26 August 2019

Kolonel Enzo dan Armee de Terre (Bagian ke-2)

Foto: Humas Pesantren Al Bayan (Republika Online)

Oleh:  Selamat Ginting

Bayangan saya itu, sebelum ramai kontroversi tentang jejak Enzo di media sosial. Sejak awal saya mengabaikan hiruk pikuk pemberitaan kontroversi itu. Saya yakin, TNI telah memiliki parameter penilaian terhadap calon taruna Akmil, Akademi Angkatan Laut (AAL), maupun Akademi Angkatan Udara (AAU). (Bagian ke-1)

Kemampuan bahasa
Kembali ke soal Enzo.  Beberapa waktu lalu, Letnan Dua (Letda) Alexandre Mello dan Letda Duncan Proux dari  French Army Cadet Officer atau taruna perwira Angkatan Darat Prancis (Armee de Terre) mengunjungi Akmil di  Magelang, Jawa Tengah.  Tujuannya studi banding untuk penyelesaian tugas akhir, sebagai persyaratan kelulusan mereka.

Dalam tradisi Armee de Terre, pangkat letda setingkat dengan sarjana strata satu (S-1). Mereka masih harus mengikuti pendidikan lanjutan setingkat magister atau strata dua (S-2). Barulah kemudian berhak menyandang pangkat letnan satu (letttu). Keduanya didampingi penerjemah atau interpreter, yakni Kapten Laut Alban Sciascia Reservist yang berdinas di Atase Pertahanan Prancis di Indonesia.
“Kunjungan dua perwira kadet Prancis ini dalam rangka study banding untuk penyelesaian tugas akhir, sebagai persyaratan kelulusan mereka,” kata Kapten Alban dalam penjelasannya kepada Direktur Pembinaan Pendidikan Akmil Kolonel (Armed) Dadang Rukhiyana.

Peristiwa itu terjadi, dua tahun lalu. Sekaligus menjadi pembelajaran bagi Akmil Indonesia sebagai perbandingan pendidikan bagi TNI. Para kadet Prancis ini melaksanakan pendidikan selama tiga tahun. Mereka sudah menyandang pangkat letnan dua.

Untuk semester pertama dan semester ke enam adalah semester militer. Semester kedua sampai dengan semester ke lima merupakan semester akademik. Semester kelima adalah semester internasional. Dilaksanakan di luar negeri sesuai dengan bidang keilmuan yang diambil masing masing siswa kadet atau taruna. Setelah lulus, memperoleh pangkat letnan satu serta mendapatkan gelar S2.

Selain dua kadet Prancis melakukan studi banding di Indonesia, sejumlah personel TNI Angkatan Darat juga melakukan pendidikan di negara tersebut. Prancis dan Jerman merupakan dua negara Eropa Barat yang dijadikan tempat pendidikan bagi personel TNI Angkatan Darat. Untuk bisa mengikuti pendidikan di luar negeri, tentu saja melalui seleksi ketat dari sisi jasmani, kesehatan, akademik, serta kemampuan bahasa asing.
Pendidikan di Prancis, misalnya, banyak berafiliasi dengan institusi pendidikan atau universitas agar bisa melanjutkan ke jenjang magister maupun  doktoral. Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk mendapatkan personel militer yang unggul dan berkelas dunia.

Asisten Personel (Aspers) Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayjen Heri Wiranto, belum lama ini memantau perkembangan personel Angkatan Darat yang melaksanakan pendidikan di Jerman dan Prancis. Dalam kegiatan bertajuk pegendalian dan pengawasan pendidikan luar negeri, ia mengunjungi dua negara tersebut, Oktober 2018 lalu.

Selama di dua negara tersebut, tentu saja Aspers KSAD dibantu oleh interpreter atau penerjemah yang memahami bahasa Prancis. TNI membutuhkan personel yang memiliki kemampuan sejumlah bahasa asing. Tentu bukan perkara mudah. Hanya orang-orang khusus yang memiliki kemampuan tersebut.

Keturunan asing
Andaikan Enzo sudah menjadi perwira Angkatan Darat, kemungkinan dia yang akan mendampingi Mayjen Heri Wiranto ke Prancis untuk menjadi penerjemah. Sama seperti Letda Alexandre Mello dan Letda Duncan Proux dari French Army Cadet Officer, yang mengunjungi Akmil di Magelang. Jika ada Enzo, tenti tidak perlu membawa penerjemah dari kedutaan Prancis di Jakarta.

Sekilas, wajah Alexandre Melllo dan Duncan Proux memang mirip dengan Enzo. Apalagi dengan potongan rambut tentara. Program Akmil Prancis mewajibkan personel berpangkat letda guna melanjutkan pendidikan S2 (magister) untuk naik pangkat lettu. Mabes TNI bisa mengirimkan para perwira remaja untuk melanjutkan ke Akmil di Prancis. Tentu saja paling mudah mengirimkan Enzo jika kelak sudah lulus sebagai perwira.

Bukan cuma bahasa Prancis. Enzo juga fasih bahasa Inggris, Italia, Arab, dan sedikit bahasa Sunda. Ibunya dari suku Sunda. Kemampuan bahasa Arabnya saat mengenyam pendidikan di SMA Pondok Pesantren Unggul Al Bayan, Anyer, Kabupaten Serang, Banten. Pesantren modern dengan kultur Nahdlatul Ulama (NU) yang menerapkan cinta NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Kepala SMA Pesantren Unggul Al Bayan, Deden Ramdani mengungkapkan, keseharian anak pasangan almarhum Jean Paul Francois Allie Prancis dan Siti Hadiati Nahriah itu dikenal tekun, dan ulet. Menurut Deden, Enzo mempunyai prinsip kuat dengan aktivitas positif sebagai bekal masuk Akmil.
“Tiap sore Enzo berlatih fisik secara teratur untuk mengejar cita-cita masuk Akmil. Prestasi Enzo, menonjol pada cabang olahraga lari. Enzo pernah mewakili sekolahnya dalam cabang olahraga renang di tingkat provinsi di kancah olimpiade siswa nasional,” kata Deden kepada para wartawan.
Secara fisik Enzo juga sangat bagus. Hasil tes Samapta, Enzo mampu melakukan pull up 19 kali, sit up 50 kali dan push up 50 kali masing-masing dalam waktu 60 detik. Dia juga mampu berlari 7,5 putaran X 400 meter atau 3.000 meter dalam 12 menit, renang 50 meter dalam 60 detik.

Mengapa Enzo dikaitkan dengan rencana sebagai calon atase pertahanan untuk Pracis di masa depan? Kita bisa lihat karier yang dialami Marsekal Pertama (Marsma) Surya Margono alias Chen Ke Cheng (Tjhin Kho Syin). Ia asli keturunan Cina, baik ayah aupun ibunya. Margono penganut Islam yang taat, lahir di Mempawah, Kalimantan Barat, 5 Desember 1962. Kini berusia 56 tahun, delapan bulan.

Kemampuan bahasa Cina atau Mandarin dari lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) 1987 ini dimanfaatkan dengan baik oleh Mabes TNI. Kini dia menjadi Direktur D (bidang pengawasan orang asing) Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI. Marsekal bintang satu itu juga pernah menjadi atase pertahanan Indonesia di Beijing, Cina.
Sesungguhnya bukan cuma Margono, keturunan Cina yang berhasil menjadi perwira tinggi. Banyak contoh, misalnya mantan Kepala Pusat Kesehatan (Kapuskes) TNI Mayjen (Purn) dokter Daniel Tjen. Ia lulusan Sekolah Perwira Wajib Militer (Sepawamil) tahun 1985.  

Banyak juga perwira tinggi TNI maupun Polri keturunan Arab yang berprestasi. Wikipedia mencatat daftar tokoh Arab-Indonesia. Memuat nama tokoh-tokoh dari etnis keturunan Arab, khususnya Hadhrami, di Indonesia. Daftar ini juga memuat nama tokoh-tokoh yang secara genetis berdarah Arab, baik yang lahir di dunia Arab yang kemudian merantau ke Indonesia (wulayti), maupun yang lahir di Indonesia dengan orang tua berdarah Arab atau campuran Arab-Indonesia (muwallad). Antara lain: Irjen Polisi (Purn) Farouk Muhammad bin Salim Binsyekhabubakar. Ia pernah menjadi Kapolda NTB, Kapolda Maluku, Gubernur PTIK, dan Wakil Ketua DPD RI. Ada pula Mayjen (Purn) Zacky Anwar Makarim, mantan Kepala Bais TNI, saat itu bernama Badan Intelijen ABRI. Terakhir yang cukup dikenal Marsdya (Purn) Muhammad Syaugi, mantan Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas). Syaugi, marsekal bintang tiga itu bahkan menjadi lulusan terbaik AAU 1984. 

Bukan cuma bahasa Prancis. Enzo juga fasih bahasa Inggris, Italia, Arab, dan sedikit bahasa Sunda. Ibunya dari suku Sunda. Kemampuan bahasa Arabnya saat mengenyam pendidikan di SMA Pondok Pesantren Unggul Al Bayan, Anyer, Kabupaten Serang, Banten. Pesantren modern yang menerapkan cinta NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebagai harga mati berbangsa dan bernegara.
Kita semua berkepentingan menjaga anak-anak bangsa, kendati keturunan asing. Mereka aset bangsa yang kelak bisa kita banggakan. 

/selamatgintingofficial

Kolonel Enzo dan Armee de Terre (Bagian ke-1)


Foto: Humas Pesantren Al Bayan (Republika Online)

Oleh:  Selamat Ginting

Atase Pertahanan Indonesia untuk Prancis, Kolonel Enzo Zenz Allie. Itulah bayangan saya untuk 25-30 tahun yang akan datang. Sebagaimana bayangan pimpinan TNI pada awal 1960 terhadap taruna Pierre Andreas Tendean. Keduanya memiliki keturunan Prancis. Calon prajurit taruna (capratar) Enzo, ayahnya orang Prancis. Sedangkan Kapten Zeni (Anumerta) Pierre, ibunya keturunan Prancis.  
“Bisa jadi athan Prancis,” kata salah seorang perwira tinggi yang suaranya terdengar saat Panglima TNI Marsekal Tjahjanto  hadir dalam sidang panitia penentuan akhir (pantukhir) Akademi Militer (Akmil), awal Agustus 2019 lalu.
Bayangan saya itu, sebelum ramai kontroversi tentang jejak Enzo di media sosial. Sejak awal saya mengabaikan hiruk pikuk pemberitaan kontroversi itu. Saya yakin, TNI telah memiliki parameter penilaian terhadap calon taruna Akmil, Akademi Angkatan Laut (AAL), maupun Akademi Angkatan Udara (AAU).
Pengkaderan calon perwira melalui Akmil, AAL, dan AAU sudah diproyeksikan sejak seseorang menjadi calon prajurit taruna. Bahkan ada kejadian yang menarik pada 1955-1956. Seorang remaja bertubuh kekar dari Surabaya, namanya tidak ada dalam draft keputusan yang belum ditandatangai Direktur Zeni Angkatan Darat Brigjen GPH Djatikusumo.
Djatikusumo menilai panitia kurang cermat dan meminta memangil kembali pemuda itu untuk ditest ulang di hadapannya. Hasilnya, pemuda itu memenuhi persyaratan dari semua sisi, baik fisik, kesehatan jasamani dan rohani, akademik, mental ideologi, maupun psikologi.
Pemuda itu adalah Try Sutrisno. Djatikusmo memprediksi Try kelak akan menjadi seorang jenderal. Betul saja, Try menjadi Panglima ABRI (TNI) pertama dari lulusan Akmil. Ia lulusan Akmil Bandung 1959. Namun baru dilantik menjadi Letnan Dua (Letda) Zeni pada awal 1960.
Mengapa? Karena ia bersama seluruh teman angkatannya (1959) dan dua adik kelasnya (1960 dan 1961) bergabung dalam Batalyon Taruna Zeni (Yontarzi) sebagai satuan infanteri. Bertempur di Sumatra Barat menghadapi pergolakan PRRI/Permesta.

Perisai Nasution
Bersamanya, ikut pula Sersan Taruna Pierre Andreas Tendean dan Pujono Pranyoto (1961) dan Sersan Mayor Taruna Sudibyo (1960). Pujono Pranyoto, terakhir menjadi gubernur Lampung dengan pangkat letnan jenderal. Sudibyo terakhir menjadi Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) dengan pangkat letnan jenderal.
Adapun Pierre akhir kariernya mengenaskan sebagai perisai orang nomor satu TNI, yakni Kepala Staf ABRI (Kasab) Jenderal Abdul Haris Nasution. Ia menjadi pahlawan revolusi yang gugur dalam peristiwa G30S/PKI 1965. Pierre gugur kala menjadi ajudan Jenderal AH Nasution.
Bukan cuma Nasution yang menginginkannya menjadi ajudan. Pada awal tahun 1965, tiga jenderal TNI membutuhkan ajudan seorang perwira yang memiliki kemampuan sejumlah bahasa asing dan memiliki keberanian ekstra tinggi. Ketiga jenderal itu adalah Mayjen Hartawan Wirjodiprodjo, Menteri Bina Marga Kabinet Dwikora. Bekas Direktur Zeni Angkatan Darat 1961-1963. 
Kemudian ada pula Direktur Zeni Angkatan Darat 1963-1966, Brigadir Jenderal Dandi Kadarsan. Dandi  kemudian naik pangkat mayor jenderal menjadi Sekjen Departemen Pekerjaan Umum. Mayjen Dandi dan Mayjen Hartawan tentu saja harus mengalah, karena jenderal ketiga yang membutuhkan ajudan dengan kualifikasi seperti itu adalah Jenderal Abdul Haris Nasution. 
Karier Pierre sudah diplot sejak awal dengan spesialisasi intelijen. Termasuk kemungkinan kelak menjadi atase militer di Prancis, seperti diramalkan Brigjen Djatikusumo, orang pertama yang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Usai dilantik Presiden Sukarno pada 1961, Letda Zeni Pierre ditempatkan sebagai komandan peleton Batalyon Zeni Tempur (Yonzipur) 1 di Medan. Dua tahun kemudian ia ditarik mengikuti pendidikan intelijen dan ditempatkan pada Dinas Intelijen Angkatan Darat.
Ia mengawali petualangannya sebagai intelijen dengan tugas melakukan sabotase bersama tim Zeni ke Singapura. Sabotase listrik, pipa air minum, gas, jembatan, infrastruktur dan pengeboman. Ia berhasil menjalani tugas berat tersebut dan beberapa kali lolos dari kejaran tentara Inggris yang berjaga di Singapura. Mungkin ia dikira turis asing bermata biru.
Keberhasilannya itu menarik perhatian tiga jenderal untuk menjadikannya sebagai ajudan. Perwira keturunan Prancis itu gugur sebagai kapten anumerta dan menjadi pahlawan revolusi yang dikenang dalam sejarah Indonesia. Namanya antara lain diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Mampang Prapatan. Kawasan tempat ia selalu mengunjungi seniornya di Komplek Zeni Mampang yang kini sudah digusur.
Ia juga punya andil walau pun kecil terhadap pembangunan Monumen Nasional (Monas). Kala sedang libur menjadi ajudan Jenderal Nasution, ia turut bersama tim Zeni yang membangun Monas tahap pertama pada 1961-1965. Pierre mencari uang tambahan sebagai bekal untuk menikah dengan kekasihnya di Medan. Kisah kasih yang tak sampai.
Pendidikan di Akmil selama empat tahun, tentu banyak dinamika yang harus dilalui.  Beberapa taruna bahkan ada yang mengalami tidak naik tingkat atau tidak naik pangkat. Bukan karena masalah akademik saja, tetapi juga persoalan disiplin. 
Apakah mereka kemudian akan mati kariernya dan tidak menjadi jenderal? Belum tentu juga. Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu dan Letjen (Purn) Prabowo Subianto, misalnya. Keduanya seharusnya tamat pada 1973 bersama Jenderal Hor (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, karena dianggap indisipliner, mereka baru lulus tahun 1974. Sehingga harus menjalani lima tahun sebagai taruna.

/selamatgintingofficial

17 August 2019

Ruang Publik Manusiawi Bersyariah

Foto: Habib Rizieq Syihab (Kiblat.net)

TULISAN INI TELAH DIPUBLIKASIKAN PADA KORAN REPUBLIKA, EDISI SENIN, 13 MEI 2019 - RUBRIK TERAJU, Halaman 24.

Dianugrahi sebagai "Pemenang ke-1 Kategori Wartawan" Lomba Penulisan Artikel Kebangsaan dalam Rangka HUT Ke-74 Kemerdekaan RI dengan tulisan berjudul “Ruang Publik Manusiawi Bersyariah” yang diselenggaran PWI bekerja sama dengan Inspirasi.co.


Tulisan mengambil tema dari artikel berjudul “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi” yang ditulis oleh konsultan politik Denny JA. Lomba penulisan semula berlangsung 1 Januari - 15 Februari 2019 tetapi kemudian diperpanjang hingga akhir Juli 2019.

============================
Oleh Selamat Ginting

Kehadiran Pancasila sebagai sebuah ideologi bagi bangsa Indonesia adalah rahmat dari Tuhan.  
Persis setahun yang lalu. Muhammad Rizieq Husein Syihab, populer dipanggil Habib Rizieq Syihab (HRS) menitipkan pesan kepada elite Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengunjunginya di Mekah, Saudi Arabia. Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al-Jufri, Ketua Fraksi PKS Jazuli Juwaini dan anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Al Habsyi mengunjungi pemimpin Front Pembela Islam (FPI) di sela-sela ibadah umrah.
Yang menarik pesannya, Jazuli menjelaskan dalam pertemuan tersebut mendiskusikan masalah keumatan dan kebangsaan. Terutama pelaksanaan Pancasila.
"Habib Rizieq berpesan agar semua komponen bangsa menjaga NKRI dari berbagai rongrongan yang menghancurkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara, agar menghormati ulama dan agama-agama yang diakui di Indonesia," kata Jazuli.
Habib Rizieq, kandidat doktor bidang dakwah dan manajemen di Universitas Sains Islam Malaysia (USIM), Negeri Sembilan. Ia kerap berbicara soal Pancasila dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Bukan kali itu saja.
Ia pun beberapa kali berbicara soal NKRI Bersyariah. Ketika memulai aksi 212 tahun 2016, isu NKRI Bersyariah sudah digaungkannya. Setahun kemudian, dalam Reuni 212 tahun 2017, perlunya Indonesia menjadi NKRI Bersyariah kembali diperkuatnya.
“Bagaimana sikap kita atas seruan NKRI Bersyariah itu?” tanya Denny JA yang kini aktif membuat meme komunikasi politik. Pada Desember 2018 lalu, Denny menuliskan artikel NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Yang Manusiawi? Ia menyebut HRS berulang-ulang menyatakan perlunya NKRI Bersyariah. 

Syariah di Pancasila
Apa sebenarnya yang dimaksud HRS tentang NKRI Bersyariah? Menurutnya,  NKRI Bersyariah adalah negara yang menjadikan pribumi sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Selain itu NKRI Bersyariah artinya anti terhadap beberapa hal, yakni: korupsi, judi dan narkoba, pornografi, prostitusi, LGBT, fitnah, kebohongan, dan kezaliman.
Sebenarnya tidak ada yang baru dari pernyataan HRS soal NKRI Bersyariah. Sama seperti pesannya kepada elite PKS yang mengunjunginya tahun lalu. Saat itu juga sedang merayakan Hari Pancasila.  NKRI bersyariah yang dimaksud HRS termaktub dalam nilai-nilai Pancasila.
Indonesia sebagai negara yang berlandaskan Pancasila. Namun, menghargai sesuatu yang bersifat syariah untuk umat Islam Indonesia yang mayoritas, sekitar 90 persen dari jumlah penduduk. Misalnya: UU Bank Syariah, UU Ekonomi Syariah, UU Pornografi, UU Jaminan Produk Halal untuk makanan dan obat-obatan, hingga UU Pendidikan.
Yang menarik justru ada partai papan atas yang kerap ‘walk out’ saat membahas undang-undang yang melindungi umat Islam. Misalnya terkait pornografi, sesungguhnya semua umat beragama, tidak akan ada yang mau menerima pornografi dan pornoaksi. Tidak ada yang menginginkan generasi penerusnya moralnya rusak.
Jadi Indonesia yang berlandaskan Pancasila, jelas tidak anti terhadap aturan yang beraroma syariah. Bahkan mengakomodasi sistem syariah tersebut ke dalam sitem pemerintahan Indonesia. Yang aneh justru ada kalangan minoritas yang menunjukkan perilaku tidak harmonis. Menolak hakikat perbedaan, hakekat terbentuknya Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sedikitnya 90 persen penduduk Indonesia beragama Islam, dan selebihnya yang 10 persen menganut agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Sebagai mayoritas, wajar jika umat Islam, memerlukan payung hukum berupa undang-undang yang melindunginya, sekaligus tidak merugikan umat beragama lainnya.
Bukankah dari sembilan tim perumus BPUPKI, empat orang mewakili Islam, dan empat mewakili kebangsaan, serta satu orang mewakili Kristen? Bukankah tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan juga mayoritas beragama Islam? Para pejuang beragama Islam itu, tidak memperjuangkan penduduk yang beragama Islam saja. Melainkan juga melindungi umat beragama lainnya. 
Jangan pertentangkan
Jadi sesungguhnya aneh jika mempertentangkan Islam dengan kebangsaan. Sama seperti mempertentangkan NKRI Bersyariah dengan Ruang Publik Yang Manusiawi, seperti diwacanakan Denny JA. Apakah bersyariah artinya bertolak belakang dengan ruang publik yang manusiawi?
Apakah itu berarti Islam juga tidak manusiawi? Bukankah islam itu ramatan lil alamin atau rahmat bagi alam semesta. Ini seperti mempertentangkan Islam dengan nasionalisme yang terjadi sebelum kemerdekaan. Sesunggunya perdebatan itu telah selesai setelah Pancasila diputuskan sebagai ideologi bangsa. Sebagai falsafah atau dasar negara Indonesia pada 18 Agustus 1945.
Pancasila menjadi jalan tengah terbaik dalam menjaga persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menggunakan kaidah agama atau syariah Islam dan negara, tidak mungkin lagi dipisahkan. Indonesia bukan negara teokrasi, bukan sekuler, tapi negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama. Itulah Pancasila.
Partai-partai Islam seperti: Masyumi, NU, PSII, dan lain-lain, pernah marah ketika partai nasionalis bentukan kelompok liberal, dan sosialis meminta pergantian kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa di sila pertama Pancasila. Mereka hendak mengubah menjadi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Ini sama saja artinya masyarakat boleh tidak beragama atau menjadi atheis. Bahkan mereka juga meminta agama tidak menjadi bagian dari negara. Partai-partai Islam kemudian keluar dari ruang sidang, sehingga konstituante deadlock selama tiga tahun.
Akhirnya disepakati untuk kembali ke Pancasila dan UUD 1945, serta sila Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti kesepakatan 18 Agustus 1945. Artinya apa? Sesuatu yang beraroma syariah pun bukan berarti negara agama, tettapi juga bukan negara sekuler. Melainkan negara yang merujuk dan menghormati agama.

Di era reformasi, persoalan klasik seperti sebelum kemerdekaan dan sebelum dekrit Presiden 5 Juli 1959, sesungguhnya terjadi lagi.  Saat kran demokrasi dibuka Presiden BJ Haibie, kelompok neo liberalisme (neolib) seperti berada di atas angin di Indonesia.  Lahirnya globalisasi diaggap sebagai kemenangan kelompok neolib. Sistem liberalisme dianggap sebagai yang terbaik di dunia. Di sisi lain, muncul radikalisme sejumlah pemeluk beragam agama di dunia. Mereka merasa yang terbaik dibandingkan dengan agama lainnya.
 
Mereka lupa bahwa perdebatan soal agama dan nasionalisme di Indonesia, sudah selesai. Jadi, semua komponen bangsa, sudahlah.  Jangan lagi mempertentangkan apa yang tidak perlu dipertentangkan. Semangat bersyariah atau beragama harus diperkuat dengan semangat kebangsaan. Agama tanpa nasionalisme, terbukti tidak mampu menyatukan umat. Sebaliknya, nasionalisme tanpa agama juga tidak memiliki nilai-nilai. Karena itu, Islam dan nasionalisme tidak bisa dipisahkan. Seperti halnya NKRI Bersyariah tidak bisa dipisahkan dengan ruang publik yang manusiawi.  
Kehadiran Pancasila sebagai sebuah ideologi bagi bangsa Indonesia adalah rahmat dari Tuhan. Pancasila bukan hanya menjadi hukum tertinggi, melainkan falsafah dasar negara. Bahkan menjadi pilar pemersatu bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Maka penting, Pancasila bukan hanya sebagai simbol belaka, tetapi harus dimaknai sebagai pedoman untuk berdaulat. Berdaulat secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya. 
SELAMAT GINTING
WARTAWAN REPUBLIKA (NIK 1071164)
Nomor Anggota PWI Jaya: 09.007603.96

/selamatgintingofficial


KADO KEMERDEKAAN

PWI Umumkan Juara Penulisan Artikel Kebangsaan dalam Rangka HUT Ke-74 Kemerdekaan RI


JAKARTA-- Tulisan karya wartawan Republika, Selamat Ginting, dan Wakil Rektor I IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Asep Salahudin, menjadi juara lomba penulisan artikel kebangsaan yang diselenggaran PWI bekerja sama dengan Inspirasi.co. Lomba penulisan artikel dalam rangka memperingati HUT Ke-74 Kemerdekaan Republik Indonesia.

Tulisan Ginting berjudul “Ruang Publik Manusiawi Bersyariah” terbit  di Koran Republika Edisi 12 Mei 2019. Tulisan Asep Salahudin menulis dua artikel yakni berjudul Trajektori Politik Kebangsaan yang dimuat di Koran Kompas dan NKRI Bersyariah dan Politik Kewargaan yang dimuat di Media Indonesia. Dua artikel ini meraih nilai tertinggi dan dewan juri memutuskan satu artikel, yakni NKRI Bersyariah dan Politik Kewargaan yang meraih juara pertama.
 
Selamat Ginting dan Asep Salahuddin adalah dua dari 20 pemenang lomba penulisan kebangsaan hasil kerja sama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dengan Inspirasi.co. Tulisan mengambil tema dari artikel berjudul “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi” yang ditulis oleh konsultan politik Denny JA. Lomba penulisan semula berlangsung 1 Januari-15 Februari 2019 tetapi kemudian diperpanjang hingga akhir Juli 2019.

Dewan juri dalam lomba penulisan kebangsaan ini ada lima orang. Mereka adalah Ketua Umum PWI Atal S Depari (sebagai ketua dewan juri) beserta empat anggota juri lainnya, yaitu pakar komunikasi Dr Rully Nasrulah, pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI)  M Cholil Nafis, Lc., MA., PhD, Wakil Sekjen PWI Suprapto, dan wartawan senior Nurcholis MA Basyari. “Dewan juri setelah bekerja mulai awal Agustus sampai hari ini, akhirnya sepakat untuk memilih 10 artikel dari kategori wartawan dan 10 artikel dari kategori umum sebagai pemenang penulisan artikel kebangsaan. Ke depan, PWI akan terus mengampanyekan semangat kebangsaan melalui berbagai tulisan demi kemajuan Indonesia. Lomba penulisan ini adalah bagian dari upaya PWI dalam merawat semangat kebangsaan tersebut,” ujar Atal S Depari, Jumat (16/8/2019).

Lomba penulisan artikel yang diikuti peserta dari berbagai kalangan itu adalah bagian dari upaya PWI untuk menjadi wadah dalam mengembangkan diskusi ilmiah melalui karya tulis. Lomba-lomba seperti ini diharapkan mampu melahirkan wartawan maupun penulis-penulis hebat yang karyanya bisa menjadi rujukan para pengambil keputusan di negeri ini.

Berdasarkan data di panitia lomba, jumlah naskah yang masuk 188 artikel yang berasal dari kelompok atau kategori wartawan dan kategori umum. Para penulis itu berasal dari berbagai kalangan, seperti dosen, pengurus organisasi kepemudaan, aktivis sosial, guru, masyarakat biasa, pengurus organisasi keagamaan, masyarakat biasa, penulis lepas, dan wartawan.

Lomba penulisan artikel kebangsaan ini dibagi dalam dua kategori, yaitu kategori wartawan dan kategori umum. Baik artikel yang ditulis oleh wartawan maupun masyarakat biasa, tetap wajib dipublikasikan, baik melalui media arus utama atau media berbasis jurnalistik, maupun media non jurnalistik atau media sosial.
Para pemenang diberi hadiah berupa uang dengan rincian sebagai berikut:

Dan setelah dilakukan penjurian, maka para pemenang tersebut adalah sebagai berikut:

Kategori Wartawan:

Pemenang 1: Selamat Ginting dengan Judul Ruang Publik Manusiawi Bersyariah dimuat di Koran Republika, Jakarta, 12 Mei 2019.

Pemenang 2: Effendi dengan Judul NKRI Bersyariah Itu Ada Ditubuh NKRI Pancasila dimuat di Koran Singgalang, Sumbar, 15 Februari 2019.

Pemenang 3: Sunardi Panjaitan dengan Judul Haruskah NKRI Bersyariah? Dimuat di Akurat.co 16 Mei 2019.

Pemenang Harapan: 

- Waitlem dengan Judul NKRI Bersyariah, Substansi Atau Label ? Dimuat di Koran Singgalang, 13 Feb 2019.
- Muhammad Irfan dengan Judul Menggelorakan Nkri (Yg Sudah) Bersyariah di Pikiran Rakyat.
- Rita Ayuningtias dengan Judul Perlukah NKRI Bersyariah? di Liputan6.com.
- Redemtus Kono Credem dengan Judul NKRI (Sudah) Islami, Pancasila (Jadi) Titik Temu di Indonesiasatu.com.
- Edy M Yakub dengan Judul Milenial Dalam "Jebakan" Khilafah-Syariah di Antaranews.com.
- Yunus Supanto dengan Judul Keguyuban Lintas Bahasa Dan Agama di Koran & Online Harian Bhiraw.
- Erik Purnama Putra dengan Judul Pancasila Sudah Islami Jadi Perekat Bangsa di republika.co.


Kategori Umum:

Pemenang ke-1: Asep Salahudin adalah Dosen IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya dengan judul tulisan NKRI Bersyariah Dan Politik Kewargaan yang terbit pada tgl 1 Februari 2019 di Koran Media Indonesia dan media.

Pemenang ke-2: Benni Setiawan memuat tulisannya di Harian Investor Daily pada tgl 14 Februari 2019 dengan judul tulisan NKRI, Konsensus Nasional, dan Pembuktiannya.

Pemenang ke-3: M.Yusuf Amin memuat tulisannya di Facebook pada  23 Januari 2019 berjudul Merawat Harmonisasi Agama dan Negara.

Pemenang Harapan:
- Sri Patmi tulisan berjudul tulisan Retorika Negara Islam Atau Islam Sebagai Negara yang terbit pada tgl 11 januari 2019.
- Yugha Erlangga judul tulisan Adonara, Kaimana, dan Wajah Teduh Indonesia pada tgl 14 januari 2019.
-  Noverdi Afrian  tulisan berjudul tulisan Mengupayakan Gerakan Islah Nasional yang dimuat pada tgl 18 januari 2019.
- Muhammad Hanif Priatama  judul tulisan Syariah Pancasila, Negara Ambigu? yang dimuat pada tgl 7 januari 2019.
-  Yuska Apitya  tulisan berjudul tulisan Menata Kiblat Syariah di Negara Pancasila yang dimuat pada tgl 25 januari 2019.
- Sofian Munawar  tulisan berjudul tulisan Bungkus Atau Isi? yang dimuat pada tgl 13 februari 2019.
- Adhi Nugraha  tulisan berjudul tulisan Indonesia Tidak Syariah ? Jangan Salah Kaprah! yang dimuat pada tgl 15 feb 2019.

Sumber: PWI

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...