06 November 2021

Anak Berland, Angka Tujuh untuk Panglima Andika

Pelantikan KSAD. Pengambilan sumpah jabatan KSAD Andika Perkasa
Foto: Republika.co.id/Wihdan

Dalam beberapa hari ini di sejumlah grup WA, beredar foto dan identitas calon Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa (56 tahun, 10 bulan). Foto serta identitasnya saat masih menjadi taruna dengan pangkat Sermatutar (Sersan Mayor Satu Taruna). Termasuk nama ayahandanya yakni FX Soenarto dengan pekerjaan ABRI. Alamat Jalan Kesatrian 1 Jatinegara, Jakarta Timur. 

Jalan Kesatrian merupakan nama jalan di Kawasan Berland. Berland berasal dari dua kata yakni bear dan land. Bear artinya beruang, dan land artinya tanah. Penjajah Belanda memberi nama pasukan khususnya (tentaranya) di Indonesia dengan nama Bearland. 

Pasukan khusus ini diasramakan di Matraman, Jatinegara. Saat itu nama kompleks untuk pasukan Belanda itu adalah Bearland. Karena masyarakat susah menyebut ejaan Bearland, maka hanya menyebut berland. Hingga  kini masyarakat menyebutnya Berland. 

Begitu Indonesia merdeka, asrama khusus tentara Belanda ini diambil alih oleh TNI. Asrama Belanda ini ditempati pasukan Zeni TNI Angkatan Darat. Sampai saat ini, masih ada rumah-rumah panjang dan besar di Berland. Tentu saja dulunya ditempati TNI.

Simak video "JOKOWI PILIH PANGLIMA TNI NON MUSLIM JUGA?"


Taruna Zeni 

Dari data pada buku Akademi Militer tersebut, jelas bahwa ayahanda Andika Perkasa merupakan anggota TNI. Memang tidak disebutkan identitas lengkap mengenai ayahandanya. Dari penelusuran penulis, ayahanda Andika Perkasa merupakan perwira lulusan Akademi Militer (Akmil) 1957 di Bandung. Dahulu masih disebut Akademi Zeni Angkatan Darat (Akziad) lulusan angkatan kedua. 

Akziad mengisi kekosongan Akmil Yogyakarta yang hanya meluluskan dua angkatan. Kemudian ditutup pada 1950. Angkatan ketiga Akmil Yogyakarta, kemudian dikirim ke Akmil Breda, Belanda dan lulus tahun 1954-1955.

Jadi dalam sejarah militer Indonesia, lulusan Akziad pun dimasukkan ke dalam rumpun lulusan Akmil khusus Korps Zeni. Saat itu tidak banyak taruna yang bisa diterima di Akziad pada 1953. Hanya 35 orang dari seluruh Indonesia yang memenuhi syarat untuk menjadi taruna, termasuk FX Soenarto.  

Salah satu persyaratannya, selain fisiknya standar taruna, juga harus memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi atau dikenal dalam bahasa Inggris: intelligence quotient (IQ). Fisik Korps Infanteri, otak Korps Zeni. 

Karena itu pula pimpinan Angkatan Darat sering menugaskan mereka dalam posisi sebagai prajurit Infanteri, baik saat menghadapi DI/TII di Jawa Barat, PRRI/Permesta di Sumatra Barat dan Sumatra Utara. Terutama saat menjadi taruna dalam praktik pertempuran.

Bahkan dari 35 taruna yang diterima pada 1953 tersebut, hanya 17 orang yang berhasil lulus pada 1957 alias empat tahun pendidikan, termasuk Kolonel (Zeni) FX Soenarto. Sisanya 18 orang bersama dua orang lainnya yang seharusnya lulus tahun 1956, harus mengulang dan menjadi lulusan 1958. 

Sedangkan lulusan 1959, antara lain Jenderal Try Sutrisno, yang berhasil menjadi KSAD, Panglima ABRI, dan puncaknya Wakil Presiden. Sedangkan lulusan 1960, antara lain Letjen Sudibyo, terakhir menjadi Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negaara (Bakin), kini disebut Bada Intelijen Negara (BIN). Lulusan 1961, antara lain Kapten (Anumerta) Pierre A Tendean.  Lulusan 1962, antara lain Letjen Arie Sudewo, mantan Kepala Badan Intelijen ABRI (BIA). 

Jadi, ayahanda dari Andika Perkasa merupakan abang kelas dari Try Sutrisno. Karena itu tidak perlu heran jika Andika Perkasa memanggil mantan Wakil Presiden Try Sutrisno dengan sebutan Oom, Bahasa Belanda yang artinya saudara atau adik dari ayah. 

Memang sangat berat untuk bisa menjadi taruna Akziad. Misalnya yang diterima pada 1952 hanya 29 taruna. Saat itu disebut kadet SPGIAD (Sekolah Perwira Genie Angkatan Darat (SPGIAD). Dari 29 taruna, hanya 12 yang berhasil lulus pada 1956. Sisanya 15 kadet keluar sebelum tamat. Kemudian dua orang mengundurkan diri sebelum menjalankan pendidikan.

Perwira Hebat dan Angka 7 

Kolonel FX Soenarto ayahanda Andika Perkasa merupakan perwira hebat yang mampu lulus tepat waktu, bersama 16 taruna lainnya. Pendidikan Akziad menghasilkan perwira berkualifikasi insinyur (sarjana teknik) militer, dengan dosen-dosen teknik berasal dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Sehingga lulusan akademi ini kualitas ilmu tekniknya setara dengan lulusan insinyur teknik sipil dari ITB.

Maka, tak usah heran. Darah militer serta teknik sipil mengalir dalam diri Andika Perkasa. Andika Perkasa pun mengikuti jejak ayahnya melanjutkan pendidikan di Akmil Magelang dan lulus tahun 1987. Seperti tertulis di atas, ayahnya lulusan Akmil 1957 dari Korps Zeni. 

Sedangkan ayah mertua Andika Perkasa, yakni Jenderal (Purn) Hendropriyono, lulusan Akmil 1967 dari Korps Infanteri. Hendro dari pasukan komando jabatan terakhirnya adalah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) semasa Presiden Megawati Soekarnoputri. 

Angka tujuh (7) menjadi spesial bagi Andika. Baik dirinya, ayah mertua  serta ayah kandungnya juga sama-sama lulusan Akmil dengan angka dibelakangnya sama-sama tujuh (7).  Andika Perkasa lahir di Bandung 21 Desember 1964 merupakan anak keempat dari pasangan FX Soenarto dengan Udiati. 

Ayahnya berasal dari Magelang, Jawa Tengah. Sedangkan Ibundanya, Udiati berasal dari Blitar, Jawa Timur.  Ayahnya wafat pada 1997 dan ibunya wafat pada 2007. Jadi angka 7 (tujuh) juga punya kenangan menyedihkan bagi Andika Perkasa. Ia kerap menitikkan air mata sambil berdoa dengan tangan terbuka bagi kedua orangtuanya saat berziarah di Taman Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Jakarta Timur.

Kendati berasal dari pasukan komando, putra keempat dari delapan bersaudara itu, dikenal humanis. Dalam beberapa diskusi dengan jenderal bintang empat itu, penulis menyimpulkan ia seorang intelektual yang bisa menerima perbedaan pendapat. Mau mendengarkan pendapat yang berbeda dengan dirinya. 

Salah satu pesan yang sering diingatkannya kepada para prajuritnya adalah sayangi keluarga dan sempatkan waktu untuk mengurus keluarga.   

Kolonel Bersahaja

Ayahnya dikenal sebagai kolonel yang bersahaja. Tidak memiliki mobil pribadi, kecuali mobil dinas saat masih aktif menjadi perwira TNI. Kesederhanaan keluarganya menerpa Andika Perkasa menjadi remaja mandiri hingga memilih melanjutkan cita-cita ayahnya menjadi serdadu.   

Andika menikah secara Islam dengan anak pertama dari Hendropriyono, yakni Diah Erwiany (Hetty).  Pasangan tersebut dikarunia seorang anak bernama Alexander Akbar Wiratama Perkasa Hendropriyono. Lebih dikenal sebagai dokter Alex Perkasa. Foto Andika Perkasa menggunakan pakaian koko menyambut kelahiran cucunya, beredar di sejumlah media. 

Cucu pertama KSAD Andika Perkasa dan istrinya, Diah Erwiany (Hetty Hendropriyono) diberi nama Arthur Ibrahim Perkasa-Hendropriyono. Sang cucu merupakan buah pernikahan dari putra Andika Perkasa, Alexander Akbar Wiratama Perkasa-Hendropriyono dengan Alvina. Alvina merupakan putri dari mantan Inspektur Jenderal Mabes TNI, yakni Letjen TNI (Purn) Muhammad Setyo Sularso, lulusan Akmil 1982 dari Korps Infanteri. 

Arthur mengingatkan pada seorang jenderal besar Korps Zeni Amerika Serikat, panglima perang yang terkenal di Asia Pasifik. Pernah memiliki markas di Papua serta Morotai, Maluku. Dia adalah Jenderal Besar Douglas McArthur. 

Gultor jadi Panglima

Selama menjadi KSAD, Andika banyak melakukan pembangunan Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad). Ia pun memilih Komandan Detasemen Mabesad berasal dari Korps Zeni yang memahami pembangunan atau teknik konstruksi.

Namun Andika bukan berasal dari Korps Zeni. Hasil psikotesnya ia menjadi perwira Korps Infanteri. Bahkan Andika menjadi pasukan komando dengan spesialisasi antiteror. Ia mengawali kariernya sebagai perwira pertama Infanteri korps baret merah (Kopassus). Dimulai di Grup 2 /Para Komando dan Satuan-81 /Penanggulangan Teror (Gultor) Kopassus selama 12 tahun.

Setelah itu ditugaskan di Departemen Pertahanan dan Keamanan dan Mabesad. Kembali bertugas lagi di Kopassus sebagai Komandan Batalyon 32/Apta Sandhi Prayuda Utama, Grup 3/Sandhi Yudha.   

Kepintaran yang diturunkan Ayahnya dibuktikan dengan mengenyam pendidikan tinggi Strata-1 (Sarjana Ekonomi) di dalam negeri dan meraih tiga gelar akademik Strata-2 (M.A., M.Sc., M.Phil) serta satu gelar akademik Strata-3 (Ph.D/doktor) dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat. 

Sempat terseok-seok pada saat berpangkat Letnan Kolonel selama sembilan tahun. Padahal Andika menjadi lulusan terbaik Pendidikan Sekolah Staf dan Komandan Angkatan Darat (Seskoad) 1999-2000. 

Akhirnya Andika menjadi Kolonel pada 2010 dengan jabatan sebagai sekretaris pribadi Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letjen Johanes Suryo Prabowo, lulusan terbaik Akmil 1976 dari Korps Zeni. Kemudian Andika menjadi Komandan Resimen Induk Infanteri Kodam Jaya pada 2011. Setelah itu promosi menjadi Komandan Resor Militer (Danrem) 023/Kawal Samudera, Kodam I/Bukit Barisan (2012).

Pada saat Jenderal Budiman (lulusan terbaik Akmil 1978 dari Korps Zeni) menjadi KSAD, Andika mendapatkan promosi sebagai Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat. Di sinilah ia mendapatkan jabatan jenderal bintang satu (November 2013).

Dalam kurun waktu satu tahun kurang satu bulan, ia pun mendapatkan promosi menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres) mendampingi Presiden Jokowi yang baru dilantik sebagai presiden hasil pemilu 2014. Disinilah terjadi relasi kuasa antara Presiden Jokowi dengan Jenderal Andika Perkasa. 

Dua tahun kemudian, Andika Perkasa dipromosikan menjadi Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) XII/Tanjungpura (2016). Selanjutnya promosi menjadi Letjen saat menjadi Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat (Dankodiklatad) (2018). 

Bintangnya semakin terang ketika ia menduduki posisi Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) (2018). Sampai akhirnya menjadi orang nomor satu di Mabesad, sebagai KSAD.

Terakhir, setelah selama 2,5 tahun menjadi KSAD, sampai juga Jenderal Andika Perkasa menjadi puncuk pimpinan TNI. Tidak sia-sia ayah kandung almarhum Kolonel Soenarto dan ayah mertua Jenderal Hendropriyono mendidik dan mengawal generasi penerusnya hingga berhasil melampaui capaian kedua orangtuanya menjadi Panglima TNI. Selamat bertugas, Jenderal.

/selamatgintingofficial

04 November 2021

Hapus Fit & Proper Test DPR Terhadap Calon Panglima TNI

Foto: Republika.co.id

JAKARTA: Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting, mengatakan, proses uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) oleh DPR terhadap calon Panglima TNI, sebaiknya dihapuskan saja.  

“Uji kepatutan dan kelayakan nyatanya lebih sebagai gimmick (upaya mencari perhatian) politik yang menampilkan kegenitan anggota parlemen dalam proses penentuan calon Panglima TNI,” kata Selamat Ginting di Jakarta, Kamis (4/11/2021).

Ia menanggapi rencana fit and propers test DPR terhadap calon Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Seperti diketahui surat presiden kepada DPR dalam penentuan calon panglima TNI sudah disampaikan pada Rabu (3/11/2021). DPR akan segera melakukan uji kepatutan dan kelayakan.  

Menurut Selamat Ginting, penentuan siapa yang menjadi panglima TNI merupakan hak prerogratif Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, sesuai konstitusi. Jadi sebaiknya tidak lagi direcoki oleh DPR. Sistem politik Indonesia menganut sistem presidensil bukan sistem parlemen. 

Dengan demikian, lanjutnya, UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya pasal 13 ayat 2, mesti diubah.  Pasal dan ayat ini seperti ritual politik dalam pergantian Panglima TNI. Ayat (2) berbunyi: "Panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan DPR". 

Terhadap ayat (2) penjelasannya: "Yang dimaksud dengan persetujuan DPR, adalah pendapat berdasarkan alasan dan pertimbangan yang kuat tentang aspek moral dan kepribadian, berdasarkan rekam jejak".

Simak video "Fit & Proper Test Calon Panglima TNI"

Namun, ujar Ginting, antara kehendak pada penjelasan dengan prakteknya, tidak sejalan. DPR justru tidak menjalankan apa yang tertuang  dalam penjelasan ayat (2) tersebut. DPR justru berpotensi melampaui dan menyimpang dari semangat dan substansi penjelasan ayat (2) tersebut.

“Itulah yang saya bilang, fit and proper test seperti gimmick politik saja.  Kegenitan parlemen di depan layar televisi, namun dengan mutu pertanyaan-pertanyaan yang tidak substansial. Bahkan kadang tidak bermutu, karena tidak memahami organisasi militer,” ujar kandidat doktor ilmu politik itu.

Selamat Ginting memberikan contoh ketika fit and proper test terhadap calon Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto pada 2006. Uji kepatutan dan kelayakannya sampai memakan waktu 13 jam.

“Mungkin inilah uji kepatutan dan kelayakan terlama di dunia. Bisa didaftarkan dalam buku rekor dunia. Menjadi panggung DPR untuk ‘ngerjai’ orang yang bukan pilihan partainya,” papar wartawan senior ini.

Jadi, kata dia, uji kepatutan dan kelayakan di DPR justru bisa menggiring TNI kembali dirayu masuk dalam ranah politik praktis. Akibatnya bisa menimbulkan birahi politik bagi personel TNI untuk melakukan politik praktis dengan melobi partai-partai politik di parlemen.

Kondisi tersebut, kata Selamat Ginting, akan mengembalikan TNI kembali ke titik nadir, seperti sebelum terjadinya reformasi 1998-1999. Sebab politikus sipil berpotensi menarik kembali para calon panglima TNI memasuki dunia politik. Di situlah akan terjadi politik dagang sapi untuk mendapatkan keuntungan.

“Nanti kalau kamu terpilih jadi panglima TNI, saya titip program ini, orang itu, serta  kepentingan-kepentingan politik lainnya. Kira-kira begitu pesan-pesan titipannya. Apalagi, calon panglima TNI juga manusia biasa yang bisa tergoda rayuan politik,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas. 

Atas dasar itulah, ia mengusulkan agar UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI terutama ayat yang menghadirkan peran DPR dihapuskan. Jadi cukup bunyi pasal 13 ayat (2) Presiden mengangkat/memberhentikan Panglima TNI. Tidak perlu lagi ada embel-embel: meminta persetujuan DPR. 

Mengapa perlu diakhiri? Menurut Selamat Ginting, setidaknya ada tiga alasan penting. Pertama, mekanisme fit and proper test terhadap calon Panglima TNI, sesungguhnya tidak ada landasan hukum/aturan yang jelas. 

Kedua, mekanisme yang dipaksakan itu justru bertolak belakang dengan semangat dan substansi penjelasan pasal 13, ayat (2) UU No. 34/2004.  Ketiga, tes tersebut kurang substantif. Hanya basa-basi politik saja.

Dari ketiga alasan itu, menurut Ginting, memiliki risiko bagi organisasi TNI. Risikonya, dapat membelah jalur komando serta loyalitas tegak lurus TNI kepada Presiden sebagai kepala negara. Dengan memaksa tes di DPR, bisa terjadi loylitas ganda kepada parlemen.

“Jadi setop, dan sudahi saja uji kepatutan dan kelayakan calon panglima TNI di DPR. Seseorang yang sudah bintang empat, memang layak dicalonkan menjdi pimpinan TNI. Itu saja patokannya. Jangan lagi anggota DPR yang tidak mengerti apa-apa, tapi sok tahu menguji permasalahan yang dia juga tidak paham,” pungkas Ginting yang malang melintang dalam liputan masalah pertahanan keamanan negara.

/selamatgintingofficial



03 November 2021

Supres yang Bukan ‘Surprise’

Foto: Republika.co.id

Tanggapan Selamat Ginting, pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta mengenai surat presiden (surpres) yang mengusulkan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa menjadi calon Panglima TNI.

02 November 2021

PKI di Balik Retaknya Hubungan Jenderal Yani dengan Bung Karno (Bagian 2)

Foto: Cover Buku Achmad Yani Tumbal Revolusi
Amelia A. Yani

Letnan Jenderal Achmad Yani selaku Menteri/Panglima Angkatan Darat meminta stafnya untuk mengkaji usulan Ketua Comite Central (CC) Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit. Aidit  mengusulkan Angkatan Kelima di luar Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Angkatan Kelima adalah buruh dan tani dipersenjatai untuk membantu ABRI dalam menghadapi ancaman nekolim (neo kolonialisme) yang terus memperkuat tentaranya di Malaysia.

Jenderal Yani menugaskan lima orang jenderal, yakni: Mayor Jenderal Siswondo Parman, Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal MT Haryono, Brigadir Jenderal DI Panjaitan, dan Brigadir Jenderal Soetoyo Siswomihardjo.

“Angkatan Kelima tidak perlu, oleh karena kita telah mempunyai pertahanan sipil (hansip) yang telah dan selalu bisa menampung semua kegiatan bela negara,” begitulah hasil rumusan dari tim perumus yang terdiri dari lima jenderal yang bertugas di Markas Besar Angkatan Darat tersebut.

Penolakan Jenderal Yani dan lima jenderal terhadap Angkatan Kelima harus dibayar mahal. Keenamnya bersama Jenderal Abdul Haris Nasution diisukan sebagai Dewan Jenderal yang anti Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) dan tidak mendukung kebijakan Presiden Sukarno. Padahal Sukarno menyetujui pembentukan Angkatan Kelima tersebut.

Bahkan pada pidato Presiden Sukarno 17 Agustus 1965 yang ditulis Wakil Ketua CC PKI Nyoto, Bung Karno justru menyatakan, mempersenjatai massa buruh dan tani merupakan gagasan pribadinya. “Saya mengucapkan terima kasih atas semua dukungan yang diberikan kepada gagasan saya untuk mempersenjatai buruh dan tani,” ujar Sukarno.

Kemudian Sukarno menambahkan, ”Saya  akan mengambil keputusan mengenai ini, dalam kapasitas saya selaku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata…”. Entah keputusan apa yang dimaksud Sukarno tersebut.

Simak video "Konflik Jenderal A. Yani dengan Bung Besar"


Yani menyadari keputusan Angkatan Darat bertentangan langsung dengan Presiden Sukarno dan PKI. Tapi ia meyakini bahwa inilah sikap Angkatan Darat. DN Aidit memang cemas, karena PKI tidak punya tentara, seperti di RRT. Padahal kata pemimpin partai komunis Cina, Mao Tse Tung, kekuasaan itu lahir dari ujung bedil. Karena itulah PKI merasa perlu mempersenjatai buruh dan tani. Jumlahnya sekitar 15 ribu orang dengan rincian buruh 5.000 dan tani 10 ribu orang.

Yani kecewa, karena Sukarno terpengaruh bahkan sangat mesra dengan komunis. Angkatan Darat mencatat, PKI sejak Mei 1965 terlihat begitu intensif melakukan aksi massa sepihak yang dibungkus dengan pelaksanaan landreform. Misalnya di Mantingan Jawa Timur, massa komunis yang dipelopori anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) berusaha mengambil paksa tanah wakaf milik Pondok Pesantren Gontor di Ponorogo. Terjadi konflik massa para santri melawan BTI serta massa PKI.

Yani juga sangat marah ketika PKI mengeroyok dan mencincang Pembantu Letnan Dua (Pelda) Sujono di Bandar Betsy, Simalungun, Sumatra Utara. Aidit berkelit bahwa tindakan PKI di Bandar Betsy sebagai tindakan revolusioner sebagai awal dari pelaksanaan tuntutan landreform untuk memenuhi komando Presiden Sukarno.

“Kami diminta Bapak mencari koran yang memberitakan kasus Pelda Sujono tewas dibantai PKI di Bandar Betsy, Sumatra Utara,” kata Amelia Yani, putri ketiga dari Jenderal Achmad Yani dalam perbincangan dengan Selamat Ginting yang ditayangkan chanel youtube SGinting Offcial akhir Oktober 2021 lalu.

Bagaikan Ibukota Komunis

Peristiwa 14 Mei 1965 di Bandar Betsy dianggap angin lalu oleh PKI. Sepanjang Mei 1965, PKI justru gencar melempar isu Dewan Jenderal sebagai jenderal-jenderal yang akan menggulingkan Presiden Sukarno. Mereka terus memaksakan Angkatan Kelima. Dalam merayakan ulang tahun PKI tahun 1965, kaum komunis merayakannya besar-besaran.

Tamu-tamu berdatangan dari negara-negara komunis, seperti Republik Takyat Tiongkok atau Cina, Albania, Korea Utara, Vietnam Utara, dan Partai Komunis dari Uni Soviet. Jakarta saat itu seperti ibukota negara komunis. Gambar Sukarno, DN Aidit, Lenin, dan Karl Marx, Engels, Stalin dipajang di sejumlah jalan utama Ibukota.

“Kami terkejut, ternyata pembantu rumah kami adalah simpatisan PKI. Dia membawa bendera palu arit dan ikut dalam pawai di Gelora Senayan. Belakangan kami baru menyadari, jangan-jangan dia PKI yang memantau aktivitas Pak Yani di rumah. Sebab setelah peristiwa pembunuhan terhadap bapak, pembantu itu menghilang,” ujar Amelia Yani.

Pawai besar-besaran membuat Jakarta dan seluruh Pulau Jawa menjadi merah oleh bendera palu arit. Presiden Sukarno menyambut gembira dengan suasana gemuruh di stadion Gelora Senayan, Jakarta. Menggunakan pakaian Panglima Tertinggi lengkap dengan pita tanda jasa, brevet dan tongkat komandonya. Ia memeluk Ketua CC PKI DN Aidit dengan mesra. Disambut ratusan ribu massa seperti menggoyang Stadion Senayan.

“Apa sebab PKI bisa jadi demikian besar? Oleh karena PKI konsekuen progresif revolusioner. Aku berkata, PKI yo sanakku, ya kadang-ku, yen mati aku melu kelangan,” kata Bung Karno bersemangat.  PKI pada 1965 beranggotakan tiga juta orang, Pemuda Rakyat (sayap pemuda PKI) tiga juta orang, dan simpatisan 20 juta orang.

Selain memuji PKI, Sukarno kembali menegaskan sikapnya mengenai Nasakom, seperti tahun 1926. Awalnya Sukarno menggunakan istilah Nasionalis, Islam, Marxis. Kemudian diubah menjadi Nasionalis, Agama, dan Marxis (Nasamarx). Akhirnya menjadi Nasakom. Ide yang ditentang mantan Wakil Presiden Moh Hatta, Jenderal AH Nasution dan Jenderal Ahmad Yani selaku pimpinan ABRI.

Pujian terhadap PKI kemudian diimplementasikan Sukarno dengan memberikan Bintang Mahaputra untuk DN Aidit pada 17 Agustus 1965. PKI semakin mendapatkan angin menjadi anak emas Presiden Sukarno. Dua pekan setelah itu, massa PKI melakukan demonstrasi besar-besaran di Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Inggris di Jakarta.

Bahkan masa menerobos dan membakar kedutaan besar Inggris. Menghadapi massa yang tidak terkendali, Angkatan Darat menyelamatkan sejumlah diplomat Inggris dari amukan massa yang beringas. “Terima kasih dari saya seorang nekolim (neo kolonialisme),” begitulah karangan bunga yang dikirimkan Duta Besar Inggris di Jakarta Andrew Graham Gilsrist.

“Karangan bunga itu diberikan, karena personel Angkatan Darat menyelamatkan para diplomat dari amukan massa dan api yang membakar kedutaan Inggris. Tapi kemudian dijadikan isu oleh PKI bahwa Jenderal Yani sebagai antek Inggris. Sekaligus menjadi dasar dibuatnya dokumen Gilchrist yang berbunyi ‘our local army friends’ oleh biro khusus PKI yang dipimpin Syam Kamaruzaman,’ kata Amelia Yani.

Jenderal Yani memang pernah bersekolah militer di Inggris pada 1955. Tentu saja dikirim oleh negara untuk memperdalam ilmu militer.  Namun di depan Sukarno, Yani membantah sebagai antek Amerika maupun Inggris. “Anti komunis bukan berarti menjadi antek Amerika dan Inggris. Negara yang menyekolahkan saya ke Amerika dan Inggris. Bukan maunya saya sebagai tentara harus sekolah di mana,” kata Amelia Yani menirukan ucapan ayahandanya yang ditulis dalam buku catatan Yani.  

Hubungan dengan Sukarno

Yani yang semula akrab dengan Presiden Sukarno, lama-lama akhirnya berpisah jalan. Ia menolak ide Nasakom, karena sudah ada ideologi negara, Pancasila. Sebagai personel TNI telah ia disumpah untuk menjunjung ideologi Pancasila. Bukan ideologi lain. Ia juga menolak ide Angkatan Kelima yang digagas PKI dan Bung Karno.

Seperti diungkap di atas, tim Yani di Staf Umum Angkatan Darat sudah mengkaji masalah Nasakom dan Angkatan Kelima. Hasilnya menolak dua hal tersebut. Kelima Jenderal dalam tim tersebut bersama dengan Jenderal Yani dan Jenderal AH Nasution akhirnya harus menelan pil pahit, masuk dalam daftar penculikan dan akhirnya dibunuh pada 1 Oktober 1965. Hanya Jenderal Nasution yang selamat.

Amelia Yani juga menceritakan bahwa hubungan keluarganya dengan keluarga Sukarno tergolong baik dan akrab. Bahkan Yani dan istri kerap membantu Ibu Negara Fatmawati yang keluar dari istana, karena kecewa Sukarno kawin lagi. “Ibu saya suka membantu Bu Fatmawati yang tinggal di rumah kecil menyendiri, tidak lagi di Jalan Sriwijaya. Bapak juga beberapa kali meminta ajudan Mayor Subardi mengirimkan makanan dan bantuan lain untuk Bu Fatmawati,” ujar Amelia.

Setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap Jenderal Yani, lanjut Amelia, istri-istri Bung Karno juga mengunjungi rumah keluarga Yani di Jalan Lembang. Terutama Hartini dan Dewi. Bahkan Dewi yang berasal dari Jepang, hampir tiap hari menghibur istri Jenderal Yani. “Bu Dewi tentu saja ke sini atas perintah Presiden Sukarno sekaligus menawarkan agar Ibu kami bersedia mengelola Sarinah Jaya. Tapi ibu menolak, karena sudah terlanjut kecewa dengan sikap Presiden Sukarno.”

Nyawa tidak bisa ditukar dengan harta. Yayuk Ruliah Sutodiwiryo kehilangan respek pada Presiden Sukarno setelah kematian suaminya yang tragis. Padahal sebelumnya, ia merasa senang sekali tatkala Bung Karno hadir dalam acara syukuran rumah baru keluarga Yani di Jalan Suropati. Namun rumah tersebut hanya dihuni selama satu tahun. Yayuk juga kerap menampung curahan hati Fatmawati, istri ketiga Presiden Sukarno.

“Setelah bapak gugur, Ibu tidak mau lagi bicarakan tentang Bung Karno, sudah terlanjur kecewa,” ujar Amelia dengan rasa sedih. Ungkapan-ungkapan Amelia Yani dapat disaksikan dalam channel youtube SGinting Official.


/selamatgintingofficial

30 October 2021

Telepon Misterius di Rumah Jenderal Yani (Bagian 1)

Buku Agenda Jenderal A. Yani tentang Dewan Jenderal
Foto: Dokumen Pribadi

Kamis malam, 30 September 1965. Kolonel Soegandhi Kartosoebroto, bekas ajudan senior Presiden Sukarno mendatangi rumah Menteri/Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal TNI Achmad Yani di Jalan Lembang D-58, Menteng, Jakarta Pusat.

Ia bermaksud memberitahukan kepada Jenderal Yani bahwa Presiden Sukarno marah-marah di istana. “Apa itu Dewan Jenderal?! Apa itu Dewan Jenderal?!” kata Kolonel Sugandhi menirukan ucapan Sukarno yang sedang marah.

Kolonel Soegandhi, anggota DPR Gotong Royong itu menceritakan hal tersebut kepada Mayor CPM (Corps Polisi Militer) Subardi, ajudan dari Jenderal Achmad Yani, di rumah Panglima Angkatan Darat.

Soegandhi urung melaporkan langsung kepada Jenderal Yani. Ia menyampaikan hal tersebut kepada Mayor Subardi untuk disampaikan kepada orang nomor satu di Markas Besar Angkatan Darat. Alasannya masih ada tamu di kediaman Jenderal Yani.

Mengenai Dewan jenderal, Jenderal Yani sesungguhnya sudah menjelaskan kepada Presiden Sukarno. Yani dalam buku agendanya menyebutkan, Presiden Sukarno terpengaruh oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mengembuskan isu Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden pada 5 Oktober 1965.

“Isu dewan jenderal, jenderal-jenderal Pentagon berkulit sawo matang, serta dokumen Gilshrist tentang Our Local Army Friend dibuat oleh PKI untuk menyudutkan saya,” kata Yani dalam tulisan di agendanya.

Yani memang lulusan sekolah militer di Amerika Serikat dan Inggris saat berpangkat letnan kolonel senior. Ia mengikuti Pendidikan di US Army Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat. Kemudian melanjutkan pendidikan di Warfare Trainning di Inggris pada 1955.


Simak video "Firasat & Telepon Misterius di Rumah Jenderal A. Yani"


Mengenai isu-isu miring terhadap dirinya, Jenderal Yani mengirimkan surat kepada Presiden Sukarno.

“Isunya diputarbalikkan, seakan-akan kami (karena disekolahkan oleh negara ke Amerika) pro-Amerika, mata-mata Amerika dan akan menyingkirkan Presiden. Beberapa kali info tersebut disampaikan (PKI) pada Bapak Presiden bahwa AD (Angkatan Darat) akan coup, akan ini dan itu. Lama-lama kalau Bapak (Presiden RI) mendengar soal ini juga mulai percaya (PKI). Anti PKI tidak berarti otomatis pro Amerika, sebaliknya anti-Barat otomatis pro-Timur,” ujar Yani dalam suratnya kepada Presiden Sukarno.

Padahal, kata Yani, bukti-bukti ketaatan TNI sudah cukup diberikan terhadap setiap penyelewengan dari tujuan nasional, dari mana pun datangnya telah dan akan kita hadapi.  (Semua pemberontakan dan pergolakan di Tanah Air ditumpas oleh TNI atas nama negara).

Dewan jenderal yang dimaksud sesungguhnya adalah rapat para jenderal senior untuk menentukan sejumlah kolonel yang akan dipromosikan menjadi brigadir jenderal. Sejak berpangkat brigadir jenderal, Yani menjadi sekretaris Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti). Rapat biasanya dipimpin Letjen Gatot Subroto dan Mayor Jenderal GPH Djatikusumo. 

Nasakom dan Angkatan Kelima

Kembali soal kedatangan Kolonel Soegandhi. Ia tidak bisa masuk rumah Yani, karena Panglima Angkatan Darat masih menerima tamu hingga pukul 22.00 WIB. Sehingga Soegandhi menyampaikan pesan tersebut kepada ajudan Yani.

Tamu istimewa Yani malam itu adalah Panglima Kodam Brawijaya, Mayor Jenderal TNI Basuki Rachmat. Basuki melaporkan kepada Yani bahwa aktivis Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dari PKI melakukan perusakan kantor Gubernur Jawa Timur (Jatim).

Malam itu, Jenderal Yani sekalian mengajak Jenderal Basuki Rachmat untuk ikut menghadap Presiden Sukarno pada Jumat pagi, 1 Otober 1965 tentang situasi di Jawa Timur tersebut.

Yani juga sudah memberitahukan kepada ajudan bahwa Jumat pagi akan menghadap Presiden Sukarno. Sekaligus memberitahukan kepada istrinya  bahwa kemungkinan hari itu juga akan dicopot dari jabatan sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat.

“Bapak sudah memberitahukan kepada Ibu bahwa akan diganti oleh Mayor Jenderal TNI Moersid,” kata Amelia Yani, putri ketiga dari delapan bersaudara, anak kandung dari pasangan Jenderal Yani dengan Yayuk Ruliyah Sutodiwiryo. Keluarga mengetahui hal tersebut dari Mayor Subardi. 

Ketidakcocokan dengan Presiden Sukarno mengenai konsep Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) dan sikap keras Achmad Yani menolak Angkatan Kelima, menjadi sinyal retaknya hubungan Yani dengan Presiden Sukarno. Angkatan Kelima yang digagas PKI dan kemudian mendapatkan dukungan dari Presiden Sukarno ditentang keras oleh Angkatan Darat.

Angkatan Kelima di luar dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Angkatan Kelima yang diminta PKI agar buruh dan tani turut dipersenjatai untuk membantu perjuangan Indonesia dalam melawan Inggris yang mendirikan negara Federasi Malaysia. Jumlahnya sekitar 15 ribu orang, terdiri dari 5.000 buruh dan 10.000 tani.


Peringatan Haryono MT

Jenderal Yani marah besar ketika anak buahnya Pembantu Letnan Dua (Pelda) Sujono di Bandar Betsy, Simalungun, Sumatra Utara, tewas. Sujono gugur pada 14 Mei 1965 setelah kepalanya dicangkul oleh aktivis tiga organisasi sayap PKI, yaitu BTI (Barisan Tani Indonesia), PR (Pemuda Rakyat) dan Gerwani.  

Sepekan setelah peristiwa Bandar Betsy tersebut, Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal TNI MT Haryono menyarankan kepada Yani untuk bertindak terhadap PKI. “Kalau (Panglima Angkatan Darat) tidak mulai mengambil tindakan (terhadap PKI), tak pelak Anda akan dibunuh mereka,” kata Mayjen Haryono kepada Letjen Yani pada 20 Mei 1965.  

Malam semakin larut. Mayjen Basuki Rahmat pun pamit sambil memberikan hormat militer. Yani langsung menuju kamar tidurnya untuk istirahat. Mempersiapkan diri menerima keputusan untuk diganti oleh Mayor Jenderal Moersjid, Deputi I Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Saat Yani tidur, malam itu, dua kali telepon di rumahnya berdering. Setelah diangkat oleh putri keduanya, Emi Yani, di ujung telepon menanyakan “Bapak ada di rumah?” Tidak merasa curiga, sang putri menjawab, “Bapak ada di rumah sudah tidur.”

Pada malam Jumat itu, jelang pergantian hari, telepon dari orang tidak dikenal, kembali berdering. Lagi-lagi menanyakan posisi Jenderal Yani. “Bapak ada di rumah?” Kembali dijawab oleh Emi Yani, “Bapak ada di rumah sedang tidur.”  

Kisah-kisah di malam kelam itu diceritakan Amelia Yani, putri ketiga dari pahlawan revolusi Jenderal Achmad Yani, kepada penulis di kediaman Jenderal Yani, Jl Lembang D-58, Menteng, Jakarta Pusat, 28 Oktober 2021 lalu. Rumah ketika Jenderal Yani diculik dan dibunuh oleh Pasukan Gerakan 30 September (G-30-S) yang dibantu Pemuda Rakyat, organisasi sayap PKI.  

Bagaimana kisah selegkapnya? Ikuti wawancara Selamat Ginting dengan Amelia Yani dalam channel youtube SGinting Official.


/sgo

25 October 2021

Dramaturgi Panglima TNI (Bagian 2)

Foto: JPNN.com

"Operasi ‘memenggal’ GN dilakukan dengan tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan. Melalui upaya diam-diam, utusan istana mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR mengirimkan nama KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto untuk menggantikan GN pada Desember 2017. Sebuah kejutan politik di akhir tahun 2017."

Kali ini Presiden Jokowi kesulitan menentukan siapa pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto untuk menjadi Panglima TNI. Sesungguhnya jika Jokowi  mau, pada Desember 2020 lalu, bisa saja ia mengganti Hadi.

Mengingat pada Desember 2020 itu, Hadi sudah tiga tahun  menjadi Panglima TNI. Namun ternyata Hadi terus melanjutkan kariernya hingga empat tahun kurang satu bulan.  Padahal rata-rata masa jabatan Panglima TNI di era reformasi pada kisaran 2-3 tahun.

Bagaimana sesungguhnya pola Jokowi memilih Panglima TNI? Mari kita telusuri alurnya sejak periode pertama pemerintahannya.

Memang selama Jokowi menjadi presiden, baru dua kali ia memilih panglima TNI. Pertama kali ia memilih Jenderal Gatot Nurmantyo (GN) menggantikan Jenderal Moeldoko. Moeldoko merupakan panglima TNI pilihan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ia menjadi panglima peralihan pemerintahan SBY ke Jokowi.

Dimulai pada 30 Agustus 2013 hingga 8 Juli 2015. Sehingga Moeldoko yang ikut pemerintahan SBY selama satu tahun dua bulan, lanjut ‘mencicipi’ awal pemerintahan Jokowi selama kurang dari sembilan bulan. Di situ Jokowi mulai kenal siapa Moeldoko, termasuk loyalitasnya terhadap dirinya.  

Jadi, panglima TNI pertama pilihan Jokowi bukan Moeldoko, justru Jenderal GN.  Pilihan Jokowi terhadap Gatot adalah kejutan politik bila dikaitkan dengan UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI. Terutama pada pasal 13 yang berbunyi: "Jabatan Panglima dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan."

Jika dikaitkan dengan kalimat tersebut, maka rotasi dari Moeldoko kepada Gatot, jelas tidak bergantian. Namun, ada multitafsir pada kalimat ‘dapat dijabat secara bergantian’. Artinya bisa dapat, bisa juga tidak dapat (bergantian).

Di sini dibuktikan, Moeldoko yang berasal dari matra darat kembali ke Gatot yang juga berasal dari matra darat. Awalnya tentu mengherankan. Sebab, Panglima TNI sebelum Moeldoko adalah Laksamana Agus Suhartono.

Jadi, setelah Agus Suhartono dari matra laut maka diberikan kepada Moeldoko dari matra darat. Sehingga diperkirakan yang akan menggantikan Moeldoko dari matra udara, yakni Marsekal Agus Supriatna. Agus Supriatna alumni AAU tahun 1983 dari Korps Penerbang Tempur, memenuhi persyaratan untuk menjadi panglima TNI.   

Kekurangannya memang satu, yakni bintang tiganya hanya berumur tidak lebih dari sepekan. Jabatan bintang tiganya hanya selama dua hari saja sebagai Kepala Staf Umum TNI. Jadi hanya sebagai persyaratan formal untuk menjadi Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU).

Sehingga kematangannya belum teruji untuk memimpin Mabes TNI. Hal ini antara lain, membuat Jokowi memutuskan menunjuk KSAD Jenderal GN. Gatot lulusan Akmil 1982. Satu tahun lebih senior daripada KSAU Marsekal Agus Supriatna maupun KSAL Laksamana Ade Supandi, yang juga lulusan AAL 1983.

Gatot pun lebih matang dalam jabatan bintang tiga, sebagai Komandan Kodiklatad serta Panglima Kostrad. Lebih berbobot dan lebih meyakinkan untuk memimpin tiga matra daripada Agus Supriatna. Sedangkan Ade Supandi ‘terganjal’ jatah matra laut, sebab sebelum Moeldoko, Panglima TNI-nya adalah Laksamana Agus Suhartono dari matra laut.

Jadi begitulah alur mengapa Jokowi akhirnya memilih GN. Namun dalam perjalanannya, akhirnya Jokowi merasa tidak pas dengan GN. Ada kebijakan politik Jokowi yang tidak sinkron dengan GN, terutama dalam menghadapi kelompok ‘Islam politik’. Keduanya berbeda sikap. Hal ini tampaknya menjadi jalan pemisah keduanya.

Buntutnya, Jokowi mencopot GN, tiga bulan sebelum masa pensiunnya tiba. Ia tidak memberikan kesempatan kepada GN untuk menuntaskan jabatannya hingga Maret 2018. Gatot ‘dipenggal’ pada Desember 2017.

Operasi ‘memenggal’ GN dilakukan dengan tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan. Melalui upaya diam-diam, utusan istana mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR mengirimkan nama KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto untuk menggantikan GN pada Desember 2017. Sebuah kejutan politik di akhir tahun 2017.

Gatot terperengah, ia coba ‘melawan’ dengan membuat keputusan kontroversial. GN melakukan mutasi dan promosi jabatan perwira tinggi TNI yang tidak ‘biasa’. Antara lain menjadikan Mayjen Sudirman sebagai panglima Kostrad menggantikan Letjen Edy Rahmayadi. Edy sudah meminta pensiun dini kepada GN untuk persiapan menjadi bakal calon gubernur Sumatra Utara.

Surat keputusan Panglima GN yang kontroversial di ujung kariernya itu, langsung dibatalkan ketika Marsekal Hadi resmi dilantik dan memegang tongkat komando Panglima TNI.

De-gatot-isasi pun terjadi. Orang-orang lebel GN tersingkir dari pusaran. Mayjen Sudirman pun batal menjadi Panglima Kostrad dan otomatis gagal naik pangkat menjadi letjen.

Ia ‘dimaafkan’ di akhir kariernya dengan tetap diberikan promosi jabatan sebagai Komandan Kodiklat TNI dengan kenaikan pangkat bintang tiga. Tapi hanya berumur tak lebih sepekan, kemudian pensiun.

Begitulah dramaturgi yang terjadi di Cilangkap, markas besar TNI. Dramaturgi adalah sebuah teori yang mengemukakan bahwa teater dan drama mempunyai makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia.


/selamatgintingofficial

 

23 October 2021

Jokowi Galau Pilih Panglima TNI (Bagian 1)

Foto: Tempo.co

Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta. Kandidat doktor ilmu politik. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas. Wartawan senior yang banyak mengamati masalah politIk pertahanan keamanan negara.

Baru kali ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat galau untuk memilih Panglima TNI pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), galau artinya: kacau tidak keruan.

Bahkan sampai tepat dua tahun pemerintahan Jokowi periode kedua pada 21 Oktober 2021 ini, ia masih juga galau. Belum menunjukkan kepastian.

Hadi tercatat sebagai panglima TNI terlama di era reformasi. Ia menjabat selama empat tahun, kurang satu bulan. Terhitung sejak 8 Desember 2017 hingga 8 November 2021 mendatang.

Dari situ bisa disimpulkan Jokowi begitu percaya pada Marsekal Hadi dibandingkan dengan perwira tinggi lainnya yang masih aktif saat ini, baik Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono, maupun Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo.

Jadi pendapat Hadi tentu akan bisa mempengaruhi keputusan Jokowi dalam memilih suksesor pengganti Hadi. Jokowi pastilah akan menanyakan siapa yang paling pas menjadi suksesor Hadi. Jawabannya, akan mudah didapat. Hadi lebih cenderung memilih Laksamana Yudo daripada Jenderal Andika. Tentu juga bukan Marsekal Fadjar yang sama-sama dari matra udara.

Simak video "Jokowi Galau Pilih Panglima TNI"


Hal ini tentunya bisa dilihat dari komunikasi interpersonal, baik dari sisi sosiologi komunikasi, maupun psikologi komunikasi. Dalam relasi kuasa antara Hadi dengan Yudo, secara kasat mata bisa dilihat, jauh lebih cair daripada antara Hadi dengan Andika.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Hanya mereka berdua yang tahu. Padahal keduanya pernah sama-sama membantu Presiden Jokowi di istana.

Hadi tentu saja ingin kebijakan dan ‘legacy’-nya bisa diteruskan oleh suksesornya, sehingga ada kesinambungan. Ia tentu tidak ingin bernasib serupa dengan Jenderal Gatot yang kebijakannya dibatalkan dirinya.

Bahkan terjadi ‘de-gatot-isasi’. Sehingga Hadi tidak ingin mendapatkan ‘hukum karma’ mendapatkan perlakuan ‘de-hadi-isasi’ seperti dialami Gatot.   

Dari sinilah kegamangan Jokowi untuk tidak langsung memilih Laksamana Yudo atau Jenderal Andika. Bahkan hingga pas dua tahun usia pemerintahan Jokowi periode kedua (20-21 Oktober 2021), belum juga ada kepastian tentang hal tersebut.

Kendati sebelumnya sudah ada jejak utusan istana, yakni Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno yang mengunjungi Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad) dan bertemu dengan KSAD Jenderal Andika pada Senin (11/10/2021) lalu.

Dari sini sebenarnya ada sinyal berdasarkan teori komunikasi tentang interaksi simbolik. Maklum, sebagai orang Jawa, Jokowi senang menggunakan simbol-simbol dalam politik. Ingat, Menteri Pratikno tidak mengunjungi Mabesal kantor Laksamana Yudo  maupun Mabesau kantor Marsekal Fadjar. Padahal mereka bertiga merupakan kandidat Panglima TNI.

Hal ini karena mereka sudah mencapai bintang empat aktif dan menjadi kepala staf angkatan. Lain halnya bila dalam waktu dekat akan segera ada pergantian kepala staf angkatan. Misalnya, dalam sisa waktu Oktober 2021 ini terjadi pergantian kepala staf angkatan. Maka siapa pun yang akan menjadi kepala staf angkatan mempunyai peluang yang sama besarnya, kendati hanya dalam hitungan satu hari sekali pun. 

Tapi sinyal kedatangan Menteri Pratikno bisa mentah kembali, karena hingga kini (21 Oktober 2021) pun belum ada pengumuman reshuffle (pergantian) kabinet. Kemungkinan pergantian panglima TNI juga akan terkoneksi dengan reshuffle kabinet.

Mengapa? Karena Jokowi tidak akan menelantarkan Marsekal Hadi tanpa jabatan. Hadi diduga kuat akan masuk dalam kabinet kali ini. Kemungkinan akan menjadi menteri perhubungan atau bisa juga sebagai Kepala Staf Presiden (KSP). Sebab Hadi juga pernah bekerja di istana menjadi sekretaris militer presiden.

Nah, yang menjadi masalah adalah pesan komunikasi politik apa yang disampaikan Presiden Jokowi melalui Menteri Pratikno kepada Jenderal Andika? Apakah kepastian Andika akan menggantikan Hadi sebagai Panglima TNI? Ataukah justru memberitahukan bahwa Andika tidak akan menjadi Panglima TNI, namun masuk dalam kabinet?

Pertarungan politik seperti apa yang terjadi di dalam istana? Rasanya Jokowi pun tidak akan menelantarkan Andika jika akhirnya tidak dipilihnya menjadi Panglima TNI, melainkan sebagai bagian dari kabinet. Entahlah, mungkin sebagai KSP menggantikan Jenderal (Purn) Moeldoko, loyalis SBY yang berbalik menjadi loyalis Jokowi.  

Menjadi KSP dengan alasan, Andika juga pernah bekerja di lingkungan istana menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Sampai di sini, Jokowi pun tidak akan menelantarkan Moeldoko.

Kemungkinan Moeldoko akan diberikan tempat di kabinet bersama wakil dari Partai Amanat Nasional (PAN). Hal ini kemungkinan juga bersamaan dengan politik Jokowi ‘menggusur’ kubu mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). 

Misalnya, kemarin (20 Oktober 2021) Jokowi meminta komitmen pembantunya dalam memberantas mafia-mafia tanah. Ini sinyal kuat. Apalagi dilanjutkan hari ini (21 Oktober 2021) Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari PDIP, Junimart Girsang mendesak Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil mengundurkan diri dari jabatannya. Alasannya, hingga kini persoalan perebutan tanah antara pengusaha dan warga di Indonesia tak kunjung selesai. 

Petunjuk itu mengisyaratkan Sofyan Djalil berpotensi akan dicopot dari posisi menteri. Sofyan dikenal sebagai  ‘orangnya’ JK. Dan yang akan menggantikannya, kemungkinan Moeldoko.

Pertarungan Politik

Kembali ke soal siapa saja orang kuat yang akan pengaruhi Jokowi untuk memilih kandidat Panglima TNI? Jika di awal dikemukakan Jokowi akan meminta pendapat Marsekal Hadi. Walau hak prerogratif presiden, namun kemungkinan Jokowi akan meminta pendapat dari sekurangnya empat tokoh politik di luar Marsekal Hadi.

Empat orang tersebut adalah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri sebagai pimpinan ‘kandang partai’ dimana Jokowi berada.  Alam pikiran politik Megawati, tentu saja berkepentingan terhadap Andika yang punya potensi ke depan untuk dipasangkan dengan anaknya, yakni Puan Maharani dalam pemilihan presiden 2024 mendatang.

Andika adalah jenderal aktif yang namanya masuk dalam bursa bakal calon presiden maupun wakil presiden untuk periode 2024. Sementara Marsekal Hadi, namanya sama sekali tidak diperhitungkan dalam sejumlah survey. 

Purnawirawan militer lainnya yang masuk dalam bursa bakal capres maupun wapres adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang juga ketua umum Partai Gerindra; kemudian  Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan deklataror Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Gatot Nurmantyo (GN).

Puan sangat mungkin dipasangkan dengan Prabowo maupun Andika. Namun tidak dengan AHY dan GN sebagai oposisi terhadap pemerintahan Jokowi.

Di situlah Megawati berkepentingan terhadap posisi Andika sebagai Panglima TNI atau jabatan lain yang setara di kabinet. Sama dengan ketika Megawati ‘menyelamatkan’ muka Jenderal Polisi Budi Gunawan (BG) yang batal menjadi Kepala Polri, kemudian disubsitusi menjadi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).

Bahkan kini BG menjadi Kepala BIN terlama sejak era reformasi. Lima tahun satu bulan, melewati rekor Mayjen (Purn) Syamsir Siregar selama empat tahun 10 bulan. Nama BG pun kini masuk dalam bursa survey bakal capres maupun cawapres 2024.

Kembai ke soal tokoh yang akan dimintai pendapat oleh Jokowi. Rasanya tidak mungin Jokowi tidak minta pendapat Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Prabowo juga ketua umum Gerindra, partai tiga besar dalam pemilu 2019 lalu. Panglima TNI mesti terkoneksi dengan Menteri Pertahanan.

Menteri Pertahanan memiliki kapasitas selaku menteri bidang alutsista (alat utama sistem senjata) dan industri pertahanan yang memegang amanah untuk mendesain dan menentukan kebijakan strategis pembangunan alutsista TNI. Ada pun Panglima TNI sebagai pengguna kekuatan, dan kepala staf angkatan sebagai pembina kekuatan. Jadi, presiden Jokowi sepantasnya menanyakan masalah ini juga kepada menteri pertahanan.

Selain itu juga kemungkinan Jokowi akan menanyakan kepada menteri senior ‘paling kuat’, yakni Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Serta ketua dewan pertimbangan presiden, Wiranto. Kebetulan tiga nama yang disebut itu jenderal yang berasal dari matra darat. Sehingga bisa saja memiliki  kecenderungan lebih memilih Jenderal Andika daripada Laksamana Yudo maupun Marsekal Fadjar.

Andika pun lebih senior daripada Yudo maupun Fadjar. Andika lulusan Akademi Militer (Akmil) 1987, Yudo lulusan Akademi Angkatan Laut (AAL) 1988-A, dan Fadjar lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) 1988-B. Namun masa dinas Andika tinggal satu tahun satu bulan lagi. Hal ini jika dihitung sejak November 2021, saat Hadi berusia 58 tahun.  Sedangkan Yudo mempunyai waktu dua tahun lagi. Sedangkan Fadjar masih sekitar 2,5 tahun lagi.

Dengan diulur-ulurnya waktu pergantian Panglima TNI, maka sah-sah saja jika ada analisis politik sebagai upaya menjegal Andika menjadi Panglima TNI. Sebab waktu satu tahun dianggap tidak efektif untuk menjalankan tugas sebagai Panglima TNI. Di sinilah peluang Laksamana Yudo lebih terbuka.

Bisa jadi dengan alasan inilah Jokowi tidak memilih Andika. Namun bisa juga seperti model Jenderal Polisi Idham Aziz menjadi Kepala Polri pengganti Jenderal Tito Karnavian. Idham hanya sekitar satu tahun dua bulan saja menjadi Kepala Polri. Semua kemungkinan bisa terjadi, tergantung pertarungan politik di istana.

Jadi, skenario kuatnya, bisa empat pilihan. Pertama; Andika sebagai Panglima TNI gantikan Hadi dengan waktu singkat, sekitar satu tahun satu bulan saja. Kedua; Yudo langsung menjadi Panglima TNI menggantikan Hadi. Sedangkan Andika ditarik ke kabinet.  Ketiga; win-win solutions. Andika menjadi Panglima TNI selama satu tahu satu bulan, kemudian digantikan Yudo sebagai Panglima TNI selanjutnya dengan waktu yang juga tersisa satu tahunan saja.

Keempat; pola jalan tengah. Bukan Andika dan bukan Yudo, melainkan tokoh alternatif. Bisa jadi pengganti Andika sebagai KSAD, dengan calon kuat Panglima Kostrad Dudung Abdurachman. Seandainya Dudung menjadi KSAD pada akhir Oktober 2021 ini, maka ia pun berpeluang menjadi Panglima TNI pada November 2021 jelang 58 tahun usia Marsekal Hadi. Sehingga Dudung hanya sepekan saja menjadi KSAD dan langsung lompat menjadi Panglima TNI.

Empat skenario itu sangat mungkin terjadi di tengah-tengah pertarungan politik kali ini. Dudung adalah titik pertemuan beberapa kepentingan politik, antara Jokowi, Megawati, Prabowo Subianto, LBP, dan Hadi Tjahjanto.


/selamatgintingofficial

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...