, bagaimana?

Conflict of Interest

Conflict of interest atau konflik kepentingan akan mencemari keputusan seseorang yang memiliki wewenang sebagai pejabat negara. Patut diduga pejabat tersebut mempunyai kepentingan pribadi dalam kewenangannya, sehingga akan mempengaruhi kualitas kinerja, termasuk dalam pelayanan kepada masyarakat.

Kepentingan pribadinya tidak akan bisa dihindari. Termasuk menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan politik praktisnya dalam meraih kekuasaan. Cara meraih kekuasaan seperti ini tidak elok dari segi etika politik.

Dalam Pasal 43 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan konflik kepentingan terjadi apabila dalam menetapkan keputusan dilatari kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi, seperti ingin menjadi presiden atau wakil presiden, masuk dalam kategori konflik kepentingan.

Conflict of interest itu akan berujung pada gratifikasi atau suap untuk meraih kekuasaan. Maka kelemahan sistem jika pejabat negara menolak mundur saat maju dalam kontestasi pilpres, harus diperbaiki.

Mana mungkin, pejabat negara yang juga berperan sebagai bakal capres maupun cawapres bisa menjalankan jabatannya secara profesional, independen, dan akuntabel. Jelas kental sekali niat politiknya untuk meraih kekuasaan daripada menuntaskan pekerjaan utamanya sebagai pejabat negara dan pelayan masyarakat.

Penyalahgunaan wewenang yang tidak sesuai dengan tujuan pekerjaannya akan melampaui batas kewenangan dalam mengutamakan kepentingan publik, karena lebih kental kepentingan politik peibadi dan golongannya. 

Pejabat negara itu, setidaknya harus mengutamakan empat hal. Pertama, bekerja untuk kepentingan publik dan bukan bekerja memikirkan keuntungan pribadi dari jabatannya. Kedua, menciptakan keterbukaan dalam penanganan dan pengawasan, sehingga memiliki integritas tinggi. Ketiga, bertanggungjawab dan menjadi contoh teladan. Keempat, mampu menciptakan budaya kerja yang menolak konflik kepentingan.

Jika empat hal itu tidak sanggup dilaksanakan, sebaiknya tidak usah berpikir untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, seperti presiden atau wakil presiden.

/sgo

15 December 2022

Nomor Urut Partai Bagian dari Pertarungan Simbol Politik

 

Photo: republika.co.id

Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting mengungkapkan ajang penentuan nomor urut partai politik (parpol) menghadapi pemilu 2024 menjadi tanda dimulainya pertarungan simbol politik.

“Penggunaan simbol politik merupakan strategi komunikasi politik menghadapi pertarungan politik untuk menarik minat calon pemilih partai politik,” kata Selamat Ginting di Kampus Unas, Jakarta, Kamis (15/12/2022).

Ia menanggapi pertanyaan wartawan terkait keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menetapkan nomor urut 17 parpol peserta Pemilu 2024. Sebanyak delapan parpol parlemen memilih menggunakan nomor urut lama pada Pemilu 2019 lalu. Sedangkan sembilan parpol mendapatkan nomor urut baru lewat pengundian nomor urut parpol peserta pemilu yang digelar KPU, Rabu (14/12/2022). 

Menurut Selamat Ginting, pertarungan simbol politik, baik melalui nomor urut, tagline dan tanda gambar menjadi senjata politik sekaligus sebagai pembeda antara satu parpol dengan parpol lainnya. Parpol akan membangun deferensiasi politik dengan kelompok calon pemilih melalui komunikasi politik.

“Nomor urut, tanda gambar, tagline untuk memudahkan komunikasi politik dan mengidentifikasi bagian dari pendukung parpol,” ujar Ginting, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas.

Selain itu, lanjutnya, pertarungan simbol politik merupakan bagian dari membangun citra politik untuk menanamkan ideologi parpol, sehingga dapat menampilkan stigma politik yang positif. Selanjutnya akan terjadi pertarungan komunikasi verbal melalui bahasa tubuh aktor politik, seperti tanda jari, yel-yel, maupun sikap tubuh menandakan identitas politik calon pemilih.  

Dikemukakan, model pertarungan komunikasi politik yang dilakukan komunikator politik untuk mencapai tujuan politiknya akan dilakukan dengan retorika politik untuk mempengaruhi publik calon pemilih. Termasuk dengan cara agitasi politik melalui gerakan politik, baik lisan maupun tulisan untuk membangkitkan emosi publik calon pemilih.

“Kita akan lihat dalam waktu dekat akan muncul para agitator politik yang menggerakkan para calon pemilih untuk mendukung parpolnya. Jadi situasi politik sudah mulai memanas setelah KPU menetapkan nomor urut parpol peserta pemilu 2024,” ungkap Ginting yang lama menjadi wartawan liputan politik.

Selain para agitator politik, kata dia, akan muncul pula para propagandis politik yang melakukan propaganda. Mereka melakukan sugesti kepada publik untuk menerima pandangan atau nilai-nilai politik yang dikampanyekan parpol. Para propagandis akan mengklaim parpolnya yang terbaik dibandingkan parpol lainnya.

/sgo

20 June 2019

Sidang MK Buka Tabir Hilangnya Roh Demokrasi


 
Video: Youtube Imam Chanafi


Oleh: Selamat Ginting

Sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) untuk pemilihan presiden (pilpres) 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam beberapa hari ini, membuka mata publik. Betapa dugaan kecurangan mencederai roh demokrasi. Kecurangan berpotensi dilakukan pejawat atau petahana. Sang pejabat yang tengah memerintah.  Bahasa kerennya, incumbent. 

Saat berlangsungnya kampanye pemilu 2019, publik dikejutkan dengan istilah ‘perang total’. Istilah yang dikemukakan seorang elite istana. Segala justifikasi dikemukakannya, saat pers mengonformasi kepada yang bersangkutan. Ia seorang pensiunan jenderal di istana. 

Kemarin, saat sidang di MK, anak muda bernama Hairul Anas membocorkan materi pelatihan tim kampanye nasional (TKN) milik incumbent. Dalam keterangannya kepada majelis hakim, Anas mengawali ceritanya ketika ia menghadiri pelatihan saksi yang diselenggarakan TKN pada 20-21 Februari 2019 lalu di kawasan Kelapa Gading. 

Dalam pelatihan rahasia itu, pada slide materi pertama ada keterangan yang mengatakan, kecurangan merupakan bagian dari demokrasi. Garis bawahi: kecurangan merupakan bagian dari demokrasi. 

Anas mengemukakan materi tersebut disampaikan ketika ketua harian TKN, Moeldoko memberikan paparannya.  Ia meminta agar materi yang dimaksud ditunjukkan dalam sidang tersebut. Menurutnya, materi ini masih bisa diunduh hingga sekarang.

Keponakan Prof Dr Mahfud MD itu mengaku terkejut mendengarkan dan melihat langsung materi tersebut. Pernyataan Anas yang dikemukakan di bawah sumpah sebagai saksi itu, tentu saja mengejutkan publik. Bagi penulis, sekaligus mengonfirmasi kalimat ‘kecurangan merupakan bagian dari demokrasi’, patut diduga sebagai terjemahan dari kata: ‘perang total’ yang dikemukakan elite istana tersebut.

Kita patut mengutuk kalimat: kecurangan sebagai bagian dari demokrasi!

Kampanye permanen
Dari peristiwa yang tersaji di MK tersebut, sesungguhnya tidak ada hal baru dalam dunia  komunikasi politik. Incumbent (siapa pun dia) memang selalu diuntungkan dan berpotensi menyalahgunakan kekuasaan. Kita tidak bicara soal pasangan 01 atau 02. Namun spesifik bicara siapa pun yang menjadi incumbent.

Incumbent sedari awal sudah mencuri start dalam kampanye. Bahasa komunikasi politiknya: kampanye permanen. Sebuah pola atau bentuk kampanye yang dilakukan pejabat yang tengah memerintah. Baik presiden, gubernur, bupati, maupun wali kota. Termasuk yang telah menjadi anggota DPD, DPR maupun DPRD.

Menurut dosen komunikasi politik pasca sarjana ilmu komunikasi Universitas Mercu Buana, Dr Achmad Jamil MSi, kampanye permanen dilakukan secara terus-menerus dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pekerjaan incumbent tersebut.   “Incumbent bisa melakukan kampanye sepanjang waktu, saat ia menjabat. Misalnya saja mengadakan jumpa pers, kunjungan kerja, wawancara dengan media dan sebagainya.” 

Apa yang dikemukakan Achmad Jamil masuk akal. Secara teoritis, pejabat yang tengah memerintah lebih mempunyai kemungkinan untuk terpilih kembali. Hal ini karena incumbent bisa memanfaatkan sumber daya yang dipunyai untuk menarik dukungan pemilih. 

Di Amerika dan Eropa, sejumlah studi menunjukkan secara jelas hal tersebut (lihat Doherty, 2007; Norris, 2000; Steger, 1999). Misalnya, anggota Dewan Perwakilan (house of representative), senator atau gubernur yang tengah memerintah, rata-rata lebih dari 80% terpilih kembali ketika maju dalam pemilihan.

Kampanye permanen (permanent campaign) adalah bentuk kampanye yang dilakukan oleh pejabat yang tengah memerintah dengan memanfaatkan posisi dan kantor pemerintahannya (lihat Steger, 1999).

Berbeda dengan kandidat lain, kandidat politik (DPR, presiden, kepala daerah) yang tengah memerintah (tengah menjabat) mempunyai kedudukan yang memungkinkan mereka melakukan kampanye secara terus-menerus sepanjang masa pemerintahannya. 

Contohnya: kunjungan kerja, mendatangi pemilih, membuat kebijakan, mendengarkan keluhan dan aspirasi publik, selain menjadi tugas pejabat yang tengah memerintah juga bisa dilihat sebagai bentuk kampanye agar kandidat bisa terpilih kembali dalam periode pemilihan berikutnya.

Bukalah panca indera Anda dengan cara saksama (teliti). Incumbent juga memanfaatkan sumber daya yang terdapat di kantor (kantor, staf, dana) untuk menjangkau pemilih. Jangan heran jika kuat dugaan memanfaatkan aparat sipil negara (ASN), karyawan BUMN, BUMD, dan yang terkait dengan pemerintah. Serta tentu saja dana yang ada pada lembaga-lembaga di bawah pemerintah maupun BUMN. Perhatikan materi gugatan pemohon di MK sambil menunggu keputusannya. 

Kampanye punya potensi dilakukan secara terus menerus. Inilah wujud kampanye permanen. Hal ini untuk membedakan dengan kampanye yang dilakukan oleh kandidat yang bukan incumbent. Umumnya kampanye dilakukan menjelang pemilihan. Dalam pilpres 2019, misalnya, sang penantang baru bisa kampanye pada Oktober 2018 lalu. Sang penantang, tidak bisa melakukan kampanye di kantor pemerintahan, seperti halnya kampanye terselubung yang diakukan incumbent.

Dampak langsung
Kampanye permanen yang dijalankan kandidat incumbent punya dampak langsung terhadap kemungkinan terpilihnya kembali  kandidat. Steger (1999) mencatat  di Amerika Serikat sekitar 90% anggota Dewan Perwakilan (House of Representative) dan 80% anggota senat terpilih kembali pada pemilihan selanjutnya. 

Hebatnya, rata-rata kandidat menang dengan margin (selisih dengan kandidat lawan) sangat besar, di atas 60%. Data ini menunjukkan potensi kemungkinan kandidat yang tengah memerintah (incumbent) untuk terpilih kembali sangat besar.

Menurut Steger (1999), faktor terpenting yang menyebabkan kandidat incumbent terpilih kembali adalah karena mereka menjalankan kampanye permanen (permanent campaign). Kandidat incumbent mempunyai keuntungan  dan akses yang tidak dipunyai oleh kandidat penantang. 

Pertama, keuntungan finansial. Kampanye membutuhkan dana yang besar, untuk kepentingan logistik, biaya perjalanan untuk menjagkau pemilih hingga biaya staf kampanye. Pejabat incumbent diuntungkan karena semua kegiatan itu bisa ditanggung oleh dana dari kantor pemerintah. Pejabat incumbent bisa memanfaatkan staf di kantor, perjalanan dinas hingga fasilitas surat untuk menjangkau pemilih. Biaya kampanye menjadi lebih murah dan efektif. 

Kedua, kandidat incumbent punya kesempatan untuk mendatangi pemilih sepanjang waktu, tidak terbatas hanya menjelang hari pemilihan. Sepanjang masa kerjanya, incumbent bisa datang ke daerah-daerah, mendengarkan suara pemilih, mencatat keluhan mereka dan sebagainya. Dengan kesempatan yang besar dalam menjangkau pemilih, tidak mengherakan jikalau pengenalan pemilih pada kandidat umumnya sangat besar. 

Menurut catatan Steger (1999), rata-rata 90% pemilih di wilayah mengenal nama anggota Dewan Perwakilan (house opf representative) dan 95% mengenal nama senat.   Keuntungan semacam ini tidak dipunyai oleh kandidat penantang yang umumnya hanya berkampanye menjelang hari pemilhan. Kandidat penantang umumnya harus berjuang lebih dahulu agar bisa dikenal oleh pemilih.

Ketiga, akses media lebih besar. Pejabat yang tengah memerintah (incumbent) punya kesempatan untuk mendapatan akses liputan media yang lebih luas dibandingkan dengan kandidat penantang. Incumbent bisa membuat berbagai kegiatan, sepperti: konferensi pers, rilis agar mendapatkan liputan luas dari media. 

Di samping itu, kegiatan dari incumbenmt itu sendiri juga puya nilai berita yang membuat media tertarik untuk meliput kegiatan-kegiatan incumbent. Ucapan, komentar, kunjungan incumbent dan sebagainya punya nilai berita jika dikemas dengan baik. Incumbent juga punya kesempatan untuk mendapatkan liputan dalam waktu yang panjang, sepanjang masa pemerintahannya, jika mampu mengelola hubungan dengan media dengan baik. 

Keempat, pejabat yang tengah memerintah (incumbent) juga punya hubungan dan akses lebih besar pada penyandang dana. Pekerjaan incumbent yang mengharuskan bertemu dengan elite, pengusaha dan perusahaan membuat mereka punya akses pada sumber-sumber dana yang bisa dimanfaatkan pada masa kampanye. Potensi mendapatkan dana jauh lebih besar dibandingkan dengan penantang. 

Dengan dana yang besar, kandidat incumbent bisa membuat kampanye menjadi massif.  Steger (1999:) mencatat di Amerika Serikat sebanyak 90% dari senat dan lebih dari 70% anggota Dewan Perwakilan beriklan lewat televisi. Kemampuan beriklan di televisi (yang mahal) ini tidak dipunyai oleh kandidat penantang. 

Keuntungan dan akses yang besar yang dimiliki oleh kandidat incumbent ini diiringi dengan kegiatan dari para incumbent itu yang berorientasi pada pemilihan. Steger (1999) menyebut kegiatan para incumbent itu sebagai ”berorientasi pemilihan kembali / re-election”. 

Artinya, seorang pejabat (kepala daerah, senator, anggota house of representative) selalu berpikir dalam masa kerjanya agar bisa terpilih kembali dalam periode berikutnya. Kegiatan yang dilakukan, mulai dari program kerja, kunjungan, mendatangi masyarakat diarahkan sebagai sarana untuk mendapat keuntungan agar dalam pemihan berikutnya  kandidat bisa terpilih kembali. 

Isu dan program yang diangkat misalnya, adalah isu yang menjadi masalah masyarakat pemilih. Kandidat juga aktif mengunjungi daerah, mendengarkan pendapat dan keluhan warga. Di samping itu tentu saja ‘bersembunyi’ untuk menjalankan tugas juga agar mendapat simpati dari warga agar memilih dia kembali dalam pemilihan berikutnya.

Itu contoh Amerika dan Eropa? Tentu saja berlaku juga di Indonesia. Cara-cara seperti itu juga digunakan para incumbent. Jarang sekali incumbent di Indonesia yang kalah dalam pemilu. Memang ada sejumlah pengecualian, seperti kemenangan pasangan penantang  Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang mengalahkan pasangan incumbent Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dan Djarot Saiful Hidayat pada pilkada DKI Jakarta 2017 lalu.

Abaikan filsafat
Namun celakanya, keuntungan-keuntungan incumbent dalam kampanye permanen tersebut, kerap kali mengabaikan nilai-nilai bijak (filsafat), seperti: logika, etika, estetika. Ditambah yang terakhir: metafisika.

Menurut filsuf Aristoteles, logika adalah bagian filsafat yang mempersoalkan bentuk susunan atau cara berpikir. Etika adalah filsafat nilai yang membicarakan perilaku seseorang dari sudut baik dan jahat. Semua perilaku mempunyai nilai. Estetika adalah filsafat tentang penilaian yang memandang karya manusia dari sudut indah dan jelek. 

Sedangkan metafisika adalah filsafat yang berkaitan dengan proses analisis atas hakikat fundamental mengenai keberadaan dan realitas yang menyertainya. Ada kehendak Tuhan sebagai Sang Pencipta. 

Ketika diterjemahkan dalam perilaku politik, maka politikus tidak peduli logika. Cara berpikirnya abai terhadap kronologi berpikir sistematis. Misalnya dengan cara ‘ogah; cuti kampanye. Cuti kampanye hanya ‘jam-jam-an’ saja di saat melakukan kunjungan kerja. Alasannya tidak melanggar hukum. Di sini etika pun diabaikan. Tak peduli moral. Yang penting untung. Untung, karena menggunakan fasilitas negara. 

Secara estetika pun diabaikan. Mau baik atau buruk, yang penting untung mendapatkan perhatian publik. Terakhir, mengabaikan nilai-nilai hakikat ke-Tuhan-an sebagai implementasi metafisika. Mau curang atau tidak, tak lagi menjadi bagian yang melekat pada dirinya. Tak ada lagi nilai-nilai bijaksana seperti pengertian filsafat. Inilah yang menghacurkan roh demokrasi.

/selamatgintingofficial


15 May 2019

Menguji Profesionalisme KPU


video source: @siq


Oleh: Selamat Ginting
Jurnalis

Ruangan serba guna di lantai 2 sebuah hotel di Jakarta Pusat, Selasa (14/5/2019) sore, penuh sesak. Sulit untuk bisa masuk ke ruangan yang telah dipadati lebih dari 2.000 orang tersebut. Namun terlihat masih ada secercah harapan untuk bisa masuk. Peluang itu terbuka saat ada yang keluar ruangan. Di situ pula penulis berusaha masuk. Ini sebuah peristiwa penting dari proses pemilihan presiden yang paling keras.

Sekeras itu pula penulis ingin tahu, apa yang sedang terjadi. Ini memang pertemuan terbuka bagi masyarakat. Bukan hanya bagi pendukung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno saja.

Tim kampanye nasional (TKN) pasangan capres dan cawapres Jokowi dan Maruf Amin juga diundang. Termasuk KPU (Komisi Pemilihan Umum), Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu).

"Masih ada harapan kepada KPU untuk memilih jalan yang baik. Yakni untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ikut bermain dalam kecurangan." kata Prabowo Subianto saat berbicara dalam acara 'Mengungkap Fakta-Fakta Kecurangan Pilpres 2019' di hotel tersebut.

Itu harapan Prabowo usai mengungkapkan kegundahannya yang paling dalam terhadap KPU. ketua Umum Partai Gerindra itu akan menolak hasil penghitungan suara Pemilu 2019 yang dilakukan KPU.

Prabowo menganggap telah terjadi kecurangan selama penyelenggaraan pemilu. Dimulai dari masa kampanye hingga proses rekapitulasi hasil perolehan suara yang saat ini masih berjalan.  "Saya akan menolak hasil penghitungan suara pemilu, hasil penghitungan yang curang," ujar mantan Panglima Kostrad itu.

Prabowo mengatakan, selama ini  Badan Pemenangan Nasional (BPN) telah mengumpulkan bukti terkait dugaan kecurangan yang terjadi. 

Dalam acara tersebut, tim teknis BPN menyampaikan pemaparan mengenai berbagai kecurangan yang terjadi sebelum, saat pemungutan suara, dan sesudahnya.  Di antaranya, permasalahan daftar pemilih tetap fiktif, politik uang, penggunaan aparat, surat suara tercoblos hingga salah hitung di website KPU.  "Kami tidak bisa menerima ketidakadilan dan ketidakjujuran," kata mantan Komandan Jenderal Kopassus.

Hak demokrasi

Pernyataan senada dikemukakan Ketua BPN Prabowo-Sandi, Jenderal (Purn) Djoko Santoso.  Menurutnya, BPN menolak penghitungan suara Pemilu 2019 yang sedang berjalan di KPU.  Ia menganggap Pemilu 2019 penuh kecurangan.

"Kami BPN bersama-sama rakyat Indonesia yang sadar demokrasi menolak hasil penghitungan suara dari KPU RI yang sedang berjalan. Sekali lagi kami BPN bersama rakyat Indonesia yang sadar hak-hak demokrasinya menyatakan menolak hasil penghitungan suara KPU RI yang sedang berjalan," kata Djoko pada acara yang sama.

Mantan Panglima TNI itu juga menolak proses penghitungan suara KPU. Dia mendesak Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU dihentikan. Permintaan penghentian itu telah disampaikan lewat surat ke KPU.

"Hadirin, beberapa waktu lalu kami BPN telah mengirim surat ke KPU dengan Nomor Surat 087/BPN/OS/V/2019 tanggal 1 Mei 2019 tentang audit terhadap IT KPU dan meminta serta mendesak menghentikan sistem penghitungan suara di KPU, yang substansinya agar KPU menghentikan penghitungan suara pemilu yang curang, terstruktur, sistematis, dan masif," tutur Djoko.

BPN menilai kecurangan Pemilu 2019 bersifat terstruktur, sistematis, dan masif atau biasa disingkat TSM. Ada pula yang menambahkan satu istilah lagi, yakni brutal.  

Mengapa BPN memiliki penilaian seperti itu?

Anggota Dewan Pakar BPN Laode Kamaluddin, mengungkapkan, berdasarkan data sistem informasi Direktorat Satgas BPN, perolehan suara pasangan nomor urut 02 itu unggul dari pasangan nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Hingga Selasa (14/5/2019), pasangan Prabowo - Sandi memperoleh suara sebesar 54,24 persen atau 48.657.483 suara. Sedangkan pasangan Jokowi-Ma-ruf Amin memperoleh suara sebesar 44,14 persen.  "Di tengah banyaknya kecurangan posisi kita masih ada di 54,24 persen," ujar Kamaluddin di acara yang sama.

Perolehan angka tersebut, lanjutnya,  berbasis pada penghitungan dokumen C1 dari 444.976 tempat pemungutan suara (TPS).  Adapun total TPS yang ada saat hari pemungutan suara berjumlah 810.329 TPS. Sementara data mentah dokumen C1 yang sudah dikumpukan BPN berjumlah 1.411.382.  "Posisi ini diambil dari total 444.976 TPS atau 54,91 persen. Sudah melebihi keperluan dari ahli statistik untuk menyatakan data ini sudah valid," kata dia.

Kamaluddin menuturkan, berdasakan data tersebut, BPN yakin pasangan Prabowo-Subianto telah memenangkan Pemilu 2019.  Menurutnya, kemenangan Prabowo-Sandiaga hanya dapat berubah jika terjadi kecurangan. Misalnya praktik pencurian perolehan suara paslon nomor urut 02.

"Angka ini bisa diubah kalau betul-betul dirampok. Inilah kondisi kita hari ini. Maka kita sampai pada keyakinan bahwa Prabowo-Sandi adalah pemenang," ujarnya.

Tentu kita masih harus menunggu hasil dari KPU, termasuk hasil sidang di Bawaslu tentang keberatan kubu 02. DKPP juga tidak akan tinggal diam jika memang terjadi dugaan kecurangan yang dilakukan personel KPU maupun Bawaslh, seperti dilaporkan kubu 02. Dari kubu 01, publik juga ingin tahu apa hasil dari tim IT-nya.  "Inilah buktiku. Mana buktimu?" pungkas La Ode Kamaluddin.

Semoga membuahkan keputusan yang baik bagi bangsa ini dalam pesta demokrasi mencari figur pemimpin nasional. # End

01 April 2019

Polisi Muluskan Game Over Jokowi!

Oleh
Selamat Ginting
Jurnalis

Sama seperti pilkada DKI Jakarta dan Sumatra Utara. Polisi memobilisasi massa untuk dukung Ahok dan Djarot. Kasat mata! Kini mereka melakukan cara yang sama. Dukung Jokowi dalam pilpres 2019.

Ahok, Djarot dan kini Jokowi elektabilitasnya tidak bisa melebihi 50 persen. Kendati tinggal dua pekan lagi pemilu. Dulu, Ahok tidak percaya saat saya bilang dia akan kalah. Alasannya, sebagai pejawat, elektabilitasnya mangkrak di angka 42-44 persen. Ia bilang, "tim saya yakin menang telak."

Masyarakat sudah tahu hasilnya. Ahok dan Djarot justru kalah telak! Beda dua digit dengan rivalnya.

Maka kini, game over (istilah kalah dalam game milenial) juga untuk Jokowi. Cara polisi semakin memuluskan kekalahan, karena rakyat tidak suka baju coklat turut menjadi pemain. Tidak netral!

Mata publik nasional terbelalak. Terbelalak ketika polisi membuat acara Millenial Road Safety Festifal (MRSF) 2019. Acara digelar Polda Jawa Timur di Jembatan Suramadu, 17 Maret lalu. Acara serupa  diagendakan digelar di Sulawesi Selatan, Jakarta, Kalimantan Utara, Banten, dan Jawa Tengah.

Publik melihat dengan mata terang benderang. Acara polisi justru menjadi ajang kampanye dukung Jokowi. Lagu yang diputar pun 'Jokowi Wae'.

Polisi memantik persoalan. Menjadi bagian tim kampanye 01. Akhirnya, keesokan harinya, Kapolri Jenderal Muhamad Tito Karnavian membuat surat edaran. Polisi harus netral! Acara MRSF di sejumlah provinsi pun diundur, usai pemilu. 

Surat edaran Kapolri justru menyiratkan, polisi memang tidak netral. Sebab UU Kepolisian mengamanatkan polisi harus netral! Netral bukan cuma di kertas dan di mulut, tetapi terpenting dalam tindakan. 

Mabes Polri keluarkan 14 poin netralitas sebagai aparatur negara. Lalu yang bermain di bawah, siapa? Atas perintah siapa? Petinggi yang mana? Jika menyimak operasi intelijen, tentu saja apabila ketahuan, akan dibantal. Disangkal! 

Kampanye terbuka sudah berjalan beberapa hari. Beda dengan tahun 2014, massa membludak ingin melihat Jokowi. Aura itu, kini sirna. Sirna termakan tingkah polah kerjamu yang tak memuaskan bagi lebih dari separuh pemilih negeri. Pesona Mas Joko sudah pudar.

Saya mengamati pemilu sejak 1992, dan 1997 era Orde Baru. Kemudian pemilu era reformasi sejak 1999 hingga saat ini. Aura kekalahan para pejawat atau juara bertahan. Golkar keok pada pemilu 1999, saya saksikan di lapangan. Begitu pula aura kekalahan Megawati, saya saksikan pada 2004. Juga aura kekalahan Foke di pilkara Jakarta pada 2012. 

Kini, saya menjadi saksi aura kekalahan Jokowi pada 2019. Sakit memang, tapi itulah roda kehidupan. Tanggapi saja dengan bijak, tak perlu irasional. Apalagi emosional. Tidak percaya dengan ungkapan saya, juga tidak apa-apa. Silakan buat tulisan juga berdasarkan keyakinan sebagai sesama netizen. Bebas Merdeka!

Berkemaslah ke Solo, Tuan Jokowi. Rantai sepedamu sudah putus. Tak bisa lanjut ke etape berikutnya.  Pestamu saatnya berhenti sampai di sini. Ya, game over Jokowi!

/selamatgintingofficial

Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...