25 April 2025

Jokowi ke Vatikan Dapat Berimplikasi Negatif

 

Foto dokumen: Junimart Girsang

Jakarta, Jumat (26/4/2025).

Kepergian mantan Presiden Jokowi ke Vatikan untuk melayat Paus Fransiskus, dapat berimplikasi negatif dari sisi diplomasi dan politik bagi Indonesia di mata internasional. Ada tiga alasan, sehingga kepergian Jokowi dapat berimplikasi negatif bagi Indonesia dari sisi diplomasi hubungan internasional. 

Pertama, Jokowi bukan lagi kepala negara maupun kepala pemerintahan aktif. Sedangkan Sri Paus bukan sekadar pemimpin agama Katolik dunia, melainkan juga kepala negara Vatikan. 

Kedua,  ada laporan tentang Jokowi dari OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project), sebuah organisasi jurnalistik investigasi internasional yang fokus pada pelaporan kejahatan terorganisir dan korupsi di seluruh dunia. Jokowi masuk dalam daftar finalis pemimpin korup versi OCCRP 2024.

Ketiga, publik di Indonesia dan dunia mengritik kemampuan komunikasi publik Jokowi yang dianggap tidak representatif secara diplomatik untuk negara sebesar Indonesia. Penguasaan bahasa asingnya sangat lemah untuk hubungan internasional.

Dari sisi hubungan internasional, kehadiran Jokowi di Vatikan mengandung risiko berat bagi diplomasi Indonesia. Apalagi jika: negara-negara Barat menanggapi laporan OCCRP secara serius dan mengaitkan kehadiran Jokowi sebagai sinyal lemahnya komitmen Indonesia terhadap pemberantasan korupsi. Mendiang Paulus Fransiskus dikenal sebagai pemimpin sederhana dan anti-korupsi. Bertolak belakang dengan Jokowi, karena kesederhanaannya merupakan pencitraan politik. 

Dalam laporannya, OCCRP menempatkan Presiden Suriah Bashar Al-Assad,  sebagai pemenangnya. Jokowi sebagai finalis pertama, diikuti William Ruto (Presiden Kenya), Bola Ahmed Tinubu (Presiden Nigeria), Sheikh Hasina (mantan Perdana Menteri Bangladesh), dan Gautam Adani (pengusaha India).

Seperti diketahui, selain Jokowi, rombongan utusan Presiden Prabowo Subianto ke Vatikan, terdiri dari Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono, mantan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, dan Menteri HAM Natalius Pigai. Ketiganya beragama Katolik.

Legitimasi pemerintah

Dari sisi politik domestik, kepergian Jokowi ke Vatikan juga dapat berimplikasi negatif. Potensi delegitimasi pemerintahan baru Prabowo Subianto apabila publik menilai keputusannya sebagai bentuk perlindungan terhadap elite bermasalah. Sebab Jokowi sedang mendapatkan sorotan dalam kasus dugaan ijazah palsu di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan kebohongan publik dalam kasus mobil Esemka. Kedua kasus itu sedang dalam persidangan awal.

Presiden Prabowo bisa dituding memberikan kesempatan kepada Jokowi untuk kabur ke luar negeri menghindari persidangan yang menyeret Jokowi. Jadi sangat tidak menguntungkan bagi Prabowo mengizinkan atau mengutus Jokowi ke Vatikan.

Jadi, dalam memahami kepergian Jokowi ke luar negeri, tentu saja ada kalkulasi politik yang kemungkinan dilakukan Presiden Prabowo Subianto. Sepertinya Prabowo sangat menjaga stabilisasi politik dengan cara menjaga harmoni politik dengan Jokowi. Tujuannya untuk memastikan stabilitas politik di awal pemerintahan dan menghindari fragmentasi koalisi kekuasaan.

Namun di sisi lain, bisa juga hal ini sebagai langkah pengasingan simbolik. Tujuannya mengalihkan Jokowi ke ranah diplomatik internasional untuk menjauhkan dari dinamika politik domestik yang sensitif. Mengingat Jokowi sedang mendapatkan sorotan dari civil society maupun forum purnawirawan prajurit TNI yang terdiri dari 200-an perwira tinggi dan 90-an kolonel. Bahkan terdapat nama Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Jenderal (Purn) Fachrul Razi, Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto, Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto, Marsekal (Purn) Hanafie Asnan, Letjen Marinir (Purn) Suharto, Mayjen (Purn) Sunarko, dan lain lain. 

Maka bisa jadi Presiden Prabowo sedang memberikan perlindungan politik kepada Jokowi yang perlahan-lahan pengaruh politiknya mulai lemah. Prabowo tampaknya sedang memberikan peran 'terhormat' untuk Jokowi guna menghindari konflik terbuka atau tuntutan hukum langsung terhadap Jokowi yang memberikan warisan buruk bagi demokrasi di Indonesia.

Kesimpulan

Presiden Prabowo cukup mengirimkan pejabat maupun mantan pejabat Indonesia yang beragama Katolik untuk menghadiri pemakaman Paus Fransiskus. Hal itu sebagai bentuk citra dan penghormatan Indonesia kepada dunia Katolik dan komunitas internasional. 

Tidak ada urgensi yang memaksa untuk mengirimkan Jokowi sebagai mantan Presiden yang akhir masa jabatannya penuh dengan kontroversi negatif. Repot jika Jokowi harus berpidato, malah kesannya justru akan mempermalukan Indonesia akibat minimnya literasi Jokowi.

Sehingga secara analisis politik pengiriman Jokowi  ke Vatikan oleh Presiden Prabowo Subianto memiliki biaya politik tinggi. Apalagi  jika tidak dibarengi dengan kejelasan sikap pemerintahan Prabowo Subianto terhadap isu integritas, moral kepemimpinan nasional, dan reformasi hukum.

Jokowi bukan siapa-siapa lagi, dia justru dapat menimbulkan interpretasi negatif di masyarakat. Ke depan, Presiden Prabowo harus ekstra hati-hati dan lebih cermat lagi terhadap kiprah Jokowi yang masih cawe-cawe dalam politik. Hanya Prabowo sendiri yang dapat menghentikan matahari kembar dalam pemerintahannya.

/sgo

12 April 2025

Maestro Titiek Puspa, Tak Percaya Tapi Nyata

Photo: Dokumen Pribadi


Berita menggelegar aku terima

Kekasih berpulang 'tuk selamanya

Hancur luluh rasa jiwa dan raga

Tak percaya tapi nyata

Itulah sekelumit lagu berjudul "Bing". Sebuah lagu  balada pop yang diciptakan Titiek Puspa untuk rekannya, seniman serba bisa Bing Slamet (nama lahirnya Ahmad Syech Albar). Bing Slamet wafat pada pertengahan Desember 1974. Lagu "Bing" diciptakan Titiek Puspa pada 1975 dan langsung meledak menghiasi belantika lagu popular di Tanah Air.

Peristiwa meninggalnya Bing Slamet, saya baca di Harian "Kompas" dan "Merdeka". Sebagai murid kelas satu Sekolah Dasar, saya sudah gemar membaca surat kabar. Di rumah, ayah kami menyiapkan langganan koran "Kompas" dan "Merdeka" serta dua majalah, "Bobo" untuk anak-anak dan "Kartini" untuk ibuku. Head line dua koran legendaris itu berhari-hari melaporkan berita wafat hingga pemakaman Bing Slamet.  

Lagu "Bing" yang popular pada 1975 itu pun saya ikuti dari acara Aneka Ria Safari dan Kamera Ria TVRI. Titiek Puspa juga mengedarkan album dalam bentuk kaset dengan judul "Bing". Bukan cuma dia, pada tahun itu pun penyanyi berdarah Ambon, Grace Simon turut memomulerkan lagu "Bing". 

Persis 50 tahun setelah meledaknya lagu "Bing" yang meroketkan nama Titiek Puspa dalam industri musik nasional, kini Sang Diva, Sang Maestro legendaris itu berpulang untuk selamanya, tepat pada 10 April 2025. Dalam usia 87 tahun. 

Nama lahirnya adalah Sumarti binti Jatin Toegeno Poespowidjojo, kelahiran Kalimantan Selatan, 1 November 1937. Presiden Sukarno memberikan nama panggung Titiek Puspa dari penggalan nama Sumarti (Ti) dan Poespowidjojo (Puspa) pada 1950-an, saat Titiek Puspa menjadi penyanyi istana sekaligus menghibur para prajurit ABRI (TNI-Polri) di sejumlah daerah. 

Tiada hari seindah dahulu lagi

Tiada mungkin kembali

Tiada nama seharum namamu lagi

Tiada, tiada Bing lagi

Bing telah tiada, kini Titiek Puspa pun menyusul kepergian Bing untuk selamanya.



Menggelegar

Berita menggelegar itu sontak saya ketahui di ruang tunggu bagi narasumber di Studio TV One, Episentrum, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Saya bersiap menjadi narasumber acara "Dua Sisi".  Tapi pikiran saya sudah terbang ke sosok almarhumah Titiek Puspa. 

Saya memanggilnya Tante Titiek. Sesuai permintaannya pada saat saya bertemu dan mewawancarainya pada 2015 dan 2016. "Panggil saja aku Tante Titiek."

Naluri jurnalistik saya mengatakan, acara live "Dua Sisi" ini akan ditabrak oleh Breaking News. Berita wafatnya Sang Maestro ini akan mengalahkan berita maupun acara lain di televisi.

Ada istilah dalam jurnalistik, "Names make news".  Ya, nama-nama orang tertentu yang membuat berita lantaran memiliki daya tarik. Biasanya mereka yang popular dan melejit di publik. Bisa seorang penyanyi, pejabat, artis, politisi, atlet, dan lain-lain.

Titiek Puspa adalah orang yang “punya nama”, karena memiliki kredibilitas, konsistensi, serta berbagai prestasi seni budaya yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Dia bukan hanya Diva, tapi Maestro serba bisa.

Masih teringat saat saya duduk di bangku Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), dia membuat operet yang menghibur dengan kumpulan seniman yang diberi nama Papiko, kalau tak salah akronim dari Persatuan Artis dan Penyanyi Ibukota. Menghadirkan juga artis-artis cilik. Hiburan yang luar biasa dan ditunggu-tunggu publik tiap Hari Raya Idul Fitri. Masih dalam suasana Lebaran, ingat Titiek Puspa, ingat pula Papiko, kenangan orang zadul (zaman dulu).

Kembali ke studio TV One. Saya  hadir sebagai pengamat politik Universitas Nasional (UNAS) dan sudah masuk di ruangan acara bersama narasumber lainnya, Andi Azwan (Wakil ketua Jokowi Mania), Ferdinand Hutahean (PDI Perjuangan), dan Khalid Zabidi (Ketua relawan Prabowo). Begitu juga dengan dua host Arief Fadhil  dan Aditya Nugroho. Tema diskusi Kamis (10/4/2025) malam: "Prabowo Ketemu Mega. PDIP Masuk Istana?" 

Acara live berubah menjadi rekaman yang akan ditayangkan di lain waktu. Persis seperti yang saya perkirakan. Bagi saya tidak begitu penting lagi. Ini lah bentuk penghormatan media massa kepada sosok Titiek Puspa. 

Mengantar jenazah

Jumat (11/4/2025) pagi, saya sudah teragenda ke klinik dokter gigi langganan di kawasan Jakarta Timur. Namun dalam perjalanan, ada telepon mendadak, perubahan jadwal dokter dari klinik. Perubahan jadwal menjadi sore hari. Langsung saya ubah haluan setir menuju Perdatam, Pancoran Timur, Jakarta Selatan. Saya fokuskan nyetir mobil ke rumah duka, Wisma Puspa, tempat kerja Titiek Puspa atau Masjid An Nur tak jauh dari Wisma Puspa. 

Saya sholat Jumat di masjid tersebut. Sekaligus sholat jenazah di baris kedua dan berkesempatan ikut mengangkat peti jenazah keluar masjid. Saya memutuskan pula untuk mengantar ke pemakaman. Saya ambil posisi mobil di antara bus Kopassus dan mobil Kopassus lainnya yang didahului mobil provost Kopassus. Cara jitu agar saya mudah mengendarai mobil dari kemacetan lalu lintas Jakarta.

Sejak di masjid saya sudah lihat sejumlah polisi dan tentara termasuk prajurit baret merah, Kopassus. Bagi saya tidak heran ada rombongan polisi dan tentara hadir dalam suasana duka, baik di kediaman, masjid, hingga pemakaman. Bagi keluarga prajurit, Titiek Puspa punya kedekatan tersendiri. Pernah suatu ketika, saat saya kelas tiga SMP, ikut dalam aubade atau paduan suara anak-anak prajurit Angkatan Darat (Himpunan Pemuda Keluarga Angkatan Darat) menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Titiek Puspa yang mengajari kami menyanyikan lagu "Pantang Mundur", karya dirinya. 

Kulepas dikau pahlawan

Kurelakan dikau berjuang

Demi keagungan negara

Kanda pergi ke medan jaya

Bila kanda teringat

Ingatlah adik seoarang

Jadikan daku semangat

Terus maju pantang mundur

Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Rudini, dan Wakil KSAD Letnan Jenderal Bambang Triantoro  bertepuk tangan sambil berdiri memberikan applaus terhadap aubade yang luar biasa pada malam peringatan Hari ABRI 1982 di Gedung Graha Purna Yudha (Granada), Semanggi, Jakarta. 

Pahlawan kebudayaan

Mengenang Tante Titiek hingga di TPU Tanah Kusir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Tepatnya di Blok AA1-Bled 48. Area Blok tersebut merupakan lokasi dimakamkan sejumlah pahlawan Indonesia. Beberapa makam dihiasi dengan bendera Merah Putih terbuat dari lempengan kaleng. Salah satu makam di blok tersebut adalah makam Proklamator, Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama Indonesia.

Di pemakaman, saya teringat beberapa perjumpaan dengan Titiek Puspa, baik di Wisma Puspa, maupun Taman Ismail Marzuki (TIM). Sebelum wawancara saya mempelajari riwayat hidupnya sekaligus kembali menghapalkan lagu-lagu yang hit dibawakannya. Memang begitulah para penyanyi legendaris biasanya "menguji" wartawan yang akan mewawancarainya . Balik menanyakan apakah sang jurnalis betul-betul mengetahui lagu-lagu sang diva. Setidaknya empat penyanyi top pernah saya wawancarai dan beruntung saya diajak masuk ke studio untuk menyanyi bersama mereka. Bob Tutupoly, Rinto Harahap, Edy Silitonga, dan Titiek Puspa. Semuanya telah kembali ke Sang Khalik.

"Tante... Suara saya tidak bagus. Tapi saya bisa menjiwai lagu-lagu hit yang Tante popularkan," jawab saya.

"Ayo nyanyi saja dulu... Biar saya dengarkan," kata Titiek Puspa yang berdiri di depan saya. Saya menyanyikan dua lagu: Bing dan Pantang Mundur. Kemudian duet lagu Kupu-kupu Malam.

Saat itu dia sedang persiapan dalam pementasan teater 'Nyonya Nomor Satu' di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 27 November 2015.

Perjumpaan terakhir saat kami sama-sama menghadiri undangan Ganang Priyambodo Sudirman, cucu Panglima Besar Jenderal Besar Sudirman di kawasan Semanggi, sekitar 2016. Ganang menikahkan anaknya. Artinya cicit Jenderal Besar Sudirman. Ayah Ganang adalah Ahmad Tidarwono Sudirman, putra sulung dari  Jenderal Sudirman. "Ini temanku wartawan perang," kata Titiek Puspa sambil bercanda mengenalkan saya kepada temannya. Kami pun berfoto bersama sambil tertawa riang.

Kubersimpuh di sisi jasad membeku

Doa tulus dan air mata

Segala dosa kumohonkan ampunan-Nya

Seakan terjawab dan Kau terima

Kapan lagi kita 'kan bercanda?

Kapan lagi bermanja?

Kapan lagi nyanyi bersama lagi?

Kapan? O-oh kapan lagi?

Selamat jalan Maestro, Tante Titiek Puspa. Doa kami menyertai kepergianmu Pahlawan Kebudayaan di keabadian.


/sgo

Posting Terkini

Jokowi ke Vatikan Dapat Berimplikasi Negatif

  Foto dokumen: Junimart Girsang Jakarta, Jumat (26/4/2025). Kepergian mantan Presiden Jokowi ke Vatikan untuk melayat Paus Fransiskus, dapa...