Photo: Paradox by Capped X (pexels.com) |
Jika mengamati pernyataan Presiden Jokowi, maka realitas politiknya bisa berbanding terbalik dengan pernyataannya. Karena itulah pahami Jokowi dengan logika politik terbalik.
Artinya, implemetasi berpolitik model Jokowi mengabaikan tindakan etis. Padahal seharusnya tindakan politik mesti dibarengi dengan etika politik. Hal ini penting, agar tidak menimbulkan sensibilitas sosial politik dan rakyat tidak merasa dibohongi dengan pernyataan politik Jokowi yang menggunakan logika terbalik.
Beberapa contoh bisa dijadikan acuan mengapa memahami Jokowi harus menggunakan logika politik terbalik, di antaranya:
Pertama; saat Jokowi menjadi Gubernur Jakarta, dia mengaku tidak akan berpikir tentang pencalonan presiden. Tidak akan maju dalam pemilihan presiden, karena baru 1,5 tahun menjadi Gubernur Jakarta. Namun dalam kenyataannya secara diam-diam Jokowi melakukan komunikasi politik dengan partai politik dan organisasi massa untuk maju dalam pencalonan presiden. Akhirnya terbukti, walau baru menjadi Gubernur Jakarta selama kurang dari dua tahun saja (2012-2014), Jokowi maju dalam pemilihan presiden tahun 2014.
Kedua; Jokowi menegaskan anak-anak dan menantunya tidak akan terjun dalam politik pemilihan kepala daerah. Ternyata di balik pernyataan politik tersebut, keluarga Jokowi secara agresif melakukan kerja politik yang diduga melibatkan instrumen politik pemerintahan untuk memuluskan anaknya yakni Gibran Rakabuming Raka menjadi Walikota Solo dan menantunya Boby Nasution menjadi Walikota Medan.
Kini putra bungsu Presiden Jokowi sedang bersiap mengikuti pemilihan walikota Depok untuk tahun 2024. Ini sekaligus bukti Jokowi sedang membangun dinasti politik. Kemungkinan Gibran Rakabuming Raka juga akan maju dalam pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2024. Jika ini terjadi, Jokowi sesungguhnya sedang mempersiapkan putra mahkota ke depan menjadi Presiden Indonesia. Padahal Indonesia bukan negara kerajaan atau monarki, Indonesia adalah negara republik, Republik Indonesia.
Apa yang dilakukan Presiden Jokowi lebih buruk daripada yang dilakukan Presiden Soeharto. Setelah 30 tahun berkuasa, barulah Presiden Soeharto menempatkan anak pertamanya Siti Hardiyanti (Tutut Soeharto) sebagai Menteri Sosial pada 1998.
Begitu juga dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (AHY). Setelah tidak menjadi presiden, anak tertuanya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) maju dalam pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2017, namun kalah dari Anies Baswedan. SBY lebih fair dalam hal ini dibandingkan dengan Jokowi.
Ketiga; Jokowi melarang ketua umum partai politik atau pengurus pusat partai politiik rangkap jabatan sebagai menteri. Faktanya, ketua umum partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua umum Partai Golkar, dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suharso Manoarfa dilantik menjadi Menteri pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi.
Keempat; Jokowi mengajak masyarakat Indonesia membenci produk asing. Kini nyatanya hampir semua sektor melakukan impor. Membuka keran impor untuk sejumlah komoditas yang bisa diproduksi dalam negeri. Padahal banyak sektor yang bisa dikapitalisasi.
Kelima; pada saat kampanye menjadi calon Presiden tahun 2014, Jokowi dengan bangga menyatakan jika terpilih menjadi presiden, menolak utang luar negeri. Pemerintahan Jokowi tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai rezim paling senang utang dengan capaian 7.879 triliun rupiah, per Maret 2023.
Artinya naik 3,2 kali lipat dari awal memerintah pada 2014. Sehingga setiap kepala rakyat Indonesia saat ini menanggung utang 28,7 juta rupiah. Naik dari posisi terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hanya 10 juta rupiah per kepala.
Masih banyak lagi pernyataan politik Presiden Jokowi yang tidak sesuai aturan main, prosedur, serta ketegasan dalam komunikasi politik. Akibatnya tidak ada keteladanan dalam bersikap politik. Rakyat dipaksa mengikuti politik imajinasi Jokowi, karena publik hanya disuguhi janji-janji politik yang tidak pasti. Ini pernyataan yang membuat bingung masyarakat Indonesia. Bertentangan dengan kenyataaan. Jangan salahkan jika rakyat memberi julukan sebagai presiden paradoks.
/sgo