Tanggapan Selamat Ginting, pengamat
komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta
mengenai surat presiden (surpres) yang mengusulkan Kepala Staf Angkatan Darat
(KSAD) Jenderal Andika Perkasa menjadi calon Panglima TNI.
"Operasi ‘memenggal’ GN dilakukan dengan tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan. Melalui upaya diam-diam, utusan istana mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR mengirimkan nama KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto untuk menggantikan GN pada Desember 2017. Sebuah kejutan politik di akhir tahun 2017."
Kali ini Presiden Jokowi kesulitan menentukan siapa pengganti
Marsekal Hadi Tjahjanto untuk menjadi Panglima TNI. Sesungguhnya jika
Jokowimau, pada Desember 2020 lalu,
bisa saja ia mengganti Hadi.
Mengingat pada Desember 2020 itu, Hadi sudah tiga tahunmenjadi Panglima TNI. Namun ternyata Hadi
terus melanjutkan kariernya hingga empat tahun kurang satu bulan.Padahal rata-rata masa jabatan Panglima TNI
di era reformasi pada kisaran 2-3 tahun.
Bagaimana sesungguhnya pola Jokowi memilih Panglima TNI? Mari
kita telusuri alurnya sejak periode pertama pemerintahannya.
Memang selama Jokowi menjadi presiden, baru dua kali ia memilih
panglima TNI. Pertama kali ia memilih Jenderal Gatot Nurmantyo (GN) menggantikan
Jenderal Moeldoko. Moeldoko merupakan panglima TNI pilihan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Ia menjadi panglima peralihan pemerintahan SBY ke
Jokowi.
Dimulai pada 30 Agustus 2013 hingga 8 Juli 2015. Sehingga Moeldoko
yang ikut pemerintahan SBY selama satu tahun dua bulan, lanjut ‘mencicipi’ awal
pemerintahan Jokowi selama kurang dari sembilan bulan. Di situ Jokowi mulai
kenal siapa Moeldoko, termasuk loyalitasnya terhadap dirinya.
Jadi, panglima TNI pertama pilihan Jokowi bukan Moeldoko, justru
Jenderal GN.Pilihan Jokowi terhadap Gatot
adalah kejutan politik bila dikaitkan dengan UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI.
Terutama pada pasal 13 yang berbunyi: "Jabatan Panglima dapat dijabat secara
bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau
pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan."
Jika dikaitkan dengan kalimat tersebut, maka rotasi dari
Moeldoko kepada Gatot, jelas tidak bergantian. Namun, ada multitafsir pada
kalimat ‘dapat dijabat secara bergantian’. Artinya bisa dapat, bisa juga tidak
dapat (bergantian).
Di sini dibuktikan, Moeldoko yang berasal dari matra darat
kembali ke Gatot yang juga berasal dari matra darat. Awalnya tentu
mengherankan. Sebab, Panglima TNI sebelum Moeldoko adalah Laksamana Agus
Suhartono.
Jadi, setelah Agus Suhartono dari matra laut maka diberikan
kepada Moeldoko dari matra darat. Sehingga diperkirakan yang akan menggantikan
Moeldoko dari matra udara, yakni Marsekal Agus Supriatna. Agus Supriatna alumni
AAU tahun 1983 dari Korps Penerbang Tempur, memenuhi persyaratan untuk menjadi
panglima TNI.
Kekurangannya memang satu, yakni bintang tiganya hanya
berumur tidak lebih dari sepekan. Jabatan bintang tiganya hanya selama dua hari
saja sebagai Kepala Staf Umum TNI. Jadi hanya sebagai persyaratan formal untuk
menjadi Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU).
Sehingga kematangannya belum teruji untuk memimpin Mabes TNI.
Hal ini antara lain, membuat Jokowi memutuskan menunjuk KSAD Jenderal GN. Gatot
lulusan Akmil 1982. Satu tahun lebih senior daripada KSAU Marsekal Agus
Supriatna maupun KSAL Laksamana Ade Supandi, yang juga lulusan AAL 1983.
Gatot pun lebih matang dalam jabatan bintang tiga, sebagai
Komandan Kodiklatad serta Panglima Kostrad. Lebih berbobot dan lebih meyakinkan
untuk memimpin tiga matra daripada Agus Supriatna. Sedangkan Ade Supandi
‘terganjal’ jatah matra laut, sebab sebelum Moeldoko, Panglima TNI-nya adalah
Laksamana Agus Suhartono dari matra laut.
Jadi begitulah alur mengapa Jokowi akhirnya memilih GN. Namun
dalam perjalanannya, akhirnya Jokowi merasa tidak pas dengan GN. Ada kebijakan
politik Jokowi yang tidak sinkron dengan GN, terutama dalam menghadapi kelompok
‘Islam politik’. Keduanya berbeda sikap. Hal ini tampaknya menjadi jalan
pemisah keduanya.
Buntutnya, Jokowi mencopot GN, tiga bulan sebelum masa
pensiunnya tiba. Ia tidak memberikan kesempatan kepada GN untuk menuntaskan
jabatannya hingga Maret 2018. Gatot ‘dipenggal’ pada Desember 2017.
Operasi ‘memenggal’ GN dilakukan dengan tanpa memberitahukan
terlebih dahulu kepada yang bersangkutan. Melalui upaya diam-diam, utusan
istana mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR mengirimkan nama KSAU
Marsekal Hadi Tjahjanto untuk menggantikan GN pada Desember 2017. Sebuah
kejutan politik di akhir tahun 2017.
Gatot terperengah, ia coba ‘melawan’ dengan membuat keputusan
kontroversial. GN melakukan mutasi dan promosi jabatan perwira tinggi TNI yang
tidak ‘biasa’. Antara lain menjadikan Mayjen Sudirman sebagai panglima Kostrad
menggantikan Letjen Edy Rahmayadi. Edy sudah meminta pensiun dini kepada GN
untuk persiapan menjadi bakal calon gubernur Sumatra Utara.
Surat keputusan Panglima GN yang kontroversial di ujung kariernya
itu, langsung dibatalkan ketika Marsekal Hadi resmi dilantik dan memegang tongkat
komando Panglima TNI.
De-gatot-isasi pun terjadi. Orang-orang lebel GN tersingkir
dari pusaran. Mayjen Sudirman pun batal menjadi Panglima Kostrad dan otomatis
gagal naik pangkat menjadi letjen.
Ia ‘dimaafkan’ di akhir kariernya dengan tetap diberikan
promosi jabatan sebagai Komandan Kodiklat TNI dengan kenaikan pangkat bintang
tiga. Tapi hanya berumur tak lebih sepekan, kemudian pensiun.
Begitulah dramaturgi yang terjadi di Cilangkap, markas
besar TNI. Dramaturgi adalah sebuah teori yang mengemukakan bahwa teater dan
drama mempunyai makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan
manusia.
Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas
Nasional (Unas) Jakarta. Kandidat doktor ilmu politik. Dosen Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas. Wartawan senior yang banyak mengamati
masalah politIk pertahanan keamanan negara.
Baru kali ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat galau
untuk memilih Panglima TNI pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), galau artinya: kacau tidak keruan.
Bahkan sampai tepat dua tahun pemerintahan Jokowi periode
kedua pada 21 Oktober 2021 ini, ia masih juga galau. Belum menunjukkan
kepastian.
Hadi tercatat sebagai panglima TNI terlama di era reformasi.
Ia menjabat selama empat tahun, kurang satu bulan. Terhitung sejak 8 Desember
2017 hingga 8 November 2021 mendatang.
Dari situ bisa disimpulkan Jokowi begitu percaya pada
Marsekal Hadi dibandingkan dengan perwira tinggi lainnya yang masih aktif saat
ini, baik Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa, Kepala
Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono, maupun Kepala Staf Angkatan
Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo.
Jadi pendapat Hadi tentu akan bisa mempengaruhi keputusan
Jokowi dalam memilih suksesor pengganti Hadi. Jokowi pastilah akan menanyakan
siapa yang paling pas menjadi suksesor Hadi. Jawabannya, akan mudah didapat.
Hadi lebih cenderung memilih Laksamana Yudo daripada Jenderal Andika. Tentu
juga bukan Marsekal Fadjar yang sama-sama dari matra udara.
Simak video "Jokowi Galau Pilih Panglima TNI"
Hal ini tentunya bisa dilihat dari komunikasi interpersonal, baik dari sisi sosiologi komunikasi, maupun psikologi komunikasi. Dalam relasi kuasa antara Hadi dengan Yudo, secara kasat mata bisa dilihat, jauh lebih cair daripada antara Hadi dengan Andika.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Hanya mereka berdua yang tahu.
Padahal keduanya pernah sama-sama membantu Presiden Jokowi di istana.
Hadi tentu saja ingin kebijakan dan ‘legacy’-nya bisa
diteruskan oleh suksesornya, sehingga ada kesinambungan. Ia tentu tidak ingin
bernasib serupa dengan Jenderal Gatot yang kebijakannya dibatalkan dirinya.
Bahkan terjadi ‘de-gatot-isasi’. Sehingga Hadi tidak ingin
mendapatkan ‘hukum karma’ mendapatkan perlakuan ‘de-hadi-isasi’ seperti dialami
Gatot.
Dari sinilah kegamangan Jokowi untuk tidak langsung memilih
Laksamana Yudo atau Jenderal Andika. Bahkan hingga pas dua tahun usia
pemerintahan Jokowi periode kedua (20-21 Oktober 2021), belum juga ada
kepastian tentang hal tersebut.
Kendati sebelumnya sudah ada jejak utusan istana, yakni
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno yang mengunjungi Markas Besar
Angkatan Darat (Mabesad) dan bertemu dengan KSAD Jenderal Andika pada Senin
(11/10/2021) lalu.
Dari sini sebenarnya ada sinyal berdasarkan teori komunikasi
tentang interaksi simbolik. Maklum, sebagai orang Jawa, Jokowi senang
menggunakan simbol-simbol dalam politik. Ingat, Menteri Pratikno tidak
mengunjungi Mabesal kantor Laksamana Yudomaupun Mabesau kantor Marsekal Fadjar. Padahal mereka bertiga merupakan
kandidat Panglima TNI.
Hal ini karena mereka sudah mencapai bintang empat aktif dan
menjadi kepala staf angkatan. Lain halnya bila dalam waktu dekat akan segera
ada pergantian kepala staf angkatan. Misalnya, dalam sisa waktu Oktober 2021
ini terjadi pergantian kepala staf angkatan. Maka siapa pun yang akan menjadi
kepala staf angkatan mempunyai peluang yang sama besarnya, kendati hanya dalam
hitungan satu hari sekali pun.
Tapi sinyal kedatangan Menteri Pratikno bisa mentah kembali,
karena hingga kini (21 Oktober 2021) pun belum ada pengumuman reshuffle
(pergantian) kabinet. Kemungkinan pergantian panglima TNI juga akan terkoneksi
dengan reshuffle kabinet.
Mengapa? Karena Jokowi tidak akan menelantarkan Marsekal Hadi
tanpa jabatan. Hadi diduga kuat akan masuk dalam kabinet kali ini. Kemungkinan
akan menjadi menteri perhubungan atau bisa juga sebagai Kepala Staf Presiden
(KSP). Sebab Hadi juga pernah bekerja di istana menjadi sekretaris militer
presiden.
Nah, yang menjadi masalah adalah pesan komunikasi politik apa
yang disampaikan Presiden Jokowi melalui Menteri Pratikno kepada Jenderal
Andika? Apakah kepastian Andika akan menggantikan Hadi sebagai Panglima TNI?
Ataukah justru memberitahukan bahwa Andika tidak akan menjadi Panglima TNI,
namun masuk dalam kabinet?
Pertarungan politik seperti apa yang terjadi di dalam istana?
Rasanya Jokowi pun tidak akan menelantarkan Andika jika akhirnya tidak
dipilihnya menjadi Panglima TNI, melainkan sebagai bagian dari kabinet.
Entahlah, mungkin sebagai KSP menggantikan Jenderal (Purn) Moeldoko, loyalis
SBY yang berbalik menjadi loyalis Jokowi.
Menjadi KSP dengan alasan, Andika juga pernah bekerja di
lingkungan istana menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Sampai
di sini, Jokowi pun tidak akan menelantarkan Moeldoko.
Kemungkinan Moeldoko akan diberikan tempat di kabinet bersama
wakil dari Partai Amanat Nasional (PAN). Hal ini kemungkinan juga bersamaan
dengan politik Jokowi ‘menggusur’ kubu mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).
Misalnya, kemarin (20 Oktober 2021) Jokowi
meminta komitmen pembantunya dalam memberantas mafia-mafia tanah. Ini sinyal
kuat. Apalagi dilanjutkan hari ini (21 Oktober 2021) Wakil Ketua Komisi II DPR
RI dari PDIP, Junimart Girsang mendesak Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil mengundurkan diri dari jabatannya. Alasannya,
hingga kini persoalan perebutan tanah antara pengusaha dan warga di Indonesia
tak kunjung selesai.
Petunjuk itu mengisyaratkan Sofyan Djalil berpotensi
akan dicopot dari posisi menteri. Sofyan dikenal sebagai‘orangnya’ JK. Dan yang akan menggantikannya,
kemungkinan Moeldoko.
Pertarungan Politik
Kembali ke soal siapa saja orang kuat yang akan
pengaruhi Jokowi untuk memilih kandidat Panglima TNI? Jika di awal dikemukakan
Jokowi akan meminta pendapat Marsekal Hadi. Walau hak prerogratif presiden,
namun kemungkinan Jokowi
akan meminta pendapat dari sekurangnya empat tokoh politik di luar Marsekal Hadi.
Empat orang tersebut adalah Ketua Umum PDI Perjuangan
Megawati Sukarnoputri sebagai pimpinan ‘kandang partai’ dimana Jokowi
berada.Alam pikiran politik Megawati,
tentu saja berkepentingan terhadap Andika yang punya potensi ke depan untuk
dipasangkan dengan anaknya, yakni Puan Maharani dalam pemilihan presiden 2024
mendatang.
Andika adalah jenderal aktif yang namanya masuk dalam bursa
bakal calon presiden maupun wakil presiden untuk periode 2024. Sementara
Marsekal Hadi, namanya sama sekali tidak diperhitungkan dalam sejumlah
survey.
Purnawirawan militer lainnya yang masuk dalam bursa bakal
capres maupun wapres adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang juga
ketua umum Partai Gerindra; kemudian Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti
Yudhoyono (AHY), dan deklataror Koalisi Aksi Menyelamatkan
Indonesia (KAMI) Gatot Nurmantyo (GN).
Puan sangat mungkin dipasangkan dengan Prabowo maupun Andika.
Namun tidak dengan AHY dan GN sebagai oposisi terhadap pemerintahan Jokowi.
Di situlah Megawati berkepentingan terhadap posisi Andika
sebagai Panglima TNI atau jabatan lain yang setara di kabinet. Sama dengan
ketika Megawati ‘menyelamatkan’ muka Jenderal Polisi Budi Gunawan (BG) yang
batal menjadi Kepala Polri, kemudian disubsitusi menjadi Kepala Badan Intelijen
Negara (BIN).
Bahkan kini BG menjadi Kepala BIN terlama sejak era
reformasi. Lima tahun satu bulan, melewati rekor Mayjen (Purn) Syamsir Siregar
selama empat tahun 10 bulan. Nama BG pun kini masuk dalam bursa survey bakal
capres maupun cawapres 2024.
Kembai ke soal tokoh yang akan dimintai pendapat oleh Jokowi.
Rasanya tidak mungin Jokowi tidak minta pendapat Menteri Pertahanan Prabowo
Subianto. Prabowo juga ketua umum Gerindra, partai tiga besar dalam pemilu 2019
lalu. Panglima TNI mesti terkoneksi dengan Menteri Pertahanan.
Menteri Pertahanan memiliki kapasitas selaku
menteri bidang alutsista (alat utama sistem senjata) dan industri pertahanan
yang memegang amanah untuk mendesain dan menentukan kebijakan strategis
pembangunan alutsista TNI. Ada pun Panglima TNI sebagai pengguna kekuatan, dan
kepala staf angkatan sebagai pembina kekuatan. Jadi, presiden Jokowi
sepantasnya menanyakan masalah ini juga kepada menteri pertahanan.
Selain itu juga kemungkinan Jokowi akan menanyakan kepada
menteri senior ‘paling kuat’, yakni Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Serta ketua
dewan pertimbangan presiden, Wiranto. Kebetulan tiga nama yang disebut itu jenderal
yang berasal dari matra darat. Sehingga bisa saja memiliki kecenderungan lebih memilih Jenderal Andika
daripada Laksamana Yudo maupun Marsekal Fadjar.
Andika pun lebih senior daripada Yudo maupun Fadjar. Andika
lulusan Akademi Militer (Akmil) 1987, Yudo lulusan Akademi Angkatan Laut (AAL)
1988-A, dan Fadjar lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) 1988-B. Namun masa
dinas Andika tinggal satu tahun satu bulan lagi. Hal ini jika dihitung sejak
November 2021, saat Hadi berusia 58 tahun.Sedangkan Yudo mempunyai waktu dua tahun lagi. Sedangkan Fadjar masih
sekitar 2,5 tahun lagi.
Dengan diulur-ulurnya waktu pergantian Panglima TNI, maka
sah-sah saja jika ada analisis politik sebagai upaya menjegal Andika menjadi
Panglima TNI. Sebab waktu satu tahun dianggap tidak efektif untuk menjalankan
tugas sebagai Panglima TNI. Di sinilah peluang Laksamana Yudo lebih terbuka.
Bisa jadi dengan alasan inilah Jokowi tidak memilih Andika.
Namun bisa juga seperti model Jenderal Polisi Idham Aziz menjadi Kepala Polri
pengganti Jenderal Tito Karnavian. Idham hanya sekitar satu tahun dua bulan
saja menjadi Kepala Polri. Semua kemungkinan bisa terjadi, tergantung pertarungan
politik di istana.
Jadi, skenario kuatnya, bisa empat pilihan. Pertama; Andika
sebagai Panglima TNI gantikan Hadi dengan waktu singkat, sekitar satu tahun
satu bulan saja. Kedua; Yudo langsung menjadi Panglima TNI menggantikan Hadi. Sedangkan
Andika ditarik ke kabinet.Ketiga;
win-win solutions. Andika menjadi Panglima TNI selama satu tahu satu bulan,
kemudian digantikan Yudo sebagai Panglima TNI selanjutnya dengan waktu yang
juga tersisa satu tahunan saja.
Keempat; pola jalan tengah. Bukan Andika dan bukan Yudo,
melainkan tokoh alternatif. Bisa jadi pengganti Andika sebagai KSAD, dengan
calon kuat Panglima Kostrad Dudung Abdurachman. Seandainya Dudung menjadi KSAD
pada akhir Oktober 2021 ini, maka ia pun berpeluang menjadi Panglima TNI pada
November 2021 jelang 58 tahun usia Marsekal Hadi. Sehingga Dudung hanya sepekan
saja menjadi KSAD dan langsung lompat menjadi Panglima TNI.
Empat skenario itu sangat mungkin terjadi di tengah-tengah
pertarungan politik kali ini. Dudung adalah titik pertemuan beberapa
kepentingan politik, antara Jokowi, Megawati, Prabowo Subianto, LBP, dan Hadi
Tjahjanto.
Pengamat
pertahanan keamanan (hankam) dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat
Ginting mengharapkan, kekuatan pertahanan Indonesia harus bisa memadukan
kekuatan pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter. Pertahanan militer
diorganisasikan ke dalam komponen utama, yakni TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Sedangkan organisasi untuk pertahanan nirmiliter dibedakan atas dasar hakikat
dan jenis ancaman yang dihadapi.
“Dalam
menghadapi ancaman militer, pertahanan nirmiliter diorganisasikan ke dalam komponen
cadangan dan komponen pendukung. Keduanya disiapkan untuk menjadi pelapis komponen
utama,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas, Selamat
Ginting di Jakarta, Kamis (7/10).
Ia menanggapi peresmian penetapan komcad oleh Presiden Joko
Widodo (Jokowi) di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pasukan Khusus
(Pusdiklatpassus) di Batujajar, Bandung, Jawa Barat, Kamis (7/10). Menurut
Jokowi, komcad dibentuk guna mendukung TNI dalam menjalankan tugasnya untuk
menjaga kedaulatan negara dan keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik
Indonesia). Jokowi mengatakan, sistem pertahanan Indonesia ini bersifat semesta
yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional
lainnya.
Menurut Selamat
Ginting, dalam menghadapi ancaman nirmiliter, organisasi pertahanan nirmiliter
disusun ke dalam pertahanan sipil. Hal ini untuk mencegah dan menghadapi
ancaman yang berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan
teknologi.
Dalam menghadapi
ancaman yang berdimensi keselamatan umum, kata dia, bentuk pertahanan sipil
dilaksanakan melalui fungsi-fungsi keamanan. Antara lain penanggulangan dampak
bencana alam dan bencana yang ditimbulkan manusia, operasi kemanusiaan, SAR,
wabah penyakit dan kelaparan, gangguan pada pembangkit tenaga listrik,
transportasi, dan aksi pemogokan.
Dikemukakan, struktur
organisasi pertahanan sipil dalam pertahanan nirmiliter berbeda dengan struktur
sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer. Organisasi pada
pertahanan sipil bersifat fungsional dan berada dalam lingkup kewenangan
instansi pemerintah di luar bidang pertahanan.
Selamat Ginting
menjelaskan, dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia terbukti sistem pertahanan
dan keamanan rakyat semesta menjadi sistem yang mampu melawan penjajah dan
berhasil menjadikan Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat.
Oleh karena itu,
lanjutnya, sistem tersebut harus tetap dipertahankan dan dikembangkan. Sistem
tersebut untuk menegakkan kedaulatan NKRI, menjaga keutuhan wilayah negara, dan
menjamin keselamatan bangsa.
“Untuk menjamin
tegaknya NKRI, fungsi pertahanan negara sangat berperan dalam menjaga
kelangsungan bangsa,” kata Selamat Ginting, mantan wartawan senior Republika.
Menurutnya, komponen
cadangan dan komponen pendukung dapat diarahkan untuk mewujudkan kemampuan
pertahanan yang melampaui kekuatan pertahanan minimal. Sekaligus untuk
terwujudnya pertahanan nirmiliter dan kesadaran bela negara yang tinggi.
Jadi, kata dia,
pembentukan komponen cadangan lebih berorientasi pada aspek kewilayahan.
Sehingga setiap daerah memiliki kekuatan cadangan yang nyata dan dikembangkan
secara bertahap dan berlanjut sampai mencapai kekuatan yang proporsional.
Presiden Joko Widodo bertemu mantan calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto. Pertemuan di moda raya terpadu (MRT), Jakarta, Sabtu (13/7/2019) pagi, menjadi topik terhangat di Tanah Air.
"Selamat bekerja," kata Prabowo kepada Jokowi.
Analis politik, Hendri Satrio menyampaikan, pertemuan Jokowi dan Prabowo pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan hal yang perlu diapresiasi. Namun, pertemuan itu diharapkan bukan hanya membicarakan soal koalisi.
“Jadi baik sekali pertemuan (Jokowi-Prabowo) pagi ini, jangan hanya berhenti di bagi-bagi kursi. Tapi Pak Jokowi bisa minta izin ke Pak Prabowo untuk bisa mengadopsi ide-ide Prabowo-Sandi, termasuk tentang HRS (Habib Rizieq Shihab),” kata Hendri dalam acara diskusi ‘Politik Pasca Sidang Putusan MK’ di Universitas Mercu Buana, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (13/7/2019).
Menurutnya, pertemuan Jokowi dan Prabowo merupakan sebuah ujian. Jokowi harus mampu menyatukan kembali pendukung Prabowo-Sandi setelah selesainya Pilpres 2019.
“Rekonsiliasi yang benar-benar dilakukan ya harus seperti itu,” tegas Hendri.
Ia mengharapkan pertemuan Jokowi dan Prabowo tidak dilakukan setengah hati. Kedua tokoh nasional itu harus dapat menyatukan kembali masyarakat usai Pilpres 2019.
“Harus saling menghormati, saling terbuka. Rekonsiliasi jangan setengah hati,” ucap Hendri.
Mantan juru bicara Prabowo-Sandi, Pipin Sopian menyatakan, pertemuan Jokowi dan Prabowo bukan berarti kubu Indonesia Adil Makmur akan bergabung dalam koalisi Indonesia Kerja jilid 2.
Menurutnya, pertemuan tersebut dilakukan untuk menyikapi selesainya Pilpres 2019. “Pertemuan itu bukan berarti (kubu 02) harus bergabung (ke dalam kubu 01),” ujar Pipin.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini pun menyatakan, partai pimpinan Sohibul Iman belum memilih sikap akan masuk koalisi atau tidak.
Dia meyakini kemungkinan besar (PKS) akan kembali menjadi oposisi pada pemerintahan Jokowi periode kedua.
“PKS memang belum menisbatkan secara khusus. Tetapi kalau kita bicara pada 2014, pimpinan di struktur atau para pendiri PKS akan memutuskan, kemungkinan besar memang akan oposisi,” tandas Pipin.
Sama seperti pilkada DKI Jakarta dan Sumatra Utara. Polisi memobilisasi massa untuk dukung Ahok dan Djarot. Kasat mata! Kini mereka melakukan cara yang sama. Dukung Jokowi dalam pilpres 2019.
Ahok, Djarot dan kini Jokowi elektabilitasnya tidak bisa melebihi 50 persen. Kendati tinggal dua pekan lagi pemilu. Dulu, Ahok tidak percaya saat saya bilang dia akan kalah. Alasannya, sebagai pejawat, elektabilitasnya mangkrak di angka 42-44 persen. Ia bilang, "tim saya yakin menang telak."
Masyarakat sudah tahu hasilnya. Ahok dan Djarot justru kalah telak! Beda dua digit dengan rivalnya.
Maka kini, game over (istilah kalah dalam game milenial) juga untuk Jokowi. Cara polisi semakin memuluskan kekalahan, karena rakyat tidak suka baju coklat turut menjadi pemain. Tidak netral!
Mata publik nasional terbelalak. Terbelalak ketika polisi membuat acara Millenial Road Safety Festifal (MRSF) 2019. Acara digelar Polda Jawa Timur di Jembatan Suramadu, 17 Maret lalu. Acara serupa diagendakan digelar di Sulawesi Selatan, Jakarta, Kalimantan Utara, Banten, dan Jawa Tengah.
Publik melihat dengan mata terang benderang. Acara polisi justru menjadi ajang kampanye dukung Jokowi. Lagu yang diputar pun 'Jokowi Wae'.
Polisi memantik persoalan. Menjadi bagian tim kampanye 01. Akhirnya, keesokan harinya, Kapolri Jenderal Muhamad Tito Karnavian membuat surat edaran. Polisi harus netral! Acara MRSF di sejumlah provinsi pun diundur, usai pemilu.
Surat edaran Kapolri justru menyiratkan, polisi memang tidak netral. Sebab UU Kepolisian mengamanatkan polisi harus netral! Netral bukan cuma di kertas dan di mulut, tetapi terpenting dalam tindakan.
Mabes Polri keluarkan 14 poin netralitas sebagai aparatur negara. Lalu yang bermain di bawah, siapa? Atas perintah siapa? Petinggi yang mana? Jika menyimak operasi intelijen, tentu saja apabila ketahuan, akan dibantal. Disangkal!
Kampanye terbuka sudah berjalan beberapa hari. Beda dengan tahun 2014, massa membludak ingin melihat Jokowi. Aura itu, kini sirna. Sirna termakan tingkah polah kerjamu yang tak memuaskan bagi lebih dari separuh pemilih negeri. Pesona Mas Joko sudah pudar.
Saya mengamati pemilu sejak 1992, dan 1997 era Orde Baru. Kemudian pemilu era reformasi sejak 1999 hingga saat ini. Aura kekalahan para pejawat atau juara bertahan. Golkar keok pada pemilu 1999, saya saksikan di lapangan. Begitu pula aura kekalahan Megawati, saya saksikan pada 2004. Juga aura kekalahan Foke di pilkara Jakarta pada 2012.
Kini, saya menjadi saksi aura kekalahan Jokowi pada 2019. Sakit memang, tapi itulah roda kehidupan. Tanggapi saja dengan bijak, tak perlu irasional. Apalagi emosional. Tidak percaya dengan ungkapan saya, juga tidak apa-apa. Silakan buat tulisan juga berdasarkan keyakinan sebagai sesama netizen. Bebas Merdeka!
Berkemaslah ke Solo, Tuan Jokowi. Rantai sepedamu sudah putus. Tak bisa lanjut ke etape berikutnya. Pestamu saatnya berhenti sampai di sini. Ya, game over Jokowi!