18 June 2019

Rezim Murka Lawan Jenderal Pembangkang


Foto: Republika Online

Oleh Selamat Ginting
Mengapa jenderal kritis harus dilawan dengan hukum subversif dan tuduhan makar?

Peristiwa 26 tahun lalu.  Tepatnya, Juni 1993. Salah satu liputan politik paling menarik perhatian penulis saat awal menjadi wartawan. Ketika itu, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) BJ Habibie mengundang Letjen Marinir (Purn) Ali Sadikin dkk berkunjung ke PT PAL Surabaya.
Apa menariknya? Sangat menarik, karena mantan Gubernur DKI Jakarta bersama sejumlah jenderal dan politikus masuk dalam daftar kaum ‘pembangkang’. Membangkang terhadap pemerintah Orde Baru, pimpinan Jenderal (Purn) Soeharto. Kelompok pembangkang di antaranya adalah jenderal-jenderal militer dan polisi yang tergabung dalam penandatangan Petisi 50, tahun 1980.
Sebut saja, mantan Menko Hankam / Kepala Staf ABRI, Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution; mantan Panglima Kodam Siliwangi, Letjen (Purn) HR Darsono, mantan Panglima Kostrad, Letjen (Purn) A Kemal Idris, mantan Menteri / Wakil Panglima Angkatan Laut, Letjen (Purn) Ali Sadikin; mantan Kepala Polri, Jenderal (Purn) Hoegeng dll.
Selama 13 tahun, kelompok Petisi 50 menjadi oposisi terhadap Presiden Soeharto. Undangan Habibie kepada para pembangkang itu menarik perhatian pers. Tentu saja ingin mengetahui apa reaksi Jenderal Soeharto. Di luar dugaan, kata Habibie, Pak Harto justru merestui inisiatif tersebut.

"Habibie, mereka adalah kawan seperjuangan saya. Mereka adalah Angkatan 45 yang berperan menjadikan kamu seperti sekarang ini," begitu ucapan Pak Harto yang dikutip Habibie. Sejak itulah hubungan antara pemerintah dan penggagas Petisi 50 yang semula kaku dan membeku, perlahan mulai cair. Babak baru percaturan politik era Orde Baru dimulai.
Jenderal kritis
Petisi 50, bukan orang sembarangan. Mereka seperti diakui Soeharto, mempunyai jasa untuk bangsa dan negara. Gerakan oposisi ini diawali dari kelompok Brasildi.  Nama ini tidak ada hubungannya dengan negara paling banyak menjadi juara dunia sepakbola, Brasil. Brasildi adalah akronim dari divisi yang kemudian menjadi komando daerah militer (kodam). Brawijaya, Siliwangi, dan Diponegoro. Komando utama militer di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. 
Grup diskusi ini beranggotakan sejumlah pensiunan elite dari tiga divisi tersebut.  Brawijaya diwakili antara lain Letjen (Purn) GPH Djatikusumo, Letjen (Purn) Sudirman dan Letjen (Purn) M. Yassin. Djatikusumo adalah orang pertama yang menjadi KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat). Dari Siliwangi, ada nama-nama seperti:  Letjen (Purn) Kemal Idris, Brigjen (Purn) Alex Kawilarang, Letjen (Purn) AY Mokoginta. Dari Diponegoro ada nama-nama seperti: Mayjen (Purn) Moenadi H, Mayjen (Purn) Brotosewoyo, dan Mayjen (Purn) Iskandar Ranuwiharjo.
Para purnawirawan kritis itu aktif melakukan diskusi saat situasi politik memanas jelang pemilu 1977. Brasildi kemudian menjadi Fosko (Forum Studi Komunikasi) TNI AD 1978, Yayasan Kartika Eka Paksi. Pimpinannya adalah GPH Djatikusumo.  Salah satu kesimpulan diskusi  para jenderal pensiunan itu menilai suasana politik ‘kurang sehat’. Bahkan Sidang Umum MPR 1978, mirip perang!
Mereka juga mengritik TNI/ABRI belum menempatkan dirinya di atas semua golongan. Menyimpang dari semangat politik TNI adalah politik negara.  Belakangan mantan Panglima Siliwangi yang juga Sekjen ASEAN, Letjen (Purn) HR Dharsono masuk ke dalam Fosko dan diangkat menjadi sekjen mendampingi Djatikusumo.
Kritik mereka terhadap Mabes ABRI semakin keras dan mempertanyakan arah kebijakan Dwifungsi ABRI. Juga protes keras terhadap langkah politik Golkar sebagai partai pemerintah yang membuat sejumlah rekayasa ‘kecurangan’ pemilu dan sidang umum.
Langkah berani para purnawirawan membuat KSAD Jenderal Widodo serba salah.  Ia tak bisa lagi mengendalikan para seniornya yang sudah purnawirawan.  Widodo serba salah harus menjelaskannya kepada Presiden Soeharto. Akhirnya ia membubarkan Fosko pada Mei 1979. Namun membiarkan para jenderal gaek itu membuat wadah baru Forum Komunikasi dan Studi Purna Yudha (FKS).
Dituduh makar
Para senior ini ingin langsung menemui Presiden Soeharto, tanpa melalui KSAD. Jenderal Widodo mempersilakan. Momentumnya saat Soeharto ke Jawa Tengah, November 1979. Di luar dugaan, mereka malah dituduh hendak makar terhadap pemerintah. Sekali lagi dituding akan melakukan makar. Pertemuan pun tidak jadi berlangsung.
Setelah itu, Jenderal (Purn) AH Nasution berinisiatif memperlebar para tokoh, bukan hanya pensiunan TNI Angkatan Darat. Mengundang pensiunan Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian, serta sejumlah tokoh bangsa. Lahirlah Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB),  pada Juli 1978. Proklamator Mohamad  Hatta, Sunario, Ahmad Subardjo, Ali Sadikin, Hoegeng Imam Santoso, dll.
AH Nasution dkk mengritik Orde Baru belum menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara benar.  Kemudian Ali Sadikin dkk bertemu DPR dan mengeluarkan pernyataan keras terhadap pemerintahan Orde Baru yang dinilainya cenderung semakin otoriter.
Presiden Soeharto pun murka. Murka saat rapat pimpinan ABRI pada 27 Maret 1980 di Pekanbaru. Dilanjutkan pada hari jadi ke 28 tahun Kopassanda, kini Kopassus, 16 April 1980 di Cijantung, Jakarta. Soeharto mengingatkan jajaran TNI/ABRI akan adanya kelompok yang ingin mengganti Pancasila. Ia mengaku tak ingin ada konflik bersenjata.
“… (kalau terpaksa) lebih baik menculik seorang dari 2/3 anggota (MPR) yang hendak mengubah UUD 1945 dan Pancasila, agar kuorum tak tercapai,” kata Soeharto.
Aku Pancasila
Soeharto mulai ‘mempersonifikasikan’ dirinya sebagai Pancasila. ‘Akulah’ Pancasila. Sehingga yang berseberangan dengan dirinya dianggap bukan Pancasila.  Soeharto juga menolak isu-isu negatif yang ditujukan pada diri dan keluarganya.

Pernyataan Soeharto dibalas oleh para senior, terutama purnawirawan TNI dan Polri. Ali Sadikin, Hoegeng, Mayjen (Purn) Aziz Saleh dkk kemudian mengundang AY Mokoginta dan M Yassin dari FKS Purna Yudha. Mereka merancang petisi yang dinamai Surat Keprihatinan. Surat itu ditandatangani pada 5 Mei 1980. Sejumlah tokoh bangsa yang ikut andatangan, antara lain: Syafrudin Prawiranegara, Kasman Singodimejo, M Natsir, dan Slamet Bratanata.
Ada 50 orang yang ikut menandatangani surat keprihatinan, maka dinamai Petisi 50. Surat itu dikirim ke DPR dan meminta lembaga legislatif menanggapinya.  Sejumlah anggota DPR dari F-PP dan F-PDI memimta Syafrudin Prawiranegara, Kasman Singodimejo, M Natsir, Slamet Bratanata, pimpinan DPR meneruskan pertanyaan kepada pemerintah.  
Lalu, pada 14 Juni 1980, Ketua DPR Daryatmo meneruskan pertanyaan itu kepada Presiden. Dua bulan kemudian, Presiden Soeharto menjawab melalui Menteri/Sekretaris Negara, Sudharmono.  Namun  dianggap oleh kelompok Petisi 50 bukan merupakan jawaban. Ali Sadikin dkk menganggap persoalan belum selesai.
"Apa yang dilakukan oleh mereka yang menamakan diri Petisi 50, tidak saya sukai," kata Pak Harto dalam otobiografi ‘Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya’.
Perang pun dimulai. Pemerintah Soeharto mencekal (cegah tangkal) ke luar negeri bagi semua anggota Petisi 50 yang tidak bersedia mencabut pernyataannya. Bukan cuma itu, sejumlah hak perdatanya juga ditutup. Misalnya, Ali Sadikin tidak bisa mendapat kredit dari bank.  Perusahannya, PT Arkalina terpaksa ditutup.
Ayah Ton


Konflik antara Presiden Soeharto dengan kelompok Petisi 50 terus berlanjut. Puncaknya pada 1984. Terjadi peristiwa Tanjung Priok dan pengeboman Bank BCA di Jakarta. Dua peristiwa itu menjadi pintu masuk bagi rezim Soeharto memberangus kelompok oposisi, baik Petisi 50 maupun gerakan Islam.

Dua tokoh Petisi 50, mantan Menteri Perindustrian (1966-1968) M Sanusi dan Letjen (Purn) HR Dharsono ditangkap Kopkamtib. Keduanya dituduh terkait pengeboman itu.  Sanusi dituduh sebagai koordinator para pelaku teror yang melakukan pengeboman dan gerakan makar lainnya. 

Dalam persidangan terungkap, adanya rekayasa terhadap peran Sanusi. Para saksi mencabut kesaksian mereka dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Mereka mengaku diintimidasi dan disiksa di penjara saat membuat BAP.  

Sedangkan Jenderal Dharsono dituduh memimpin rapat-rapat para teroris setelah meletusnya peristiwa Tanjung Priok.  Sang  jenderal pun dipenjara selama hampir enam tahun.  Padahal ia hanya memprotes tindakan ABRI yang menembaki rakyat di Tajung Priok.  Tindakan sewenang-wenang yang menewaskan sejumlah orang. Ia minta pemerintah dari pimpinan ABRI harus bertanggung jawab terhadap hilangnya nyawa rakyat.

Begitulah saat rezim panik. Semua lawan politik dikriminalisasi dengan rekayasa hukum.  Oposisi diberangus tanpa ampun. Tak peduli dengan jasa-jasa para bekas menteri maupun pensiunan jenderal.  

Pada 1990, sebagai mahasiswa, penulis turut simpati dan menyambut bebasnya Letnan Jenderal (Purn) Hartono Rekso Dharsono atau dikenal sebagai HR Dharsono dari penjara LP Cipinang. Memakai kaos putih bergambar HR Dharsono dan menyambutnya bagai pahlawan menang perang.
 
Setelah bebas dari penjara, ia mengalami penyakit bronchitis dan kanker. Tentu saja dampak penderitaan yang dialaminya selama di penjara. Ia wafat pada pertengahan 1996.  Ironisnya, pemerintah melarang jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Ia hanya dimakamkan di pemakaman umum.

Letjen (Purn) Kemal Idris sampai menangis melihat perlakuan pemerintah terhadap HR Dharsono. “Ini seperti pemakaman kucing. Padahal dia pahlawan.”  Sebab, semua tanda kehormatan negara, tanda jasa, serta pensiunnya sebagai jenderal, tidak pernah dicabut oleh negara.     

/selamatgintingofficial






17 June 2019

Jenderal Sarwo, Isu Makar dan Flamboyan Terbuang


Foto: Wikipedia

Oleh Selamat Ginting

Mengapa Jenderal Sarwo diisukan akan melakukan makar? Mengapa ia terbuang dari lingkaran kekuasaan?

Penangguhan penahanan terhadap mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen dan mantan Komandan Jenderal Kopassus Soenarko, tak berujung. Kedua jenderal itu tetap tidak bisa menikmati dua hari Idul Fitri 1440 Hijriah atau 2019 Masehi. Mereka masih di rumah tahanan (rutan) Polisi Militer Kodam Jaya di Guntur, Jakarta Selatan.
“Belum ada info lebih lanjut soal penangguhan penahanan,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo kepada wartawan  di Jakarta, Selasa (4/6/2019) lalu. Artinya, kedua jenderal pensiunan itu tetap ditahan saat Idul Fitri.
Kasus Jenderal Kivlan dan Narko mengingatkan penulis pada 30 tahun lalu, sekitar 1989-1990. Saat masih menjadi mahasiswa FISIP, jurusan ilmu politik, Universitas Nasional, Jakarta.  Sejak mahasiswa, turut simpati terhadap kasus yang menimpa sejumlah jenderal yang dizalimi dan beroposisi era Presiden Soeharto .

Jenderal sederhana
Pada 1989, misalnya. Bersama sejumlah aktivis mahasiswa Unas, datang malam hari ke Komplek Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur. Melayat almarhum Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, yang wafat pada November 1989.  Bagi penulis, Jenderal Sarwo adalah pahlawan yang berhasil menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965-1967.

Sarwo sebagai jenderal sederhana dan bersahaja. Bukan pencitraan! Tinggal di rumah dinas Kopassus tipe 70. Rumah perwira tinggi,  bintang tiga, seperti layaknya rumah komandan kompi, untuk pangkat lettu senior atau kapten. Sederhana dan tidak cukup luas. Bangunan dan perabotan rumahnya juga sederhana. Bukan seperti bayangan semula. Bayangan semula seperti rumah dinas Komplek Perwira Tinggi Angkatan Darat di belakang Gedung Balai Kartini, Jl Gatot Subroto, Jakarta Selatan.

Ia memang jenderal flamboyan. Tingkah laku tentara ini menarik perhatian dan mudah dikenali wartawan. Mahasiswa tahun 1965-1967 menyukai penampilannya dengan baret merah, loreng darah mengalir, dan keakrabannya dengan kelompok pemuda, mahasiswa, dan pelajar yang anti PKI.  Kolonel Sarwo melindungi demonstrasi menentang Presiden Sukarno dalam aksi Tritura (tiga tuntutan rakyat).

Aksi gelombang demonstrasi Tritura pada Januari 1966 muncul karena pemerintah Sukarno tidak segera mengambil tindakan membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keadaan negara semakin parah dari sisi politik dan ekonomi.  Harga barang-barang naik sangat tinggi, terutama bahan bakar minyak (BBM).  Tuntutan Tritura adalah; pembubaran PKI, perombakan kabinet Dwikora, dan turunkan harga pangan.

Kembali ke rumah duka Sarwo Edhie pada malam menjelang hari Pahlawan 1989. Malam itu, tidak terlihat sosok Letkol (Infanteri) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menantu Sarwo Edhie. Dari daftar riwayat hidupnya, SBY sedang menjadi perwira siswa Seskoad di Bandung. Ada tiga menantu Sarwo yang saat itu juga berpangkat sama. Selain SBY (lulusan Akmil 1973), ada Letkol Erwin Sudjono (Akmil 1975), dan Letkol Hadi Utomo (Akmil 1970).
Sarwo memang sederhana. Bahkan irit sekali, karena tidak memiliki cukup uang. Supaya irit dan tidak bolak balik cuti meninggalkan tugasnya sebagai duta besar di Korea Selatan, ia sampai menikahkan tiga putrinya sekaligus dalam satu hari.

Mereka menikah pada akhir Juli 1976. Hal itu diungkapkan almarhumah Kristiani Herrawati dalam buku ‘Ani Yudhoyono Kepak Sayap Putri Prajuirit’. Putri kedua Sarwo, Wrahasti Cendrawasih menikah dengan Erwin Sudjono. Putri ketiga, Kristiani Herrawati menikah dengan SBY. Putri keempat, Mastuti Rahayu menikah dengan Hadi Utomo.  Putri pertama Sarwo, Wijiasih Cahyasasi sudah menikah lebih dahulu di Korea Selatan.
Itulah empat putri Sarwo Edhie. Anak kelimanya adalah Pramono Edhie Wibowo. Ia mengikuti jejak ayahnya menjadi Kopassus. Saat ayahnya wafat, Pramono Edhie sudah berpangkat Kapten (Infanteri). Anak keenam, Retno Cahyaningtyas dan ketujuh Hartanto Edhie Wibowo.

King Maker
Siapa sesungguhnya Sarwo pada saat pemerintahan Presiden Soeharto? Menurut wartawan senior dan guru besar ilmu politik, Prof Dr Salim Said dalam buku ‘Menyaksikan 30 tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016)’, nasib Sarwo senaas beberapa ‘king maker’ lainnya. King maker adalah istilah bagi sosok yang membuat orang lain menjadi raja.

Sarwo berperan menjadikan Jenderal Soeharto sebagai Presiden. Ia menjadi Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang kini dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Komandan RPKAD yang menghabisi PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur era 1965-1967.  Soeharto resmi menjadi presiden pada 1968.

Setelah menjadi Komandan RPKAD yang legendaris, ia  dipromosikan menjadi Panglima Kodam Bukit Barisan di Medan (1967-1968). Kemudian Panglima Kodam Cenderawasih di Jayapura (1968-1970). Saat menjadi Panglima di Medan, cerita Salim Said, Sarwo diisukan akan melakukan kudeta (makar) terhadap Presiden Soeharto.

Sarwo terkejut dengan isu tersebut. Ia pun menghadap Presiden Soeharto membantah isu tersebut. Pak Harto tak menjawab hanya tersenyum saja, seperti gaya khasnya. Akhirnya Sarwo tahu siapa orang yang mengembuskan isu dirinya akan melakukan makar. Lingkaran intelijen Presiden Soeharto diduga berusaha menyingkirkannya dan menjauhkannya dari sang presiden.

Masih di era itu, Sarwo pun akan diplot menjadi duta besar di Uni Soviet. Rumors tersebut  membuat morilnya jatuh. Bagaimana mungkin ia yang memberangus komunis di Indonesia, kemudian akan di tempatkan di Moskow. Negeri ‘tirai besinya’ komunis. Sebuah penghinaan baginya. Ia merasa kembali ‘dikerjain’ kelompok intelijen di lingkaran Soeharto.  Hal tersebut terungkap dalam buku ‘Ani Yudhoyono Kepak Sayap Putri Prajuirit’.

Namun, rencana penempatan itu batal. Sarwo justru dipindahkan menjadi Panglima Kodam Cendrawasih. Situasi genting, karena akan ada penentuan pendapat rakyat (pepera) 1969 atau referendum rakyat Irian Jaya. Apakah akan tetap memlih Indonesia atau ikut Belanda? Nasib karier militer Sarwo juga akan ditentukan di sini.

Hasilnya, rakyat Irian Jaya tetap memilik Indonesia sebagai Ibu Pertiwinya.  Keberhasilan Brigjen Sarwo di Irian Jaya tidak lantas mengangkat karier militernya. Misalnya menjadi panglima Kodam di Pulau Jawa. Ia justru dipromosikan menjadi mayjen dengan jabatan Gubernur Akabri di Magelang selama empat tahun (1970-1974).  Di sini hikmahnya, ia mengenal ketiga calon menantunya.

Calon Presiden
Kemudian Sarwo menjadi duta besar RI di Korea Selatan pada 1974-1978. Lalu ditugas karyakan sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Luar Negeri selama lima tahun, 1978-1983. Pensiun sebagai letjen. Ia tidak diberi kesempatan menjadi panglima Kodam di Jawa yang lebih prestise. Sehingga kehilangan kesempatan menjadi Panglima Kowilhan untuk jenderal bintang tiga. Sembilan tahun, Sarwo tanpa jabatan militer.  Jenderal tanpa pasukan membuatnya kehilangan kharisma, seperti era 1965-1967.

Usai pensiun, ia diberi tugas sebagai Kepala Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7) pada 1984-1987.  Ia juga diberi jabatan sebagai dewan pengawas Bank Bumi Daya. Kemudian namanya masuk sebagai calon Ketua DPR periode 1987-1992 dari Fraksi Golkar DPR RI.

Sarwo sudah mengundurkan diri sebagai Kepala BP-7 untuk menyongsong jabatan lain. Namun, Presiden Soeharto justru memilih Letjen Kharis Suhud sebagai Ketua DPR. Bukan dirinya. Padahal media massa memperkirakan Sarwo akan menjadi orang nomor satu di lembaga legislatif.

Sarwo kemudian mundur  teratur sebagai anggota DPR. Ia cuma menjalaninya selama sekitar setengah tahun sebagai anggota parlemen. Di balik itu, pada 1984, sesungguhnya sejumlah bekas aktivis mahasiswa 1966 sudah menghubungi Sarwo dan memintanya menjadi calon presiden periode 1988-1983. Alasan para mantan aktivis mahasiswa, Soeharto sudah 20 tahun menjadi presiden. Sudah cukup lama menduduki jabatan tersebut dan pada era itu semakin otoriter.

Pertemuan rahasia para mantan aktivis mahasiswa dengan Sarwo itu pernah diungkapkan Fahmi Idris pada penulis sekitar tahun 1999 di kantornya, Kementerian Tenaga Kerja.  Pertemuan aktivis dengan Sarwo dilakukan usai penangkapan terhadap mantan Panglima Kodam Siliwangi, Letjen (Purn) HR Dharsono.

Tuduhannya tidak main-main. Mantan sekjen ASEAN itu dituduh akan melakukan makar atau subversif pada 1984. Subversif adalah upaya pemberontakan dalam merobohkan struktur kekuasaan termasuk negara. Sedangkan maker diartikan sebagai upaya membunuh atau merampas kemerdekaan atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden dalam memerintah.

Penangkapan terhadap jenderal yang turut menjadikan Soeharto sebagai presiden itu terjadi usai sejumlah peristiwa berdarah Tanjung Priok, dan peledakan Bank BCA di dua lokasi di Jakarta. Dalam persidangan Dharsono membantah semua tuduhan makar atau subversif kepada dirinya.  Namun ia tetap harus mendekam di penjara selama lebih dari lima tahun.

Sebelum kasus yang menimpa Dharsono, para mantan aktivis mahasiswa juga sudah menjajaki kemungkinan Sarwo menjadi calon presiden, saat menjadi duta besar di Korea Selatan.  Entah Presiden Soeharto mengetahui pertemuan itu atau tidak. Yang  jelas, Sarwo terus ‘dikurung’ dalam jabatan-jabatan yang tidak populer. Soeharto memang cenderung tidak menyukai jenderal-jenderal popular di lingkarannya. Tidak boleh ada dua matahari kembar, begitulah dalam konsep kekuasaan Jawa. Satu harus terbuang. Sang flamboyant harus terbuang.

Setahun setelah mengundurkan diri sebagai anggota DPR, Sarwo wafat dalam usia 64 tahun. Sang flamboyan yang bersahaja itu disemayamkan di Jalan Flamboyan, Komplek Kopassus, Cijantung.  Ia dimakamkan pada Hari Pahlawan di pemakaman keluarga di Mupasan, Purworejo, Jawa Tengah.

Untuk mengormati jasa Sarwo Edhie, pada 1997, Presiden Soeharto memberikan kenaikan pangkat kepada mantan anak buahnya itu. Almarhum Sarwo menjadi jenderal kehormatan bintang empat bersama mantan kepala staf pertama Angkatan Darat, almarhum GPH Djatikusumo.

/selamatgintingofficial

12 June 2019

Kivlan dan Teori Agenda Setting (Kivlan and Agenda Setting Theory)



Oleh: Selamat Ginting
Jurnalis

Kasus yang dialami Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen, menjadi topik paling panas dalam dua hari ini. Hal ini setelah Kepolisian secara sepihak mengungkap peran mantan Kepala Staf Kostrad tersebut, dalam dugaan rencana pembunuhan empat tokoh.

Kivlan disebut sebagai sosok pemberi perintah kepada pria berinisial HK alias Iwan untuk mencari eksekutor pembunuh empat tokoh. “Peran Kivlan memberi perintah kepada tersangka HK untuk mencari eksekutor pembunuh," kata wakil direktur reserse kriminal umum (wadireskrimum) Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Polisi Ary Syam Indradi di Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (11/6/2019).

Menurutnya, Kivlan memberi uang Rp150 juta kepada tersangka HK untuk membeli senjata api. Senjata itu yang akan digunakan saat mengeksekusi atau membunuh empat tokoh nasional serta satu orang pimpinan lembaga survei.

Selain itu, Kivlan juga menyerahkan uang Rp5 juta kepada tersangka lainnya, yakni IT, untuk melakukan pengintaian terhadap satu orang pemimpin lembaga survei yang juga digadang-gadang untuk dibunuh.

Bahkan polisi memutar kesaksian tersangka kasus senjata api ilegal, Kurniawan alias Iwan atau HK. HK mengaku diperintahkan Kivlan Zen untuk mencari senjata dan membunuh empat tokoh tersebut.

Versi kubu Kivlan

Pengacara Kivlan Zen, Muhammad Yountri meragukan pengakuan HK tersebut. Menurutnya, justru HK yang mendatangi Kivlan dan mengatakan, mantan Kepala Staf Kostrad tersebut akan dibunuh oleh empat tokoh itu.

"Sampai saat ini kita mau ketemu Iwan enggak bisa, dikhawatirkan cerita Iwan dengan yang kami terima dari Pak Kivlan itu berbeda. Iwan justru datang ke Pak Kivlan mengatakan bahwa Pak Kivlan mau dibunuh oleh empat orang itu," kata Yountri dalam keterangan persnya, Selasa (16/11/2019).

Dia mengatakan, Kivlan Zen memang meminta HK untuk mencarikan senjata. Senjata itu akan digunakan untuk berburu babi hutan, karena di lingkungan rumah Kivlan di Gunung Picung masih ada hutan.

Senjata yang diberikan Iwan, tak cocok sehingga Kivlan menolaknya. "Iwan bilang, 'ini ada senjata, Pak'. Pak Kivlan bilang,  itu bukan untuk bunuh babi tapi bunuh tikus," kata Yountri.

Versi dia, uang Rp 150 juta atau 15 ribu dolar Singapura itu akan digunakan untuk aksi saat Supersemar, Maret 2019. Dia membantah Kivlan Zen merencanakan pembunuhan pada empat jenderal purnawirawan, yakni: Menko Polhukam, Wiranto; Menko Kemaritiman, Luhut Panjaitan; Kepala BIN, Budi Gunawan; dan Staf Khusus Presiden bidang intelijen, Gories Mere.

Agenda setting

Kasus ini menarik, karena sebelum penetapan tersangka, tidak pernah melalui gelar perkara yang menghadirkan sejumlah pihak, termasuk orang yang dituduh, para tersangka serta kuasa hukumnnya. Sehingga barang bukti yang dituduhkan tidak diketahui secara jelas. Padahal kasus yang membidik Kivlan ini, terkait kasus makar, kepemilikan senjata api, dan perencanaan pembunuhan.

Gelar perkara penting untuk membuat hukum lebih objektif. Penetapan tersangka oleh penyidik merupakan tindakan subjektif oleh penyidik selaku 'hakim' pertama. Padahal hukum berpijak pada objektifitas. Maka, pihak-pihak yang terkait mesti diberikan hak untuk mendapatkan hukum objektif. Tidak bisa hanya karena ucapan seseorang, kemudian secara serta merta penyidik menetapkan seeseorang menjadi tersangka.

Tidak bisa juga polisi mengatakan nanti saja di pengadilan dibuktikan. Penetapan tersangka merupakan 'pencabutan' hak konstitusi seseorang. Aparat hukum tidak bisa 'semau gue' mencabut hak konstitusi, tanpa memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada tertuduh untuk memberikan jawaban. Hak jawab kalau dalam istilah pers.

Berbeda jika tertuduh tertangkap tangan sedang melakukan kejahatan yang melanggar hukum. Gelar perkara tak diperlukan lagi, sebab kejahatan sedang berlangsung.

Melihat pemberitaan pers, kasus ini tidak bisa dipisahkan dari teori agenda setting. Teori ini diperkerkenalkan oleh Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw dalam tulisan berjudul “The Agenda Setting Function of Mass Media” yang diterbitkan dalam Public Opinion Quarterly pada 1972.

Menurut kedua pakar komunikasi ini, jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting (Effendy, 2003:287).

Dengan teknik pemilihan dan penonjolan, media memberikan petunjuk tentang mana isu yang lebih penting. Media lebih memilih menonjolkan pernyataan dari sumber yang mana. Karena itu, model agenda setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media kepada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak kepada persoalan itu.

Singkatnya, apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Begitu juga sebaliknya. Apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat. #Selesai.

=======================================
By: Selamat Ginting
Journalist


The case experienced by Major General (Ret.) Kivlan Zen became the hottest topic in two days. This was after the Police unilaterally revealed the role of the former Kostrad Chief of Staff, in the alleged plot to murder four figures.

Kivlan is referred to as an instructor to the man with the initials HK aka Iwan to find the executor of the killers of four figures. "The role of Kivlan gave orders to HK suspects to find executors for murderers," said deputy director of the general police crime investigation (Wadireskrimum) Polda Metro, Adjunct Commissioner of Police Ary Syam Indradi at the Coordinating Ministry for Politics, Jakarta, Tuesday (06/11/2019).

According to him, Kivlan gave Rp150 million to HK suspects to buy firearms. The weapon will be used when executing or killing four national figures and one leader of a survey institution.

Also, Kivlan also handed over Rp. 5 million to other suspects, namely IT, to conduct surveillance of one of the leaders of a survey institution who was also suspected of being killed.

Even the police played the testimony of suspects in illegal firearms, Kurniawan alias Iwan or HK. HK claimed to have been ordered by Kivlan Zen to search for weapons and kill the four figures.

A version of the Kivlan stronghold

The lawyer for Kivlan Zen, Muhammad Yountri doubted HK's confession. According to him, it was precisely HK who came to Kivlan and said that the former Kostrad Chief of Staff would be killed by the four figures.

"Until now we want to meet Iwan, we cannot, it is feared that Iwan's story with what we received from Pak Kivlan is different. Iwan came to Pak Kivlan saying that Mr. Kivlan wanted to be killed by those four people," Yountri said in a press release on Tuesday ( 11/16/2019).

He said Kivlan Zen did ask HK to find weapons. The weapon will be used to hunt wild boar, because in the Kivlan house environment on Mount Picung there is still forest.

The weapon Iwan gave, was not suitable so Kivlan refused. "Iwan said, 'this is a weapon, sir.' Mr. Kivlan said it was not to kill a pig but to kill a mouse," Yountri said.

His version, the Rp 150 million or 15 thousand Singapore dollars will be used for the action during Supersemar, March 2019. He denied that Kivlan Zen planned the murder of four retired generals, namely: Coordinating Minister for Politics and Security, Wiranto; Coordinating Minister for Maritime Affairs, Luhut Panjaitan; Head of BIN, Budi Gunawan; and Presidential Intelligence Special Staff, Gories Mere.

Agenda settings

This case is interesting because, before the determination of the suspect, it was never through the title of the case that presented several parties, including those accused, the suspects and their attorneys. So that the alleged evidence is not known. Even though the case that targeted Kivlan was related to treason cases, possession of firearms, and planning of the murder.

An important case title is to make the law more objective.  The determination of the suspect by the investigator is a subjective act by the investigator as the first 'judge'. Though the law rests on objectivity. Therefore, the parties concerned must be given the right to obtain an objective law. It can't be just because of someone's words, then the investigator immediately determines someone to be a suspect.

Nor can the police say that later it will be proven in court. The determination of suspects is 'revocation' of one's constitutional rights. Law enforcers cannot 'want me' to revoke constitutional rights, without giving the accused a chance to give an answer first. The right to answer in press terms.

It is different if the accused is caught in the act of committing a crime that violates the law. The case title is no longer needed because crime is ongoing.

Looking at press reports, this case cannot be separated from the agenda-setting theory. This theory was introduced by Maxwell McCombs and Donald L. Shaw in a paper entitled "The Agenda for Setting Function of Mass Media" which was published in Public Opinion Quarterly in 1972.

According to these two communication experts, if the media puts pressure on an event, then the media will influence the audience to consider it important (Effendy, 2003: 287).

With the selection and bulging techniques, the media provides clues about which issues are more important. The media prefers to highlight the statement from which source. Therefore, the agenda-setting model assumes that there is a positive relationship between the assessment that the media gives to a problem and the attention given by the audience to the problem.

In short, what is considered important by the media will also be considered important by the community. Vice versa. What the media forget, will also escape the attention of the public. #End.

03 June 2019

Habis Manis, Kivlan Dibuang (Bagian ke-2, selesai)

Foto: Republika Onli\ne

Oleh Selamat Ginting


Makar pertama
Namanya mulai muncul lagi pada 2017, Mayjen (Purn) Kivlan bersama mantan Kadispenum Puspen TNI Brigjen (Purn) Adityawarman Thaha (Akmil 1970). Mereka dituding melakukan permufakatan jahat bersama putri proklamator, Rachmawati Soekarnoputri, Sri Bintang Pamungkas, Hatta Taliwang dll.
Hal ini terkait dengan pertemuan bersama sejumlah aktivis untuk memperjuangkan agar UUD 1945 kembali ke naskah yang asli. Tokoh di balik aksi ini sebenarnya ada juga mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto. 
Kivlan juga aktif mengampanyekan anti komunis dan mendukung pemutaran film Penghianatan G30S/PKI setiap 30 September. Aksinya ini tentu saja bentuk konsistensinya sebagai aktivis KAPPI yang menentang ideologi komunis di Indonesia. “Saya dibilang aneh, karena anti PKI. Biar saja. Komunis memang ideologi yang dilarang di Indonesia,” ujar Kivlan. 

Tahanan polisi
Dalam sepekan ini, namanya muncul kembali di media. Kali ini, ia benar-benar ditahan di rumah tahanan Polisi Militer Kodam Jaya di Guntur, Jakarta Selatan, Kamis (30/5/2019).  Ia ditetapkan sebagai tersangka kepemilikan senjata api illegal oleh kepolisian. 
Berhenti sampai di situ? Ternyata tidak. Ia juga menyandang status tersangka kasus dugaan makar. Termasuk terlibat dalam rencana pembunuhan empat tokoh nasional. “Membunuh siapa?  Menurut saya agak-agak mustahil,” ujar Menteri Pertahanan Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu.
Ia mengaku bukan meragukan  keterlibatan Kivlan dalam dugaan pembunuhan tersebut. Namun berdasarkan pengalamannya, tidak ada pembunuhan yang dilakukan sembarangan. “Enggak ada itu bunuh-bunuh sembarangan. Nanti akan saya tanyakan ke dia (Kivlan),” ujar Ryamizard.
Lain lagi dengan Menko Polhukam Jenderal (Purn) Wiranto.  “Ini kan proses hukum jalan. Jadi gak usahlah kita berspekulasi. Tokoh manapun boleh mengatakan ini itu. Nanti dari alur analisis hukum akan ketahuan dengan jelas,” ujar Wiranto.
Lagi-lagi Ryamizard mengatakan, para purnawirwan (Kivlan Zen dan Mayjen Purn Soenarko) tidak patut sampai ditahan dengan tuduhan makar. Alasannya, mereka banyak berjasa untuk bangsa dan negara. “Ada abang kelas dan adik kelas saya di Akmil,” kata  Ryamizard, lulusan Akmil 1974. Ia pernah menggantikan Kivlan Zen sebagai Panglima Divisi Infanteri 2 Kostrad.

Bukan ruang hampa
Makar? Bagi ilmuwan komunikasi,  teks-teks dalam media tidak berdiri di alam hampa; teks-teks dalam media merupakan sebuah cara dalam memandang realitas. Teks-teks tersebut membantu mendefinisikan realitas dan memberi model yang sesuai pada sikap dan tingkah laku masyarakat.
Nah, terkait dengan makar yang dituduhkan polisi terhadap purnawirawan jenderal Kivlan Zen dan Soenarko, ada teks-teks yang tidak berdiri sendiri.  Polisi mengacu tuduhan makar kepada purnawirawan jenderal TNI itu berdasarkan pasal 103, 106, dan 107 KUHP. Bisa diartikan ingin membunuh presiden dan wakil presiden dan ingin memisahkan diri dari wilayah negara dan menggulingkan kekuasaan dengan kekerasan.
Punya apa Kivlan dan Soenarko? Mereka adalah jenderal tak punya pasukan dan tak punya persenjatan untuk melakukan makar. Dalam negara demokrasi, walau mereka jenderal, tetapi sudah pensiun, mereka ini adalah warga sipil. Purnawirawan yang menyuarakan demokrasi bahwa ada dugaan kecurangan pemilu.
Mari kita amati pola kerja polisi untuk menjerat orang dengan tuduhan makar. Begitu mudahnya. Hanya berpatokan adanya laporan seseorang. Orangnya pun itu-itu saja. Seketika dengan sangat cepat, polisi membuat proses hukum. Padahal untuk kasus lain, publik bisa jengkel karena lambannya proses di kepolisian. Tuduhan pun dikenakan kepada para aktivis kubu oposisi, seperti : Egy Sujana, Lieus Sungkharisma. Terbaru adalah Dahnil Anzar Simanjuntak, juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi. Dahnil menjadi saksi atas dugaan makar di Polda Sumatra Utara.

Nuansa politis
Maka wajar bagi wartawan yang kritis, kasus ini kuat dugaan bukan semata kasus hukum, melainkan kental dengan nuansa politik. Mengapa hanya pensiunan jenderal TNI saja? Bukankah jenderal purnawirawan polisi seperti mantan Kapolda Metro Jaya Komjen (Purn) Sofjan Jacob (Akpol 1970) juga mengeluarkan statemen yang keras terkait dugaan kecurangan pemilu?
Memang betul Sofjan Jacob diperiksa di Polda Metro Jaya, Senin (27/5/2019) lalu. Namun statusnya hingga kini belum jelas. Apakah polisi juga tega menjadikan Sofjan sebagai tersangka? Mantan Kapolda Metro Jaya, datang ke Polda Metro Jaya diperiksa untuk dijadikan tersangka?   
Penerapan pasal makar berdasarkan KUHP sesungguhnya sudah ketinggalan zaman. Pasal-pasal tersebut merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda untuk melindungi kerajaan. Kita sebenarnya sudah lelah dengan tuduhan makar, seperti tahun 2017 lalu. Kasus ini tidak pernah berlanjut. Apakah ini hanya untuk menakut-nakuti saja, termasuk menakut-nakuti pensiunan jenderal?
Jika iya, rasanya negara seperti pepatah habis manis, sepah dibuang. Misalnya, ketika membutuhkan Kivlan, negara (Mabes TNI) memanggilnya. Namun setelah tidak ada kepentingan, Kivlan pun dijebloskan ke penjara. Beginikah? Para purnawirawan tentu tidak ingin Kivlan hanya sebagai tokoh ikonik. Hadir ketika pemerintah membutuhkan jasanya. Setelah itu, mendapatkan perlakuan yang tidak layak.  Sedih! # End

Habis Manis, Kivlan Dibuang (Bagian ke-1 dari 2 tulisan)

Foto: Republika Online
Oleh Selamat Ginting

Para purnawirawan tentu tidak ingin Kivlan hanya sebagai tokoh ikonik. Hadir ketika pemerintah membutuhkan jasanya saja. Setelah itu?

Pekan keempat April 2016. Selama beberapa hari, saya mengikuti perjalanan dinas Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo ke Indonesia Timur. Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Namun jadwal kunjungan dipercepat satu hari dari jadwal semula. Panglima harus segera ke Jakarta, malam itu juga. Ada apakah? Semua perwira tinggi terdiam. Tak ada yang bisa memberikan penjelasan.
Begitu pesawat mendarat di Halim Perdana Kusuma, Gatot langsung masuk jeep yang menjemputnya. Ia segera pergi meninggalkan komplek militer Halim. Malam itu juga saya mencari tahu ada berita penting apa di Jakarta, sehingga Gatot tergopoh-gopoh?
Akhirnya saya mendapatkan jawaban. Terjadi penyenderaan kapal penarik tongkang batubara di perairan Laut Sulu, Filipina. “Betul, Bang. Yang disandera warga Indonesia,” kata seorang kolonel senior, saat saya hubungi via telepon. Awak kapal yang disandera sebanyak 10 orang.

Diplomasi jenderal
Seketika saya ingat seseorang jenderal yang kontroversial. Mayjen (Purn) Kivlan Zen. Ingatan itu melambung ke tahun 1995-1996. Ketika itu di sebuah hotel di Jakarta. Saya berkenalan dengan sosok Kivlan, jenderal bintang satu (brigjen). Saya meminta tolong kepada jenderal lulusan Akademi Militer (Akmil) 1971 agar bisa mewawancarai Nur Misuari, seorang revolusioner pemimpin Front Pembebasan Nasional Moro.
Saya terkejut, Kivlan dengan mudah membawa Misuari ke sebuah ruangan untuk bertemu dengan saya, wartawan muda. Padahal, Misuari adalah Gubernur Wilayah Otonomi Muslim Mindanao. Misuari begitu ‘menurut’ apa yang diminta Kivlan, anak Medan keturunan Minang dan lahir di Langsa Aceh. Kultur tiga daerah itu melekat pada diri Kivlan menjadi lelaki nekat.
Ini jenderal unik, pikirku saaat itu. Entah belajar diplomasi dari mana, tentara kelahiran 1946 tersebut. Saat itu saya juga mewawancarai Kivlan tentang resepnya bisa ‘menundukkan’ Misuari. “Ah gampang itu. Model gertak anak Medan. Aku ancam, kalau tidak mau menerima 8 dari 10 poin, kau tidak akan dapat apa-apa. Lebih baik, terima saja tawaran pemerintah Filipina,” ujar Kivlan seraya terkekeh-kekeh.
Akhirnya Misuari memang menerima saran Kivlan. Sejak itu nama Kivlan cukup dikenal oleh keluarga Misuari di Filipina Selatan. Ia saat itu menjadi pengamat militer Indonesia untuk perdamaian di Filipina Selatan. Jabatan sebelumnya adalah Kepala Staf Divisi Infanteri 1 Kostrad.

Urakan
Kivlan juga pernah menjadi Komandan Brigade Infanteri 6 Divisi Infanteri 2 Kostrad, serta Komandan Resimen Candra Dimuka Akmil, Magelang. Riwayat jabatan militernya lebih dari separuhnya dihabiskan di baret hijau Kostrad. Maka wajar jika ia pernah dipercaya menjadi Panglima Divisi Infanteri 2 Kostrad, dan kemudian menjadi Kepala Staf Kostrad. Panglima Kostrad saat itu, Letjen Prabowo Subianto. Karier militer Kivlan ‘jalan di tempat’ bersamaan pergantian rezim.

Kivlan juga pernah bertugas cukup lama di Brigif Linud 18 Kostrad, serta Danyonif 303 Brigif 13 Kostrad. Ia pun matang bertugas di Papua saat perwira pertama di Yonif 753 Kodam Cendrawasih. Menjadi penegak kedaulatan NKRI di Papua pada 1972-1983, serta penegak kedaulatan NKRI di Timor Timur pada 1985-1988. Untuk tugas teritorial, ia pernah menjadi Kepala Staf Kodam Wirabuana, Sulawesi Selatan.
Gaya Kiv, panggilan akrab teman-temannya di Akmil 1971, memang cenderung urakan. Ia kadang terlihat seperti aktivis mahasiswa daripada purnawirawan tentara. Sebelum masuk taruna Akmil, Kiv memang sempat kuliah di Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Sumatra Utara.

Saat SMA, ia bergabung dengan Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Medan, selama tiga tahun. Di situ ia sudah menjadi aktivis KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) yang anti komunis. Saat kuliah, ia bergabung dalam  Himpunan Mahasiswa Islam  (HMI) Cabang Medan, selama tiga tahun. 
Ia berani menentang seniornya untuk berdebat terbuka. Sekitar dua bulan lalu, Kiv tertangkap kamera sedang beradu mulut dengan Menko Polhukam Jenderal (Purn) Wiranto di acara Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD). “Abang jangan begitulah…” kata Kiv kepada Wiranto.

Adu mulut itu dilerai Ketua Umum PPAD Letjen (Purn) Kiki Syahnakri. Kiki merupakan teman seangkatan Kivlan di Akmil 1971. Ada beberapa jenderal cukup terkenal dari lulusan tersebut, misalnya: Letjen (Purn) Slamet Supriyadi, Letjen (Purn) Dhamari Chaniago, Letjen (Purn) Sugiyono, dan Letjen (Purn) Suadi Marasabessy. Ada pula Mayjen (Purn) Sang Nyoman Suwisma, dan almarhum Mayjen (Purn) Ismet Yuzairi.

Diminta TNI
Kivlan memang kontroversial. Namun jasanya dicatat oleh Mabes TNI. Saat itu Jenderal Gatot Nurmantyo mempersiapkan operasi militer untuk membebaskan sandera di laut Sulu, Filipina, pada April 2016 lalu. Panglima Kostrad, Komandan Jenderal Kopassus, Komandan Korps Marinir, dan Komandan Korps Pasukan Khas, serta Kepala Bais TNI sudah dipanggil. Termasuk merancang operasi besar-besaran di luar negeri (Filipina).
Bukan hanya melalui cara militer saja, tetapi juga dicoba dari sisi diplomasi. Untuk itu, Mabes TNI meminta bantuan Kivlan. Ia diminta membantu Bais TNI untuk menjadi negosiator dengan pelaku penyanderaan, kelompok Abu Sayaf.
Memang peran Kivlan kali ini, tidak seperti tahun 1995-1996. Suasana di Filipina Selatan sudah berubah. Sejumlah pihak juga berusaha membebaskan sandera, seperti Yayasan Sukma, milik Surya Paloh. Dan tentu saja Bais TNI sebagai operator di lapangan.
Dua gelombang sandera bisa dibebaskan dengan peran masing-masing negosiator.  Apa pun, Mabes TNI ingat peran dan jasa Kivlan di Filipina Selatan. Ia senior yang dimintai pendapat untuk kasus-kasus penyanderaan yang hingga kini masih sering terjadi.
Bukan kali itu saja pimpinan TNI memanggil Kivlan dan memerlukan jasanya. Pada November 1998, misalnya. Ia diminta Panglima TNI Jenderal Wiranto membentuk pengamanan swakarsa atau Pam Swakarsa untuk membantu pengamanan Sidang Istimewa MPR. Padahal saat itu Mayjen Kivlan Zen tidak punya jabatan. Jabatannya sebagai Kas Kostrad dicopot oleh Wiranto bersamaan dengan pencopotan jabatan Pangkostrad untuk Prabowo serta Danjen Kopassus untuk Mayjen Muchdi PR.

Wiranto meminta Kivlan, karena memiliki kemampuan penggalangan yang cukup baik ke kelompok-kelompok Islam. Namun dalam perkembangannya, Kivlan mengaku justru ‘dikerjain’ Wiranto, karena dana yang dijanjikan tidak kunjung tiba. Akhirnya ia harus membayar utang ke sejumlah rumah makan dan keperluan Pam Swakarsa lainnya dengan cara menjual rumah serta hartanya.  (Bersambung)

02 June 2019

Narko, Tragedi Jenderal Parako

Headline Republika Online

Oleh: Selamat Ginting

Siapa sutradara di balik penahanan mantan Komandan Jenderal Kopassus?

Narko. Begitulah panggilan akrab teman-temannya. Lelaki Jawa kelahiran Medan 65 tahun lalu. Ia  berperawakan sedang, agak gempal dan  berkulit sawo matang. Ciri khasnya, berkumis hitam dan tebal.

Itulah sosok Soenarko, perwira komando, lulusan Akademi Militer (Akmil) 1978.  Soenarko dari korps infanteri dan Erfi Triassunu dari korps zeni, sejak lulus pendidikan komando pada 1979, bersama-sama di Kopassandha (Komando Pasukan Sandi Yudha). Nama lain sebelum berganti menjadi Kopassus (Komando Pasukan Khusus).

Saat bintang dua (mayor jenderal), keduanya dipercaya menjadi panglima Kodam. Soenarko sebagai Pangdam Iskandar Muda. Erfi sebagai Pangdam Cendrawasih. Soenarko memang lebih banyak tugas operasi di Aceh. Sedangkan Erfi lebih banyak bertugas operasi di Papua.

Mereka bersama Budiman (zeni), Marciano Norman (kavaleri), Leonardus JP Siegers (artileri pertahanan udara), dan Andi Geerhan Lantara (infanteri) berhasil menjadi pangdam. Budiman sebagai Pangdam Diponegoro, Marciano menjadi Pangdam Jaya, Siegers selaku Pangdam Bukit Barisan, dan Geerhan menggapai Pangdam Tanjung Pura.

Budiman puncak kariernya sebagai KSAD, Norman menjadi  Kepala BIN, Erfi selaku  Wakil Kepala BIN, Geerhan sebagai  Irjen Mabes TNI,  Siegers menjadi  Koorsahli Panglima TNI, dan Soenarko sebagai Komandan Pussenif.

Jabatan-jabatan Narko adalah mimpi atau keinginan dari para perwira komando. Sebab tidak semua perwira komando bisa menjadi Komandan Jenderal Kopassus. Begitu juga bagi para infanteris. Tentu semua berkeinginan menjadi Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri. Komandan Korps Infanteri.

Infanteri adalah korps induk militer. Sekitar 75-80 persen personel TNI AD adalah infanteri.  Narko spesial, karena berhasil menjadi Komandan Jenderal Kopassus, Pangdam Iskandar Muda, serta Komandan Pussenif. Walau berhenti pada pangkat mayor jenderal, semua mengakui kemampuan tempur Narko.

Sekurangnya ia sembilan kali bolak balik ke medan tempur di Timor Timur, Papua, dan Aceh. Sikap nan tegap, waspada dan wibawa, melekat pada diri Soenarko sebagai prajurit komando yang berjiwa satria. Bagi nusa bangsa dan negara, ia pantang menyerah di medan laga.

Di bawah panji Merah Putih, di atas persada negeri. Para prajurit komando, berjanji demi Tuhan: rela binasa membela Ibu Pertiwi. Memuja Indonesia, mencintai Tanah Air. Sebagai warga baret merah jiwanya bergelora, lebih baik pulang nama daripada gagal di medan laga.

Namun, kini ia seperti dizalimi. Menghadapi mimpi buruk! Jenderal Narko ditetapkan sebagai tersangka makar! Ia disangka menyelundupkan senjata untuk memancing kerusuhan aksi protes terhadap hasil pemilu presiden 21-22 Mei 2019. Prajurit para komando (parako)  itu kini harus mendekam di rumah tahanan Polisi Milter Kodam Jaya di Guntur, Jakarta Selatan.

Kasus ini tentu mengherankan bagaimana polisi bisa menetapkannya sebagai tersangka?

Semula pada 18 Mei 2019, Narko diminta hadir ke Markas Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI di Cilangkap. Dia menjadi saksi kasus dugaan kepemilikan senjata illegal. Namun ketika ia diperiksa sebagai saksi, muncul surat penangkapan dan penahanan dari Mabes Polri terhadap dirinya. Ironis!

Bagaimana sesungguhnya  koordinasi pimpinan Mabes Polri dengan pimpinan Mabes TNI, sehingga bisa menetapkan seorang mantan Komandan Jenderal Kopassus dari saksi menjadi tersangka?  Mengapa sedemikian mudah pimpinan TNI menyerahkan jenderal mantan komandan pasukan elite-nya  kepada polisi untuk ditahan?  Siapa berada di balik penetapan Jenderal Soenarko sebagai tersangka? Mengapa sampai berani menuduh salah satu putra terbaik TNI sebagai tersangka makar dan kepemilikan senjata illegal?

Sebegitu nistakah seorang Soenarko yang hidupnya didarmabaktikan untuk bangsa dan negaranya. Lalu berbuat konyol menyelundupkan sepucuk senjata? Pertanyaan-pertanyaan itu menggangu pikiran saya sebagai wartawan.

Saya tidak kenal Jenderal Soenarko. Jumpa pun belum pernah. Tetapi saya tidak bisa menerima informasi begitu saja, termasuk dari pemerintah, sekali pun. Ada sesuatu yang ‘janggal’ dalam konferensi pers yang dilakukan Menko Polhukam Jenderal (Purn) Wiranto, Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian, dan Kepala Staf Presiden Jenderal (Purn) Moeldoko, pada 21 Mei 2019 lalu.

Sebuah pernyataan yang harus ditelusuri, kerena menyangkut nama baik seseorang bahkan Korps TNI dan Kopassus. Bagi saya terlalu prematur untuk menyebut seorang jenderal Kopassus dengan dugaan melakukan makar dengan alasan penyelundupan satu pucuk senjata api.

Strategi media

Sebagai praktisi media yang mempelajari ilmu komunikasi, saya paham bagaimana strategi media mengonstruksi berita, sehingga tertanam di benak publik.  Guru besar ilmu komunikasi Universitas Indonesia, Profesor Dr Ibnu Hamad, membagi strategi media menjadi tiga, yakni: priming, framing, dan signing.

Priming berkaitan dengan waktu pemberitaan, kapan berita itu ditayangkan kepada publik. Framing atau pembingkaian, menonjolkan aspek pemberitaan tertentu yang dianggap mewakili kepentingan institusi media. Terakhir, signing. Sebuah tanda dalam pemberitaan, sehingga berita tepat sasaran dan publik mengingatnya.   

Melalui tiga strategi tersebut, sekecil apa pun beritanya dapat menghabisi seseorang.  Bahkan seorang pahlawan pun bisa dijungkirbalikkan sebagai pengkhianat negara. Kemudian masyarakat yang menelan mentah-mentah berita tersebut dipaksa membenarkan atau meng-amini berita tersebut.

Label yang dilemparkan media ke tengah publik itu dianggap sebuah kebenaran sempurna. Tanpa ada yang mengklarifikasi, mengonfirmasi dan memverifikasi data dan fakta yang sudah terlanjur dikonsumsi publik.

Itulah kelakuan buruk media yang berselingkuh dengan bisnis dan kekuasaan. Hak publik dinistakan. Tak peduli  hak-hak seorang Jenderal Soenarko, sekali pun. Seperti kata rekan saya, Doktor Dudi Iskandar, “Abang masih percaya dengan media mainstream? Berkoar-koar demi hak asasi manusia (HAM) di satu sisi, namun melakukan pelanggaran HAM publik pada sisi berlawanan.” Ia sedang menyindir kasus yang menerpa Soenarko.

Pantas saja jika mantan Kasum TNI Letjen (Purn) Johanes Suryo Prabowo (Akmil 1976), mantan Sesmenko Polhukam Letjen (Purn) Yayat Sudrajat (Akmil 1982), dan mantan Kepala Bais TNI Mayjen (Purn) Zaky Anwar Makarim (Akmil 1971) yang duduk di meja konferensi pers pada 31 Mei 2019 lalu, berang terhadap awak media yang cenderung menjadi humas pemerintah. “Kalian jahat terhadap kami, purnawirawan!”

Sahabat Soenarko, yakni Erfi Triassunu juga geram atas perlakuan terhadap rekannya sesama lulusan Akmil 1978 dan sama-sama lulusan pendidikan komando. Mereka menuding telah terjadi pengadilan oleh pers terhadap Jenderal Soenarko.

Trial by the Press. Peradilan dengan menggunakan media yang bersifat publikasi massa dengan tidak membeberkan keseluruhan fakta yang ada. Beritanya menjadi tidak berimbang, sehingga tokoh yang diberitakan tidak diberikan pembelaan. Tanpa hak jawab dari versinya.

Teman-teman Soenarko yang umumnya berasal dari Kopassus melakukan pembelaan sebagai harga diri korps. Termasuk di antaranya mantan Komandan Jenderal Kopassus, Letjen (Purn) Agus Sutomo (Akmil 1984).

Kolonel Infanteri (Purn) Sri Radjasa Chandra mantan staf intelijen Kodam Iskandar Muda, saat Soenarko sebagai pangdam, menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya tentang senjata yang dituduhkan Menko Polhukam Wiranto dkk tersebut.

Tuduhan Polri yang merilis sengketa senjata api illegal jenis M4 Carbine milik Soenarko yang dikirim dari Aceh, 21 Mei 2019 lalu, dinilainya sangat bertolak belakang dengan faktanya. Yang benar adalah senjata yang dikumpulkan dari bekas kombatan GAM, yakni jenis M16 A1.  “Saya kaget dan tidak menyangka adanya kebohongan publik dan pemelintiran opini ke arah sana,” ujar Sri Radjasa.

Pantas pula jika Menteri Pertahanan Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu marah, karena purnawirawan jenderal disebut makar dan kini ditahan. Ia tidak setuju dengan langkah Wiranto dkk.

Bagi Ryamizard, Mayjen (Purn) Kivlan Zen maupun Soenarko adalah putra terbaik bangsa Indonesia yang telah memperjuangkan keutuhan negara. “Tidak ada niat mereka mau kudeta atau pun makar. Mereka adalah pejuang sejati,” kata Ryamizard.

Menurut Suryo Prabowo, pengalaman tempur Soenarko di daerah operasi tidak sebanding dengan Wiranto. Tidak layak Wiranto dkk memperlakukan Soenarko seperti itu. 

Inilah era post-media, era post-journalisme.  Bukan lagi pers, namun publik yang kini harus mengklarifikasi, mengonfirmasi dan memverifikasi data dan fakta dari pers. Dunia sudah terbalik-balik. # End

Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...