Showing posts with label Pemilu 2024. Show all posts
Showing posts with label Pemilu 2024. Show all posts

29 June 2023

Marketing Politik Haji Anies dan Haji Ganjar Menyejukkan

Photo: 2 Bacapres Berhaji

Beredar foto viral pertemuan dua bakal calon presiden (capres) Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo tampil bersama menggunakan pakaian ihram di sela rangkaian ibadah haji di Tanah Suci Mekah, Arab Saudi, kemarin.  Pertemuan itu memang tidak membahas masalah politik.  Namun pertemuan dua bakal capres itu menjadi marketing politik yang menyejukkan bagi publik di Tanah Air.

Memang sama sekali tidak membahas masalah politik. Tapi pertemuan dua tokoh di Tanah Suci Mekah itu dalam perspektif komunikasi politik merupakan marketing politik yang menyejukkan bagi publik di Tanah Air.

Menyejukkan, karena pertemuan itu dapat menurunkan tensi politik sekaligus meniadakan fragmentsi politik yang berpotensi menimbulkan gesekan di antara para pendukung fanatik para kandidat bakal capres tersebut.

Marketing politik terhadap dua tokoh itu bertujuan mengemas pencitraan dalam kontestasi pemilihan presiden kepada masyarakat luas yang akan memilihnya. Tujuan marketing dalam politik sangat membantu partai politik atau koalisi politik dalam mengenalkan tokohnya kepada masyarakat.

Ummat Islam

Sasaran marketing politik dalam foto kedua tokoh yang viral itu, tidak lain adalah ummat Islam sebagai mayoritas di Indonesia. Ini menyejukkan sekaligus untuk menetralisasi agar tidak terjadi polarisasi yang dapat menimbulkan perpecahan menjadi sel-sel politik yang tidak sehat.

Polarisasi yang tercipta selama ini, Si A dipersepsikan lebih nasionalis.  Sedangkan Si B lebih religius. Bahkan ada dikotomi Islamis dan Nasionalis.  Seolah-olah jika Islam maka tidak nasionalis. Sedangkan jika nasionalis, kurang ke-Islam-annya.

Isu politik yang ingin dikemas dalam marketing politik tersebut, mereka dipersepsikan sebagai tokoh yang cukup religius, karena sedang menunaikan rukun Islam yang kelima, yakni menunaikan ibadah haji.  Sehingga bagi tim suksesnya peristiwa di Tanah Suci memiliki segmentasi, target, serta posisi dalam marketing politik.

Dalam teori marketing politik, segmentasi yang disasar dalam foto yang viral itu, tentu saja pemilih pemeluk Islam. Segmentasi sangat diperlukan untuk menyusun program kerja tim pemenangan kandidat, terutama cara komunikasi politik dan membangun interaksi politik dengan masyarakat.

Tanpa segmentasi, partai politik akan kesulitan dalam penyusunan pesan politik, program kerja politik, kampanye politik, sosialisasi politik, dan produk politik.

Targeting politik memiliki standar jumlah dan besaran pemilih, wilayah, penduduk atau populasi yang dapat menjadi penyumbang suara terbanyak pada pemilihan umum. Sehingga target politik memerlukan bantuan tokoh penting yang dapat membentuk opini publik.

Jadi dalam marketing politik, memerlukan aktor politik yang dapat menjadi opinion leader dalam membentuk opini publik.

Sedangkan positioning politik dalam marketing politik, dapat membentuk image (citra) yang ditanamkan kepada pemilih, bahwa kandidatnya mudah diingat para pemilih. Sehingga membentuk citra politik memerlukan waktu yang tidak sebentar.

Image politiknya, Haji Anies atau Haji Ganjar layak dipilih sebagai presiden, karena dekat dengan kalangan Islam. Hal ini harus terus dibangun dalam jangka panjang. Sebab kesan positif itu membutuhkan konsistensi dalam jangka waktu yang lama.


/sgo

19 June 2023

Logika Politik Terbalik Jokowi

Photo: Paradox by Capped X (pexels.com)

Jika mengamati pernyataan Presiden Jokowi, maka realitas politiknya bisa berbanding terbalik dengan pernyataannya. Karena itulah pahami Jokowi dengan logika politik terbalik.

Artinya, implemetasi berpolitik model Jokowi mengabaikan tindakan etis. Padahal seharusnya tindakan politik mesti dibarengi dengan etika politik. Hal ini penting, agar tidak menimbulkan sensibilitas sosial politik dan rakyat tidak merasa dibohongi dengan pernyataan politik Jokowi yang menggunakan logika terbalik.

Beberapa contoh bisa dijadikan acuan mengapa memahami Jokowi harus menggunakan logika politik terbalik, di antaranya:

Pertama; saat Jokowi menjadi Gubernur Jakarta, dia mengaku tidak akan berpikir tentang pencalonan presiden. Tidak akan maju dalam pemilihan presiden, karena baru 1,5 tahun menjadi Gubernur Jakarta. Namun dalam kenyataannya secara diam-diam Jokowi melakukan komunikasi politik dengan partai politik dan organisasi massa untuk maju dalam pencalonan presiden. Akhirnya terbukti, walau baru menjadi Gubernur Jakarta selama kurang dari dua tahun saja (2012-2014), Jokowi maju dalam pemilihan presiden tahun 2014.

Kedua; Jokowi menegaskan anak-anak dan menantunya tidak akan terjun dalam politik pemilihan kepala daerah. Ternyata di balik pernyataan politik tersebut, keluarga Jokowi secara agresif melakukan kerja politik yang diduga melibatkan instrumen politik pemerintahan untuk memuluskan anaknya yakni Gibran Rakabuming Raka menjadi Walikota Solo dan menantunya Boby Nasution menjadi Walikota Medan.

Kini putra bungsu Presiden Jokowi sedang bersiap mengikuti pemilihan walikota Depok untuk tahun 2024. Ini sekaligus bukti Jokowi sedang membangun dinasti politik. Kemungkinan Gibran Rakabuming Raka juga akan maju dalam pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2024. Jika ini terjadi, Jokowi sesungguhnya sedang mempersiapkan putra mahkota ke depan menjadi Presiden Indonesia. Padahal Indonesia bukan negara kerajaan atau monarki, Indonesia adalah negara republik, Republik Indonesia.

Apa yang dilakukan Presiden Jokowi lebih buruk daripada yang dilakukan Presiden Soeharto. Setelah 30 tahun berkuasa, barulah Presiden Soeharto menempatkan anak pertamanya Siti Hardiyanti (Tutut Soeharto) sebagai Menteri Sosial pada 1998.

Begitu juga dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (AHY). Setelah tidak menjadi presiden, anak tertuanya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) maju dalam pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2017, namun kalah dari Anies Baswedan. SBY lebih fair dalam hal ini dibandingkan dengan Jokowi.

Ketiga; Jokowi melarang ketua umum partai politik atau pengurus pusat partai politiik rangkap jabatan sebagai menteri. Faktanya, ketua umum partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua umum Partai Golkar, dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suharso Manoarfa dilantik menjadi Menteri pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi.

Keempat; Jokowi mengajak masyarakat Indonesia membenci produk asing. Kini nyatanya hampir semua sektor melakukan impor.  Membuka keran impor untuk sejumlah komoditas yang bisa diproduksi dalam negeri. Padahal banyak sektor yang bisa dikapitalisasi.

Kelima; pada saat kampanye menjadi calon Presiden tahun 2014, Jokowi dengan bangga menyatakan jika terpilih menjadi presiden, menolak utang luar negeri. Pemerintahan Jokowi tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai rezim paling senang utang dengan capaian 7.879 triliun rupiah, per Maret 2023.

Artinya naik 3,2 kali lipat dari awal memerintah pada 2014. Sehingga setiap kepala rakyat Indonesia saat ini menanggung utang 28,7 juta rupiah. Naik dari posisi terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hanya 10 juta rupiah per kepala.

Masih banyak lagi pernyataan politik Presiden Jokowi yang tidak sesuai aturan main, prosedur, serta ketegasan dalam komunikasi politik. Akibatnya tidak ada keteladanan dalam bersikap politik. Rakyat dipaksa mengikuti politik imajinasi Jokowi, karena publik hanya disuguhi janji-janji politik yang tidak pasti. Ini pernyataan yang membuat bingung masyarakat Indonesia. Bertentangan dengan kenyataaan. Jangan salahkan jika rakyat memberi julukan sebagai presiden paradoks.

 

/sgo

26 January 2023

Perahu Koalisi Perubahan Bagai Layar Mulai Terkembang

 

Photo: krjogja.com

Keputusan Partai Demokrat yang mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal calon presiden, pada Rabu (26/1) ini, bagaikan layar mulai terkembang. Setelah sebelumnya perahu Koalisi Perubahan belum bergerak dan terus bersandar di bibir pantai. Padahal Partai Nasional Demokrat (Nasdem) telah menjadi penjuru pada Oktober 2022 dengan menyodorkan Anies Baswedan sebagai nakhoda.

Sebelumnya layar perahu Koalisi Perubahan masih kuncup. Kini dengan deklarasi yang dilakukan Partai Demokrat, layar politik mulai terkembang. Dan akan semakin berkembang, jika Partai Keadilan Sejahtera (PKS) segera melakukan deklarasi dalam waktu dekat.

Deklarasi bakal calon presiden yang dilakukan Demokrat sekaligus kredit poin penting bagi Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk bisa dipilih menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres). Demokrat maju selangah dibandingkan PKS. Peluang AHY semakin terbuka daripada mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) yang semula akan disorongkan PKS untuk menjadi bakal cawapres mendampingi Anies Baswedan. 

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa menjadi king maker dalam keputusan politik yang tidak mudah ini. Pelan-pelan Koalisi Perubahan bisa keluar dari kemelut persoalan siapa yang nantinya akan diusung menjadi cawapres mendampingi Anies Baswedan.   

Dikemukakan, terbentuknya koalisi mana pun mesti disambut dengan gembira, karena menandakan iklim politik di Tanah Air berjalan sesuai rencana. Artinya pemilu 2024 sudah semakin dekat setelah sebelumnya kehidupan politik dihujani ketidakpastian dengan adanya rumors penundaan pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden, termasuk soal jabatan presiden tiga periode.

Setelah diliputi ketidakpastian selama sekitar empat bulan, kini Koalisi Perubahan yang terdiri dari Nasdem, Demokrat, dan PKS mulai terlihat bagai cahaya di ujung lorong. Tampilnya Koalisi Perubahan sekaligus menepis hanya akan ada dua poros yang saling berhadapan seperti Pemilu 2019 lalu. 

Kontestasi Pemilu 2014 akan lebih menarik dan sangat ketat jika menghasilkan 3-4 poros politik atau koalisi politik. Kondisi ini akan memberikan pilihan politik kepada masyarakat untuk mencari yang terbaik dari 3-4 poros yang kemungkinan akan terbantuk. Iklim politik yang baik ini, sekaligus untuk menghindari polarisasi politik yang tidak sehat.  

Dikemukakan, sambil menunggu deklarasi dari PKS, maka koalisi ini sudah bisa segera membentuk sekretariat bersama (sekber), seperti presidium. Hal ini karena posisi ketiga partai politik tersebut dalam Pemilu 2019 lalu, perolehan suara maupun kursinya di parlemen, hampir sama. Gerindra dan PKB sudah membentuk sekber terlebih dahulu dengan bakal capresnya Prabowo Subianto. Sehingga komunikasi politik sudah bisa dibangun oleh Koalisi Perubahan maupun Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya dalam format kandidasi politik untuk mencari kandidat bakal cawapres yang bisa disetujui anggota koalisi masing-masing.

Nasdem meraih sekitar sembilan persen dengan perolehan 59 kursi, PKS meraih 8,2 persen dengan perolehan 50 kursi, dan Demokrat meraih sekitar 7,8 persen dengan perolehan 54 kursi. Rumitnya adalah, siapa ketua kelasnya?

Hal ini, mengingat Susilo Bambang Yudhoyono sebagai icon Demokrat, pernah menjadi presiden selama dua periode. Kemudian Surya Paloh adalah politikus kawakan yang berhasil membawa Nasdem masuk dalam urutan keempat pemenang pemilu 2019 lalu. Padahal baru dia kali Nasdem mengikuti kontestasi pemilu. Sementara PKS pada pemilu 1999 hanya memperoleh 1,36 persen, kini sudah meraih lebih dari delapan persen. 

Tidak ada pilihan bagi Demokrat maupun PKS, selain masuk dalam Koalisi Perubahan. Koalisi ini tidak akan pernah ada apabila Nasdem tidak keluar dari koalisi yang mendukung pemerintahan. Sebagai oposisi, DNA atau pewarisan sifat politik Demokrat dan PKS tidak mungkin bisa bergabung dengan koalisi yang digagas pemerintahan Jokowi.

Apalagi, gabungan suara atau kursi PKS dan Demokrat tidak mencukupi ambang batas partai politik untuk bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden dalam kontestasi Pemilu 2024. Gabungan mereka hanya sekitar 16 persen, jadi masih kurang empat persen untuk mencapai presidential threshold.

Dengan adanya deklarasi Anies Baswedan sebagai bakal capres oleh Demokrat dan menyusul dari PKS, maka pemilu 2024 potensial menghasilkan minimal tiga poros, yakni: Koalisi Perubahan (Nasdem-Demokrat-PKS); Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa /PKB); Koalisi Indonesia Baru (Partai Golkar – Partai Amanat Nasional /PAN) – Partai Persatuan Pembangunan /PPP).

Jika tidak ada kejutan politik, maka tinggal menunggu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) akan bergabung ke koalisi mana? Bergabung ke Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya atau Koalisi Indonesia Baru? Atau mereka akan percaya diri untuk berdiri sendiri karena memenuhi syarat untuk mencalonkan sendiri, tanpa gabungan partai politik?


/sgo


13 January 2023

Nasdem Sebaiknya Keluar dari Kabinet

 

Photo: tempo.co (TEMPO / Hilman Fathurrahman W)

Press Release 

Partai Nasional Demokrat (Nasdem) sebaiknya tidak lagi berada di kabinet pemerintahan Presiden Jokowi. Jika menteri-menteri dari Nasdem direshuffle dari kabinet, justru sebuah kemajuan bagi demokrasi di Indonesia.

Keberadaan Nasdem akan menambah kekuatan oposisi menjadi sekitar 25 persen, sekaligus sebagai pengimbang kekuatan politik.

Menanggapi rumors akan terjadinya reshuffle kabinet pada Januari 2023 ini. Hal itu setelah beberapa bulan lalu, Partai Nasdem mendeklarasikan mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dalam radar bakal calon presiden 2024 mendatang. Anies dianggap mewakili kubu oposisi.

Jika pemerintahan berjalan tanpa oposisi, dan tanpa kontrol sosial yang efektif dari media massa, artinya pemerintahan  dicurigai dekat dengan oligarki dan menuju pemerintahan otoriter.

Keberadaan oposisi justru keniscayaan bagi demokrasi. Oposisi itu bukan barang haram, justru halal bagi kemajuan demokrasi di Indonesia.

Dalam pemerintahan Presiden Jokowi, hanya menyisakan dua partai politik yang berhasil menduduki kursi di parlemen, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat. Jumlah perolehan suara gabungan kedua partai oposisi itu pada Pemilu 2019 lalu, hanya berkisar 17,5 persen. Kini dengan posisi Partai Nasdem sebagai oposisi kekuatan pengimbang pemerintah menjadi sekitar 25 persen.

Dikemukakan, dalam konteks politik, maka kekuatan politik partai oposisi  menyebabkan pemerintahan bisa berjalan lebih demokratis dan efektif. Hal ini karena pemerintah akan dipaksa menjalankan kebijakan politik yang jauh lebih demokratis.

Salah satu kuncinya adalah komunikasi politik untuk membuka ruang dialog dan menghindari kecurigaan masyarakat terhadap jalannya pemerintahan.

Diharapkan jelang pelaksanaan pemilu 2024, keberadaan oposisi jangan dilakukan dengan kebijakan asal beda dengan pemerintah. Jika itu yang dilakukan, namanya oposisi 'sontoloyo'.

Sebab, oposisi bukanlah sekadar sikap anti-pemerintah. Oposisi justru harus dimaknai sebagai eksistensi politik yang memberikan alternatif pilihan bagi kebijakan pemerintahan.

Kalau ide, usulan, dan jalan keluar dari oposisi justru lebih bagus daripada yang dibuat pemerintah, maka jangan malu, ikuti saja saran dari kekuatan oposisi. Saran dari oposisi bukan barang haram dalam politik.

Di era reformasi saat ini, merupakan kesempatan untuk memperbaiki iklim demokrasi dari kegagalan membangun demokrasi di era Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto yang mengharamkan kelompok atau partai oposisi.

Di era Presiden Sukarno, oposisi dicap sebagai kontra revolusi dan antek-antek neokolonialisme. Di era Soeharto, oposisi dimaknai sebagai anti-Pancasila dan kelompok ekstrem. Inilah kekeliruan yang harus kita perbaiki di era reformasi.


/sgo

Dua Kriteria Untuk Bisa Ikut Kontestasi Pilpres 2024

 

Photo: Kompas.tv

Press Release

Jelang pengumuman bakal calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), secara realitas politik, hanya ada dua kriteria yang  memungkinkan politikus ikut dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres)  2024. 

Yang bisa ikut dalam pertarungan pilpres, hanya politikus  yang memiliki tiket partai politik dan yang memiliki elektabilitas tinggi dari sejumlah hasil survei.

Dua kriteria itu, hanya ada pada enam orang. Mereka adalah Puan Maharani (PDIP), Prabowo Subianto (Partai Gerindra), Airlangga Hartarto (Partai Golongan Karya/Golkar),  Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari Partai Demokrat, Ganjar Pranowo (PDIP), dan Anies Baswedan (nonpartai).

Puan, Prabowo, Airlangga, dan AHY memiliki tiket dari partai politiknya. Sementara Ganjar dan Anies memiliki elektabilitas tinggi bersama Prabowo. 

Secara realitas politik, di luar enam nama tersebut, sulit untuk bisa masuk dalam pertarungan pilpres 2024. Memang ada Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, namun elektabilitasnya tidak memungkinkan untuk bisa bersaing. Berbeda dengan AHY, elektabilitasnya jauh lebih tinggi daripada Muhaimin Iskandar.

Puan Maharani elektabilitasnya saat ini memang belum bisa naik signifikan, namun dia punya tiket dari PDIP sebagai penerus trah Sukarno. Apalagi PDIP memenuhi syarat untuk bisa maju sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai lain.

Dari enam nama tersebut, maka kemungkinannya hanya akan menghasilkan tiga pasangan yang menempatkan mereka dalam gerbong bakal capres maupun cawapres. 

Tentu saja dengan catatan tidak ada peristiwa besar yang memporak-porandakan konstalasi politik hingga Januari 2023 ini.

Sehingga, kemungkinan mereka akan berpasangan satu sama lain. Potensi pasangan yang realistis secara politik, ada tiga, yakni: Prabowo berpasangan dengan Puan Maharani, Ganjar Pranowo berpasangan dengan Airlangga Hartarto, dan Anies Baswedan berpasangan AHY.

Itulah tiga pasangan yang realistis secara politik untuk maju dalam pertarungan pilpres 2024.

Di luar nama itu, setidaknya ada empat nama yang bisa masuk dalam tikungan terakhir pertarungan politik pilpres 2024.

Khofifah Indar Parawansa, Erick Thohir, Sandiaga Uno, dan Andika Perkasa. Itulah kuda hitam politik dalam pilpres 2024.

Namun, peluang mereka kecil untuk bisa menyalip enam nama yang punya tiket partai dan elektabilitas tinggi.

Apakah mereka sanggup memiliki daya tawar politik tinggi untuk mengganti enam nama yang punya tiket partai dan elektabilitas tinggi?

/sgo

Megawati Siapkan Putra Putri Mahkota Untuk Teruskan Trah Sukarno

 

Photo: TEMPO.co/Johannes P. Christo

PRESS RELEASE

Belum diumumkannya bakal calon presiden (capres) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) saat HUT ke 50 partai tersebut, mengindikasikan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri masih memberikan kesempatan kepada putrinya, Puan Maharani untuk dapat meningkatkan elektabilitas (tingkat ketertarikan) dan pupularitas politiknya hingga Juni 2023 mendatang.

Dalam pidatonya Megawati menyatakan akan ada pertemuan besar lagi pada Juni 2023. Di situlah kemungkinannya Megawati akan memberikan tiket bakal capres kepada Puan Maharani. 

Apalagi, pendaftaran bakal capres ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru bisa dilakukan pada November 2023 mendatang. Sehingga masih ada waktu sekitar sembilan bulan bagi Puan Maharani untuk dapat meningkatkan elektabilitas dan popularitas politiiknya.

Puan Maharani adalah putri mahkota yang dipersiapkan Megawati untuk meneruskan trah Sukarno bersama dengan putra mahkota Prananda Prabowo. Tipis kemungkinannya Megawati akan memberikan tiket bakal capres kepada Ganjar Pranowo walau elektabilitas dan popularitasnya cukup tinggi.

Wajar dan logis jika Mega menyiapkan putri mahkota dan putra mahkota untuk bakal capres maupun meneruskan kepemimpinan di PDIP daripada mencalonkan kader PDIP yang lain.

Megawati, sudah memimpin partainya selama 30 tahun. PDI dan PDIP merupakan reinkarnasi politik dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang digagas Sukarno pada 1927. Kemudian didaftarkan untuk menjadi peserta Pemilu pada 1946. 

Setelah Megawati memimpin PDI dan PDIP selama 30 tahun, maka dalam waktu dekat mesti menyerahkan tongkat estafet kepemimpinannya kepada Puan Maharani dan Prananda Prabowo. 

Usia Megawati tahun ini sudah 76 tahun. Usia yang hampir sama saat Presiden Soeharto lengser dari kursi kepresidenan, yakni 77 tahun. Jangan lupa pula usia harapan hidup orang Indonesia saat ini sekitar 71-72 tahun. Jadi saatnya Megawati turun dari gelanggang politik.

Megawati, belajar dari kekurangan mantan Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto yang tidak menyiapkan putra dan putri mahkota. Megawati baru bisa tampil sebagai figur politik setelah sekitar 25 tahun ayahnya lengser dari kursi kepresidenan. 

Mungkin bagi Megawati inilah to be or not to be. Jadi atau tidak jadi, sekaranglah waktunya menaikkan Puan dan Prananda.

Saat perayaan HUT ke 50, Prananda ditempatkan duduknya berdampingan dengan Presiden Jokowi. Prananda juga menjadi semacam ketua penilai partai terhadap para kader PDIP untuk bakal capres 2024 mendatang.

Dari sini saja sudah jelas, kunci PDIP ada di tangan Megawati, Puan, dan Prananda. Bukan pada Jokowi maupun Ganjar. Megawati juga sudah buat garis demarkasi, urusan penentuan capres ada pada dirinya secara mutlak.

/sgo

15 December 2022

Nomor Urut Partai Bagian dari Pertarungan Simbol Politik

 

Photo: republika.co.id

Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting mengungkapkan ajang penentuan nomor urut partai politik (parpol) menghadapi pemilu 2024 menjadi tanda dimulainya pertarungan simbol politik.

“Penggunaan simbol politik merupakan strategi komunikasi politik menghadapi pertarungan politik untuk menarik minat calon pemilih partai politik,” kata Selamat Ginting di Kampus Unas, Jakarta, Kamis (15/12/2022).

Ia menanggapi pertanyaan wartawan terkait keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menetapkan nomor urut 17 parpol peserta Pemilu 2024. Sebanyak delapan parpol parlemen memilih menggunakan nomor urut lama pada Pemilu 2019 lalu. Sedangkan sembilan parpol mendapatkan nomor urut baru lewat pengundian nomor urut parpol peserta pemilu yang digelar KPU, Rabu (14/12/2022). 

Menurut Selamat Ginting, pertarungan simbol politik, baik melalui nomor urut, tagline dan tanda gambar menjadi senjata politik sekaligus sebagai pembeda antara satu parpol dengan parpol lainnya. Parpol akan membangun deferensiasi politik dengan kelompok calon pemilih melalui komunikasi politik.

“Nomor urut, tanda gambar, tagline untuk memudahkan komunikasi politik dan mengidentifikasi bagian dari pendukung parpol,” ujar Ginting, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas.

Selain itu, lanjutnya, pertarungan simbol politik merupakan bagian dari membangun citra politik untuk menanamkan ideologi parpol, sehingga dapat menampilkan stigma politik yang positif. Selanjutnya akan terjadi pertarungan komunikasi verbal melalui bahasa tubuh aktor politik, seperti tanda jari, yel-yel, maupun sikap tubuh menandakan identitas politik calon pemilih.  

Dikemukakan, model pertarungan komunikasi politik yang dilakukan komunikator politik untuk mencapai tujuan politiknya akan dilakukan dengan retorika politik untuk mempengaruhi publik calon pemilih. Termasuk dengan cara agitasi politik melalui gerakan politik, baik lisan maupun tulisan untuk membangkitkan emosi publik calon pemilih.

“Kita akan lihat dalam waktu dekat akan muncul para agitator politik yang menggerakkan para calon pemilih untuk mendukung parpolnya. Jadi situasi politik sudah mulai memanas setelah KPU menetapkan nomor urut parpol peserta pemilu 2024,” ungkap Ginting yang lama menjadi wartawan liputan politik.

Selain para agitator politik, kata dia, akan muncul pula para propagandis politik yang melakukan propaganda. Mereka melakukan sugesti kepada publik untuk menerima pandangan atau nilai-nilai politik yang dikampanyekan parpol. Para propagandis akan mengklaim parpolnya yang terbaik dibandingkan parpol lainnya.

/sgo

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...