Showing posts with label Militer. Show all posts
Showing posts with label Militer. Show all posts

23 October 2021

Jokowi Galau Pilih Panglima TNI (Bagian 1)

Foto: Tempo.co

Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta. Kandidat doktor ilmu politik. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas. Wartawan senior yang banyak mengamati masalah politIk pertahanan keamanan negara.

Baru kali ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat galau untuk memilih Panglima TNI pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), galau artinya: kacau tidak keruan.

Bahkan sampai tepat dua tahun pemerintahan Jokowi periode kedua pada 21 Oktober 2021 ini, ia masih juga galau. Belum menunjukkan kepastian.

Hadi tercatat sebagai panglima TNI terlama di era reformasi. Ia menjabat selama empat tahun, kurang satu bulan. Terhitung sejak 8 Desember 2017 hingga 8 November 2021 mendatang.

Dari situ bisa disimpulkan Jokowi begitu percaya pada Marsekal Hadi dibandingkan dengan perwira tinggi lainnya yang masih aktif saat ini, baik Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono, maupun Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo.

Jadi pendapat Hadi tentu akan bisa mempengaruhi keputusan Jokowi dalam memilih suksesor pengganti Hadi. Jokowi pastilah akan menanyakan siapa yang paling pas menjadi suksesor Hadi. Jawabannya, akan mudah didapat. Hadi lebih cenderung memilih Laksamana Yudo daripada Jenderal Andika. Tentu juga bukan Marsekal Fadjar yang sama-sama dari matra udara.

Simak video "Jokowi Galau Pilih Panglima TNI"


Hal ini tentunya bisa dilihat dari komunikasi interpersonal, baik dari sisi sosiologi komunikasi, maupun psikologi komunikasi. Dalam relasi kuasa antara Hadi dengan Yudo, secara kasat mata bisa dilihat, jauh lebih cair daripada antara Hadi dengan Andika.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Hanya mereka berdua yang tahu. Padahal keduanya pernah sama-sama membantu Presiden Jokowi di istana.

Hadi tentu saja ingin kebijakan dan ‘legacy’-nya bisa diteruskan oleh suksesornya, sehingga ada kesinambungan. Ia tentu tidak ingin bernasib serupa dengan Jenderal Gatot yang kebijakannya dibatalkan dirinya.

Bahkan terjadi ‘de-gatot-isasi’. Sehingga Hadi tidak ingin mendapatkan ‘hukum karma’ mendapatkan perlakuan ‘de-hadi-isasi’ seperti dialami Gatot.   

Dari sinilah kegamangan Jokowi untuk tidak langsung memilih Laksamana Yudo atau Jenderal Andika. Bahkan hingga pas dua tahun usia pemerintahan Jokowi periode kedua (20-21 Oktober 2021), belum juga ada kepastian tentang hal tersebut.

Kendati sebelumnya sudah ada jejak utusan istana, yakni Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno yang mengunjungi Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad) dan bertemu dengan KSAD Jenderal Andika pada Senin (11/10/2021) lalu.

Dari sini sebenarnya ada sinyal berdasarkan teori komunikasi tentang interaksi simbolik. Maklum, sebagai orang Jawa, Jokowi senang menggunakan simbol-simbol dalam politik. Ingat, Menteri Pratikno tidak mengunjungi Mabesal kantor Laksamana Yudo  maupun Mabesau kantor Marsekal Fadjar. Padahal mereka bertiga merupakan kandidat Panglima TNI.

Hal ini karena mereka sudah mencapai bintang empat aktif dan menjadi kepala staf angkatan. Lain halnya bila dalam waktu dekat akan segera ada pergantian kepala staf angkatan. Misalnya, dalam sisa waktu Oktober 2021 ini terjadi pergantian kepala staf angkatan. Maka siapa pun yang akan menjadi kepala staf angkatan mempunyai peluang yang sama besarnya, kendati hanya dalam hitungan satu hari sekali pun. 

Tapi sinyal kedatangan Menteri Pratikno bisa mentah kembali, karena hingga kini (21 Oktober 2021) pun belum ada pengumuman reshuffle (pergantian) kabinet. Kemungkinan pergantian panglima TNI juga akan terkoneksi dengan reshuffle kabinet.

Mengapa? Karena Jokowi tidak akan menelantarkan Marsekal Hadi tanpa jabatan. Hadi diduga kuat akan masuk dalam kabinet kali ini. Kemungkinan akan menjadi menteri perhubungan atau bisa juga sebagai Kepala Staf Presiden (KSP). Sebab Hadi juga pernah bekerja di istana menjadi sekretaris militer presiden.

Nah, yang menjadi masalah adalah pesan komunikasi politik apa yang disampaikan Presiden Jokowi melalui Menteri Pratikno kepada Jenderal Andika? Apakah kepastian Andika akan menggantikan Hadi sebagai Panglima TNI? Ataukah justru memberitahukan bahwa Andika tidak akan menjadi Panglima TNI, namun masuk dalam kabinet?

Pertarungan politik seperti apa yang terjadi di dalam istana? Rasanya Jokowi pun tidak akan menelantarkan Andika jika akhirnya tidak dipilihnya menjadi Panglima TNI, melainkan sebagai bagian dari kabinet. Entahlah, mungkin sebagai KSP menggantikan Jenderal (Purn) Moeldoko, loyalis SBY yang berbalik menjadi loyalis Jokowi.  

Menjadi KSP dengan alasan, Andika juga pernah bekerja di lingkungan istana menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Sampai di sini, Jokowi pun tidak akan menelantarkan Moeldoko.

Kemungkinan Moeldoko akan diberikan tempat di kabinet bersama wakil dari Partai Amanat Nasional (PAN). Hal ini kemungkinan juga bersamaan dengan politik Jokowi ‘menggusur’ kubu mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). 

Misalnya, kemarin (20 Oktober 2021) Jokowi meminta komitmen pembantunya dalam memberantas mafia-mafia tanah. Ini sinyal kuat. Apalagi dilanjutkan hari ini (21 Oktober 2021) Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari PDIP, Junimart Girsang mendesak Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil mengundurkan diri dari jabatannya. Alasannya, hingga kini persoalan perebutan tanah antara pengusaha dan warga di Indonesia tak kunjung selesai. 

Petunjuk itu mengisyaratkan Sofyan Djalil berpotensi akan dicopot dari posisi menteri. Sofyan dikenal sebagai  ‘orangnya’ JK. Dan yang akan menggantikannya, kemungkinan Moeldoko.

Pertarungan Politik

Kembali ke soal siapa saja orang kuat yang akan pengaruhi Jokowi untuk memilih kandidat Panglima TNI? Jika di awal dikemukakan Jokowi akan meminta pendapat Marsekal Hadi. Walau hak prerogratif presiden, namun kemungkinan Jokowi akan meminta pendapat dari sekurangnya empat tokoh politik di luar Marsekal Hadi.

Empat orang tersebut adalah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri sebagai pimpinan ‘kandang partai’ dimana Jokowi berada.  Alam pikiran politik Megawati, tentu saja berkepentingan terhadap Andika yang punya potensi ke depan untuk dipasangkan dengan anaknya, yakni Puan Maharani dalam pemilihan presiden 2024 mendatang.

Andika adalah jenderal aktif yang namanya masuk dalam bursa bakal calon presiden maupun wakil presiden untuk periode 2024. Sementara Marsekal Hadi, namanya sama sekali tidak diperhitungkan dalam sejumlah survey. 

Purnawirawan militer lainnya yang masuk dalam bursa bakal capres maupun wapres adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang juga ketua umum Partai Gerindra; kemudian  Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan deklataror Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Gatot Nurmantyo (GN).

Puan sangat mungkin dipasangkan dengan Prabowo maupun Andika. Namun tidak dengan AHY dan GN sebagai oposisi terhadap pemerintahan Jokowi.

Di situlah Megawati berkepentingan terhadap posisi Andika sebagai Panglima TNI atau jabatan lain yang setara di kabinet. Sama dengan ketika Megawati ‘menyelamatkan’ muka Jenderal Polisi Budi Gunawan (BG) yang batal menjadi Kepala Polri, kemudian disubsitusi menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).

Bahkan kini BG menjadi Kepala BIN terlama sejak era reformasi. Lima tahun satu bulan, melewati rekor Mayjen (Purn) Syamsir Siregar selama empat tahun 10 bulan. Nama BG pun kini masuk dalam bursa survey bakal capres maupun cawapres 2024.

Kembai ke soal tokoh yang akan dimintai pendapat oleh Jokowi. Rasanya tidak mungin Jokowi tidak minta pendapat Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Prabowo juga ketua umum Gerindra, partai tiga besar dalam pemilu 2019 lalu. Panglima TNI mesti terkoneksi dengan Menteri Pertahanan.

Menteri Pertahanan memiliki kapasitas selaku menteri bidang alutsista (alat utama sistem senjata) dan industri pertahanan yang memegang amanah untuk mendesain dan menentukan kebijakan strategis pembangunan alutsista TNI. Ada pun Panglima TNI sebagai pengguna kekuatan, dan kepala staf angkatan sebagai pembina kekuatan. Jadi, presiden Jokowi sepantasnya menanyakan masalah ini juga kepada menteri pertahanan.

Selain itu juga kemungkinan Jokowi akan menanyakan kepada menteri senior ‘paling kuat’, yakni Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Serta ketua dewan pertimbangan presiden, Wiranto. Kebetulan tiga nama yang disebut itu jenderal yang berasal dari matra darat. Sehingga bisa saja memiliki  kecenderungan lebih memilih Jenderal Andika daripada Laksamana Yudo maupun Marsekal Fadjar.

Andika pun lebih senior daripada Yudo maupun Fadjar. Andika lulusan Akademi Militer (Akmil) 1987, Yudo lulusan Akademi Angkatan Laut (AAL) 1988-A, dan Fadjar lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) 1988-B. Namun masa dinas Andika tinggal satu tahun satu bulan lagi. Hal ini jika dihitung sejak November 2021, saat Hadi berusia 58 tahun.  Sedangkan Yudo mempunyai waktu dua tahun lagi. Sedangkan Fadjar masih sekitar 2,5 tahun lagi.

Dengan diulur-ulurnya waktu pergantian Panglima TNI, maka sah-sah saja jika ada analisis politik sebagai upaya menjegal Andika menjadi Panglima TNI. Sebab waktu satu tahun dianggap tidak efektif untuk menjalankan tugas sebagai Panglima TNI. Di sinilah peluang Laksamana Yudo lebih terbuka.

Bisa jadi dengan alasan inilah Jokowi tidak memilih Andika. Namun bisa juga seperti model Jenderal Polisi Idham Aziz menjadi Kepala Polri pengganti Jenderal Tito Karnavian. Idham hanya sekitar satu tahun dua bulan saja menjadi Kepala Polri. Semua kemungkinan bisa terjadi, tergantung pertarungan politik di istana.

Jadi, skenario kuatnya, bisa empat pilihan. Pertama; Andika sebagai Panglima TNI gantikan Hadi dengan waktu singkat, sekitar satu tahun satu bulan saja. Kedua; Yudo langsung menjadi Panglima TNI menggantikan Hadi. Sedangkan Andika ditarik ke kabinet.  Ketiga; win-win solutions. Andika menjadi Panglima TNI selama satu tahu satu bulan, kemudian digantikan Yudo sebagai Panglima TNI selanjutnya dengan waktu yang juga tersisa satu tahunan saja.

Keempat; pola jalan tengah. Bukan Andika dan bukan Yudo, melainkan tokoh alternatif. Bisa jadi pengganti Andika sebagai KSAD, dengan calon kuat Panglima Kostrad Dudung Abdurachman. Seandainya Dudung menjadi KSAD pada akhir Oktober 2021 ini, maka ia pun berpeluang menjadi Panglima TNI pada November 2021 jelang 58 tahun usia Marsekal Hadi. Sehingga Dudung hanya sepekan saja menjadi KSAD dan langsung lompat menjadi Panglima TNI.

Empat skenario itu sangat mungkin terjadi di tengah-tengah pertarungan politik kali ini. Dudung adalah titik pertemuan beberapa kepentingan politik, antara Jokowi, Megawati, Prabowo Subianto, LBP, dan Hadi Tjahjanto.


/selamatgintingofficial

14 October 2021

Dudung Jadi KSAD, Calon Pangkostrad Agus Subiyanto atau Maruli Simanjuntak (Bagian Kedua)

Foto: nkriku.com

Berdasarkan teori interaksi simbolik, diduga kuat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa akan diplot menjadi Panglima TNI menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto. Pilihan pada Andika sudah melalui pertimbangan yang matang.

Demikian analisa pengamat komunikasi politik dan Militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting dalam kanal youtube SGinting Official dan Hersubenopoint dari FNN, yang ditayangkan pada Selasa (12/10) berjudul: Kompromi Politik Jokowi Pilih Jenderal Andika sebagai Panglima TNI.

Setelah Andika Perkasa pensiun pada Desember 2022 mendatang, kata Ginting, penggantinya kemungkinan tidak dari TNI AD lagi. Sebab jika hal itu dilakukan, maka TNI AL akan kehilangan kesempatan dua kali menjadi Panglima TNI.

“Ini akan berakibat kurang bagus untuk soliditas TNI ke depan. Sebagai kompromi, ia melihat kemungkinan Presiden Jokowi akan segera merealisasikan penggunaan Peraturan Presiden (Perpres) No.66 tahun 2019. Dalam perpres tersebut, ada posisi Wakil Panglima TNI. Kemungkinan Yudo Margono bisa menjadi Wakil Panglima TNI, jika tidak ada perubahan dari dinamika politik yang berkembang,” tegasnya.

Posisi Wakil Panglima TNI di era reformasi, lanjut Ginting, pernah digunakan dua kali. Pertama era Presiden BJ Habibie. Panglima TNI Wiranto didampingi Wakil Panglima TNI Laksamana Widodo AS. Kemudian saat Presiden Abdurachman Wahud (Gus Dur). Panglima TNI dijabat Laksamana Widodo AS dan Wakil Panglima TNI Jenderal Fachrul Razi.

Jadi, papar Ginting, saat Andika jadi Panglima TNI, kemungkinan wakil Panglima TNI bisa diisi oleh Yudo Margono. Sehingga harus ada KSAL sebagai penggantinya.  Karena publik juga bertanya, untuk ada ada Perpres 66/2019 jika tidak digunakan posisi orang nomor dua di Mabes TNI. Namun, jika Perpres itu tidak digunakan, Yudo akan tetap menjadi KSAL.

“Mungkin jika Laksamana Yudo boleh memilih, antara menjadi KSAL atau Wakil Panglima TNI, kemungkinan dia akan lebih memilih menjadi KSAL. Kepala Staf Angkatan itu punya kuasa di Mabes matra masing-masing. Sementara di Mabes TNI, kuasa dipegang Panglima TNI, sedangkan Wapang TNI hanya cadangan saja.

Namun, setelah Presiden Joko Widodo sukses menjadikan Andika Perkasa menjadi Panglima TNI, tak serta-merta posisi orang nomor satu di Republik ini sudah kuat. Sebab Andika hanya akan menjabat sekitar satu tahun dua bulan saja, dengan catatan jika tidak ada perpanjangan masa pensiun.

Jokowi harus memikirkan sosok pimpinan TNI yang sesuai dengan seleranya. Ia harus mengkader pimpinan TNI, bahkan sampai peralihan kekuasaan pada Oktober 2024 mendatang.

Selamat Ginting menegaskan bahwa Presiden Jokowi harus menyiapkan sosok pimpinan TNI yang memiliki jejak hubungan baik dengannya. Letjen Dudung Abdurachman, kata Ginting memiliki posisi kuat menduduki jabatan KSAD menggantikan Andika Perkasa.

Solo Conection

Yang juga menarik, kata Ginting, justru siapa yang bakal menggantikan posisi Pangkostrad yang ditinggalkan Dudung Abdurrahman. Menurut keyakinan Selamat Ginting, calon Pangkostrad yang akan dipilih Jokowi adalah Mayjen Agus Subianto, kini Pangdam Siliwangi. “Lulusan Akmil 1991 itu merupakan sosok yang paling mungkin menduduki jabatan Pangkostrad, antara lain berdasarkan interaksi komunikasi dengan Presiden Jokowi,” katanya.

Sementara calon alternatif kedua yang bisa menduduki Pangkostrad, menurut Ginting, adalah Mayjen Maruli Simanjuntak yang saat ini menjadi Pangdam Udayana. Maruli lulusan Akmil 1992 dan menantu dari Menteri Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Marves.

“Agus dan Maruli orang dekat lingkaran Jokowi. Keduanya kebetulan pernah menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden. Agus Subianto juga pernah menjadi Komandan Kodim di Solo pada 2009-2011, saat Walikota Solo dijabat Joko Widodo,” ungkap Ginting yang malang melintang menjadi wartawan masalah pertahanan keamanan selama sekitar 30 tahun.

Jadi, kata dia, ada interaksi Solo Connection, istilahnya. Maruli Simanjuntak juga Solo Connection, karena sebelumnya  pernah menjadi Komandan Korem Warastatama di Solo. Sebelumnya juga pernah menjadi Komandan Grup A Paspampres, dimana pemegang kendali pengamanan presiden. Kalau Grup B wakil presiden. Ini betul betul orang orang pilihan. Backround-nya Kopassus,” papar Ginting.

Maruli, lanjut Selamat Ginting, masih terlalu muda jika dilihat dari usianya yakni 51 tahun. Jadi masih panjang karier militernya. Sedangkan Agus Subiyanto sudah berusia 54 tahun. Selisih usianya sekitar tiga tahun.

Sementara untuk Pangdam Jaya, kata Ginting, Jokowi akan memilih pengganti Mayjen Mulyo Aji. Dia seangkatan dengan Andika Perkasa, Akmil 1987. Mulyo Aji kemungkinan akan mendapatkan promosi bintang tiga. Mulyo pernah menjadi Danrem di Solo. Solo Connection juga. Jadi okowi betul-betul membutuhkan lingkaran dekatnya untuk menopang kekuasaannya agar lebih aman dari kalangan militer.

Kemungkinan, lanjut Ginting, Mulyo Aji akan dipromosikan menjadi Sekretaris Menkopolhukan menggantikan Letjen Tri Soewandono yang akan segera pensiun Desember 2021 ini.  

“Jokowi tidakakan mengabaikan orang-orang yang pernah bekerja sama dengan dia,” pungkas Ginting.

/selamatgintingofficial

Andika Perkasa sebagai Panglima TNI, Isyarat Kedatangan Mensesneg ke Mabesad (Bagian Satu)

Foto: youtube.com/TNI AD

Presiden hampir dapat dipastikan akan memilih Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa sebagai Panglima TNI menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto. Hadi Tjahjanto akan berusia 58 tahun pada 8 November 2021 mendatang, usia pensiun TNI.

Hal itu dikemukakan pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting terkait sinyal kunjungan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno ke Mabesad pada Senin (11/10/2021).

“Ini sinyal politik yang kuat berdasarkan teori interaksi simbolik. Sebagai orang Jawa, Presiden Jokowi senang menggunakan simbol-simbol dalam berkomunikasi. Jadi itulah interpretasinya,” kata Selamat Ginting dalam kanal youtube SGinting Official dan Hersubenopoint dari FNN, yang ditayangkan pada Selasa (12/10) berjudul: Kompromi Politik Jokowi Pilih Jenderal Andika sebagai Panglima TNI.

Teori interaksi simbolik, kata Selamat Ginting adalah teori yang memiliki asumsi bahwa manusia membentuk makna melalui proses komunikasi. Teori ini fokus pada pentingnya konsep diri dan persepsi yang dimiliki individu berdasarkan interaksi dengan individu yang lain.

“Ini interaksi antara individu utusan istana dengan yang individu yang dikunjungi yakni Jenderal Andika Perkasa dengan pesan komunikasi simbolik,” lanjut Ginting, wartawan senior yang kini menjadi akademisi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas, Jakarta.

 

Jika mengacu kepada teori dari Helbart Blumer, kata Ginting, ada tiga asumsi dari teori kedatangan Mensesneg ke Mabesad. Yakni, manusia bertindak berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka; makna diciptakan dalam interaksi antar-manusia; dan makna dimodifikasi melalui interpretasi.

Berdasarkaj ketiga makna tersebut, menurut Selamat Ginting, kuat dugaan inilah pesan komunikasi dari Presiden Jokowi bahwa Jenderal Andika Perkasa akan menjadi pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI. Apalagi, Mensesneg tidak mengunjungi Mabesal, kantor dari Laksamana Yudo Margono dan tidak juga ke Mebesau, kantor Marsekal Fadjar Prasetyo. Seperti diketahui calon Panglima TNI adalah para perwira tinggi yang pernah atau sedang menduduki jabatan kepala staf angkatan.

Menurutnya, pesan penting Mensesneg ke Mabesad, tidak berdiri sendiri. Sebab, pada Hari TNI  5 Oktober 2021 lalu, Presiden Jokowi saat menyaksikan parade kendaraan tempur di depan istana, mengatakan begini, “Ya sudah itu bisa jalan, yang menyopiri Pak Andika Perkasa saja,” paparnya.

Padahal di situ, lanjut Selamat Ginting, bukan hanya ada Andika Perkasa saja. Tapi juga ada Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo.

Dari dua interaksi simbolik itu, Selamat Ginting berkesimpulan bahwa kemungkinan besar Presiden Jokowi sudah memutuskan, Panglima TNI adalah Jenderal Andika Perkasa. Dia perwira tinggi bintang empat paling senior dibandingkan Laksamana Yudo Margono maupun Marsekal Fadjar Prasetyo. Andika Perkasa lulusan Akademi Militer (Akmil) tahun 1987, Yudo Margono lulusan Akademi Angkatan Laut (AAL) 1988-A, dan Fadjar Prasetyo lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) 1988-B.

“Walaupun waktunya singkat, hanya satu tahun dua bulan, ini akan menggunakan model ketika Presiden Jokowi mengangkat Jenderal Polisi Idham Azis sebagai Kepala Polri. Waktunya juga sama sekitar satu tahun dua bulan,” tegasnya.

Tidak Lazim

Diakui Ginting bahwa sesungguhnya tidak lazim, Panglima TNI hanya memiliki waktu yang sangat singkat, hanya sekitar satu tahun dua bulan. “Memang tidak lazim Panglima TNI hanya punya waktu satu tahun dua bulan, sebenarnya kurang efektif.”

Namun, lanjutnya, TNI punya pengalaman juga ketika Jenderal Edi Sudrajat pada era Soearto tahun 1993. Saat itu Jenderal Edi hanya menjabat tiga bulan saja menjadi Panglima TNI. Dia merangkap jabatan KSAD dan Menteri Pertahanan Keamanan (Menhankam). Tetapi kemudian, satu per satu jabatan dicopot. KSAD digantikan Letjen Wismoyo Arismunandar, dan Panglima TNI digantikan oleh Jenderal Feisal Tanjung. Akhirnya Edi Sudrajat hanya menjabat Menhankam.

“Jadi saya melihat bahwa ini isyarat kuat dari istana bahwa Andika Perkasa akan menjadi Panglima TNI, kendati waktu menjabatnya hanya sekitar satu tahun dua bulan saja. Tetapi ada satu cacatan, bisa saja Presiden memperpanjang usia pesiunnya,” paparnya.

Dalam prediksi Selamat Ginting, penunjukan Andika Perkasa menjadi Panglima TNI, menandakan bahwa Presiden Jiokowi sedang menempuh pola sama-sama enak, baik bagi Andika maupun Yudo dan Fadjar. “Pola win-win solutions akan dipakai dalam pengertian setelah Andika Perkasa menjadi Panglima TNI, kemungkinan akan digantikan oleh Yudo Margono menjadi Panglima TNI berikutnya,” kata Ginting.

 

Penunjukan Andika Perkasa, diyakini Ginting setelah Jokowi meminta pendapat dari empat orang berpengaruh di lingkaran politiknya. Setidaknya Presiden Jokowi akan menanyakan kepada empat orang untuk mencari figur yang pas menjadi Panglima TNI.  Pertama Megawati Sukarnoputri sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Megawatidiperkirakan akan cenderung memilih Andika ketimbang Yudo Margono.

 

Kedua, Menhankam Prabowo Subianto, ketiga menteri ‘paling kuat’ pengaruhnya saat ini, yakni Luhut Binsar Panjaitan. Dan keempat, Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Wiranto. Ketiga orang tersebut, kebetulan juga berasal dari matra darat. Jadi ada kecenderungan ketiganya akan lebih menyarankan nama Andika Perkasa ketimbang Yudo Margono.

 

“Inilah makna kedatangan Mensesneg Pratikno ke Mabes TNI AD. Berdasarkan teori interaksi simbolik. Jadi, kuat dugaan saya Jenderal Andika Perkasa akan diplot menjadi Panglima TNI pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto,” ujar Selamat Ginting. 

 


 /selamatgintingofficial

09 October 2021

Jadi KSAD, Dudung Kandidat Kuat Panglima TNI, Andika Berpotensi Dampingi Puan di Pilpres 2024

Foto: Jenderal TNI Andika Perkasa (Antara)

Pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI hingga kini masih misteri. Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum juga mengirimkan nama calon Panglima TNI kepada DPR RI.  Padahal masa pensiun Marsekal Hadi Tjahjanto sudah dekat yaitu pada 8 November 2021. Hal iini membuat publik bertanya-tanya, siapa gerangan Panglima TNI selanjutnya? 

Pengamat komunikasi politik dan militer dari  Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting punya analisis  menarik mengenai pergantian Panglima TNI tahun ini.  Menurut Selamat Ginting, pergantian Panglima TNI saat ini diwarnai dinamika politik yang sangat tinggi. Ada tarik menarik kepentingan politik di balik suksesi Panglima TNI, karena terkoneksi dengan pemilihan presiden 2024 mendatang. 

Selamat Ginting memperkirakan Jokowi akan melakukan reshuffle kabinet pada 20-21 Oktober ini, di saat pemerintahannya memasuki masa dua tahun pada periode kedua.  "Reshuffle kabinet ini apakah para kepala staf angkatan atau Panglima TNI akan masuk ke jajaran kabinet atau tidak?. Hal ini akan mempengaruhi konstalasi pergantian Panglima TNI," kata dia dalam wawancara dengan Hersubeno Arief dari FNN di kalan youtube, Jumat (8/10).  

Konsultasi ke Empat Tokoh

Selamat Ginting menduga molornya waktu pergantian Panglima TNI karena ada tarik menarik kepentingan politik. Kata Ginting, setidaknya Jokowi akan bertanya ke sejumlah orang untuk mencari calon Panglima TNI yang pas. 

Pertama Jokowi akan bertanya ke Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDIP sebagai partainya Presiden Jokowi dan partai pemenang pemilu 2014 dan 2019. Pendapat Megawati akan menjadi acuan.

Kedua adalah orang militer yang punya pengaruh kuat di kabinet yaitu Jenderal (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan.

Ketiga, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, karena Panglima TNi akan bekerja sama dengan Menhan. Keempat adalah Jenderal (Purn) Wiranto di Wantimpres.

“Empat orang ini akan mempengaruhi keputusan Presiden Jokowi.  Dan tentu saja Jokowi juga akan meminta pendapat dari Marsekal Hadi Tjahjanto tentang suksesornya. Ini bukan soal giliran matra atau tidak,  tapi terkait tarik menari kepentingan politik yang sangat tinggi,” kata kandidat doktor ilmu politik ini. 

Pergantian Panglima TNI ini, lanjut Selamat Ginting, terkait dengan rencana proses pergantian kepemimpinan nasional di tahun 2024. Kalau kita perhatikan survei-survei yang muncul dari kalangan militer sebagai bakal capres/cawapres ada empat orang. Mereka ialah Prabowo, AHY, Gatot Nurmantyo dan Andika Perkasa. Ditambah Budi Gunawan dari unsur purnawirawan Polri.  Nama Tito Karnavian justru belum muncul dalam beberapa survei.

"Jadi posisi Andika akan  menjadi tanda tanya besar. Apakah akan diplot menjadi Panglima TNI atau justru masuk dalam kabinet atau pejabat setingkat Menteri pada 20-21 Oktober 2021 ini," kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas. 

Andika Perkasa Dampingi Puan

Jika suara Andika Perkasa terus mencuat dalam beberapa survei, bukan tidak mungkin kata Ginting, Andika akan menjadi kandidat kuat sebagai bakal cawapres mendampingi Puan Maharani.  Jika Puan disandingkan dengan Prabowo Subianto, maka Puan akan menjadi orang nomor dua.

"Kalau dengan Prabowo posisi Puan akan menjadi nomor dua. Kalau dengan Gatot Nurmantyo dan AHY rasanya tidak mungkin dipasangkan. Karena beda haluan politiknya. Jadi ada  kemungkinannya Puan diduetkan dengan Andika Perkasa.  Ini yang akan menjadi tarik menarik kepentingan politik," ujar Selamat Ginting.

Dari situ saja, kata Ginting, ada kecenderungan Megawati menginginkan Andika Perkasa menjadi Panglima TNI. Begitu juga kemungkinan saran dari Luhut Binsar Panjaitan, Prabowo Subianto, dan Wiranto.  Ia meyakini Hadi Tjahjanto kemungkinan justru akan memilih Yudo Margono dengan alasan lebih dekat secara psikologis dan sosiologis dibandingkan hubungan Hadi dengan Andika Perkasa seperti terlihat di depan publik.

“Koneksitas komunikasi sosial Hadi Tjahjanto lebih dekat kepada Yudo Margono daripada dengan Andika Perkasa.  Ada kedekatan emosional, dan ada loyalitas. Nah, sekarang tinggal Jokowi. Apakah dia beani berbeda pendapat dengan Megawati serta tiga senior TNI yang mungkin akan diminta sarannya.”

Jadi, kata Ginting, tidak mungkin Jokowi akan mengabaikan Andika Perkasa. Jika tidak dipilih menjadi Panglima TNI, maka akan dicarikan tempat lain yang juga terhormat. Mirip seperti ketika Budi Gunawan batal menjadi kepala Polri, kemudian ditempatkan sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dan dinaikkan pangkatnya menjadi bintang empat.

Sehingga, lanjutnya, jika Andika dimasukkan dalam kabinet pada 20-21 Oktober 2021 ini, posisinya kemungkinan besar adalah Kepala Staf Kepresidenan (KSP) menggantikan Moeldoko.  Sudah ramai Moeldoko akan dicopot sebagai KSP. Posisi ini kemungkinan akan menjadi tempat bagi Andika Perkasa jika ia tidak direncanakan untuk menjadi Panglima TNI.

Apabila itu terjadi, lanjutnya, maka Andika harus pensiun satu tahun lebih dahulu dari usia maksimal pensiun militer 58 tahun. Sama dengan Tito Karnavian yang harus pensiun dini dari kepolisian, karena harus masuk kabinet.  “Apakah Andika mau? Apakah Andika juga berani menolak perintah presiden? Kita lihat saja perkembangannya," ujarnya. 

Tapi, lanjut Selamat Ginting, bukan berarti Moeldoko akan disingkirkan tanpa jabatan. Dia tetap masuk kabinet dengan posisi menteri.  Sebab, KSP adalah orang kepercayaan Presiden, sehingga tidak mungkin dibuang tanpa mendapatkan kompensasi jabatan lain setingkat menteri.

Menurut Selamat Ginting, untuk mencari figur Panglima TNI ini bukan cuma loyalitas tapi juga kedekatan serta komunikasi dengan presiden. Dari tiga kepala staf angkatan, Andika paling dekat dengan Presiden Jokowi, karena pernah menjadi Komandan Paspampres. Ini salah satu modal sosial yang dimiliki Jenderal Andika dibandingkan Laksamana Yudo Margono maupun Marsekal Fadjar Prasetyo. "Kalo kita lihat relasi politiknya Andika sangat diuntungkan dibandingkan kandidat lainnya," katanya.

Menurut Selamat Ginting, masa peralihan kepemimpinan nasional pada 2024 mendatang, membutuhkan stabilitas politik sangat kuat. Biasanya yang diperlukan adalah tokoh Angkatan Darat. Kenapa? Karena AD mempunyai basic teritorial yang baik setidaknya semenjak Orde Baru hingga sekarang. 

Ketika Hadi Tjahjanto dibiarkan sampai hampir empat tahun, maka Hadi adalah orang yang dipercaya Presiden Jokowi. Namun, sekaligus ada kecendrungan Presiden Jokowi mengulur-ulur waktu untuk Andika dalam meraih posisi Panglima TNI. Sehingga Andika hanya punya waktu satu tahun jika menduduki posisi Panglima TNI. Sebuah waktu yang sangat singkat untuk jabatan strategis sekelas Panglima TNI dan selama ini belum pernah ada jabatan ini hanya diemban selama satu tahun saja.

“Di sinilah nilai minus Andika Perkasa dari sisi waktu jelang pensiun. Sementara menjadi nilai plus bagi Yudo Margono dan Fadjar Prasetyo.”

Lompatan Dudung Jadi Panglima TNI

Bahkan skenario baru bisa terjadi jika Andika Perkasa masuk dalam kabinet pada 20-21 Oktober 2021 ini. Menurut Selamat Ginting, pengganti Andika sebagai KSAD bisa jadi Panglima TNI.  Walau dia menjabat hanya hitungan satu hari sekali pun.

"Misalnya Letjen Dudung Abdurachman dilantik menjadi KSAD pada 20-21 Oktober 2021 berbarengan dengan menteri kabinet. Pada November dia juga bisa diusulkan menjadi Panglima TNI. Karena syarat jadi Panglima TNI adalah orang yang pernah dan sedang menjadi kepala staf angkatan," ujar Selamat Ginting, wartawan senior yang sekitar 30 tahun mengamati masalah pertahanan keamanan. 

Jika Andika dimasukan dalam gerbong cabinet atau setingkat Menteri, seperti KSP, maka peluang KSAL Laksamana Yudo Margono menjadi sangat besar untuk menjadi Panglima TNI. Kesempatan bagi matra laut untuk Kembali memimpin Mabes TNI. Namun kata Selamat Ginting, ada satu hal yang menjadi kelemahan Yudo Margono yakni peristiwa tenggelamnya KRI Nanggala.  Ini yang mengganjal Yudo, karena sebagai pimpinan TNI AL, dia juga harus bertanggung jawab dalam peristiwa naas tersebut.

"Kalo Fadjar Prasetyo agak tipis peluangnya. Tidak mungkin Panglima dari AU kemudian kembali dikembalikan lagi ke matra udara lagi. Berbeda dengan matra darat sangat memungkinkan dari AD ke AD. Apa sebab? Karena AD jumlah personelnya sangat besar," ungkap Selamat Ginting.

Menurutnya, Jokowi dalam dinamika politik seperti saat ini butuh figur yang cukup berani mengambil risiko dibandingkan sejumlah jenderal lainnya. Terlepas dari kontroversi Dudung dalam kasus pencopotan baliho FPI dan HRS, tapi dia berani bertindak. Itu pertempuran proxi baginya. 

"Tentu bagi pendukung FPI dia dianggap cela. Namun, bagi Presiden Jokowi serta pihak yang berlawanan dengan cara FPI dan HRS, cara Dudung adalah kredit poin paling tinggi," ungkap Selamat Ginting.

Tipikal Dudung, menurutnya, adalah orang yang dibutuhkan Presiden Jokowi. Dalam beberapa kesempatan di Istana, misalnya. Ketika presiden mengumpulkan para Pangdam dan Kapolda. Jokowi tiga kali menyebut nama Dudung untuk dijadikan contoh pemimpin yang berani bertindak.  “Kalian harus berani seperti Dudung, sampai tiga kali diucapkan Jokowi,” ucap Ginting.

Dari situ ia  yakin, Dudung akan menjadi pimpinan TNI. Terbukti jadi Panglima Kostrad dan sekarang calon kuat KSAD. Nyaris tidak ada tandingan walaupun ada beberapa seniornya lulusan Akmil 1988-A maupun 1987. “Terlepas juga apakah ada hubungan relasi kuasa ataupun koneksi politik antara almarhum mertuanya sebagai pengurus Baitul Muslimin di PDIP.  Itulah Dudung dengan plus minusnya," katanya.

/selamatgintingofficial

 


07 October 2021

Pengamat hankam: Komcad Bagian dari Komponen Pertahanan


Foto: Youtube/Sekretariat Presiden

Pengamat pertahanan keamanan (hankam) dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting mengharapkan, kekuatan pertahanan Indonesia harus bisa memadukan kekuatan pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter. Pertahanan militer diorganisasikan ke dalam komponen utama, yakni TNI (Tentara Nasional Indonesia). Sedangkan organisasi untuk pertahanan nirmiliter dibedakan atas dasar hakikat dan jenis ancaman yang dihadapi.

“Dalam menghadapi ancaman militer, pertahanan nirmiliter diorganisasikan ke dalam komponen cadangan dan komponen pendukung. Keduanya disiapkan untuk menjadi pelapis komponen utama,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas, Selamat Ginting di Jakarta, Kamis (7/10).

Ia menanggapi peresmian penetapan komcad oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pasukan Khusus (Pusdiklatpassus) di Batujajar, Bandung, Jawa Barat, Kamis (7/10). Menurut Jokowi, komcad dibentuk guna mendukung TNI dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga kedaulatan negara dan keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Jokowi mengatakan, sistem pertahanan Indonesia ini bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya.

Menurut Selamat Ginting, dalam menghadapi ancaman nirmiliter, organisasi pertahanan nirmiliter disusun ke dalam pertahanan sipil. Hal ini untuk mencegah dan menghadapi ancaman yang berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan teknologi.

Dalam menghadapi ancaman yang berdimensi keselamatan umum, kata dia, bentuk pertahanan sipil dilaksanakan melalui fungsi-fungsi keamanan. Antara lain penanggulangan dampak bencana alam dan bencana yang ditimbulkan manusia, operasi kemanusiaan, SAR, wabah penyakit dan kelaparan, gangguan pada pembangkit tenaga listrik, transportasi, dan aksi pemogokan.

Dikemukakan, struktur organisasi pertahanan sipil dalam pertahanan nirmiliter berbeda dengan struktur sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer. Organisasi pada pertahanan sipil bersifat fungsional dan berada dalam lingkup kewenangan instansi pemerintah di luar bidang pertahanan.

Selamat Ginting menjelaskan, dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia terbukti sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta menjadi sistem yang mampu melawan penjajah dan berhasil menjadikan Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat.

Oleh karena itu, lanjutnya, sistem tersebut harus tetap dipertahankan dan dikembangkan. Sistem tersebut untuk menegakkan kedaulatan NKRI, menjaga keutuhan wilayah negara, dan menjamin keselamatan bangsa.

“Untuk menjamin tegaknya NKRI, fungsi pertahanan negara sangat berperan dalam menjaga kelangsungan bangsa,” kata Selamat Ginting, mantan wartawan senior Republika.  

Menurutnya, komponen cadangan dan komponen pendukung dapat diarahkan untuk mewujudkan kemampuan pertahanan yang melampaui kekuatan pertahanan minimal. Sekaligus untuk terwujudnya pertahanan nirmiliter dan kesadaran bela negara yang tinggi.

Jadi, kata dia, pembentukan komponen cadangan lebih berorientasi pada aspek kewilayahan. Sehingga setiap daerah memiliki kekuatan cadangan yang nyata dan dikembangkan secara bertahap dan berlanjut sampai mencapai kekuatan yang proporsional. 


/selamatgintingofficial

05 October 2021

TNI Harus Fokus Pada Ancaman Kedaulatan di Papua

Foto: Kodam Kasuari
kasuari18-tniad.mil.id

Presiden Joko Widodo menginstruksikan TNI selalu sigap menghadapi spektrum ancaman yang lebih luas, seperti pelanggaran kedaulatan, pencurian kekayaan alam di laut, radikalisme, terorisme, ancaman siber, dan ancaman biologi, termasuk juga ancaman bencana alam.

Pernyataan itu dikemukakan Presiden Jokowi dalam HUT ke 76 TNI di halaman depan Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (5/10).

Menurut pengamat komunikasi politik dan militer dari Univeritas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting, intruksi presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI itu merupakan bentuk perintah agar TNI antara lain fokus pada upaya mengatasi gerakan separatisme dan pemberontakan bersenjata.

“Penggunaan kekuatan pertahanan militer dalam menghadapi ancaman separatisme dan pemberontakan bersenjata dilakukan berdasarkan putusan politik pemerintah dan dilindungi oleh undang-undang,” kata Selamat Ginting, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas di Jakarta, Selasa (5/10/2021).

Kandidat doktor ilmu politik itu mengemukakan, penggunaan kekuatan TNI dapat dilaksanakan melalui OMSP (Operasi Militer Selain Perang) dengan mengembangkan strategi operasi yang tepat dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. 

“Menghadapi separatism bukan hanya dengan cara-cara militer semata, melainkan juga dengan cara nirmiliter dengan mengefektifkan fungsi-fungsi pembangunan nasional,” ujar Selamat Ginting yang malang melintang dalam liputan konflik di Papua.

Dikemukakan, akar masalah separatisme dapat diatasi melalui pendekatan kesejahteraan dan keadilan. Separatisme merupakan ancaman nyata yang melakukan regenerasi secara cepat.  Karena itulah, kata dia, TNI harus memahami fenomena dalam menyusun strategi pertahanan nirmiliter.

Menurutnya, momentum demokratisasi sejak 1998-1999 dimanfaatkan oleh kelompok separatis guna mencapai tujuannya. Baik dengan menggunakan pola perjuangan nonbersenjata serta berusaha mencari perhatian dan dukungan internasional. 

Untuk menghadapi kecenderungan ancaman separatisme, lanjut Selamat Ginting, unsur pertahanan nirmiliter harus berperan aktif untuk mencari dan menemukan solusi yang tepat dan efektif. 

Aparat pembinaan territorial (binter) TNI, kata dia, harus bisa bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat. Termasuk melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat untuk menyadarkan kelompok separatis.

“Ancaman separatisme berakar pada faktor-faktor nirmiliter sehingga harus dihadapi pula dengan pendekatan nirmiliter,” kata Selamat Ginting, mantan wartawan senior Republika. 

TNI, lanjutnya, harus bisa mengedepankan pendekatan nirmiliter dengan operasi binter untuk membawa seluruh warga Papua merasa nyaman tinggal dalam pangkuan Ibu Pertiwi, Indonesia. Hal ini penting agar bibit-bibit separatisme tidak berkembang. 

Rasa kebanggaan rakyat Indonesia sebagai bangsa yang bersatu dalam wadah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan yang ber-Bhinneka Tunggal Ika harus terus ditanamkan dan dikembangkan di Papua. “Mumpung ada momentum bagus, yakni pelaksanaan PON (Pekan Olahraga Nasional) di Papua.”


Ancaman Terorisme

Sedangkan mengenai ancaman terorisme, menurut Selamat Ginting, Indonesia telah mememiliki undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003. Penerapan undang-undang tersebut cukup efektif dan memberikan efek tangkal yang besar. 

Menurutnya, penanganan aksi kejahatan terorisme dapat dilakukan melalui pendekatan pertahanan militer. Secara hukum penanganan ancaman terorisme merupakan bagian dari fungsi pertahanan negara untuk melindungi segenap warga bangsanya.

Indonesia, lanjutnya, telah meratifikasi dua konvensi internasional mengenai pemberantasan terorisme. Yakni Konvensi Internasional Pemberantasan Pemboman oleh Terorisme Tahun 1997 serta Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999. 

Dikemukakan, dengan menyadari bahwa terorisme memiliki jaringan internasional, Indonesia menjalin kerja sama dengan negara-negara lain untuk menangani masalah terorisme. Kerja sama tersebut diwujudkan dalam bentuk pertukaran informasi intelijen, pembangunan kapabilitas, serta pertemuan-pertemuan untuk membicarakan perkembangan ancaman terorisme dan langkahlangkah untuk mengatasinya. 

Lalu di mana posisi TNI? Menurut pengamat militer itu, penanganan terhadap ancaman terorisme, baik terorisme internasional maupun terorisme dalam negeri merupakan bagian dari tugas TNI. Hal ini diamanatkan oleh Undang-Undang No.34 tahun 2004 tentang TNI. 

Tugas tersebut, lanjutnya, dilaksanakan TNI dengan pola pendekatan preventif dan represif maupun koersif. Penanganan dengan pola preventif lebih diutamakan dengan mengintensifkan fungsi intelijen, penggunaan satuan-satuan khusus yang dipersiapkan sebagai kekuatan responsif, serta pemberdayaan Komando Kewilayahan TNI dan satuan-satuan TNI. 

Fungsi intelijen yang dimiliki TNI dan jajarannya, kata Selamat Ginting, mempunyai tugas ikut dalam mengumpulkan informasi tentang kegiatan terorisme di seluruh wilayah kerja TNI. Sehingga TNI dapat mendayagunakan kemampuan intelijen yang berbasis manusia serta intelijen teknik. 

Ia meyakini, pelaku-pelaku aksi terorisme juga memanfaatkan kemajuan teknologi dalam melakukan aksinya. Sehingga fungsi intelijen TNI dalam penanganan terorisme harus mengoptimalkan kemampuan penginderaan dini berbasis human intelligent. 

“Tentu saja harus dilengkapi dengan sarana teknologi yang mampu mendeteksi kegiatan dan keberadaan pelaku kejahatan terorisme,” pungkas Selamat Ginting.


/selamatgintingofficial


29 September 2021

TNI Penjaga Ideologi Pancasila

Tanggapan pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting terhadap pernyataan mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo soal TNI dan PKI pada webinar, Ahad (26/9).  

Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting menjelaskan, TNI merupakan benteng terakhir pengawal ideologi Pancasila. TNI menjadi salah satu profesi di Indonesia yang wajib memegang teguh ideologi Pancasila. Bukan ideologi lainnya di luar Pancasila.

“Jadi, TNI sudah belajar banyak dari penghianatan ideologi lain, termasuk penghianatan PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1948 dan 1965. Sehingga TNI berusaha keras untuk tidak lagi disusupi ideologi lain, termasuk ideologi komunis,” kata kandidat doktor ilmu politik itu di Jakarta, Rabu (29/9).

Ia mengemukakan hal tersebut terkait pernyataan mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo yang mengindikasikan terjadinya penyusupan di tubuh TNI pada sebuah webinar Ahad (26/9) malam dengan tema: TNI vs PKI.

“Jangankan komunis, ketika partai politik dan kelompok lainnya ragu-ragu menerima atau menolak ide Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis), Angkatan Darat dengan tegas menolak Nasakom, karena bertentangan dengan Pancasila. Itu pula yang dimaksud politik TNI adalah politik negara,” ungkap Ginting. 

Pimpinan TNI tahun 1962-1965, lanjut Ginting, terutama Menteri Koordinator (Menko) Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) Jenderal TNI AH Nasution, serta Menteri /Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani dkk menolak tegas nasakomisasi, ideologi komunis serta rencana pembentukan Angkatan Kelima, yakni buruh tani dipersenjatai. Mereka kemudian menjadi korban kebiadaban PKI.

“Belajar dari pengalaman buruk penghianatan PKI tersebut, TNI tentu berusaha keras akan menolak ideologi lain. Sehingga menjadi tanda tanya besar jika ada yang meragukan ideologi prajurit TNI saat ini,” ungkap dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu.

Ginting tidak sependapat dengan pernyataan tudingan Gatot Nurmantyo. Alasannya, kata dia, ada dua hal. Pertama; para prajurit telah diikat dalam sumpah ketika dilantik menjadi prajurit TNI. Dalam sumpah dan janji pertamanya dinyatakan: akan setia kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Kedua; para prajurit TNI diikat dengan tujuh jalan hidupnya yang disebut Sapta Marga. Pada marga pertama dan kedua, jelas-jelas disebutkan tentang Pancasila. Pada marga pertama, sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila. Kemudian pada marga kedua, sebagai patriot Indonesia, pendukung serta pembela ideologi negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah.

“Mengapa Gatot Nurmantyo tidak mengacu pada dua hal tersebut? Apalagi Gatot pernah menjadi Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat), KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) dan Panglima TNI. Mengapa dia meragukan penerusnya di TNI saat ini,” kata Ginting dengan penuh tanya. 

Setelah peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G30S)/PKI, menurut Ginting, dalam rekrutmen prajurit TNI, sangat ketat menyeleksi penilaian mental ideologi. Bahkan ditelusuri hingga garis keturunan orangtua dan kakek neneknya. Sering disebut sebagai bersih diri dari ideologi lain, selain Pancasila.

Ia menjelaskan, para perwira tinggi aktif saat ini, umumnya justru lahir setelah peristiwa kelam tahun 1965. Ia mencontohkan Panglima Kostrad Letjen TNI Dudung Abdurachman, misalnya. Kelahiran November 1965 dan dilahirkan dari keluarga besar TNI di Kodam Siliwangi. Kodam Siliwangi dikenal sebagai Kodam yang sangat anti komunis sejak bernama Divisi Siliwangi dipimpin Kolonel (Infanteri) AH Nasution.

“Ingat, ujung tombak penumpasan pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun dan sekitarnya adalah Siliwangi,” kata Ginting yang malang melintang sebagai wartawan senior dalam liputan pertahanan keamanan negara itu.

Selain itu, Kostrad dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) menjadi ujung tombak penumpasan G30S/PKI tahun 1965. Cikal bakal RPKAD yang kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu juga berasal dari Kodam Siliwangi. Sejumlah batalyon Kostrad di Jawa Barat, umumnya juga berasal dari Kodam Siliwangi yang dialihkan kepada Kostrad.

Ginting menjelaskan, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono, Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo, seperti juga Letjen TNI Dudung Abdurachman merupakan kelahiran 1965, Ketika TNI sedang menumpas pemberontakan PKI. 

Ada pun Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa, tergolong masih bayi pada saat terjadinya pemberontakan PKI. Kedua perwira tinggi itu pun berasal dari keluarga besar TNI. Mereka lahir dimana tidak ada tempat bagi ideologi di luar Pancasila yang diterapkan sangat keras oleh pemerintahan Orde Baru.

“Cita-cita awal Orde Baru adalah menjalankan Pancasila secara murni dan konsekuen. Itu nilai baik yang diterapkan Orde Baru setelah belajar dari kegagalan Demokrasi Terpimpin atau Orde Lama,” ungkap Ginting.

Selamat Ginting mengungkapkan, Sapta Marga yang menjadi pedoman prajurit TNI dicetuskan pada 5 Oktober 1951, saat TNI merayakan ulang tahun yang keenam. Kode etik prajurit TNi tersebut, dimaksudkan untuk mencegah perpecahan di dalam tubuh TNI, terutama dari ideologi lain, selain Pancasila.

Ia menjelaskan, para tokoh perumus Sapta Marga yang dipimpin Kolonel  Bambang Supeno merancang rumusan jalan hidup tentara itu dengan meminta masukan dari sejumlah para pemikir TNI serta para tokoh bangsa. Antara lain Supomo, Ki Hajar Dewantara, Husen Djajadiningrat dan Mohammad Yamin.

“Pimpinan TNI saat itu menyadari bahwa ke depan TNI akan menghadapi tarikan ideologi lain di luar Pancasila.  Jadi, saat ini janganlah TNI dituding-tuding lagi disusupi ideologi lain. Anggap saja sebuah peringatan, tapi jangan menuding, karena berbahaya sekali. Apalagi TNI adalah garda terakhir ideologi Pancasila,” pungkas Ginting.

/selamatgintingofficial

06 April 2021

Politik Global, Militer, dan Kepentingan Nasional

Foto: Dokumen Pribadi

Artikel ini tayang di Republika Online pada 7 April 2021.

Merupakan kepercayaan ketika diminta diskusi empat mata. Berdua dengan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa di ruang kerjanya, Mabesad, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Membahas perkembangan politik global. Khususnya multilateral diplomacy (security diplomacy, human right diplomacy, economic diplomacy). Tentu saja utamanya soal security diplomacy. Mulai peace keeping, peace making, regionalism, dan self defence.

Semuanya dalam konteks kepentingan nasional Indonesia. Saya mendorong TNI lebih aktif lagi dalam diplomasi militer. Hal ini untuk mendukung diplomasi luar negeri dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia.

Misalnya, Papua dan Papua Barat adalah kedaulatan sah Indonesia berdasarkan resolusi PBB tahun 1969. Tetapi tidak bisa berpangku tangan begitu saja. Politik global itu dinamis. Lepasnya Sipadan, Ligitan, serta Timor Timur, menjadi pelajaran penting 'lengahnya' politik luar negeri kita.

Lulusan terbaik Sekolah Staf dan Komando AD (Seskoad) 1999/2000 itu menceritakan program penerimaan tentara otonomi khusus bagi orang asli Papua. "Kami rekrut dengan pertimbangan khusus. Saya ambil risiko dan saya siap bertanggung jawab."

Untuk mempertahankan kedaulatan, tidak bisa hanya mengandalkan ujung senapan, ujung meriam, dan belati terhunus. Upaya diplomasi militer harus terus dilakukan. Politik TNI adalah politik negara. Demi negara segala pertimbangan, termasuk dari sisi antropologi dilakukan TNI.

Jenderal bintang empat dengan kualifikasi pasukan komando. Ia terbuka menerima perbedaan pendapat. Beberapa kali tulisan saya 'pedas'. Tetapi Andika tidak marah. Sebaliknya, justru mengajak diskusi. Persis perdebatan di kelas dengan argumentasi dan teori.

Ia memang sekolah di luar negeri. Pernah mengenyam pendidikan militer di National War College dan Norwich University. Juga meraih gelar master di Universitas Harvard. Termasuk gelar doktor dari Universitas George Washington.

Sebelum diskusi empat mata, KSAD Jenderal Andika mengajak berkeliling bangunan utama Mabesad yang sedang direnovasi. Andika memadukan bangunan cagar budaya dengan peralatan dan disain modern.

"Ini bangunan heritage, tidak bisa sembarangan dibongkar. Saya menambah beberapa hiasan antik dan klasik termasuk marmernya agar terlihat cantik," ujar lulusan Akmil 1987 itu.

Ia juga membangun lift modern untuk tamu yang sepuh maupun disabilitas. "Kasihan jika sesepuh TNI ke ruangan KSAD di Mabesad harus melalui tangga."

Gedung utama, antara lain ditempati KSAD, Wakil KSAD, dan para asisten KSAD. Pada 15 Januari 1950, tentara KNIL menyerahkan general headquarter (markas besar) KNIL kepada KSAD Kolonel (Infanteri) AH Nasution. Di situlah awal mula Mabesad.

Penyerahan dilakukan secara resmi oleh Letjen Boerman van Vreiden kepada Kolonel AH Nasution  Dihadiri oleh Komisaris Tinggi Belanda serta Panglima Belanda, Laks Vingke.

Acara ini juga dihadiri Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Jenderal Mayor TB Simatupang, KSAL Kolonel Laut Subiyakto, dan KSAU Kolonel Udara Suryadarma. Dahulu belum ada pangkat Brigadir Jenderal. Di atas Kolonel adalah Jenderal Mayor, Letnan Jenderal, dan Jenderal.

Terima kasih, Jenderal Doktor Andika. Sudah memberikan kesempatan selama 1,5 jam untuk diskusi empat mata demi MERAH PUTIH.

/selamatgintingofficial


Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...