Oleh:
Selamat Ginting
Jurnalis Republika
Model komunikasi yang terbangun dalam perang gerilya, menjadi konsep operasi teritorial. Wafatnya Panglima Besar Jenderal Soedirman pada 1950, dilanjutkan pimpinan TNI penerusnya.
Kemudian dilanjutkan dan dikembangkan lagi oleh Jenderal Abdul Haris Nasution yang mengenalkan konsep operasi terstruktur. Dikenal dengan sebutan Operasi Pembinaan Teritorial (Binter) TNI melalui metode komunikasi sosial (Komsos) TNI.
Operasi Binter melalui Komsos semakin terlembaga setelah Jenderal Soeharto menjadi Presiden RI menggantikan Presiden Sukarno. Binter yang berfokus pada Komsos dijadikan instrumen penting oleh Presiden Soeharto untuk menanggulangi ancaman dan berbagai gerakan anti Pancasila yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Satuan Komando Teritorial TNI AD yang tergelar dari tingkat pusat sampai tingkat kecamatan dan desa menjadi pelaksana Binter yang difokuskan pada kegiatan komunikasi sosial dan pembinaan ketahanan masyarakat dan wilayah (Bintahwil), serta Bakti TNI,” kata Mayjen (Purn) Wiyarto (Akmil 1985 / Infanteri). Ia pernah menjadi Aster Panglima TNI, Pangdam Pattimura, Aster KSAD, Kasdam Mulawarman, dan Wakil Aspers KSAD.
Pasca pemerintahan Orde Baru, TNI semakin mengedepankan pendekatan komunikasi sosial dengan masyarakat. Saat TNI dipimpin Jenderal Gatot Nurmantyo, dicanangkan program binter yang komprehensif. Dikenal dengan istilah Serbuan Teritorial.
“Ini merupakan implementasi komitmen TNI dalam membantu pemerintah mempercepat program pembangunan guna mewujudkan tatanan masyarakat yang berkembang maju dan sejahtera,” ujar Wiyarto.
Antara lain, lanjutnya, melalui berbagai program sinergi lintas sektoral antar-pemangku kepentingan dari unsur pemerintahan. Seperti bakti TNI, karya bakti, pembinaan ketahanan masyarakat dan wilayah (Bintahwil), serta komunikasi sosial untuk pemberdayaan masyarakat.
Dukungan rakyat
Di sisi lain, menurut Mayjen Agung Risdhianto (Akmil 1985 / Infanteri), pada era reformasi, TNI memandang penting untuk benar-benar membangun kesepahaman dengan rakyat melalui komunikasi sosial. Hal ini disadari sebagai prasyarat dalam mewujudkan keamanan dan keselamatan bangsa.
“Beratnya tugas dan tanggung jawab TNI dalam mewujudkan sistem pertahanan, terlebih dalam sistem pertahanan darat, merupakan tugas pokok TNI-AD yang harus direalisasikan dengan sishanta (sistem pertahanan semesta,” ujar Agung, perwira tinggi staf khusus KSAD.
Agung pernah menjadi Komandan Kodiklat TNI, Asops Panglima TNI, Pangdam Tanjungpura, Komandan Pusterad, Wadan Kodiklatad, serta Komandan Seskoad.
Sishanta, menurut Agung, mensyaratkan adanya dukungan mutlak secara langsung dari rakyat. Hal ini membuat TNI berkomitmen membangun komunikasi sosial kemasyarakatan yang lebih dialogis dan persuasif.
Argumen Wiyarto dan Agung Risdhianto tentang konsep terotorial TNI, bisa dipahami. Sebab dalam konteks pertahanan Indonesia, sejatinya perang hanya untuk mempertahankan kedaulatan negara. Dilakukan secara ‘semesta’, yakni, melibatkan semua komponen sumber daya negara, termasuk rakyat.
Pada tataran ini, TNI perlu menjalin komunikasi yang erat dan harmonis dengan rakyat. Sinergi TNI-Rakyat dalam model pertahanan khas Indonesia ini diwujudkan secara implementatif di mana TNI akan berperan sebagai komponen utama. Sedangkan rakyat sebagai komponen pendukung.
Untuk itu, TNI dan rakyat harus memiliki semangat rasa persatuan yang solid dan manunggal. Perwujudan kondisi ini menjadi semakin penting dan mendesak mengingat spektrum ancaman di era global ini sangat berat dan kompleks, berupa ancaman proxy war. Bentuk peperangan antarnegara yang bersifat halus, tidak menggunakan kekuatan militer.