|
Foto: Humas Pesantren Al Bayan (Republika Online) |
Oleh: Selamat Ginting
Bayangan saya itu, sebelum ramai kontroversi tentang jejak Enzo di media sosial. Sejak awal saya mengabaikan hiruk pikuk pemberitaan kontroversi itu. Saya yakin, TNI telah memiliki parameter penilaian terhadap calon taruna Akmil, Akademi Angkatan Laut (AAL), maupun Akademi Angkatan Udara (AAU). (Bagian ke-1)
Kemampuan bahasa
Kembali ke soal Enzo. Beberapa waktu lalu, Letnan Dua (Letda) Alexandre Mello dan Letda Duncan Proux dari French Army Cadet Officer atau taruna perwira Angkatan Darat Prancis (Armee de Terre) mengunjungi Akmil di Magelang, Jawa Tengah. Tujuannya studi banding untuk penyelesaian tugas akhir, sebagai persyaratan kelulusan mereka.
Dalam tradisi Armee de Terre, pangkat letda setingkat dengan sarjana strata satu (S-1). Mereka masih harus mengikuti pendidikan lanjutan setingkat magister atau strata dua (S-2). Barulah kemudian berhak menyandang pangkat letnan satu (letttu). Keduanya didampingi penerjemah atau interpreter, yakni Kapten Laut Alban Sciascia Reservist yang berdinas di Atase Pertahanan Prancis di Indonesia.
“Kunjungan dua perwira kadet Prancis ini dalam rangka study banding untuk penyelesaian tugas akhir, sebagai persyaratan kelulusan mereka,” kata Kapten Alban dalam penjelasannya kepada Direktur Pembinaan Pendidikan Akmil Kolonel (Armed) Dadang Rukhiyana.
Peristiwa itu terjadi, dua tahun lalu. Sekaligus menjadi pembelajaran bagi Akmil Indonesia sebagai perbandingan pendidikan bagi TNI. Para kadet Prancis ini melaksanakan pendidikan selama tiga tahun. Mereka sudah menyandang pangkat letnan dua.
Untuk semester pertama dan semester ke enam adalah semester militer. Semester kedua sampai dengan semester ke lima merupakan semester akademik. Semester kelima adalah semester internasional. Dilaksanakan di luar negeri sesuai dengan bidang keilmuan yang diambil masing masing siswa kadet atau taruna. Setelah lulus, memperoleh pangkat letnan satu serta mendapatkan gelar S2.
Selain dua kadet Prancis melakukan studi banding di Indonesia, sejumlah personel TNI Angkatan Darat juga melakukan pendidikan di negara tersebut. Prancis dan Jerman merupakan dua negara Eropa Barat yang dijadikan tempat pendidikan bagi personel TNI Angkatan Darat. Untuk bisa mengikuti pendidikan di luar negeri, tentu saja melalui seleksi ketat dari sisi jasmani, kesehatan, akademik, serta kemampuan bahasa asing.
Pendidikan di Prancis, misalnya, banyak berafiliasi dengan institusi pendidikan atau universitas agar bisa melanjutkan ke jenjang magister maupun doktoral. Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk mendapatkan personel militer yang unggul dan berkelas dunia.
Asisten Personel (Aspers) Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayjen Heri Wiranto, belum lama ini memantau perkembangan personel Angkatan Darat yang melaksanakan pendidikan di Jerman dan Prancis. Dalam kegiatan bertajuk pegendalian dan pengawasan pendidikan luar negeri, ia mengunjungi dua negara tersebut, Oktober 2018 lalu.
Selama di dua negara tersebut, tentu saja Aspers KSAD dibantu oleh interpreter atau penerjemah yang memahami bahasa Prancis. TNI membutuhkan personel yang memiliki kemampuan sejumlah bahasa asing. Tentu bukan perkara mudah. Hanya orang-orang khusus yang memiliki kemampuan tersebut.
Keturunan asing
Andaikan Enzo sudah menjadi perwira Angkatan Darat, kemungkinan dia yang akan mendampingi Mayjen Heri Wiranto ke Prancis untuk menjadi penerjemah. Sama seperti Letda Alexandre Mello dan Letda Duncan Proux dari French Army Cadet Officer, yang mengunjungi Akmil di Magelang. Jika ada Enzo, tenti tidak perlu membawa penerjemah dari kedutaan Prancis di Jakarta.
Sekilas, wajah Alexandre Melllo dan Duncan Proux memang mirip dengan Enzo. Apalagi dengan potongan rambut tentara. Program Akmil Prancis mewajibkan personel berpangkat letda guna melanjutkan pendidikan S2 (magister) untuk naik pangkat lettu. Mabes TNI bisa mengirimkan para perwira remaja untuk melanjutkan ke Akmil di Prancis. Tentu saja paling mudah mengirimkan Enzo jika kelak sudah lulus sebagai perwira.
Bukan cuma bahasa Prancis. Enzo juga fasih bahasa Inggris, Italia, Arab, dan sedikit bahasa Sunda. Ibunya dari suku Sunda. Kemampuan bahasa Arabnya saat mengenyam pendidikan di SMA Pondok Pesantren Unggul Al Bayan, Anyer, Kabupaten Serang, Banten. Pesantren modern dengan kultur Nahdlatul Ulama (NU) yang menerapkan cinta NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Kepala SMA Pesantren Unggul Al Bayan, Deden Ramdani mengungkapkan, keseharian anak pasangan almarhum Jean Paul Francois Allie Prancis dan Siti Hadiati Nahriah itu dikenal tekun, dan ulet. Menurut Deden, Enzo mempunyai prinsip kuat dengan aktivitas positif sebagai bekal masuk Akmil.
“Tiap sore Enzo berlatih fisik secara teratur untuk mengejar cita-cita masuk Akmil. Prestasi Enzo, menonjol pada cabang olahraga lari. Enzo pernah mewakili sekolahnya dalam cabang olahraga renang di tingkat provinsi di kancah olimpiade siswa nasional,” kata Deden kepada para wartawan.
Secara fisik Enzo juga sangat bagus. Hasil tes Samapta, Enzo mampu melakukan pull up 19 kali, sit up 50 kali dan push up 50 kali masing-masing dalam waktu 60 detik. Dia juga mampu berlari 7,5 putaran X 400 meter atau 3.000 meter dalam 12 menit, renang 50 meter dalam 60 detik.
Mengapa Enzo dikaitkan dengan rencana sebagai calon atase pertahanan untuk Pracis di masa depan? Kita bisa lihat karier yang dialami Marsekal Pertama (Marsma) Surya Margono alias Chen Ke Cheng (Tjhin Kho Syin). Ia asli keturunan Cina, baik ayah aupun ibunya. Margono penganut Islam yang taat, lahir di Mempawah, Kalimantan Barat, 5 Desember 1962. Kini berusia 56 tahun, delapan bulan.
Kemampuan bahasa Cina atau Mandarin dari lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) 1987 ini dimanfaatkan dengan baik oleh Mabes TNI. Kini dia menjadi Direktur D (bidang pengawasan orang asing) Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI. Marsekal bintang satu itu juga pernah menjadi atase pertahanan Indonesia di Beijing, Cina.
Sesungguhnya bukan cuma Margono, keturunan Cina yang berhasil menjadi perwira tinggi. Banyak contoh, misalnya mantan Kepala Pusat Kesehatan (Kapuskes) TNI Mayjen (Purn) dokter Daniel Tjen. Ia lulusan Sekolah Perwira Wajib Militer (Sepawamil) tahun 1985.
Banyak juga perwira tinggi TNI maupun Polri keturunan Arab yang berprestasi. Wikipedia mencatat daftar tokoh Arab-Indonesia. Memuat nama tokoh-tokoh dari etnis keturunan Arab, khususnya Hadhrami, di Indonesia. Daftar ini juga memuat nama tokoh-tokoh yang secara genetis berdarah Arab, baik yang lahir di dunia Arab yang kemudian merantau ke Indonesia (wulayti), maupun yang lahir di Indonesia dengan orang tua berdarah Arab atau campuran Arab-Indonesia (muwallad). Antara lain: Irjen Polisi (Purn) Farouk Muhammad bin Salim Binsyekhabubakar. Ia pernah menjadi Kapolda NTB, Kapolda Maluku, Gubernur PTIK, dan Wakil Ketua DPD RI. Ada pula Mayjen (Purn) Zacky Anwar Makarim, mantan Kepala Bais TNI, saat itu bernama Badan Intelijen ABRI. Terakhir yang cukup dikenal Marsdya (Purn) Muhammad Syaugi, mantan Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas). Syaugi, marsekal bintang tiga itu bahkan menjadi lulusan terbaik AAU 1984.
Bukan cuma bahasa Prancis. Enzo juga fasih bahasa Inggris, Italia, Arab, dan sedikit bahasa Sunda. Ibunya dari suku Sunda. Kemampuan bahasa Arabnya saat mengenyam pendidikan di SMA Pondok Pesantren Unggul Al Bayan, Anyer, Kabupaten Serang, Banten. Pesantren modern yang menerapkan cinta NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebagai harga mati berbangsa dan bernegara.
Kita semua berkepentingan menjaga anak-anak bangsa, kendati keturunan asing. Mereka aset bangsa yang kelak bisa kita banggakan.
/selamatgintingofficial