18 June 2019

Rezim Murka Lawan Jenderal Pembangkang


Foto: Republika Online

Oleh Selamat Ginting
Mengapa jenderal kritis harus dilawan dengan hukum subversif dan tuduhan makar?

Peristiwa 26 tahun lalu.  Tepatnya, Juni 1993. Salah satu liputan politik paling menarik perhatian penulis saat awal menjadi wartawan. Ketika itu, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) BJ Habibie mengundang Letjen Marinir (Purn) Ali Sadikin dkk berkunjung ke PT PAL Surabaya.
Apa menariknya? Sangat menarik, karena mantan Gubernur DKI Jakarta bersama sejumlah jenderal dan politikus masuk dalam daftar kaum ‘pembangkang’. Membangkang terhadap pemerintah Orde Baru, pimpinan Jenderal (Purn) Soeharto. Kelompok pembangkang di antaranya adalah jenderal-jenderal militer dan polisi yang tergabung dalam penandatangan Petisi 50, tahun 1980.
Sebut saja, mantan Menko Hankam / Kepala Staf ABRI, Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution; mantan Panglima Kodam Siliwangi, Letjen (Purn) HR Darsono, mantan Panglima Kostrad, Letjen (Purn) A Kemal Idris, mantan Menteri / Wakil Panglima Angkatan Laut, Letjen (Purn) Ali Sadikin; mantan Kepala Polri, Jenderal (Purn) Hoegeng dll.
Selama 13 tahun, kelompok Petisi 50 menjadi oposisi terhadap Presiden Soeharto. Undangan Habibie kepada para pembangkang itu menarik perhatian pers. Tentu saja ingin mengetahui apa reaksi Jenderal Soeharto. Di luar dugaan, kata Habibie, Pak Harto justru merestui inisiatif tersebut.

"Habibie, mereka adalah kawan seperjuangan saya. Mereka adalah Angkatan 45 yang berperan menjadikan kamu seperti sekarang ini," begitu ucapan Pak Harto yang dikutip Habibie. Sejak itulah hubungan antara pemerintah dan penggagas Petisi 50 yang semula kaku dan membeku, perlahan mulai cair. Babak baru percaturan politik era Orde Baru dimulai.
Jenderal kritis
Petisi 50, bukan orang sembarangan. Mereka seperti diakui Soeharto, mempunyai jasa untuk bangsa dan negara. Gerakan oposisi ini diawali dari kelompok Brasildi.  Nama ini tidak ada hubungannya dengan negara paling banyak menjadi juara dunia sepakbola, Brasil. Brasildi adalah akronim dari divisi yang kemudian menjadi komando daerah militer (kodam). Brawijaya, Siliwangi, dan Diponegoro. Komando utama militer di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. 
Grup diskusi ini beranggotakan sejumlah pensiunan elite dari tiga divisi tersebut.  Brawijaya diwakili antara lain Letjen (Purn) GPH Djatikusumo, Letjen (Purn) Sudirman dan Letjen (Purn) M. Yassin. Djatikusumo adalah orang pertama yang menjadi KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat). Dari Siliwangi, ada nama-nama seperti:  Letjen (Purn) Kemal Idris, Brigjen (Purn) Alex Kawilarang, Letjen (Purn) AY Mokoginta. Dari Diponegoro ada nama-nama seperti: Mayjen (Purn) Moenadi H, Mayjen (Purn) Brotosewoyo, dan Mayjen (Purn) Iskandar Ranuwiharjo.
Para purnawirawan kritis itu aktif melakukan diskusi saat situasi politik memanas jelang pemilu 1977. Brasildi kemudian menjadi Fosko (Forum Studi Komunikasi) TNI AD 1978, Yayasan Kartika Eka Paksi. Pimpinannya adalah GPH Djatikusumo.  Salah satu kesimpulan diskusi  para jenderal pensiunan itu menilai suasana politik ‘kurang sehat’. Bahkan Sidang Umum MPR 1978, mirip perang!
Mereka juga mengritik TNI/ABRI belum menempatkan dirinya di atas semua golongan. Menyimpang dari semangat politik TNI adalah politik negara.  Belakangan mantan Panglima Siliwangi yang juga Sekjen ASEAN, Letjen (Purn) HR Dharsono masuk ke dalam Fosko dan diangkat menjadi sekjen mendampingi Djatikusumo.
Kritik mereka terhadap Mabes ABRI semakin keras dan mempertanyakan arah kebijakan Dwifungsi ABRI. Juga protes keras terhadap langkah politik Golkar sebagai partai pemerintah yang membuat sejumlah rekayasa ‘kecurangan’ pemilu dan sidang umum.
Langkah berani para purnawirawan membuat KSAD Jenderal Widodo serba salah.  Ia tak bisa lagi mengendalikan para seniornya yang sudah purnawirawan.  Widodo serba salah harus menjelaskannya kepada Presiden Soeharto. Akhirnya ia membubarkan Fosko pada Mei 1979. Namun membiarkan para jenderal gaek itu membuat wadah baru Forum Komunikasi dan Studi Purna Yudha (FKS).
Dituduh makar
Para senior ini ingin langsung menemui Presiden Soeharto, tanpa melalui KSAD. Jenderal Widodo mempersilakan. Momentumnya saat Soeharto ke Jawa Tengah, November 1979. Di luar dugaan, mereka malah dituduh hendak makar terhadap pemerintah. Sekali lagi dituding akan melakukan makar. Pertemuan pun tidak jadi berlangsung.
Setelah itu, Jenderal (Purn) AH Nasution berinisiatif memperlebar para tokoh, bukan hanya pensiunan TNI Angkatan Darat. Mengundang pensiunan Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian, serta sejumlah tokoh bangsa. Lahirlah Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB),  pada Juli 1978. Proklamator Mohamad  Hatta, Sunario, Ahmad Subardjo, Ali Sadikin, Hoegeng Imam Santoso, dll.
AH Nasution dkk mengritik Orde Baru belum menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara benar.  Kemudian Ali Sadikin dkk bertemu DPR dan mengeluarkan pernyataan keras terhadap pemerintahan Orde Baru yang dinilainya cenderung semakin otoriter.
Presiden Soeharto pun murka. Murka saat rapat pimpinan ABRI pada 27 Maret 1980 di Pekanbaru. Dilanjutkan pada hari jadi ke 28 tahun Kopassanda, kini Kopassus, 16 April 1980 di Cijantung, Jakarta. Soeharto mengingatkan jajaran TNI/ABRI akan adanya kelompok yang ingin mengganti Pancasila. Ia mengaku tak ingin ada konflik bersenjata.
“… (kalau terpaksa) lebih baik menculik seorang dari 2/3 anggota (MPR) yang hendak mengubah UUD 1945 dan Pancasila, agar kuorum tak tercapai,” kata Soeharto.
Aku Pancasila
Soeharto mulai ‘mempersonifikasikan’ dirinya sebagai Pancasila. ‘Akulah’ Pancasila. Sehingga yang berseberangan dengan dirinya dianggap bukan Pancasila.  Soeharto juga menolak isu-isu negatif yang ditujukan pada diri dan keluarganya.

Pernyataan Soeharto dibalas oleh para senior, terutama purnawirawan TNI dan Polri. Ali Sadikin, Hoegeng, Mayjen (Purn) Aziz Saleh dkk kemudian mengundang AY Mokoginta dan M Yassin dari FKS Purna Yudha. Mereka merancang petisi yang dinamai Surat Keprihatinan. Surat itu ditandatangani pada 5 Mei 1980. Sejumlah tokoh bangsa yang ikut andatangan, antara lain: Syafrudin Prawiranegara, Kasman Singodimejo, M Natsir, dan Slamet Bratanata.
Ada 50 orang yang ikut menandatangani surat keprihatinan, maka dinamai Petisi 50. Surat itu dikirim ke DPR dan meminta lembaga legislatif menanggapinya.  Sejumlah anggota DPR dari F-PP dan F-PDI memimta Syafrudin Prawiranegara, Kasman Singodimejo, M Natsir, Slamet Bratanata, pimpinan DPR meneruskan pertanyaan kepada pemerintah.  
Lalu, pada 14 Juni 1980, Ketua DPR Daryatmo meneruskan pertanyaan itu kepada Presiden. Dua bulan kemudian, Presiden Soeharto menjawab melalui Menteri/Sekretaris Negara, Sudharmono.  Namun  dianggap oleh kelompok Petisi 50 bukan merupakan jawaban. Ali Sadikin dkk menganggap persoalan belum selesai.
"Apa yang dilakukan oleh mereka yang menamakan diri Petisi 50, tidak saya sukai," kata Pak Harto dalam otobiografi ‘Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya’.
Perang pun dimulai. Pemerintah Soeharto mencekal (cegah tangkal) ke luar negeri bagi semua anggota Petisi 50 yang tidak bersedia mencabut pernyataannya. Bukan cuma itu, sejumlah hak perdatanya juga ditutup. Misalnya, Ali Sadikin tidak bisa mendapat kredit dari bank.  Perusahannya, PT Arkalina terpaksa ditutup.
Ayah Ton


Konflik antara Presiden Soeharto dengan kelompok Petisi 50 terus berlanjut. Puncaknya pada 1984. Terjadi peristiwa Tanjung Priok dan pengeboman Bank BCA di Jakarta. Dua peristiwa itu menjadi pintu masuk bagi rezim Soeharto memberangus kelompok oposisi, baik Petisi 50 maupun gerakan Islam.

Dua tokoh Petisi 50, mantan Menteri Perindustrian (1966-1968) M Sanusi dan Letjen (Purn) HR Dharsono ditangkap Kopkamtib. Keduanya dituduh terkait pengeboman itu.  Sanusi dituduh sebagai koordinator para pelaku teror yang melakukan pengeboman dan gerakan makar lainnya. 

Dalam persidangan terungkap, adanya rekayasa terhadap peran Sanusi. Para saksi mencabut kesaksian mereka dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Mereka mengaku diintimidasi dan disiksa di penjara saat membuat BAP.  

Sedangkan Jenderal Dharsono dituduh memimpin rapat-rapat para teroris setelah meletusnya peristiwa Tanjung Priok.  Sang  jenderal pun dipenjara selama hampir enam tahun.  Padahal ia hanya memprotes tindakan ABRI yang menembaki rakyat di Tajung Priok.  Tindakan sewenang-wenang yang menewaskan sejumlah orang. Ia minta pemerintah dari pimpinan ABRI harus bertanggung jawab terhadap hilangnya nyawa rakyat.

Begitulah saat rezim panik. Semua lawan politik dikriminalisasi dengan rekayasa hukum.  Oposisi diberangus tanpa ampun. Tak peduli dengan jasa-jasa para bekas menteri maupun pensiunan jenderal.  

Pada 1990, sebagai mahasiswa, penulis turut simpati dan menyambut bebasnya Letnan Jenderal (Purn) Hartono Rekso Dharsono atau dikenal sebagai HR Dharsono dari penjara LP Cipinang. Memakai kaos putih bergambar HR Dharsono dan menyambutnya bagai pahlawan menang perang.
 
Setelah bebas dari penjara, ia mengalami penyakit bronchitis dan kanker. Tentu saja dampak penderitaan yang dialaminya selama di penjara. Ia wafat pada pertengahan 1996.  Ironisnya, pemerintah melarang jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Ia hanya dimakamkan di pemakaman umum.

Letjen (Purn) Kemal Idris sampai menangis melihat perlakuan pemerintah terhadap HR Dharsono. “Ini seperti pemakaman kucing. Padahal dia pahlawan.”  Sebab, semua tanda kehormatan negara, tanda jasa, serta pensiunnya sebagai jenderal, tidak pernah dicabut oleh negara.     

/selamatgintingofficial






17 June 2019

Jenderal Sarwo, Isu Makar dan Flamboyan Terbuang


Foto: Wikipedia

Oleh Selamat Ginting

Mengapa Jenderal Sarwo diisukan akan melakukan makar? Mengapa ia terbuang dari lingkaran kekuasaan?

Penangguhan penahanan terhadap mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen dan mantan Komandan Jenderal Kopassus Soenarko, tak berujung. Kedua jenderal itu tetap tidak bisa menikmati dua hari Idul Fitri 1440 Hijriah atau 2019 Masehi. Mereka masih di rumah tahanan (rutan) Polisi Militer Kodam Jaya di Guntur, Jakarta Selatan.
“Belum ada info lebih lanjut soal penangguhan penahanan,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo kepada wartawan  di Jakarta, Selasa (4/6/2019) lalu. Artinya, kedua jenderal pensiunan itu tetap ditahan saat Idul Fitri.
Kasus Jenderal Kivlan dan Narko mengingatkan penulis pada 30 tahun lalu, sekitar 1989-1990. Saat masih menjadi mahasiswa FISIP, jurusan ilmu politik, Universitas Nasional, Jakarta.  Sejak mahasiswa, turut simpati terhadap kasus yang menimpa sejumlah jenderal yang dizalimi dan beroposisi era Presiden Soeharto .

Jenderal sederhana
Pada 1989, misalnya. Bersama sejumlah aktivis mahasiswa Unas, datang malam hari ke Komplek Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur. Melayat almarhum Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, yang wafat pada November 1989.  Bagi penulis, Jenderal Sarwo adalah pahlawan yang berhasil menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965-1967.

Sarwo sebagai jenderal sederhana dan bersahaja. Bukan pencitraan! Tinggal di rumah dinas Kopassus tipe 70. Rumah perwira tinggi,  bintang tiga, seperti layaknya rumah komandan kompi, untuk pangkat lettu senior atau kapten. Sederhana dan tidak cukup luas. Bangunan dan perabotan rumahnya juga sederhana. Bukan seperti bayangan semula. Bayangan semula seperti rumah dinas Komplek Perwira Tinggi Angkatan Darat di belakang Gedung Balai Kartini, Jl Gatot Subroto, Jakarta Selatan.

Ia memang jenderal flamboyan. Tingkah laku tentara ini menarik perhatian dan mudah dikenali wartawan. Mahasiswa tahun 1965-1967 menyukai penampilannya dengan baret merah, loreng darah mengalir, dan keakrabannya dengan kelompok pemuda, mahasiswa, dan pelajar yang anti PKI.  Kolonel Sarwo melindungi demonstrasi menentang Presiden Sukarno dalam aksi Tritura (tiga tuntutan rakyat).

Aksi gelombang demonstrasi Tritura pada Januari 1966 muncul karena pemerintah Sukarno tidak segera mengambil tindakan membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keadaan negara semakin parah dari sisi politik dan ekonomi.  Harga barang-barang naik sangat tinggi, terutama bahan bakar minyak (BBM).  Tuntutan Tritura adalah; pembubaran PKI, perombakan kabinet Dwikora, dan turunkan harga pangan.

Kembali ke rumah duka Sarwo Edhie pada malam menjelang hari Pahlawan 1989. Malam itu, tidak terlihat sosok Letkol (Infanteri) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menantu Sarwo Edhie. Dari daftar riwayat hidupnya, SBY sedang menjadi perwira siswa Seskoad di Bandung. Ada tiga menantu Sarwo yang saat itu juga berpangkat sama. Selain SBY (lulusan Akmil 1973), ada Letkol Erwin Sudjono (Akmil 1975), dan Letkol Hadi Utomo (Akmil 1970).
Sarwo memang sederhana. Bahkan irit sekali, karena tidak memiliki cukup uang. Supaya irit dan tidak bolak balik cuti meninggalkan tugasnya sebagai duta besar di Korea Selatan, ia sampai menikahkan tiga putrinya sekaligus dalam satu hari.

Mereka menikah pada akhir Juli 1976. Hal itu diungkapkan almarhumah Kristiani Herrawati dalam buku ‘Ani Yudhoyono Kepak Sayap Putri Prajuirit’. Putri kedua Sarwo, Wrahasti Cendrawasih menikah dengan Erwin Sudjono. Putri ketiga, Kristiani Herrawati menikah dengan SBY. Putri keempat, Mastuti Rahayu menikah dengan Hadi Utomo.  Putri pertama Sarwo, Wijiasih Cahyasasi sudah menikah lebih dahulu di Korea Selatan.
Itulah empat putri Sarwo Edhie. Anak kelimanya adalah Pramono Edhie Wibowo. Ia mengikuti jejak ayahnya menjadi Kopassus. Saat ayahnya wafat, Pramono Edhie sudah berpangkat Kapten (Infanteri). Anak keenam, Retno Cahyaningtyas dan ketujuh Hartanto Edhie Wibowo.

King Maker
Siapa sesungguhnya Sarwo pada saat pemerintahan Presiden Soeharto? Menurut wartawan senior dan guru besar ilmu politik, Prof Dr Salim Said dalam buku ‘Menyaksikan 30 tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016)’, nasib Sarwo senaas beberapa ‘king maker’ lainnya. King maker adalah istilah bagi sosok yang membuat orang lain menjadi raja.

Sarwo berperan menjadikan Jenderal Soeharto sebagai Presiden. Ia menjadi Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang kini dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Komandan RPKAD yang menghabisi PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur era 1965-1967.  Soeharto resmi menjadi presiden pada 1968.

Setelah menjadi Komandan RPKAD yang legendaris, ia  dipromosikan menjadi Panglima Kodam Bukit Barisan di Medan (1967-1968). Kemudian Panglima Kodam Cenderawasih di Jayapura (1968-1970). Saat menjadi Panglima di Medan, cerita Salim Said, Sarwo diisukan akan melakukan kudeta (makar) terhadap Presiden Soeharto.

Sarwo terkejut dengan isu tersebut. Ia pun menghadap Presiden Soeharto membantah isu tersebut. Pak Harto tak menjawab hanya tersenyum saja, seperti gaya khasnya. Akhirnya Sarwo tahu siapa orang yang mengembuskan isu dirinya akan melakukan makar. Lingkaran intelijen Presiden Soeharto diduga berusaha menyingkirkannya dan menjauhkannya dari sang presiden.

Masih di era itu, Sarwo pun akan diplot menjadi duta besar di Uni Soviet. Rumors tersebut  membuat morilnya jatuh. Bagaimana mungkin ia yang memberangus komunis di Indonesia, kemudian akan di tempatkan di Moskow. Negeri ‘tirai besinya’ komunis. Sebuah penghinaan baginya. Ia merasa kembali ‘dikerjain’ kelompok intelijen di lingkaran Soeharto.  Hal tersebut terungkap dalam buku ‘Ani Yudhoyono Kepak Sayap Putri Prajuirit’.

Namun, rencana penempatan itu batal. Sarwo justru dipindahkan menjadi Panglima Kodam Cendrawasih. Situasi genting, karena akan ada penentuan pendapat rakyat (pepera) 1969 atau referendum rakyat Irian Jaya. Apakah akan tetap memlih Indonesia atau ikut Belanda? Nasib karier militer Sarwo juga akan ditentukan di sini.

Hasilnya, rakyat Irian Jaya tetap memilik Indonesia sebagai Ibu Pertiwinya.  Keberhasilan Brigjen Sarwo di Irian Jaya tidak lantas mengangkat karier militernya. Misalnya menjadi panglima Kodam di Pulau Jawa. Ia justru dipromosikan menjadi mayjen dengan jabatan Gubernur Akabri di Magelang selama empat tahun (1970-1974).  Di sini hikmahnya, ia mengenal ketiga calon menantunya.

Calon Presiden
Kemudian Sarwo menjadi duta besar RI di Korea Selatan pada 1974-1978. Lalu ditugas karyakan sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Luar Negeri selama lima tahun, 1978-1983. Pensiun sebagai letjen. Ia tidak diberi kesempatan menjadi panglima Kodam di Jawa yang lebih prestise. Sehingga kehilangan kesempatan menjadi Panglima Kowilhan untuk jenderal bintang tiga. Sembilan tahun, Sarwo tanpa jabatan militer.  Jenderal tanpa pasukan membuatnya kehilangan kharisma, seperti era 1965-1967.

Usai pensiun, ia diberi tugas sebagai Kepala Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7) pada 1984-1987.  Ia juga diberi jabatan sebagai dewan pengawas Bank Bumi Daya. Kemudian namanya masuk sebagai calon Ketua DPR periode 1987-1992 dari Fraksi Golkar DPR RI.

Sarwo sudah mengundurkan diri sebagai Kepala BP-7 untuk menyongsong jabatan lain. Namun, Presiden Soeharto justru memilih Letjen Kharis Suhud sebagai Ketua DPR. Bukan dirinya. Padahal media massa memperkirakan Sarwo akan menjadi orang nomor satu di lembaga legislatif.

Sarwo kemudian mundur  teratur sebagai anggota DPR. Ia cuma menjalaninya selama sekitar setengah tahun sebagai anggota parlemen. Di balik itu, pada 1984, sesungguhnya sejumlah bekas aktivis mahasiswa 1966 sudah menghubungi Sarwo dan memintanya menjadi calon presiden periode 1988-1983. Alasan para mantan aktivis mahasiswa, Soeharto sudah 20 tahun menjadi presiden. Sudah cukup lama menduduki jabatan tersebut dan pada era itu semakin otoriter.

Pertemuan rahasia para mantan aktivis mahasiswa dengan Sarwo itu pernah diungkapkan Fahmi Idris pada penulis sekitar tahun 1999 di kantornya, Kementerian Tenaga Kerja.  Pertemuan aktivis dengan Sarwo dilakukan usai penangkapan terhadap mantan Panglima Kodam Siliwangi, Letjen (Purn) HR Dharsono.

Tuduhannya tidak main-main. Mantan sekjen ASEAN itu dituduh akan melakukan makar atau subversif pada 1984. Subversif adalah upaya pemberontakan dalam merobohkan struktur kekuasaan termasuk negara. Sedangkan maker diartikan sebagai upaya membunuh atau merampas kemerdekaan atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden dalam memerintah.

Penangkapan terhadap jenderal yang turut menjadikan Soeharto sebagai presiden itu terjadi usai sejumlah peristiwa berdarah Tanjung Priok, dan peledakan Bank BCA di dua lokasi di Jakarta. Dalam persidangan Dharsono membantah semua tuduhan makar atau subversif kepada dirinya.  Namun ia tetap harus mendekam di penjara selama lebih dari lima tahun.

Sebelum kasus yang menimpa Dharsono, para mantan aktivis mahasiswa juga sudah menjajaki kemungkinan Sarwo menjadi calon presiden, saat menjadi duta besar di Korea Selatan.  Entah Presiden Soeharto mengetahui pertemuan itu atau tidak. Yang  jelas, Sarwo terus ‘dikurung’ dalam jabatan-jabatan yang tidak populer. Soeharto memang cenderung tidak menyukai jenderal-jenderal popular di lingkarannya. Tidak boleh ada dua matahari kembar, begitulah dalam konsep kekuasaan Jawa. Satu harus terbuang. Sang flamboyant harus terbuang.

Setahun setelah mengundurkan diri sebagai anggota DPR, Sarwo wafat dalam usia 64 tahun. Sang flamboyan yang bersahaja itu disemayamkan di Jalan Flamboyan, Komplek Kopassus, Cijantung.  Ia dimakamkan pada Hari Pahlawan di pemakaman keluarga di Mupasan, Purworejo, Jawa Tengah.

Untuk mengormati jasa Sarwo Edhie, pada 1997, Presiden Soeharto memberikan kenaikan pangkat kepada mantan anak buahnya itu. Almarhum Sarwo menjadi jenderal kehormatan bintang empat bersama mantan kepala staf pertama Angkatan Darat, almarhum GPH Djatikusumo.

/selamatgintingofficial

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...