Showing posts with label OPM. Show all posts
Showing posts with label OPM. Show all posts

10 July 2023

Negara Gagal Hadapi Separatis di Papua

Photo:bbc.com

Negara gagal menghadapi gerakan separatis di Papua, karena menyanggupi uang tebusan Rp5 miliar untuk membebaskan pilot Susi Air, Mark Methrtens dengan alasan damai dan kemanusiaan. 

Negara menyanggupi uang tebusan Rp5 miliar untuk membebaskan pilot Susi Air Philips Mark Methrtens yang disandera kelompok separatis di Papua. Artinya negara gagal menghadapi kelompok separatis di Papua.

Sebelumnya, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menilai tidak ada yang salah dari langkah pemerintah menyanggupi uang tebusan Rp5 miliar untuk membebaskan pilot Susi Air Philips Mark Methrtens yang disandera di Papua.

"Yang jelas itu tadi untuk damai dan kemanusiaan, apalagi menyangkut nyawa manusia, baik pilot maupun masyarakat setempat, artinya tidak ada apapun yang seharga itu," kata Laksamana Yudo di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (4/7). 

Langkah negara yang diumumkan di Istana Wakil Presiden, sama saja menyerah menghadapi tuntutan pemberontak. Secara tidak langsung keputusan negara justru membantu kelompok separatis untuk menjadi lebih besar, karena punya modal memenuhi kebutuhan logistik serta membeli senjata. 

Dengan uang tebusan itu, mereka bisa membeli senjata dan amunisi untuk membunuh prajurit TNI dan Polri serta rakyat. Sama saja negara melakukan langkah bunuh diri. Saya menyesalkan negara salah Langkah dan menyerah dengan tuntutan pemberontak.

Posisi Tawar

Dikemukakan, penyanderaan biasanya dilakukan pihak yang lemah dan sudah terdesak. Maka dengan dikabulkannya tuntutan penyandera, akan menaikkan posisi tawar pemberontak dalam menghadapi aparatur tentara dan polisi Negara Indonesia. 

Mereka bisa melakukan langkah serupa dengan bergerak bebas untuk menyandera pihak lain.  Sekaligus mendapatkan uang yang dapat digunakan memperbesar kekuatan pemberontak dalam front politik, front bersenjata, front diplomasi, maupun front psikologi perang.

Negara memiliki Angkatan Bersenjata dan Kepolisian untuk menumpas gerakan separatis bersenjata. Militer dibentuk untuk menghadapi situasi darurat dan siap mati di medan tugas perang atau pertempuran. Dalam Sapta Marga TNI, tentara itu patriot yang tidak mengenal menyerah.

Buat apa kita punya pasukan khusus untuk menumpas gerakan separatis? Buat apa kita membentuk pasukan khusus untuk membebaskan sander ajika akhirnya memenuhi tuntutan pemberontak? 

Separatis Bersenjata

Alasan damai dan kemanusiaan bisa dipahami jika menghadapi masyarakat Papua yang telah menerima otonomi khusus dan pemekaran wilayah Papua dari satu provinsi dan kini menjadi enam provinsi. Kini di Pualu Papua memiliki enam provinsi, yakni: Papua, Papua Barat, Papua Pegunungan, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Barat Daya. 

Masyarakat Papua sudah menyetujui otonomi khusus dan pemekaran wilayah menjadi enam provinsi. Penyandera bukanlah masyarakat Papua. Mereka segelintir orang yang tergabung dalam separatis Papua yang ingin merdeka. Pihak penyandera adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM). Mengapa tuntutan pemberontak justru dikabulkan? 

Lagi pula, negara memiliki Detasemen Khusus 88 Polri untuk membebaskan sandera. Jika Polri tidak sanggup, karena tidak punya pengalaman membebaskan senjata, masih ada Kopassus punya pengalaman membebaskan sandera di Thailand 1981 serta membebaskan sandera di Mapenduma Papua 1996.

Kegagalan dalam membebaskan sandera yang melibatkan pasukan dari Kopassus, Marinir, Kopasgat, dan Kostrad, karena tidak dilakukan dengan cara pengepungan atau pagar betis, melainkan hanya pengejaran.

Jika hanya pengejaran, maka OPM bisa kabur dan bergabung dengan masyarakat biasa. Namun jika dengan pengepungan tiga batalyon gabungan, maka pemberontak akan kesulitan dari sisi logistik. Mereka akan kelaparan karena tidak ada pasokan makanan dan munuman.

Takut HAM

Mengenai kekhawatiran pelanggaran hak asasi manusia (HAM), tidak akan terjadi, karena yang dihadapi bukan masyarakat Papua biasa, melainkan pemberontak Papua Merdeka. 

Lihatlah bagaimana satu armada tentara Inggris ketika mengepung Pulau Malvinas yang akan menuntut lepas dari Inggris. Apakah Inggris dituding melanggar HAM? Tidak. Karena Malvinas adalah milik Inggris. Sama seperti Pulau Papua juga punya Indonesia dan sah menurut PBB. 

Kedudukan Papua sah milik Indonesia setelah diadakan referendum act of free choice atau Pepera (penentuan pendapat rakyat) pada 1969.  Hasil referendum itu membuktikan, rakyat Papua memilih untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia.  Kemudian, hasil Pepera dibawa ke Sidang Umum Persertikatan Bangsa Bangsa (PBB). Pada 19 Desember 1969, Sidang Umum PBB menerima dan menyetujui hasil Pepera, yakni Papua bagian sah dari wilayah Indonesia. 

Jadi urusan wilayah Papua sudah tidak ada polemik, termasuk di dunia internasional. Pemberontak harus ditumpas, bukan diberikan kesempatan untuk berkembang dengan mengabulkan tuntutan penyandera.


/sgo

30 December 2022

Hadapi Separatis Papua, Tugas Pokok TNI Bukan Polri


Photo: Bersama Panglima Kostrad Letjen Edy Rahmayadi
saat HUT TNI 2016 (Dok Pribadi)


Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, mengkritik kebijakan pemerintah dalam bidang pertahanan keamanan negara di Papua, karena berpotensi keliru jika mengedepankan Korps Brigade Mobil (Brimob) Polri.

“Tugas Brimob Polri menjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri dengan tugas khususnya menangani kejahatan berintensitas tinggi. Padahal jelas yang dihadapi di Papua adalah gerakan separatis serta pemberontakan bersenjata. Bukan sekadar kriminal dan kejahatan lagi,” ungkap Selamat Ginting dalam konferensi pers kaleidoskop pertahanan keamanan negara (hankamneg) 2022 di Sekolah Pascasarjana Unas, Jakarta, Jumat (30/12/2022).

Menurutnya, mengatasi gerakan separatis bersenjata, pemberontakan bersenjata, aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan negara, merupakan tugas pokok militer dan bukan tugas pokoknya polisi. Konstitusi menyebut itu tugas TNI sesuai UU No.34 tahun 2004 tentang TNI. Sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi. 

Dalam operasi di Pulau Papua, lanjut Selamat Ginting, berulang kali digaungkan polisi berada di depan, dan dibantu TNI dari belakang. Faktanya, lebih banyak prajurit TNI yang gugur daripada prajurit Polri. Artinya prajurit TNI menjadi sasaran utama untuk diperangi daripada prajurit Polri. 

Ibarat Koin

Selamat Ginting juga meminta TNI secepatnya melakukan evaluasi terhadap program penanganan di Papua selama satu tahun kepemimpinan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Dalam programnya Jenderal Andika Perkasa mengedepankan pendekatan kesejahteraan. Namun jumlah prajurit TNI yang gugur selama kepemimpinan Andika Perkasa, tidak mengalami penurunan berarti dibandingkan masa kepemimpinan Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI.  

“Pendekatan kesejahteraan tidak mungkin bisa berjalan dengan baik, jika tidak disertai dengan pendekatan keamanan. Itu ibarat koin mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Bagaimana masyarakat bisa bekerja mencari nafkah jika keamanannya tidak terjamin? Bagaimana psikologi masyarakat jika mengetahui prajurit TNI dan Polri justru menjadi killing field,” ungkap kandidat doktor ilmu politik itu, mempertanyakan. 

Dikemukakan, OPM pastilah melakukan gerilya melawan TNI, khususnya di wilayah-wilayah pegunungan yang mereka kuasai. Mereka tidak akan muncul saat situasinya tidak aman. Namun akan melakukan serangan jika TNI maupun Polri sedang lengah dan lemah.  Gerilya harus dihadapi dengan anti-gerilya. 

“Perang gerilya itu antara lain berebut pengaruh dengan penduduk setempat. Di sini pembinaan teritorial (binter) harus kuat. Saya menilai binter TNI di Papua khususnya di wilayah pegunungan selama kurun waktu tiga tahun (2019-2022) belakangan ini, belum berhasil mempengaruhi rakyat untuk menyatu dengan TNI. Jadi TNI juga mesti introspeksi diri untuk membuat program yang lebih menyentuh rakyat Papua,” ujarnya.

Amanat Konstitusi

Selamat Ginting menyambut baik rencana Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang segera akan mengunjungi Pulau Papua pada awal Januari 2023, bersama tiga Kepala Ataf Angkatan dan Kepala Polri. Ia meminta kunjungan kerja itu bukan sekadar kunjungan seremonial belaka. Melainkan harus segera melakukan evaluasi untuk mencari solusi penyelesaian kasus di Pulau Papua yang kini terdiri dari enam provinsi. 

“Saatnya TNI berada di depan untuk penanganan masalah hankam di Papua, bukan diserahkan kepada Polri yang bukan tugas pokoknya menghadapi separatis, teroris, dan pemberontakan bersenjata di Papua,” ujarnya.

“Menegakkan kedaulatan negara di Papua dan juga menjaga keutuhan wilayah NKRI di Papua, serta melindungi segenap warga negara di Papua, itulah amanat konstitusi yang diberikan kepada TNI,” pungkas Selamat Ginting.

/sgo

Negara Gagal Lindungi Prajurit TNI dan Polri di Papua

Photo: Dok Pendam XVII/Cenderawasih (Kompas.com)


Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, menilai negara cenderung gagal dalam melindungi prajurit TNI dan Polri di Papua, karena tentara dan polisi yang gugur sejak 2019 hingga akhir tahun 2022 jumlahnya lebih dari 55 orang. Papua menjadi killing field (medan pembunuhan) bagi prajurit TNI dan Polri. 

“Personel militer dan polisi saja menjadi korban tewas yang dilakukan front bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM), lalu bagaimana TNI dan Polri dapat melindungi warga sipil di Papua?” tegas Selamat Ginting di Sekolah Pascasarjana Unas, Jakarta, Jumat (30/12/2022). Ia mengungkapkan hal tersebut dalam konferensi pers kaleidoskop bidang pertahanan keamanan negara (hankamneg) selama tahun 2022. 

Selamat Ginting mengungkapkan, berdasarkan laporan Kepala Polda Papua Irjen Polisi Mathius D Fakhiri kepada pers Rabu (28/12/2022) lalu, selama 2022 tercatat 13 anggota TNI-Polri gugur akibat baku tembak dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Rinciannya 10 anggota TNI dan tiga anggota Polri gugur. Sementara warga sipil yang tewas sekitar 35 orang dan lima orang KKB.

“Padahal dalam laporan ke DPR sejak 2019 hingga Januari 2022, tercatat ada 41 prajurit TNI yang gugur. Jika ditambah dengan 10 prajurit TNI yang gugur selama 2022, maka lebih dari 50 prajurit TNI yang gugur. Saya menyayangkan negara seperti tidak hadir dalam kasus ini,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas.

Gerakan Separatis 

Selamat Ginting tidak setuju pemerintah masih menggunakan analogi kelompok kriminal bersenjata di Pulau Papua. Alasannya, karena yang dilakukan kelompok itu bukan sekadar kriminal saja, melainkan memiliki tujuan melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

“Ini gerakan separatis yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Menggunakan berbagai front, baik kriminal, bersenjata, ekonomi, psikologi perang, teror, media sosial, diplomasi, juga politik luar negeri,” ungkap Selamat Ginting yang selama 30 tahun menjadi wartawan bidang politik pertahanan keamanan negara.

Menurut Ketua bidang Politik Pusat Studi Literasi Komunikasi Politik (Pustera Kompol) Unas itu, aneh jika analogi KKB masih juga digunakan pemerintah hingga saat ini, padahal sudah banyak prajuit TNI dan Polri yang gugur. 

Ia menjelaskan, gerakan separatis tersebut secara terang-terangan menyebut dirinya Organisasi Papua Merdeka atau OPM sejak 1965. Front politik dari gerakan ini secara eksplisit menginginkan referendum untuk memilih merdeka dan lepas dari NKRI. Mereka sudah memiliki bendera, lagu kebangsaan, lambang negara, pemerintahan, dan militer.  

“Mengapa pemerintah masih bersikukuh dan berkutat pada analogi yang kurang tepat? BIN (Badan Intelijen Negara) saja sudah membuat nama baru sejak dua tahun lalu dengan istilah kelompok separatis teroris (KST). Mestinya perdebatan diakhiri, OPM jelas gerakan separatis yang harus ditumpas dengan kekuatan militer,” ujar Selamat Ginting yang beberapa kali meliput operasi militer di Timor Timur, Papua, Maluku, serta Aceh.

/sgo

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...