Showing posts with label POLRI. Show all posts
Showing posts with label POLRI. Show all posts

02 July 2023

Netralitas Polri Jangan di Panggung Depan Saja

HUT Bhayangkara ke-77
Photo: jatim.viva.co.id

Hari Bhayangkara 1 Juli 2023 mestinya dijadikan momentum bagi Polri untuk bersikap netral dalam pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) 2024. Netral jangan hanya di panggung depan saja, melainkan juga di panggung belakang sesuai realitas politik.

Berulang kali pimpinan Polri menyatakan akan bersikap netral dalam Pemilu. Pernyataan itu jangan hanya di panggung depan untuk konsumsi pers dan publik. Tetapi juga harus di panggung belakang, sesuai realitas politik.

Menurut pandangan ilmuwan sosial dari Kanada, Erving Goffman dalam konsep dramaturgi politik, sifat politik bagaikan panggung teater. Ada panggung depan (front stage) dan ada pula panggung belakang (back stage).

Panggung depan adalah realitas yang telah disortir dan dipertunjukkan kepada audiens, baik media massa dan publik. Sementara panggung belakang justru realitas politik yang sesungguhnya. Jadi netralitas Polri itu jangan seperti panggung sandiwara saja. Harus dibuktikan hingga panggung belakang.

Presiden Jokowi dalam pidato Hari Bhayangkara 2023 mengingatkan Polri, saat ini masyarakat ikut mengawasi kinerja Polri sehingga gerak-geriknya tidak akan bisa ditutupi. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri yang berulang tahun ke 77 merupakan hal yang penting.

Kepala Negara juga menyampaikan apresiasi terhadap Polri yang berhasil meningkatkan kepercayaan dari masyarakat, dari sebelumnya 60 persen menjadi di atas 70 persen.

Kepercayaan masyarakat itu harus dibuktikan Polri, khususnya dalam kontestasi pemilu 2024 yang sudah berjalan tahapannya sejak Juni 2022 lalu. Netral itu jangan hanya dibibir saja, tapi juga di hati setiap insan Polri sebagai aparatur negara.


Konsolidasi Demokrasi

Netralitas Polri dalam Pemilu merupakan salah satu syarat terciptanya konsolidasi demokrasi di Indonesia. Parlemen, media massa, akademisi, dan masyarakat harus ikut mengawasi Polri agar dapat menjadi aktor negara yang profesional.

Haram hukumnya bagi Polri dan juga TNI terlibat dalam politik praktis, termasuk saat berlangsungnya Pemilu.

Dikemukakan, untuk mengetahui kualitas konsolidasi demokrasi, antara lain bisa dilihat dari kebijakan, perilaku insan Polri, baik di panggung depan maupun panggung belakang tentang sikap netralitasnya dalam pemilu. Hal ini, karena Polri mempunyai tugas dalam keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).

Mereka istilahnya wasit yang menjaga keamanan berlangsungnya pemilu. Jika penjaga keamanannya tidak netral, maka turut menghancurkan citra bangsa sebagai negara demokratis. Badan pengawas pemilu (Bawaslu) juga bisa memberikan teguran kepada Polri jika diduga tidak netral dalam pemilu.

Dia mengingatkan Polri, karena memiliki aparat bintara pembina (babin) kamtibmas hingga desa-desa, sehingga diharapkan bisa mendeteksi apabila ada potensi terjadinya gangguan terhadap penyelenggaraan pemilu.

Apalagi, Polri sudah memiliki regulasi yang mengatur netralitas personelnya. Misalnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Pasal 28 ayat (1) berbunyi: Polri bersikap netral dalam kehidupan politik tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. 

Pimpinan Polri sudah beberapa kali mengeluarkan telegram arahan netralitas saat pemilu. Tapi jangan hanya di panggung depan saja, dalam aplikasinya juga harus netral. Jangan ikut cawe-cawe negatif dalam pemilu, pileg, pilkada, maupun pilpres.

Contohnya, jangan cawe-cawe seperti ikut-ikutan menyuruh atau memasang baliho, spanduk tanda partai politik dan caleg, atau calon presiden dan wakil presiden. Termasuk menghadiri undangan deklarasi caleg, capres/cawapres, dan sejenisnya.


/sgo

30 December 2022

Hadapi Separatis Papua, Tugas Pokok TNI Bukan Polri


Photo: Bersama Panglima Kostrad Letjen Edy Rahmayadi
saat HUT TNI 2016 (Dok Pribadi)


Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, mengkritik kebijakan pemerintah dalam bidang pertahanan keamanan negara di Papua, karena berpotensi keliru jika mengedepankan Korps Brigade Mobil (Brimob) Polri.

“Tugas Brimob Polri menjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri dengan tugas khususnya menangani kejahatan berintensitas tinggi. Padahal jelas yang dihadapi di Papua adalah gerakan separatis serta pemberontakan bersenjata. Bukan sekadar kriminal dan kejahatan lagi,” ungkap Selamat Ginting dalam konferensi pers kaleidoskop pertahanan keamanan negara (hankamneg) 2022 di Sekolah Pascasarjana Unas, Jakarta, Jumat (30/12/2022).

Menurutnya, mengatasi gerakan separatis bersenjata, pemberontakan bersenjata, aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan negara, merupakan tugas pokok militer dan bukan tugas pokoknya polisi. Konstitusi menyebut itu tugas TNI sesuai UU No.34 tahun 2004 tentang TNI. Sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi. 

Dalam operasi di Pulau Papua, lanjut Selamat Ginting, berulang kali digaungkan polisi berada di depan, dan dibantu TNI dari belakang. Faktanya, lebih banyak prajurit TNI yang gugur daripada prajurit Polri. Artinya prajurit TNI menjadi sasaran utama untuk diperangi daripada prajurit Polri. 

Ibarat Koin

Selamat Ginting juga meminta TNI secepatnya melakukan evaluasi terhadap program penanganan di Papua selama satu tahun kepemimpinan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Dalam programnya Jenderal Andika Perkasa mengedepankan pendekatan kesejahteraan. Namun jumlah prajurit TNI yang gugur selama kepemimpinan Andika Perkasa, tidak mengalami penurunan berarti dibandingkan masa kepemimpinan Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI.  

“Pendekatan kesejahteraan tidak mungkin bisa berjalan dengan baik, jika tidak disertai dengan pendekatan keamanan. Itu ibarat koin mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Bagaimana masyarakat bisa bekerja mencari nafkah jika keamanannya tidak terjamin? Bagaimana psikologi masyarakat jika mengetahui prajurit TNI dan Polri justru menjadi killing field,” ungkap kandidat doktor ilmu politik itu, mempertanyakan. 

Dikemukakan, OPM pastilah melakukan gerilya melawan TNI, khususnya di wilayah-wilayah pegunungan yang mereka kuasai. Mereka tidak akan muncul saat situasinya tidak aman. Namun akan melakukan serangan jika TNI maupun Polri sedang lengah dan lemah.  Gerilya harus dihadapi dengan anti-gerilya. 

“Perang gerilya itu antara lain berebut pengaruh dengan penduduk setempat. Di sini pembinaan teritorial (binter) harus kuat. Saya menilai binter TNI di Papua khususnya di wilayah pegunungan selama kurun waktu tiga tahun (2019-2022) belakangan ini, belum berhasil mempengaruhi rakyat untuk menyatu dengan TNI. Jadi TNI juga mesti introspeksi diri untuk membuat program yang lebih menyentuh rakyat Papua,” ujarnya.

Amanat Konstitusi

Selamat Ginting menyambut baik rencana Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang segera akan mengunjungi Pulau Papua pada awal Januari 2023, bersama tiga Kepala Ataf Angkatan dan Kepala Polri. Ia meminta kunjungan kerja itu bukan sekadar kunjungan seremonial belaka. Melainkan harus segera melakukan evaluasi untuk mencari solusi penyelesaian kasus di Pulau Papua yang kini terdiri dari enam provinsi. 

“Saatnya TNI berada di depan untuk penanganan masalah hankam di Papua, bukan diserahkan kepada Polri yang bukan tugas pokoknya menghadapi separatis, teroris, dan pemberontakan bersenjata di Papua,” ujarnya.

“Menegakkan kedaulatan negara di Papua dan juga menjaga keutuhan wilayah NKRI di Papua, serta melindungi segenap warga negara di Papua, itulah amanat konstitusi yang diberikan kepada TNI,” pungkas Selamat Ginting.

/sgo

Negara Gagal Lindungi Prajurit TNI dan Polri di Papua

Photo: Dok Pendam XVII/Cenderawasih (Kompas.com)


Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, menilai negara cenderung gagal dalam melindungi prajurit TNI dan Polri di Papua, karena tentara dan polisi yang gugur sejak 2019 hingga akhir tahun 2022 jumlahnya lebih dari 55 orang. Papua menjadi killing field (medan pembunuhan) bagi prajurit TNI dan Polri. 

“Personel militer dan polisi saja menjadi korban tewas yang dilakukan front bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM), lalu bagaimana TNI dan Polri dapat melindungi warga sipil di Papua?” tegas Selamat Ginting di Sekolah Pascasarjana Unas, Jakarta, Jumat (30/12/2022). Ia mengungkapkan hal tersebut dalam konferensi pers kaleidoskop bidang pertahanan keamanan negara (hankamneg) selama tahun 2022. 

Selamat Ginting mengungkapkan, berdasarkan laporan Kepala Polda Papua Irjen Polisi Mathius D Fakhiri kepada pers Rabu (28/12/2022) lalu, selama 2022 tercatat 13 anggota TNI-Polri gugur akibat baku tembak dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Rinciannya 10 anggota TNI dan tiga anggota Polri gugur. Sementara warga sipil yang tewas sekitar 35 orang dan lima orang KKB.

“Padahal dalam laporan ke DPR sejak 2019 hingga Januari 2022, tercatat ada 41 prajurit TNI yang gugur. Jika ditambah dengan 10 prajurit TNI yang gugur selama 2022, maka lebih dari 50 prajurit TNI yang gugur. Saya menyayangkan negara seperti tidak hadir dalam kasus ini,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas.

Gerakan Separatis 

Selamat Ginting tidak setuju pemerintah masih menggunakan analogi kelompok kriminal bersenjata di Pulau Papua. Alasannya, karena yang dilakukan kelompok itu bukan sekadar kriminal saja, melainkan memiliki tujuan melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

“Ini gerakan separatis yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Menggunakan berbagai front, baik kriminal, bersenjata, ekonomi, psikologi perang, teror, media sosial, diplomasi, juga politik luar negeri,” ungkap Selamat Ginting yang selama 30 tahun menjadi wartawan bidang politik pertahanan keamanan negara.

Menurut Ketua bidang Politik Pusat Studi Literasi Komunikasi Politik (Pustera Kompol) Unas itu, aneh jika analogi KKB masih juga digunakan pemerintah hingga saat ini, padahal sudah banyak prajuit TNI dan Polri yang gugur. 

Ia menjelaskan, gerakan separatis tersebut secara terang-terangan menyebut dirinya Organisasi Papua Merdeka atau OPM sejak 1965. Front politik dari gerakan ini secara eksplisit menginginkan referendum untuk memilih merdeka dan lepas dari NKRI. Mereka sudah memiliki bendera, lagu kebangsaan, lambang negara, pemerintahan, dan militer.  

“Mengapa pemerintah masih bersikukuh dan berkutat pada analogi yang kurang tepat? BIN (Badan Intelijen Negara) saja sudah membuat nama baru sejak dua tahun lalu dengan istilah kelompok separatis teroris (KST). Mestinya perdebatan diakhiri, OPM jelas gerakan separatis yang harus ditumpas dengan kekuatan militer,” ujar Selamat Ginting yang beberapa kali meliput operasi militer di Timor Timur, Papua, Maluku, serta Aceh.

/sgo

14 October 2022

Lucuti Asesoris Polisi di Istana, Jokowi Marah ke Institusi Polri

Biro Pers Sekretariat Presiden

Artikel ini tayang di FNN (Forum News Network) - Jumat, 14 Oktober 2022

Jakarta, FNN – Pengamat komunikasi dan militer, Selamat Ginting menyebut Presiden Joko Widodo marah terhadap institusi kepolisian terkait pemanggilan para perwira polisi yang diminta hadir ke istana dengan melucuti aksesori dinas, seperti topi dan tongkat pada Jumat (14/10). 

Hersubeno Arief membahas persoalan ini bersama Selamat Ginting dalam video berjudul "Presiden Sangat Marah ke Polri. Kumpulkan di Istana. Tak Boleh Pakai Topi Dinas & Tongkat Komando" melalui kanal Youtube Hersubeno Point yang dipublikasikan pada Jumat, 14 Oktober 2022.

Ginting mengaitkan bahwa arahan presiden terhadap pemanggilan perwira tersebut berhubungan dengan kasus-kasus yang membuat posisi polisi terpuruk. Ia menyebutkan dalam beberapa survei menunjukkan citra kepolisian yang menurun drastis.

"Bahkan dalam beberapa survei di bulan Agustus, September, dan Oktober ini turun drastis sampai di bawah 55%. Jadi, kasus Sambo, kasus Kanjuruhan itu kemudian membuat posisi polisi itu di mata masyarakat jatuh sekali," ujar Ginting kepada Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief melalui kanal Youtube Hersubeno Point.

Pengamat militer dari Universitas Nasional (Unas) tersebut mengatakan belum pernah terjadi pemanggilan pejabat utama polisi, seperti Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda), Kepala Kepolisian Kota Beaar (Kapoltabes), dan Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) ke istana sebelumnya.

"Bacaan saya presiden itu marah, marah kepada institusi polisi," ucap Ginting.

Kemarahan presiden tersebut dispekulasi karena lambatnya penanganan kasus yang belakangan ini menjadi atensi masyarakat, bahkan seperti kasus Kanjuruhan yang sudah memasuki ranah internasional. 

Menurut Ginting, arahan Jokowi yang meminta para perwira untuk hadir tanpa memggunakan aksesori dinas lengkap dianggap sebagai simbol komunikasi dari bentuk kemarahan presiden.

"Bukan dengan cara pernyataan- pernyataan keras, tapi menurut saya itu sudah simbol komunikasi. jadi ini kemarahan presiden terhadap institusi polisi," kata Ginting menambahkan.

Seperti yang diberitakan, Presiden Joko Widodo menjadwalkan pemanggilan terhadap para perwira kepolisian dari seluruh Indonesia di Istana Negara pada Jumat (14/10) siang. Dengan perintah ini, Jokowi juga meminta agar para perwira datang hanya dengan baju dinas tanpa menggunakan topi ataupun tongkat komando. (oct)

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...