|
Photo: Sindonews |
Jakarta, FNN – Keputusan kontroversial dalam rapat panitia penerimaan prajurit TNI tahun anggaran 2022 yang mencabut aturan larangan anak cucu Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi prajurit TNI, terus mendapatkan penolakan dari berbagai pihak.
Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting mengingatkan Panglima TNI Andika Perkasa bahwa komunis menjadi musuh laten bagi TNI sepanjang masa.
Demikian benang merah yang bisa disimpulkan dari perbincangan Selamat Ginting dengan wartawan FNN, Hersubeno Arief dalam kanal Hersubeno Point, Kamis, 31 Maret 2022.
Ginting mengingatkan bahwa TNI memiliki Sapta Marga, terutama marga pertama dan kedua. Marga pertama ‘Kami warga negara kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila’ lalu marga yang kedua ;Kami patriot Indnesia pIendukung serta pembela ideologi negara yang bertanggungjawab dan tidak mengenal menyerah.’
“Jadi, ideologi TNI adalah Pancasila, tidak bisa menerima ideologi lain selain Pancasila. Bahkan, di marga kedua itu pembela ideologi, bertanggungjawab serta tidak mengenal menyerah. Jadi, TNI itu soldier never die, maka ketika pensiun pun tetap menjadi patriot pembela ideologi negara,” paparnya.
Ginting menegaskan pentingnya terus waspada terhadap PKI, sebab sejarah telah membuktikan PKI berulangkali mencoba menguasai Indonesia dengan memusuhi TNI AD dan umat Islam.
“Kita tahu TNI pernah menjadi musuh utama PKI. Musuh utama PKI ada dua yakni, TNI Angkatan Darat dan Islam. TNI juga selalu mengingatkan pada bangsa dan negara bahwa ada beberapa pemberontakan yang dilakukan oleh PKI yakni tahun 1926, tahun 1948, dan tahun 1965,” paparnya.
Ginting menyatakan bahwa pada tahun 1926 tokoh-tokoh PKI seperti Muso kabur ke Uni Soviet lalu tahun 1948 muncul lagi sehingga TNI mengingatkan bahwa, PKI tidak pernah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1945, karena tahun 1948 mereka baru balik ke Indonesia. Kemudian tahun 1965 terjadi Gerakan 30 September oleh PKI.
“Jadi rentang 20 tahunan itu selalu terjadi, sampai kemudian, TNI mengindikasikan PKI bermain ketika era reformasi. Mereka bersembunyi melalui partai atau ormas dan segala macam kelompok. Jadi bagi TNI, komunis itu bahaya laten. Sampai sekarang tidak pernah dicabut itu,” paparnya paf.
Menurut Ginting upaya menggusur Tap MPRS No. 25 tahun 1966 dulu juga sempat diwacanakan oleh Presiden Gus Dur. Mengetahui hal itu, TNI langsung bergerak melakukan penolakan, bahkan sampai Menkumham Yusril Ihza Mahendra melawan Gus Dur. Kalau Gus Dur tetap ngotot maka bukan tidak mungkin TNI beserta kelompok Islam akan menggulingkannya, karena bahaya sekali.
Tak hanya itu, pada 2003 ketika Megawati menjadi presiden, ada keinginan yang kuat dari PDIP untuk menghapus Tap MPRS No. 25 tahun 1966 ini, tetapi dia harus berhadapan dengan kelompok-kelompok yang menentangnya. Saat itu masih ada fraksi ABRI, fraksi Utusan Golongan, fraksi Golkar dan fraksi Reformasi termasuk fraksi PPP di DPR. Dan di sini dalam Panitia AdHoc-2, PDIP bahkan ngotot ingin melakukan voting. Upaya mencabut Tap MPRS ini sudah berulangkali dilakukan.
“Sekarang repotnya TNI dan Polri tidak ada di Parlemen dan MPR seperti dulu. Generasi TNI sekarang perlu menyimak bagaimana tahun 1960-1961 muncul organisasi SOKSI yang dipimpin oleh Brigjen Suhardiman, Kosgoro dipimpin oleh Brigjen Mas Isman lalu MKGR oleh Brigjen Sugandhi,” paparnya.
Hal ini adalah upaya mereka ketika Soekarno sudah menggaungkan Nasakomisasi. “Jadi, TNI AD betul-betul melawan konsep Nasakom Bung Karno yang ujung tombaknya adalah komunis. Jadi bagi TNI AD, Soekarno sudah menyimpang dari Sapta Marga itu,” tegasnya.
Ginting menegaskan, SOKSI memiliki beberapa organisasi underbow untuk melawan PKI karena pada waktu itu PKI berusaha untuk mempercepat Pemilu. “Mereka mendesak tahun 1963 pemerintah melakukan Pemilu, bahkan DN Aidit, Ketua CC PKI mengtakan oke soal Pancasila, Pancasila adalah pemersatu bangsa, tetapi kalau bangsa sudah bersatu Pancasila tidak diperlukan lagi,” tegasnya.
Saat itu, katan Ginting, ada kekhawatiran dari jenderal-jenderal Angkatan Darat untuk melawan PKI, sebab kalau Pemilu dilakukan pada 1963, maka PKI menjadi pemenang, karena beberapa partai sudah tercerai berai, lantaran ada konflik di internal sejumlah partai.
Harus diingat bahwa Pemilu 1955 PKI menempati urutan keempat, setelah PNI 22 persen, Masyumi 20persen, NU 18 persen, dan PKI 16 persen. Padahal, tahun 1948 baru memberontok, 7 tahun kemudian sudah menempati urutuan keempat. Ini artinya PKI cepat sekali melakukan konsolidasi.
Kewaspadaan terhadap bahaya laten PKI dipantau terus oleh organisasi-organisasi underbow Golkar. “Tahun 1964 organisasi seperti SOKSI bersatu dalam Sekber Golkar untuk melawan PKI. Ini yang menjadi cikap bakal dari Golkar. Lahirnya Golkar tidak bisa dipisahkan dari TNI AD melawan PKI. Cerita ini yang seharusnya tetap muncul pada generasi TNI sekarang,” pesannya.
Intinya, Ginting berpesan, TNI tidak boleh merekrut orang yang terpapar ideologi selain Pancasila. “Indonesia punya pengalaman bagaimana TNI menghadapi ideologi komunis, liberalis, Islam radikal DI/TII dan lainnya. TNI adalah institusi yang memegang ideologi Pancasila, berbeda dengan militer negara-negara lain. Makanya TNI AD sangat keras menentang Nasakomisasi. (ida, sws)