25 October 2019

Jika Menhan Kekiri-kirian

Mungkin, saya berbeda perspektif dengan beberapa teman dalam melihat posisi PS sebagai Menhan.

Saya ingin mengajak teman-teman ke tahun 1947-1948. Kabinet parlementer dipimpin Amir Sjarifuddin. Kabinet Amir Sjarifuddin I dan Amir Sjarifuddin II, perdana menteri merangkap menhan. 

Amir Sjarifuddin ini kiri. Ia dekat dengan Muso. Sebagai Menhan, ia tahu jumlah senjata dan gudang senjata serta senjata rahasia. 

Hatta tahu afiliasi politik Amir yang kemudian bersama Muso dll membuat fusi partai-partai kiri menjadi PKI. 

Nah, saat kabinet Amir Sjarifuddin II jatuh, maka dibentuk Kabinet Hatta. Mereka tidak terima kemudia memberontak. Gudang senjata sudah dikuasai PKI. tentara Jawa Tengah (Diponegoro) dan Jawa Timur (Brawijaya) cenderung merah alias pro PKI.

Maka yang menumpas adalah tentara Jawa Barat (Siliwangi). 

Kita harus melihat posisi PS juga dari perspektif sejarah. Bukankah ada kekhawatiran terhadap bangkitnya kelompok merah? 

Jika tidak ada yang di posisi strategis, siapa yang bisa pantau dan memiliki alat strategis? 

Yang punya Kanwil di 34 provinsi, cuma Kemhan. Namanya kepala kantor Kemhan dipimpin bintang satu. Bermitra dengan pangdam dll. 

Urusan ke luar negeri atau G to G, juga menjadi urusan Menhan. Posisi Menhan ini seperti era Jenderal AH Nasution yang mengimbangi Presiden Soekarno yang cenderung dekat ke kiri. 

Jadi, mari lihat dari konsep grand strategi. 

Mungkin saya keliru. Tapi saya mempelajari jatuhnya kabinet-kabinet di era 1945-1966.

/selamatgintingofficial

26 August 2019

Kolonel Enzo dan Armee de Terre (Bagian ke-2)

Foto: Humas Pesantren Al Bayan (Republika Online)

Oleh:  Selamat Ginting

Bayangan saya itu, sebelum ramai kontroversi tentang jejak Enzo di media sosial. Sejak awal saya mengabaikan hiruk pikuk pemberitaan kontroversi itu. Saya yakin, TNI telah memiliki parameter penilaian terhadap calon taruna Akmil, Akademi Angkatan Laut (AAL), maupun Akademi Angkatan Udara (AAU). (Bagian ke-1)

Kemampuan bahasa
Kembali ke soal Enzo.  Beberapa waktu lalu, Letnan Dua (Letda) Alexandre Mello dan Letda Duncan Proux dari  French Army Cadet Officer atau taruna perwira Angkatan Darat Prancis (Armee de Terre) mengunjungi Akmil di  Magelang, Jawa Tengah.  Tujuannya studi banding untuk penyelesaian tugas akhir, sebagai persyaratan kelulusan mereka.

Dalam tradisi Armee de Terre, pangkat letda setingkat dengan sarjana strata satu (S-1). Mereka masih harus mengikuti pendidikan lanjutan setingkat magister atau strata dua (S-2). Barulah kemudian berhak menyandang pangkat letnan satu (letttu). Keduanya didampingi penerjemah atau interpreter, yakni Kapten Laut Alban Sciascia Reservist yang berdinas di Atase Pertahanan Prancis di Indonesia.
“Kunjungan dua perwira kadet Prancis ini dalam rangka study banding untuk penyelesaian tugas akhir, sebagai persyaratan kelulusan mereka,” kata Kapten Alban dalam penjelasannya kepada Direktur Pembinaan Pendidikan Akmil Kolonel (Armed) Dadang Rukhiyana.

Peristiwa itu terjadi, dua tahun lalu. Sekaligus menjadi pembelajaran bagi Akmil Indonesia sebagai perbandingan pendidikan bagi TNI. Para kadet Prancis ini melaksanakan pendidikan selama tiga tahun. Mereka sudah menyandang pangkat letnan dua.

Untuk semester pertama dan semester ke enam adalah semester militer. Semester kedua sampai dengan semester ke lima merupakan semester akademik. Semester kelima adalah semester internasional. Dilaksanakan di luar negeri sesuai dengan bidang keilmuan yang diambil masing masing siswa kadet atau taruna. Setelah lulus, memperoleh pangkat letnan satu serta mendapatkan gelar S2.

Selain dua kadet Prancis melakukan studi banding di Indonesia, sejumlah personel TNI Angkatan Darat juga melakukan pendidikan di negara tersebut. Prancis dan Jerman merupakan dua negara Eropa Barat yang dijadikan tempat pendidikan bagi personel TNI Angkatan Darat. Untuk bisa mengikuti pendidikan di luar negeri, tentu saja melalui seleksi ketat dari sisi jasmani, kesehatan, akademik, serta kemampuan bahasa asing.
Pendidikan di Prancis, misalnya, banyak berafiliasi dengan institusi pendidikan atau universitas agar bisa melanjutkan ke jenjang magister maupun  doktoral. Tujuannya, apalagi kalau bukan untuk mendapatkan personel militer yang unggul dan berkelas dunia.

Asisten Personel (Aspers) Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayjen Heri Wiranto, belum lama ini memantau perkembangan personel Angkatan Darat yang melaksanakan pendidikan di Jerman dan Prancis. Dalam kegiatan bertajuk pegendalian dan pengawasan pendidikan luar negeri, ia mengunjungi dua negara tersebut, Oktober 2018 lalu.

Selama di dua negara tersebut, tentu saja Aspers KSAD dibantu oleh interpreter atau penerjemah yang memahami bahasa Prancis. TNI membutuhkan personel yang memiliki kemampuan sejumlah bahasa asing. Tentu bukan perkara mudah. Hanya orang-orang khusus yang memiliki kemampuan tersebut.

Keturunan asing
Andaikan Enzo sudah menjadi perwira Angkatan Darat, kemungkinan dia yang akan mendampingi Mayjen Heri Wiranto ke Prancis untuk menjadi penerjemah. Sama seperti Letda Alexandre Mello dan Letda Duncan Proux dari French Army Cadet Officer, yang mengunjungi Akmil di Magelang. Jika ada Enzo, tenti tidak perlu membawa penerjemah dari kedutaan Prancis di Jakarta.

Sekilas, wajah Alexandre Melllo dan Duncan Proux memang mirip dengan Enzo. Apalagi dengan potongan rambut tentara. Program Akmil Prancis mewajibkan personel berpangkat letda guna melanjutkan pendidikan S2 (magister) untuk naik pangkat lettu. Mabes TNI bisa mengirimkan para perwira remaja untuk melanjutkan ke Akmil di Prancis. Tentu saja paling mudah mengirimkan Enzo jika kelak sudah lulus sebagai perwira.

Bukan cuma bahasa Prancis. Enzo juga fasih bahasa Inggris, Italia, Arab, dan sedikit bahasa Sunda. Ibunya dari suku Sunda. Kemampuan bahasa Arabnya saat mengenyam pendidikan di SMA Pondok Pesantren Unggul Al Bayan, Anyer, Kabupaten Serang, Banten. Pesantren modern dengan kultur Nahdlatul Ulama (NU) yang menerapkan cinta NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Kepala SMA Pesantren Unggul Al Bayan, Deden Ramdani mengungkapkan, keseharian anak pasangan almarhum Jean Paul Francois Allie Prancis dan Siti Hadiati Nahriah itu dikenal tekun, dan ulet. Menurut Deden, Enzo mempunyai prinsip kuat dengan aktivitas positif sebagai bekal masuk Akmil.
“Tiap sore Enzo berlatih fisik secara teratur untuk mengejar cita-cita masuk Akmil. Prestasi Enzo, menonjol pada cabang olahraga lari. Enzo pernah mewakili sekolahnya dalam cabang olahraga renang di tingkat provinsi di kancah olimpiade siswa nasional,” kata Deden kepada para wartawan.
Secara fisik Enzo juga sangat bagus. Hasil tes Samapta, Enzo mampu melakukan pull up 19 kali, sit up 50 kali dan push up 50 kali masing-masing dalam waktu 60 detik. Dia juga mampu berlari 7,5 putaran X 400 meter atau 3.000 meter dalam 12 menit, renang 50 meter dalam 60 detik.

Mengapa Enzo dikaitkan dengan rencana sebagai calon atase pertahanan untuk Pracis di masa depan? Kita bisa lihat karier yang dialami Marsekal Pertama (Marsma) Surya Margono alias Chen Ke Cheng (Tjhin Kho Syin). Ia asli keturunan Cina, baik ayah aupun ibunya. Margono penganut Islam yang taat, lahir di Mempawah, Kalimantan Barat, 5 Desember 1962. Kini berusia 56 tahun, delapan bulan.

Kemampuan bahasa Cina atau Mandarin dari lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) 1987 ini dimanfaatkan dengan baik oleh Mabes TNI. Kini dia menjadi Direktur D (bidang pengawasan orang asing) Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI. Marsekal bintang satu itu juga pernah menjadi atase pertahanan Indonesia di Beijing, Cina.
Sesungguhnya bukan cuma Margono, keturunan Cina yang berhasil menjadi perwira tinggi. Banyak contoh, misalnya mantan Kepala Pusat Kesehatan (Kapuskes) TNI Mayjen (Purn) dokter Daniel Tjen. Ia lulusan Sekolah Perwira Wajib Militer (Sepawamil) tahun 1985.  

Banyak juga perwira tinggi TNI maupun Polri keturunan Arab yang berprestasi. Wikipedia mencatat daftar tokoh Arab-Indonesia. Memuat nama tokoh-tokoh dari etnis keturunan Arab, khususnya Hadhrami, di Indonesia. Daftar ini juga memuat nama tokoh-tokoh yang secara genetis berdarah Arab, baik yang lahir di dunia Arab yang kemudian merantau ke Indonesia (wulayti), maupun yang lahir di Indonesia dengan orang tua berdarah Arab atau campuran Arab-Indonesia (muwallad). Antara lain: Irjen Polisi (Purn) Farouk Muhammad bin Salim Binsyekhabubakar. Ia pernah menjadi Kapolda NTB, Kapolda Maluku, Gubernur PTIK, dan Wakil Ketua DPD RI. Ada pula Mayjen (Purn) Zacky Anwar Makarim, mantan Kepala Bais TNI, saat itu bernama Badan Intelijen ABRI. Terakhir yang cukup dikenal Marsdya (Purn) Muhammad Syaugi, mantan Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas). Syaugi, marsekal bintang tiga itu bahkan menjadi lulusan terbaik AAU 1984. 

Bukan cuma bahasa Prancis. Enzo juga fasih bahasa Inggris, Italia, Arab, dan sedikit bahasa Sunda. Ibunya dari suku Sunda. Kemampuan bahasa Arabnya saat mengenyam pendidikan di SMA Pondok Pesantren Unggul Al Bayan, Anyer, Kabupaten Serang, Banten. Pesantren modern yang menerapkan cinta NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebagai harga mati berbangsa dan bernegara.
Kita semua berkepentingan menjaga anak-anak bangsa, kendati keturunan asing. Mereka aset bangsa yang kelak bisa kita banggakan. 

/selamatgintingofficial

Kolonel Enzo dan Armee de Terre (Bagian ke-1)


Foto: Humas Pesantren Al Bayan (Republika Online)

Oleh:  Selamat Ginting

Atase Pertahanan Indonesia untuk Prancis, Kolonel Enzo Zenz Allie. Itulah bayangan saya untuk 25-30 tahun yang akan datang. Sebagaimana bayangan pimpinan TNI pada awal 1960 terhadap taruna Pierre Andreas Tendean. Keduanya memiliki keturunan Prancis. Calon prajurit taruna (capratar) Enzo, ayahnya orang Prancis. Sedangkan Kapten Zeni (Anumerta) Pierre, ibunya keturunan Prancis.  
“Bisa jadi athan Prancis,” kata salah seorang perwira tinggi yang suaranya terdengar saat Panglima TNI Marsekal Tjahjanto  hadir dalam sidang panitia penentuan akhir (pantukhir) Akademi Militer (Akmil), awal Agustus 2019 lalu.
Bayangan saya itu, sebelum ramai kontroversi tentang jejak Enzo di media sosial. Sejak awal saya mengabaikan hiruk pikuk pemberitaan kontroversi itu. Saya yakin, TNI telah memiliki parameter penilaian terhadap calon taruna Akmil, Akademi Angkatan Laut (AAL), maupun Akademi Angkatan Udara (AAU).
Pengkaderan calon perwira melalui Akmil, AAL, dan AAU sudah diproyeksikan sejak seseorang menjadi calon prajurit taruna. Bahkan ada kejadian yang menarik pada 1955-1956. Seorang remaja bertubuh kekar dari Surabaya, namanya tidak ada dalam draft keputusan yang belum ditandatangai Direktur Zeni Angkatan Darat Brigjen GPH Djatikusumo.
Djatikusumo menilai panitia kurang cermat dan meminta memangil kembali pemuda itu untuk ditest ulang di hadapannya. Hasilnya, pemuda itu memenuhi persyaratan dari semua sisi, baik fisik, kesehatan jasamani dan rohani, akademik, mental ideologi, maupun psikologi.
Pemuda itu adalah Try Sutrisno. Djatikusmo memprediksi Try kelak akan menjadi seorang jenderal. Betul saja, Try menjadi Panglima ABRI (TNI) pertama dari lulusan Akmil. Ia lulusan Akmil Bandung 1959. Namun baru dilantik menjadi Letnan Dua (Letda) Zeni pada awal 1960.
Mengapa? Karena ia bersama seluruh teman angkatannya (1959) dan dua adik kelasnya (1960 dan 1961) bergabung dalam Batalyon Taruna Zeni (Yontarzi) sebagai satuan infanteri. Bertempur di Sumatra Barat menghadapi pergolakan PRRI/Permesta.

Perisai Nasution
Bersamanya, ikut pula Sersan Taruna Pierre Andreas Tendean dan Pujono Pranyoto (1961) dan Sersan Mayor Taruna Sudibyo (1960). Pujono Pranyoto, terakhir menjadi gubernur Lampung dengan pangkat letnan jenderal. Sudibyo terakhir menjadi Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) dengan pangkat letnan jenderal.
Adapun Pierre akhir kariernya mengenaskan sebagai perisai orang nomor satu TNI, yakni Kepala Staf ABRI (Kasab) Jenderal Abdul Haris Nasution. Ia menjadi pahlawan revolusi yang gugur dalam peristiwa G30S/PKI 1965. Pierre gugur kala menjadi ajudan Jenderal AH Nasution.
Bukan cuma Nasution yang menginginkannya menjadi ajudan. Pada awal tahun 1965, tiga jenderal TNI membutuhkan ajudan seorang perwira yang memiliki kemampuan sejumlah bahasa asing dan memiliki keberanian ekstra tinggi. Ketiga jenderal itu adalah Mayjen Hartawan Wirjodiprodjo, Menteri Bina Marga Kabinet Dwikora. Bekas Direktur Zeni Angkatan Darat 1961-1963. 
Kemudian ada pula Direktur Zeni Angkatan Darat 1963-1966, Brigadir Jenderal Dandi Kadarsan. Dandi  kemudian naik pangkat mayor jenderal menjadi Sekjen Departemen Pekerjaan Umum. Mayjen Dandi dan Mayjen Hartawan tentu saja harus mengalah, karena jenderal ketiga yang membutuhkan ajudan dengan kualifikasi seperti itu adalah Jenderal Abdul Haris Nasution. 
Karier Pierre sudah diplot sejak awal dengan spesialisasi intelijen. Termasuk kemungkinan kelak menjadi atase militer di Prancis, seperti diramalkan Brigjen Djatikusumo, orang pertama yang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Usai dilantik Presiden Sukarno pada 1961, Letda Zeni Pierre ditempatkan sebagai komandan peleton Batalyon Zeni Tempur (Yonzipur) 1 di Medan. Dua tahun kemudian ia ditarik mengikuti pendidikan intelijen dan ditempatkan pada Dinas Intelijen Angkatan Darat.
Ia mengawali petualangannya sebagai intelijen dengan tugas melakukan sabotase bersama tim Zeni ke Singapura. Sabotase listrik, pipa air minum, gas, jembatan, infrastruktur dan pengeboman. Ia berhasil menjalani tugas berat tersebut dan beberapa kali lolos dari kejaran tentara Inggris yang berjaga di Singapura. Mungkin ia dikira turis asing bermata biru.
Keberhasilannya itu menarik perhatian tiga jenderal untuk menjadikannya sebagai ajudan. Perwira keturunan Prancis itu gugur sebagai kapten anumerta dan menjadi pahlawan revolusi yang dikenang dalam sejarah Indonesia. Namanya antara lain diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Mampang Prapatan. Kawasan tempat ia selalu mengunjungi seniornya di Komplek Zeni Mampang yang kini sudah digusur.
Ia juga punya andil walau pun kecil terhadap pembangunan Monumen Nasional (Monas). Kala sedang libur menjadi ajudan Jenderal Nasution, ia turut bersama tim Zeni yang membangun Monas tahap pertama pada 1961-1965. Pierre mencari uang tambahan sebagai bekal untuk menikah dengan kekasihnya di Medan. Kisah kasih yang tak sampai.
Pendidikan di Akmil selama empat tahun, tentu banyak dinamika yang harus dilalui.  Beberapa taruna bahkan ada yang mengalami tidak naik tingkat atau tidak naik pangkat. Bukan karena masalah akademik saja, tetapi juga persoalan disiplin. 
Apakah mereka kemudian akan mati kariernya dan tidak menjadi jenderal? Belum tentu juga. Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu dan Letjen (Purn) Prabowo Subianto, misalnya. Keduanya seharusnya tamat pada 1973 bersama Jenderal Hor (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, karena dianggap indisipliner, mereka baru lulus tahun 1974. Sehingga harus menjalani lima tahun sebagai taruna.

/selamatgintingofficial

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...