14 October 2022

Lucuti Asesoris Polisi di Istana, Jokowi Marah ke Institusi Polri

Biro Pers Sekretariat Presiden

Artikel ini tayang di FNN (Forum News Network) - Jumat, 14 Oktober 2022

Jakarta, FNN – Pengamat komunikasi dan militer, Selamat Ginting menyebut Presiden Joko Widodo marah terhadap institusi kepolisian terkait pemanggilan para perwira polisi yang diminta hadir ke istana dengan melucuti aksesori dinas, seperti topi dan tongkat pada Jumat (14/10). 

Hersubeno Arief membahas persoalan ini bersama Selamat Ginting dalam video berjudul "Presiden Sangat Marah ke Polri. Kumpulkan di Istana. Tak Boleh Pakai Topi Dinas & Tongkat Komando" melalui kanal Youtube Hersubeno Point yang dipublikasikan pada Jumat, 14 Oktober 2022.

Ginting mengaitkan bahwa arahan presiden terhadap pemanggilan perwira tersebut berhubungan dengan kasus-kasus yang membuat posisi polisi terpuruk. Ia menyebutkan dalam beberapa survei menunjukkan citra kepolisian yang menurun drastis.

"Bahkan dalam beberapa survei di bulan Agustus, September, dan Oktober ini turun drastis sampai di bawah 55%. Jadi, kasus Sambo, kasus Kanjuruhan itu kemudian membuat posisi polisi itu di mata masyarakat jatuh sekali," ujar Ginting kepada Wartawan Senior FNN Hersubeno Arief melalui kanal Youtube Hersubeno Point.

Pengamat militer dari Universitas Nasional (Unas) tersebut mengatakan belum pernah terjadi pemanggilan pejabat utama polisi, seperti Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda), Kepala Kepolisian Kota Beaar (Kapoltabes), dan Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) ke istana sebelumnya.

"Bacaan saya presiden itu marah, marah kepada institusi polisi," ucap Ginting.

Kemarahan presiden tersebut dispekulasi karena lambatnya penanganan kasus yang belakangan ini menjadi atensi masyarakat, bahkan seperti kasus Kanjuruhan yang sudah memasuki ranah internasional. 

Menurut Ginting, arahan Jokowi yang meminta para perwira untuk hadir tanpa memggunakan aksesori dinas lengkap dianggap sebagai simbol komunikasi dari bentuk kemarahan presiden.

"Bukan dengan cara pernyataan- pernyataan keras, tapi menurut saya itu sudah simbol komunikasi. jadi ini kemarahan presiden terhadap institusi polisi," kata Ginting menambahkan.

Seperti yang diberitakan, Presiden Joko Widodo menjadwalkan pemanggilan terhadap para perwira kepolisian dari seluruh Indonesia di Istana Negara pada Jumat (14/10) siang. Dengan perintah ini, Jokowi juga meminta agar para perwira datang hanya dengan baju dinas tanpa menggunakan topi ataupun tongkat komando. (oct)

10 April 2022

Mengusik TAP MPRS25/1966: Selamat Ginting Ingatkan Andika, Komunis Itu Bahaya Laten

Photo: Sindonews

Jakarta, FNN – Keputusan kontroversial dalam rapat panitia penerimaan prajurit TNI tahun anggaran 2022 yang mencabut aturan larangan anak cucu Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi prajurit TNI, terus mendapatkan penolakan dari berbagai pihak.

Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting mengingatkan Panglima TNI Andika Perkasa bahwa komunis menjadi musuh laten bagi TNI sepanjang masa.

Demikian benang merah yang bisa disimpulkan dari perbincangan Selamat Ginting dengan wartawan FNN, Hersubeno Arief dalam kanal Hersubeno Point, Kamis, 31 Maret 2022.

Ginting mengingatkan  bahwa TNI memiliki Sapta Marga, terutama marga pertama dan kedua. Marga pertama ‘Kami warga negara kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila’ lalu marga yang kedua ;Kami patriot Indnesia pIendukung serta pembela ideologi negara yang bertanggungjawab dan tidak mengenal menyerah.’

“Jadi, ideologi TNI adalah Pancasila, tidak bisa menerima ideologi lain selain Pancasila. Bahkan, di marga kedua itu pembela ideologi, bertanggungjawab serta tidak mengenal menyerah. Jadi, TNI itu soldier never die, maka ketika pensiun pun tetap menjadi patriot pembela ideologi negara,” paparnya.

Ginting menegaskan pentingnya terus waspada terhadap PKI, sebab sejarah telah membuktikan PKI berulangkali mencoba menguasai Indonesia dengan memusuhi TNI AD dan umat Islam.

“Kita tahu TNI pernah menjadi musuh utama PKI. Musuh utama PKI ada dua yakni, TNI Angkatan Darat dan Islam. TNI juga selalu mengingatkan pada bangsa dan negara bahwa ada beberapa pemberontakan yang dilakukan  oleh PKI yakni tahun 1926, tahun 1948, dan tahun 1965,” paparnya.

Ginting menyatakan bahwa pada tahun 1926 tokoh-tokoh PKI seperti Muso kabur ke Uni Soviet lalu tahun 1948 muncul lagi sehingga TNI mengingatkan bahwa, PKI tidak pernah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1945, karena tahun 1948 mereka baru balik ke Indonesia. Kemudian tahun 1965 terjadi Gerakan 30 September oleh PKI.

“Jadi rentang 20 tahunan itu selalu terjadi, sampai kemudian, TNI mengindikasikan PKI bermain ketika era reformasi. Mereka bersembunyi melalui partai atau ormas dan segala macam kelompok. Jadi bagi TNI, komunis itu bahaya laten. Sampai sekarang tidak pernah dicabut itu,” paparnya paf.

Menurut Ginting upaya menggusur Tap MPRS No. 25 tahun 1966 dulu juga sempat diwacanakan oleh Presiden Gus Dur. Mengetahui hal itu, TNI langsung bergerak melakukan penolakan, bahkan sampai Menkumham Yusril Ihza Mahendra melawan Gus Dur.  Kalau Gus Dur tetap ngotot maka bukan tidak mungkin TNI beserta kelompok Islam akan menggulingkannya, karena bahaya sekali.

Tak hanya itu, pada 2003 ketika Megawati menjadi presiden, ada keinginan yang kuat dari PDIP untuk menghapus Tap MPRS No. 25 tahun 1966 ini, tetapi dia harus berhadapan dengan kelompok-kelompok yang menentangnya. Saat itu masih ada fraksi ABRI, fraksi Utusan Golongan, fraksi Golkar dan fraksi Reformasi termasuk fraksi PPP di DPR. Dan di sini dalam Panitia AdHoc-2, PDIP bahkan ngotot ingin melakukan voting. Upaya mencabut Tap MPRS ini sudah berulangkali dilakukan.

“Sekarang repotnya TNI dan Polri tidak ada di Parlemen dan MPR seperti dulu.  Generasi TNI sekarang perlu menyimak bagaimana tahun 1960-1961 muncul organisasi SOKSI yang dipimpin oleh Brigjen Suhardiman, Kosgoro dipimpin oleh Brigjen Mas Isman lalu MKGR oleh Brigjen Sugandhi,” paparnya.

Hal ini adalah upaya mereka ketika Soekarno sudah menggaungkan Nasakomisasi. “Jadi, TNI AD betul-betul melawan konsep Nasakom Bung Karno yang ujung tombaknya adalah komunis. Jadi bagi TNI AD, Soekarno sudah menyimpang dari Sapta Marga itu,” tegasnya.

Ginting menegaskan, SOKSI memiliki beberapa organisasi underbow untuk melawan PKI karena pada waktu itu PKI berusaha untuk mempercepat Pemilu. “Mereka mendesak tahun 1963 pemerintah melakukan Pemilu, bahkan DN Aidit, Ketua CC PKI mengtakan oke soal Pancasila, Pancasila adalah pemersatu bangsa, tetapi kalau bangsa sudah bersatu Pancasila tidak diperlukan lagi,” tegasnya.

Saat itu, katan Ginting,  ada kekhawatiran dari jenderal-jenderal Angkatan Darat untuk melawan PKI, sebab kalau Pemilu dilakukan pada 1963, maka PKI menjadi pemenang, karena beberapa partai sudah tercerai berai, lantaran ada konflik di internal sejumlah partai.

Harus diingat bahwa Pemilu 1955 PKI menempati urutan keempat, setelah PNI 22 persen, Masyumi 20persen, NU 18 persen, dan PKI 16 persen. Padahal, tahun 1948 baru memberontok, 7 tahun kemudian sudah menempati urutuan keempat. Ini artinya PKI cepat sekali melakukan konsolidasi.  

Kewaspadaan terhadap bahaya laten PKI dipantau terus oleh organisasi-organisasi underbow Golkar. “Tahun 1964 organisasi seperti SOKSI bersatu dalam Sekber Golkar untuk melawan PKI. Ini yang menjadi cikap bakal dari Golkar. Lahirnya Golkar tidak bisa dipisahkan dari TNI AD melawan PKI. Cerita ini yang seharusnya tetap muncul pada generasi TNI sekarang,” pesannya.

Intinya, Ginting berpesan, TNI tidak boleh merekrut orang yang terpapar ideologi selain Pancasila. “Indonesia punya pengalaman bagaimana TNI menghadapi ideologi komunis, liberalis, Islam radikal DI/TII dan lainnya. TNI adalah institusi yang memegang ideologi Pancasila, berbeda dengan militer negara-negara lain. Makanya TNI AD sangat keras menentang Nasakomisasi. (ida, sws) 

09 April 2022

Teori Jarum Suntik Anies, Ganjar, dan Ridwan

Photo: Kompas.com

Tiga gubernur yang akan mengakhiri tugasnya pada 2022 dan 2023 ini, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Mochamad Ridwan Kamil, dalam kajian komunikasi politik, sedang berupaya memengaruhi khalayak pemilih. Mereka sedang berlomba mencuri perhatian publik melalui media sosial (medsos) dan media massa.

Tidak bisa diabaikan, termasuk dalam kegiatan ceramah tarawih ketiganya di Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dalam beberapa hari terakhir ini. Jangan lupa, mereka termasuk yang memiliki peluang untuk pemilihan presiden (pilpres) 2024 mendatang.

Dalam acara di UGM, Anies dan Ganjar lebih diuntungkan daripada Ridwan, karena UGM adalah almamater Anies dan Ganjar. Anies lulusan sarjana ekonomi dari UGM. Sedangkan Ganjar lulusan sarjana hukum UGM. Sementara Ridwan lulusan sarjana teknik arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB). 

Seperti diketahui, Anies Baswedan adalah Gubernur DKI Jakarta. Sementara, Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah. Sedangkan Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat. Ketiga gubernur tersebut lebih menonjol daripada gubernur lainnya. Dibandingkan misalnya dengan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Maupun Gubernur Sumatra Utara, Edy Rahmayadi. 

Setidaknya dari ulasan-ulasan di media sosial, media massa maupun hasil sejumlah survey, ketiga gubernur tersebut senantiasa dikaitkan dengan kompetisi pilpres. Jangan heran kalau dalam beberapa acara, publik meneriakkan jargon-jargon presiden untuk ketiganya. Anies presiden, Ganjar presiden, Ridwan presiden. Inilah perang komunikasi politik di ruang publik.

Aktivis mahasiswa

Selain itu, Ganjar adalah ketua umum keluarga alumni UGM (Kagama) periode 2014-2019. Selama kuliah di UGM, Ganjar adalah aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan dikenal sebagai demonstran. 

Sementara Anies juga dikenal sebagai aktivis mahasiswa UGM. Ia pernah mejadi ketua umum senat mahasiswa UGM, serta aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Anies pun pernah menjadi peneliti di almamaternya.

Fakta-fakta itu membuat Anies dan Ganjar lebih diuntungkan jika mengadakan acara di UGM. Baik Anies maupun Ganjar memiliki usia yang hampir sama, sekitar 53 tahun.

Sedangkan Ridwan lebih muda, sekitar 51 tahun. Ridwan juga mengakui sebagai anak biologis HMI, karena dahulunya kedua orangtuanya adalah aktivis HMI di Jawa Barat.

Simbol politik

Saya tidak terkejut dengan isi ceramah Anies, jauh lebih banyak dilihat di channel youtube ketimbang ceramah Ganjar maupun Ridwan. Dalam catatan ada sekitar 85 ribu orang yang melihat Anies. Jauh melampaui Ganjar yang ditonton sekitar 14 ribu orang dan Ridwan sekitar 13 ribu orang.

Simbol Islam nasionalis atau nasionalis religius lebih melekat dalam diri Anies daripada Ganjar yang lebih dikenal sebagai simbol nasionalis. Begitu juga dengan Ridwan lebih dikenal sebagai simbol nasionalis.

Target politik ketiganya, tentu saja diharapkan dapat memberikan dukungan dalam bentuk pemberian suara (vote) jika kelak mereka maju dalam kompetisi pemilihan presiden. 

Sehingga efek komunikasi politiknya dalam acara ceramah terawih di UGM adalah terciptanya pemahaman publik yang akan bermuara pada pemberian suara, kelak dalam pilpres maupun pemilu.

Jadi, ketiga gubernur itu sedang melakukan kegiatan komunikasi yang bersifat politik, memiliki akibat politik, dan berpengaruh terhadap perilaku politik pemilih atau khalayak pemilih.

Terbius

Upaya memengaruhi khalayak pemilih tersebut, antara lain dilakukan melalui media massa, seperti dengan agenda setting politik, analisis retorika politik, serta wacana politik. 

Sehingga ceramah mereka secara verbal maupun non verbal, tersembunyi atau terang-terangan, disadari maupun tidak disadari, isinya mengandung bobot politik.

Mereka sebagai komunikator politik,  tentu saja menginginkan masyarakat seperti terbius obat dari jarum suntik, sehingga terbius untuk menentukan pilihannya kepada mereka. Dalam ilmu komunikasi dikenal dengan istilah teori jarum suntik maupun teori peluru.


/selamatgintingofficial


31 January 2022

One Way Ticket

Foto: Panglima Mandala Trikora, Mayjen Soeharto mengunjungi pasukan Zeni di Morotai, Kepulauan Maluku, yang sedang membuat pangkalan udara darurat untuk menyerang tentara Belanda di Papua


Tulisan Lawas (31 Januari 2014)

"Operasi ini hanya untuk satu kali jalan, tidak untuk kembali. Saya perkirakan, 60 persen dari kalian akan mati, hanya 40 persen yang selamat dan bisa kembali. Jika tidak sanggup, mundur!. Saya beri waktu hanya satu menit untuk berpikir ulang."

Itulah salah satu amanat Panglima Mandala Pembebasan Irian Barat, Mayor Jenderal Soeharto kepada para prajurit yang tergabung dalam Operasi Mandala Trikora di Morotai, Kepulauan Maluku, pada pertengahan 1962.
Tetapi tidak ada satu pun prajurit yang mundur. Semua menyatakan siap mati demi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu dari prajurit itu adalah ayahanda yang saat itu masih bujangan dan berusia 22 tahun. Sersan Dua Sampit Ginting, komandan regu dari kesatuan Batalyon Zeni Tempur (Yonzipur) 7 Kostrad. Saat itu Kostrad masih bernama Korps Tentara 1 Tjadangan Umum Angkatan Darat (Korra 1/Tjaduad).

Untuk menghadapi tentara Belanda, pada 1962-1963 Kostrad membentuk delapan batalyon zeni tempur (yonzipur) dan batalyon zeni konstruksi (yonzikon), terdiri dari Yonzipur 7, Yonzipur 9/Para, Yonzipur 10/Amfibi, Yonzikon 11, Yonzikon 12, Yonzikon 13, Yonzikon 14, dan Yonzikon 15. (Dulu masih disebut Yonzikon 1, 2, 3, 4, dan 5).

Tugas yonzipur maupun yonzikon, antara lain membuat pangkalan udara maupun pangkalan laut darurat. Darurat, karena dibuat dari bahan-bahan yang ada di pulau seluas sekitar 1.800 kilometer persegi itu. Pangkalan udara untuk penyerangan yang berada di bibir Pasifik itu, dibuat dari batang-batang pohon kelapa.

Sebagai komandan regu di Yonzipur 7 yang bertugas di Morotai, selain membuat pangkalan untuk penyerangan, ayahanda juga disiapkan untuk melakukan penyerbuan darat ke Papua, tempat tentara Belanda bercokol. Begitu juga dengan pasukan yonzikon.

Sementara Yonzipur 9/Para juga mendapatkan tugas menyerang lewat cara penerjunan dari udara. Sedangkan Yonzipur 10/Amfibi juga bertugas menyerang lewat pendaratan amfibi, seperti pasukan KKO/Marinir TNI-AL.

Namun, pasukan yang berpangkalan di Morotai itu tidak jadi melakukan penyerbuan ke Papua, karena terjadi perundingan diplomatik pada Januari 1963. Belanda khawatir dengan kekuatan militer Indonesia saat itu, baik Angkatan Darat dibantu Brimob Polri, Angkatan Laut, apalagi Angkatan Udaranya. Pada masa itu, kekuatan militer Indonesia adalah yang terkuat di belahan Selatan dunia. Indonesia berwibawa di kancah diplomasi internasional, karena memiliki militer yang kuat.

Pasukan 'one way ticket' itu, setelah bertugas selama sekitar satu tahun, tanpa logistik memadai, memperoleh Satyalencana Satya Dharma. Dan kelak, mereka menjadi Veteran Irian Barat. Kini sebagian besar, termasuk ayahanda, sudah almarhum. Hormat kami padamu, prajurit sejati!

Kini, kita bisa melihat diplomasi RI lemah, karena peralatan dan kekuatan militernya pun lemah. Sehingga negara-negara lain tidak lagi takut kepada Indonesia. Tak usah jauh-jauh Singapura, Malaysia dan Australia sering bertindak kurangajar menginjak-injak kedaulatan RI.

/selamatgintingofficial


Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...