21 November 2022

Pilih Panglima Berdasarkan Hakikat Ancaman

Photo: Puspen TNI

Oleh: Selamat Ginting 
Analis komunikasi, politik, dan militer dari Universitas Nasional (Unas). Kandidat doktor ilmu politik.

SEBAIKNYA Presiden Joko Widodo memilih calon Panglima TNI berdasarkan hakikat ancaman nyata terhadap kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Baik ancaman di dalam negeri maupun dari luar negeri yang dinilai membahayakan bangsa dan negara Indonesia.

Setidaknya ada tiga kepentingan ancaman, yakni ancaman kepentingan negara, bangsa, dan pemerintah yang perlu diprioritaskan Presiden dalam menentukan calon Panglima TNI.

Hal itu terkait dengan semakin dekatnya waktu bagi Presiden Joko Widodo untuk segera mengirimkan surat presiden tentang calon Panglima TNI kepada DPR. Mengingat pada 15 Desember 2022, DPR sudah menjalani masa reses alias bekerja di luar gedung parlemen.

Dengan waktu yang semakin sempit, lanjut Ginting, seharusnya pekan depan Presiden Jokowi sudah mengirimkan surat kepada DPR untuk segera diproses nama calon Panglima TNI. Mengingat Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa akan memasuki pensiun usia 58 tahun pada 21 Desember 2022 mendatang.

Ia menguraikan kepentingan hakikat ancaman, setidaknya meliputi tiga hal. Pertama, ancaman negara yang meliputi kedaulatan dan kemerdekaan negara, serta keutuhan wilayah. Kedua, ancaman bangsa, meliputi persatuan bangsa dan nilai-nilai luhur bangsa. Dan ketiga, meliputi ancaman kebijaksanaan dan tindakan pemerintah, serta legitimasi pemerintah.

Dari tiga poin itu, silakan Presiden Jokowi memilih calon Panglima TNI dari tiga kepala staf angkatan. Hal itu merupakan hak prerogratif presiden selaku pemegang kekuasaan tertingi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, untuk memilih calon Panglima TNI berdasarkan pada hakikat ancaman.

Tiga kepala staf angkatan yang sudah memenuhi syarat untuk menjadi pimpinan Mabes TNI, yakni Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman (57 tahun), Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono (57 tahun), dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fajar Prasetyo (56 tahun, 7 bulan).

Aturan mengenai pengangkatan calon Panglima TNI tertuang dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI pada Pasal 13. Panglima akan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan DPR. Pergantian masa tugas tersebut dilakukan berdasarkan kepentingan organisasi TNI.

Bunyi Pasal 13 ayat 5 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI bahwa Jabatan Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.

Atasi Ancaman

Selain ancaman terhadap negara, bangsa, dan pemerintah, yang juga perlu diperhatikan adalah ancaman individu, serta ancaman dari dunia maya terhadap warga negara.

Ancaman individu dapat berupa keamanan jiwa diri dan keluarga, serta harta kekayaan. Sedangkan ancaman dunia maya berupa elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.

Ke depan yang perlu mendapatkan perhatian dari Presiden untuk memilih Panglima TNI adalah potensi serangan terhadap Indonesia.

Setidaknya ada enam serangan yang harus dipersiapkan, yakni: serangan simultan dari dalam dan/atau didukung dari luar; serangan multi arah melewati batas negara; serangan asimetris; serangan oleh negara kecil dan bukan negara; serangan jaringan teroris internasional; serta serangan terhadap sistem kehidupan masyarakat.

Belum lagi yang paling pokok ancaman dari sisi militer yang harus diantisipasi dan harus dihadapi TNI.

Untuk itu pimpinan TNI ke depan mesti memperketat pembatasan dengan negara lain; menanggulangi dan mengatasi ancaman militer dalam negara; melatih tentara lebih disiplin lagi dalam menjaga daerah perbatasan; meningkatkan alutista (alat utama sistem senjata).

Jadi bukan soal dapat bergiliran di antara tiga kepala staf angkatan. Yang paling penting dan harus diperhatikan adalah hakikat ancaman nyata. **

/sgo


Jabatan Panglima TNI Sebaiknya Diganti Kasgab TNI

photo: tni.mil.id

Oleh: Selamat Ginting 
Analis komunikasi, politik, dan militer dari Universitas Nasional (Unas). Kandidat doktor ilmu politik.

Jabatan Panglima TNI sebaiknya diganti dengan istilah Kepala Staf Gabungan (Kasgab) TNI sebagai perpanjangan tangan presiden di institusi militer (Mabes TNI).
Dalam konstitusi pasal 10 UUD 1945 menyebutkan "Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara."
 
Jika mengacu kepada konstitusi, mestinya pimpinan tiga matra langsung bertanggung jawab kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Maka, istilah jabatannya adalah Panglima Angkatan Darat (Pangad), Panglima Angkatan Laut (Pangal), dan Panglima Angkatan Udara (Pangau). 

Karena itulah, UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI juga mesti diubah. Sebab Pasal 1, Pasal 4, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 dalam UU TNI rancu dengan Pasal 10 UUD 1945. Rancu sebab posisi Panglima TNI dalam sistem hierarki jabatan dengan Presiden, mengingat posisi Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi. Sering diistilahkan sebagai Panglima Tertinggi TNI. 

Posisi Panglima TNI itu tidak tercantum dalam konstitusi. 
Apalagi, setiap menjelang pergantian Panglima TNI, senantiasa menimbulkan kegaduhan secara politik. 

Jadi dengan posisi sebagai Kasgab atau Kasab, maka berfungsi semacam menteri koordinator. 

Kasab Nasution

Kondisi tersebut, pernah diberlakukan di era Demokrasi Terpimpin Presiden Sukarno pada 1962. Tepatnya pada 21 Juni 1962, Jenderal Abdul Haris Nasution menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Kasab). Pada masa itu sebagai Pangad Letnan Jenderal Ahmad Yani, Pangal Laksamana Madya R.E Martadinata, Pangau Marsekal Madya Omar Dhani.

Bahkan sebelumnya pada 1955, dibuat suatu organisasi Gabungan Kepala-Kepala Staf yang merupakan bagian dari Kementerian Pertahanan. Gabungan Kepala-Kepala Staf ini diketuai seorang ketua. Dijabat bergiliran mulai dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. 

Barulah pada era Orde Baru Presiden Soeharto, istilah Kasab diubah menjadi Panglima ABRI (Pangab). Jenderal Soeharto sebagai Presiden merangkap sebagai Pangab. Saat itu tujuannya untuk mengintegrasikan antar-angkatan, dampak dari peristiwa G.30S/PK tahun 1965. Kemudian pimpinan matra dikembalikan menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) hingga kini. 

Istilah KSAD, KSAL, dan KSAU dimulai pada 1950. Bersamaan dengan pengangkatan TB Simatupang sebagai Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) menggantikan Jenderal Soedirman yang wafat dengan posisi Panglima Angkatan Perang.

/sgo

14 October 2022

Lucuti Asesoris Polisi di Istana, Jokowi Marah ke Institusi Polri

Biro Pers Sekretariat Presiden

Artikel ini tayang di FNN (Forum News Network) - Jumat, 14 Oktober 2022

Jakarta, FNN – Pengamat komunikasi dan militer, Selamat Ginting menyebut Presiden Joko Widodo marah terhadap institusi kepolisian terkait pemanggilan para perwira polisi yang diminta hadir ke istana dengan melucuti aksesori dinas, seperti topi dan tongkat pada Jumat (14/10). 

Hersubeno Arief membahas persoalan ini bersama Selamat Ginting dalam video berjudul "Presiden Sangat Marah ke Polri. Kumpulkan di Istana. Tak Boleh Pakai Topi Dinas & Tongkat Komando" melalui kanal Youtube Hersubeno Point yang dipublikasikan pada Jumat, 14 Oktober 2022.

Ginting mengaitkan bahwa arahan presiden terhadap pemanggilan perwira tersebut berhubungan dengan kasus-kasus yang membuat posisi polisi terpuruk. Ia menyebutkan dalam beberapa survei menunjukkan citra kepolisian yang menurun drastis.

"Bahkan dalam beberapa survei di bulan Agustus, September, dan Oktober ini turun drastis sampai di bawah 55%. Jadi, kasus Sambo, kasus Kanjuruhan itu kemudian membuat posisi polisi itu di mata masyarakat jatuh sekali," ujar Ginting kepada Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief melalui kanal Youtube Hersubeno Point.

Pengamat militer dari Universitas Nasional (Unas) tersebut mengatakan belum pernah terjadi pemanggilan pejabat utama polisi, seperti Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda), Kepala Kepolisian Kota Beaar (Kapoltabes), dan Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) ke istana sebelumnya.

"Bacaan saya presiden itu marah, marah kepada institusi polisi," ucap Ginting.

Kemarahan presiden tersebut dispekulasi karena lambatnya penanganan kasus yang belakangan ini menjadi atensi masyarakat, bahkan seperti kasus Kanjuruhan yang sudah memasuki ranah internasional. 

Menurut Ginting, arahan Jokowi yang meminta para perwira untuk hadir tanpa memggunakan aksesori dinas lengkap dianggap sebagai simbol komunikasi dari bentuk kemarahan presiden.

"Bukan dengan cara pernyataan- pernyataan keras, tapi menurut saya itu sudah simbol komunikasi. jadi ini kemarahan presiden terhadap institusi polisi," kata Ginting menambahkan.

Seperti yang diberitakan, Presiden Joko Widodo menjadwalkan pemanggilan terhadap para perwira kepolisian dari seluruh Indonesia di Istana Negara pada Jumat (14/10) siang. Dengan perintah ini, Jokowi juga meminta agar para perwira datang hanya dengan baju dinas tanpa menggunakan topi ataupun tongkat komando. (oct)

10 April 2022

Mengusik TAP MPRS25/1966: Selamat Ginting Ingatkan Andika, Komunis Itu Bahaya Laten

Photo: Sindonews

Jakarta, FNN – Keputusan kontroversial dalam rapat panitia penerimaan prajurit TNI tahun anggaran 2022 yang mencabut aturan larangan anak cucu Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi prajurit TNI, terus mendapatkan penolakan dari berbagai pihak.

Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting mengingatkan Panglima TNI Andika Perkasa bahwa komunis menjadi musuh laten bagi TNI sepanjang masa.

Demikian benang merah yang bisa disimpulkan dari perbincangan Selamat Ginting dengan wartawan FNN, Hersubeno Arief dalam kanal Hersubeno Point, Kamis, 31 Maret 2022.

Ginting mengingatkan  bahwa TNI memiliki Sapta Marga, terutama marga pertama dan kedua. Marga pertama ‘Kami warga negara kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila’ lalu marga yang kedua ;Kami patriot Indnesia pIendukung serta pembela ideologi negara yang bertanggungjawab dan tidak mengenal menyerah.’

“Jadi, ideologi TNI adalah Pancasila, tidak bisa menerima ideologi lain selain Pancasila. Bahkan, di marga kedua itu pembela ideologi, bertanggungjawab serta tidak mengenal menyerah. Jadi, TNI itu soldier never die, maka ketika pensiun pun tetap menjadi patriot pembela ideologi negara,” paparnya.

Ginting menegaskan pentingnya terus waspada terhadap PKI, sebab sejarah telah membuktikan PKI berulangkali mencoba menguasai Indonesia dengan memusuhi TNI AD dan umat Islam.

“Kita tahu TNI pernah menjadi musuh utama PKI. Musuh utama PKI ada dua yakni, TNI Angkatan Darat dan Islam. TNI juga selalu mengingatkan pada bangsa dan negara bahwa ada beberapa pemberontakan yang dilakukan  oleh PKI yakni tahun 1926, tahun 1948, dan tahun 1965,” paparnya.

Ginting menyatakan bahwa pada tahun 1926 tokoh-tokoh PKI seperti Muso kabur ke Uni Soviet lalu tahun 1948 muncul lagi sehingga TNI mengingatkan bahwa, PKI tidak pernah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1945, karena tahun 1948 mereka baru balik ke Indonesia. Kemudian tahun 1965 terjadi Gerakan 30 September oleh PKI.

“Jadi rentang 20 tahunan itu selalu terjadi, sampai kemudian, TNI mengindikasikan PKI bermain ketika era reformasi. Mereka bersembunyi melalui partai atau ormas dan segala macam kelompok. Jadi bagi TNI, komunis itu bahaya laten. Sampai sekarang tidak pernah dicabut itu,” paparnya paf.

Menurut Ginting upaya menggusur Tap MPRS No. 25 tahun 1966 dulu juga sempat diwacanakan oleh Presiden Gus Dur. Mengetahui hal itu, TNI langsung bergerak melakukan penolakan, bahkan sampai Menkumham Yusril Ihza Mahendra melawan Gus Dur.  Kalau Gus Dur tetap ngotot maka bukan tidak mungkin TNI beserta kelompok Islam akan menggulingkannya, karena bahaya sekali.

Tak hanya itu, pada 2003 ketika Megawati menjadi presiden, ada keinginan yang kuat dari PDIP untuk menghapus Tap MPRS No. 25 tahun 1966 ini, tetapi dia harus berhadapan dengan kelompok-kelompok yang menentangnya. Saat itu masih ada fraksi ABRI, fraksi Utusan Golongan, fraksi Golkar dan fraksi Reformasi termasuk fraksi PPP di DPR. Dan di sini dalam Panitia AdHoc-2, PDIP bahkan ngotot ingin melakukan voting. Upaya mencabut Tap MPRS ini sudah berulangkali dilakukan.

“Sekarang repotnya TNI dan Polri tidak ada di Parlemen dan MPR seperti dulu.  Generasi TNI sekarang perlu menyimak bagaimana tahun 1960-1961 muncul organisasi SOKSI yang dipimpin oleh Brigjen Suhardiman, Kosgoro dipimpin oleh Brigjen Mas Isman lalu MKGR oleh Brigjen Sugandhi,” paparnya.

Hal ini adalah upaya mereka ketika Soekarno sudah menggaungkan Nasakomisasi. “Jadi, TNI AD betul-betul melawan konsep Nasakom Bung Karno yang ujung tombaknya adalah komunis. Jadi bagi TNI AD, Soekarno sudah menyimpang dari Sapta Marga itu,” tegasnya.

Ginting menegaskan, SOKSI memiliki beberapa organisasi underbow untuk melawan PKI karena pada waktu itu PKI berusaha untuk mempercepat Pemilu. “Mereka mendesak tahun 1963 pemerintah melakukan Pemilu, bahkan DN Aidit, Ketua CC PKI mengtakan oke soal Pancasila, Pancasila adalah pemersatu bangsa, tetapi kalau bangsa sudah bersatu Pancasila tidak diperlukan lagi,” tegasnya.

Saat itu, katan Ginting,  ada kekhawatiran dari jenderal-jenderal Angkatan Darat untuk melawan PKI, sebab kalau Pemilu dilakukan pada 1963, maka PKI menjadi pemenang, karena beberapa partai sudah tercerai berai, lantaran ada konflik di internal sejumlah partai.

Harus diingat bahwa Pemilu 1955 PKI menempati urutan keempat, setelah PNI 22 persen, Masyumi 20persen, NU 18 persen, dan PKI 16 persen. Padahal, tahun 1948 baru memberontok, 7 tahun kemudian sudah menempati urutuan keempat. Ini artinya PKI cepat sekali melakukan konsolidasi.  

Kewaspadaan terhadap bahaya laten PKI dipantau terus oleh organisasi-organisasi underbow Golkar. “Tahun 1964 organisasi seperti SOKSI bersatu dalam Sekber Golkar untuk melawan PKI. Ini yang menjadi cikap bakal dari Golkar. Lahirnya Golkar tidak bisa dipisahkan dari TNI AD melawan PKI. Cerita ini yang seharusnya tetap muncul pada generasi TNI sekarang,” pesannya.

Intinya, Ginting berpesan, TNI tidak boleh merekrut orang yang terpapar ideologi selain Pancasila. “Indonesia punya pengalaman bagaimana TNI menghadapi ideologi komunis, liberalis, Islam radikal DI/TII dan lainnya. TNI adalah institusi yang memegang ideologi Pancasila, berbeda dengan militer negara-negara lain. Makanya TNI AD sangat keras menentang Nasakomisasi. (ida, sws) 

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...