09 December 2022

Tindakan Asusila Mayor BF dan Letda (Kowad) GER Ancamannya Pemecatan

Photo: Republika


Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting mengungkapkan dugaan tindakan asusila yang dilakukan Mayor BF dan Letda (Korps Wanita Angkatan Darat/Kowad) GER masuk dalam kategori tujuh pelanggaran berat dalam TNI, karena itu tidak bisa diberikan toleransi.

“Kedua perwira tersebut terancam hukuman tambahan yakni pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) alias pemecatan dari dinas militer. Tidak ada toleransi untuk tujuh pelanggaran berat dalam TNI,” kata Selamat Ginting di Kampus Unas, Jakarta, Jumat (9/12/2022).

Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengungkapkan fakta mengejutkan, Letda Kowad GER bukan diperkosa Mayor BF, melainkan suka sama suka. Panglima TNI marah dan menyebut keduanya akan menjadi tersangka dan bakal diberi hukuman tambahan dipecat dari dinas militer.

Menurut Andika, dari hasil pemeriksaan kedua belah pihak saling suka sama suka dan sudah sering melakukan hubungan intim. “Dari pemeriksaan ternyata tidak seperti laporan awal. Laporan awal dugaan pemerkosaan. Dari pemeriksaan mengindikasikan tidak dilakukan dengan paksaan, tetapi suka sama suka,” ujar Andika di Solo, Kamis (8/12/2022).


Komitmen TNI

Lebih lanjut Selamat Ginting mengungkapkan, keputusan pemecatan harus diambil dalam peradilan militer sebagai konsekuensi dari perbuatan asusila yang telah dilakukan kedua perwira. Penerapan unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 281 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana asusila berdasarkan pertimbangan hukum militer. 

“Sudah merupakan komitmen TNI, kasus asusila merupakan kasus berat yang terdapat dalam tujuh pelanggaran berat dan tidak bisa ditoleransi lagi,” ujarnya.

Menurutnya, terdapat tujuh pelanggaran berat bagi TNI. Pertama; penyalahgunaan senjata api serta munisi dan bahan peledak. Kedua; penyalahgunaan narkoba, baik sebagai pengedar maupun pengguna. Ketiga; desersi atau meninggalkan kesatuan selama lebih dari 30 hari berturut-turut dan insubordinasi atau melawan atasan. Keempat; perkelahian baik perorangan maupun kelompok dengan rakyat, antaranggota TNI dan Polri. Kelima; pelanggaran susila terutama dengan keluarga TNI. Keenam; penipuan, perampokan dan pencurian. Ketujuh; perjudian, backing, illegal logging dan illegal mining. 

“Sanksi tujuh pelanggaran berat itu tertuang dalam UU Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer. Perbuatan asusila masuk kategori pidana seringan apapun sifatnya,” ungkap Ginting.

Dijelaskan, kuat dugaan kedua perwira itu memenuhi unsur pidana dengan hukuman tambahan pemecatan dari dinas militer. Kedua perwira yang melakukan tindakan asusila itu, setelah keputusan peradilan militer akan menghadapi upacara pemecatan sebagai pelajaran bagi prajurit TNI lainnya agar tidak bertindak di luar ketentuan dan kepatutan yang telah ditetapkan.

“Sangat disayangkan, karena keduanya merupakan lulusan Akademi Militer. Sebagai perwira TNI sepatutnya menjadi contoh dalam mengayomi masyarakat dengan sikap disiplin dalam melakukan aktivitas sehari-hari, baik dalam bersikap aturan disiplin maupun dalam bersikap disiplin dan norma-norma,” pungkas Ginting.

/sgo

07 December 2022

Pemerintah Mesti Evaluasi Program Deradikalisasi Terorisme

 

Photo: sumsel.tribunnews.com


Analis Komunikasi Politik dan Pertahanan Keamanan dari Universitas Nasional (UNAS) Selamat Ginting mengungkapkan, pemerintah harus melakukan evaluasi kembali program deradikalisasi atas narapidana terorisme.

“Dalam beberapa kasus bom bunuh diri yang terjadi di Tanah Air justru  dilakukan oleh narapidana terorisme yang telah menjalani deradikalisasi di lembaga pemasyarakatan,” kata Selamat Ginting menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, Rabu (7/12/2022).

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan bahwa pelaku bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar, Kota Bandung, Jawa Barat, hari ini, itu bernama Agus Sujatno alias Agus Muslim.

Agus merupakan mantan narapidana kasus bom Cicendo, Kota Bandung, dan telah dihukum penjara selama empat tahun di Nusakambangan. Kemudian, ia bebas pada September 2021.

Menurut Selamat Ginting, deradikalisasi merupakan program yang bertujuan menetralkan pemikiran-pemikiran bagi mereka yang sudah terpapar dengan radikalisme. 

Sasarannya para teroris yang ada di dalam lembaga pemasyarakatan maupun di luar lembaga pemasyarakatan.

"Lalu apa saja program yang dilakukan (selama ini)? Mengapa jika belum bisa menghilangkan pemikiran radikalisme, mereka harus dibebaskan? Bagaimana pengawasannya jika mereka sudah dibebaskan?” Ginting mempertanyakan.

Menurutnya, jika tujuan deradikalisasi untuk membersihkan pemikiran-pemikiran radikalisme yang ada pada para teroris itu, harus sudah bisa dipastikan terlebih dahulu mereka sudah bisa kembali menjadi masyarakat biasa.

“Jika ada potensi pikirannya kembali ke ranah radikalisme, polisi harus  mengawasi secara ketat. Kalau perlu tangkap kembali,” ujarnya. 

Polisi dianggap sebagai penghalang gerakan radikalisme, karena itu polisi menjadi salah satu sasaran pelaku terorisme.

Seperti perang gerilya, mereka melihat jika polisi lengah, maka mereka akan beraksi. Tetapi jika polisi waspada, mereka menahan diri.

/sgo

Lelang Kepulauan Widi, TNI Harus Berani Tolak Pemerintah Seperti Panglima Sudirman

Photo: republika.co.id

TNI harus berani menentang keputusan kontroversial pemerintah terkait kedaulatan negara dalam kasus lelang Kepulauan Widi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Panglima Besar Jenderal Sudirman pernah menentang keputusan pemerintah terkait kedaulatan negara dan keputusan berani itu harus ditiru oleh pimpinan TNI era saat ini. 

“Panglima Besar Jenderal Sudirman pernah menentang keputusan pemerintah yang memilih menyerah kepada Belanda daripada ikut dalam perang gerilya. Panglima Sudirman juga menolak mengakui hasil perundingan Roem-Royen yang mengharuskan Tentara Republik Indonesia menghentikan aktivitas gerilya,” ungkap analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting kepada wartawan di Jakarta, Rabu (7/12/2022).

Selamat Ginting mengungkapkan hal itu terkait aktivitas yang dilakukan Komando Distrik Militer (Kodim) 1509/Labuha, Korem 152/Baabullah, Kodam XVI/Pattimura. Mereka mengerahkan prajurit mengibarkan bendera Merah Putih di Kepulauan Widi. Kepulauan ini termasuk wilayah administratif Kecamatan Gane Timur, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Aksi ini untuk menegaskan Kepulauan Widi bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Komandan Kodim 1509/Labuha, Letnan Kolonel (Kavaleri) Romy Parnigotan Sitompul mengatakan aksi pengibaran bendera itu untuk menegaskan Kepulauan Widi tidak diperjualbelikan. "Seperti kita ketahui salah satu situs asing menempatkan Kepulauan Widi yang akan dijual," kata Romy seperti dilansir Antara, Selasa (6/11/2022).

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,  Sandiaga Uno membantah Kepulauan Widi, Maluku Utara, dijual di situs Sotheby's Concierge Auctions. Ia mengatakan Kepulauan Widi saat ini tengah dalam pengembangan oleh pihak ketiga, yakni PT Leadership Islands Indonesia (LII) dengan mencari investor. 

Kepulauan Widi tercantum dalam situs Sotheby's Concierge Auctions sebagai daftar barang lelang. Pelelangan itu akan berlangsung mulai 8 Desember 2022. Pada situs tersebut, PT LII menawarkan pengelolaan pulau tersebut. Mereka mengaku sebagai pihak yang berhak atas pengelolaan tempat tersebut. Padahal Kepulauan Widi berada di wilayah konservasi terumbu karang, bakau dan ikan sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 102/KEPMEN-KP/2020.

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian juga menyebut lelang Kepulauan Widi bermaksud untuk mencari investor. Menurutnya, PT LII sedang kekurangan modal dalam mengembangkan Kepulauan Widi. Oleh karena itu, perusahaan menawarkan kerja sama investasi lewat pelelangan. 

"PT LLI kemudian mencari pemodal, mencari pemodal asing. Makanya dia naikkan ke lelang itu. Tujuannya bukan lelang buat dijual, tujuannya untuk menarik investor asing. Nah, itu boleh-boleh saja," tutur Tito saat ditemui di Kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Senin (5/12).

Selamat Ginting mendukung tindakan yang dilakukan TNI Angkatan Darat untuk menjaga kedaulatan NKRI di Kepulauan Widi. Ia meminta TNI tidak ragu-ragu jika persoalan menyangkut kedaulatan NKRI. Korps Marinil TNI AL harus memberikan dukungan personel untuk menjaga pulau-pulau terluar RI.

Ia memberikan contoh Jenderal Sudirman berani berbeda pendapat dengan Presiden Sukarno ketika menghadapi agresi militer Belanda pada 18 Desember 1948. Saat itu Jenderal Sudirman meminta Presiden Sukarno menghentikan perjuangan melalui jalur diplomasi saat negara dalam keadaan genting. 

“Panglima Sudirman meminta Presiden Sukarno ikut bergerilya. Tapi Sukarno memilih tetap tinggal di dalam Kota Yogyakarta dan menolak ikut bergerilya. Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta memilih jalur diplomasi untuk berunding dengan Belanda untuk mendapatkan dukungan internasional,” ungkap Ginting.

Di sisi lain, lanjut Ginting, Jenderal Sudirman berpendapat Belanda selalu ingkar janji dalam perundingan, sehingga TNI lebih memilih melakukan perang gerilya daripada menyerah kepada penjajah. Dugaan Jenderal Sudirman ternyata benar, setelah Sukarno dan Muhammad Hatta ditangkap oleh pasukan Belanda. Seandainya Jenderal Sudirman mengikuti pendapat Presiden Sukarno, maka negara Indonesia tidak ada lagi di peta dunia.

“Panglima Sudirman juga menolak mengakui hasil perundingan Roem-Roijen yang ditandatangani pada 7 Mei 1949 oleh delegasi Republik Indonesia dan negara Belanda. Dalam Perjanjian Roem Royen disebutkan Tentara Republik Indonesia harus menghentikan aktivitas gerilya. Jadi TNI itu tidak kenal menyerah seperti pesan dalam Sapta Marga, bukan seperti politikus yang sudah berulangkali dibohongi, tapi masih mau berunding juga,” pungkas Ginting yang lama menjadi wartawan senior bidang politik pertahanan keamanan negara.

/sgo

06 December 2022

Hukum Militer Lebih Berat dari Sipil, Mayor BF Harus Dihukum Maksimal dan Dipecat

 

Photo: id.berita.yahoo.com


Kasus dugaan perkosaan yang dilakukan Mayor BF terhadap personel Kowad  (Korps Wanita Angkatan Darat) harus mendapatkan hukuman maksimal ditambah hukuman pemecatan dari dinas militer. Hal ini karena ada perbedaan antara sanksi pidana umum yang dilakukan sipil dengan sanksi pidana yang melibatkan anggota militer.

"Seorang anggota militer, apalagi seorang perwira yang melakukan tindak pidana, wajib mendapatkan hukuman yang lebih berat dari masyarakat sipil," ujar analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, Selasa (7/12/2022).

Menurut Selamat Ginting, dalam kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan personel Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) terhadap perwira pertama Kowad dalam tugas pengamanan Presidensi G-20 di Bali, bukan saja memalukan bagi TNI, tetapi juga mempermalukan citra Indonesia sebagai tuan rumah perhelatan internasional. 

Apalagi, lanjut Ginting, pelaku merupakan anggota Paspamres yang memiliki kedudukan tinggi, sebagai wakil komandan detasemen Grup C. Pelaku wajib mendapatkan sanksi yang lebih berat. Faktor pemberat bagi pelaku tindak pidana dari anggota militer, karena menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, serta Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM).

"Harus sangat berat hukumannya, sebab di samping tunduk kepada aturan-aturan hukum yang bersifat umum seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan juga tunduk kepada aturan-aturan yang bersifat khusus yang hanya berlaku bagi prajurit TNI, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) dan Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM). Sikap disiplin merupakan tonggak dasar bagi prajurit TNI dalam melaksanakan tugasnya," jelas Ginting.

Dikemukakan, apabila oditur (jaksa) militer menuntut hukuman tidak maksimal terhadap pelaku, maka oditur militernya wajib diperiksa. Begitu juga jika hakim militer memberikan hukuman tidak maksimal, maka hakimnya layak untuk diperiksa pula.

Selamat Ginting mengungkapkan, ada delapan wajib TNI, di antaranya poin ketiga dan keempat, yakni menjunjung tinggi kehormatan perempuan (wanita), dan menjaga kehormatan diri di muka umum. Apa yang dilakukan Mayor BF jelas melanggar delapan wajib TNI. Selain tidak menghormati perempuan, juga tidak bisa menjaga kehormatan sebagai perwira.

“Terhadap sesama anggota TNI yang juga juniornya saja dia tega berbuat seperti itu. Tentu dia tidak bisa menjadi contoh teladan seperti dalam 11 asas kepemimpinan TNI. Hukum maksimal dan pemecatan, itulah ganjarannya,” ujarnya.   

Panglima Tegas

Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa menegaskan telah memerintahkan agar pelaku pemerkosaan ditindak tegas. Andika meminta anggota Paspampres itu dipecat. "Satu itu tindak pidana, ada pasal yang pasti kita kenakan, KUHP ada. Kedua, adalah dilakukan sesama keluarga besar TNI, bagi saya keluarga besar TNI, Polri, sama saja. Maka hukuman tambahannya adalah pecat. Itu harus," kata Andika di Kolinlamil, Jakarta Utara, Kamis (1/12/2022).

Langkah hukuman tegas dijatuhkan TNI kepada Mayor BF yang dijerat pasal 285 KUHP. Dia dipastikan juga akan dipecat. "Sudah pasti semua pasal yang berkaitan dengan pemerkosaan akan diterapkan," tegas Kepala Pusat Penerangan TNI Laksda Kisdiyanto, Sabtu (3/12/2022).

Pusat Polisi Militer Angkatan Darat (Puspomad) menetapkan Mayor BF sebagai tersangka pemerkosaan. "Proses hukum sudah dijalankan. Sudah tersangka," kata Komandan Puspomad Letjen Chandra W Sukotjo, Jumat (2/12/2022).


/sgo



Jenderal Dudung dan Marsekal Fadjar Tunjukkan Sikap Loyal dan Ikhlas

Photo: majalahoutsiders.com

Oleh: Selamat Ginting

Analis Komunikasi Politik dan Militer dari Universitas Nasional (Unas).

Senin, 5 Desember 2022.


Kehadiran Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurachman dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo mendampingi Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono dalam uji kelayakan dan kepatutan calon Panglima TNI di DPR, menunjukkan sikap loyal dan ikhlas, sesuai asas kepemimpinan militer.

Kedua jenderal bintang empat itu mencerminkan 11 asas kepemimpinan TNI, terutama asas satya atau loyal dan legawa atau ikhlas. Dalam asas kedelapan ada yang disebut satya artinya sikap loyal yang timbal balik, dari atasan terhadap bawahan dan dari bawahan terhadap atasan dan ke samping. 

Dudung dan Fadjar menunjukkan sikap akan setia terhadap Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang merupakan pilihan Presiden Jokowi, karena hak prerogratif Presiden sesuai konstitusi.

Kemudian pada asas ke-11 disebut legawa artinya kemauan, kerelaan dan keikhlasan untuk menyerahkan tanggung jawab dan kedudukan kepada generasi berikutnya. Mereka legawa menerima keputusan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI dalam memutuskan calon Panglima TNI. Hal ini penting untuk menjaga soliditas di lingkungan TNI. Termasuk kehadiran Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai bentuk siap menjalin Kerjasama dengan unsur pimpinan TNI yang baru.

Jadi 11 asas kepemimpinan TNI imemag harus diimplementasikan dan diaplikasikan dalam tindakan nyata, agar mereka bisa menjadi contoh teladan bagi para prajurit TNI lainnya.  Apalagi para Kepala Staf Angkatan bertugas membina personel di matranya masing-masing.

/sgo

04 December 2022

Laksamana Yudo Harus Prioritaskan Penegakan Kedaulatan NKRI

Konferensi Meja Bundar, Denhaag - Belanda
Photo: republika.co.id


Oleh: Selamat Ginting

Analis Komunikasi Politik dan Militer dari Universitas Nasional - UNAS.

Ahad/Minggu 4/12/2022.


Laksamana Yudo Margono harus bisa cepat mengambil keputusan dalam memimpin TNI. Terutama harus dapat memilih dengan tepat mana yang mesti didahulukan, sesuai dengan asas kepemimpinan TNI. Termasuk dapat membatasi penggunaan dan pengeluaran dana sesuai prioritas yang diperlukan TNI.

Kalau dalam 11 asas kepemimpinan TNI, Laksamana Yudo harus memprioritaskan Ambeg Parama Arta, yakni memilih dengan tepat mana yang harus didahulukan. Juga Gemi Nastiti, yakni kesadaran dan kemampuan untuk membatasi penggunaan dan pengeluaran segala sesuatu kepada yang benar-benar diperlukan.

Diharapkan Laksamana Yudo fokus pada tiga tugas pokok TNI, yakni menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Selanjutnya, barulah Yudo menjalankan tugas sebagai Panglima TNI yang secara normatif, kurang dari satu tahun. Dengan catatan apabila tidak ada perpanjangan masa dinas aktif militer.

Setidaknya, yang utama selain memimpin TNI, Panglima TNI juga mesti  melaksanakan kebijakan pertahanan keamanan negara, menyelenggarakan strategi militer dan melaksanakan operasi militer, serta mengembangkan doktrin TNI.

Di situ Panglima TNI jangan bersinggungan dengan Kepala Staf Angkatan. Dia harus fokus dengan tugas menyelenggarakan penggunaan kekuatan TNI bagi kepentingan operasi militer dan memelihara kesiagaan operasional. Jangan masuk wilayah pembinaan dan penyiapan matra, itu tugas Kastaf Angkatan.

/sgo

01 December 2022

Laksamana Yudo Harus Mampu Wujudkan Poros Maritim Dunia

Photo: KRI Ahmad Yani - solopos.com

Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting mengungkapkan, tampilnya Laksamana Yudo Margono sebagai calon Panglima TNI, sekaligus menjadi pembuktian bagi matra laut. TNI AL harus bisa mewujudkan tantangan Poros Maritim Dunia, sebab dalam pilar visi Poros Maritim Dunia, TNI AL merupakan kekuatan utama untuk membangun pertahanan maritim. 

“Yudo harus bisa membuktikan bagaimana peran TNI AL secara konvensional dapat mendukung visi Poros Maritim Dunia melalui peran militer, polisionil dan diplomasi,” ungkap Selamat Ginting menjawab pertanyaan wartawan di Kampus Unas Jakarta, Kamis (1/12/2022).

Selamat Ginting diminta tanggapan mengenai harapannya terhadap kepemimpinan TNI di bawah Laksamana Yudo Margono. Ia mengharapkan TNI AL dapat membuktikan perannya, termasuk dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Apalagi TNI AL merupakan kekuatan utama untuk mewujudkan pilar kelima Poros Maritim Dunia. 

“Karena itulah Yudo harus menguasai masalah geografi Indonesia dan membangun komunikasi yang sangat baik dengan Angkatan Laut negara lain dalam berbagai bentuk kerjasama untuk mewujudkan visi Poros Maritim Dunia,” ujar Ginting yang malang melintang menjadi wartawan spesialis politik pertahanan keamanan negara.

Menurutnya, TNI AL tidak akan bisa bekerja sendiri, tanpa bantuan TNI AD yang menguasai wilayah teritorial daratan Indonesia yang didiami penduduk. Dalam setiap operasi laut, sudah pasti harus mendapatkan dukungan pertahanan udara dari TNI AU. 

“Panglima TNI harus menjalin kerjasama yang baik dengan tiga kepala staf angkatan. Panglima TNI jangan masuk wilayah pembinaan matra yang merupakan hak kepala staf angkatan. Fokus saja pada penggunaan kekuatan TNI,” saran Ginting.

Tradisi Delapan

Laksamana Yudo Margono seakan meneruskan tradisi seniornya, lulusan Akademi Angkatan Laut (AAL), yang pernah dipercaya menjadi Panglima TNI. Ia merupakan orang ketiga TNI Angkatan Laut (AL) yang diberikan amanat menjadi Panglima TNI. Dua seniornya yang terdahulu adalah Laksamana (Purn) Widodo AS dan Laksamana (Purn) Agus Suhartono.

“Ketiga panglima TNI dari matra laut berasal dari lulusan AAL dengan angka belakang delapan. Widodo AS lulusan AAL tahun 1968, Agus Suhartono lulusan AAL 1978, dan kini Yudo Margono lulusan AAL 1988-A,” kata Selamat Ginting. 

Ia mengharapkan angka delapan bukan hanya terkait dengan tahun lulusan saja, melainkan juga mereka bisa mendapatkan nilai delapan dari kinerjanya sebagai Panglima TNI. Angka delapan jika di bangku sekolah merupakan nilai A atau di atas rata-rata baik. Jadi bukan sekadar bekerja, namun harus memiliki prestasi bagus sebagai pimpinan TNI.

Selamat Ginting mengungkapkan, Widodo AS lulus AAL 1968 dengan program pendidikan empat tahun (1964-1968) dikenal dengan sebutan Angkatan 14 AAL. Sedangkan Agus Suhartono lulus AAL 1978 dengan program pendidikan tiga tahun (1975-1978), disebut Angkatan 24 AAL. Sementara Yudo Margono lulus AAL 1988-A dengan program pendidikan empat tahun (1984-1988), disebut Angkatan 33 AAL. Berbeda dengan Angkatan 34 AAL atau 1988-B dengan program pendidikan tiga tahun (1985-1988). 

Kebetulan pula, ketiganya sama-sama pernah menjadi Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar), kini disebut Koarmada 1. Usai menjadi Pangarmabar, Widodo menduduki posisi Asisten Perencanaan dan Anggaran (Asrena) Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL), kemudian mendapatkan promosi menjadi Wakil KSAL, dan KSAL pada 1998. Ia bergeser lebih dahulu menjadi Wakil Panglima TNI mendampingi Panglima TNI Jenderal Wiranto. Akhirnya Presiden Abdurachman Wahid memberikan amanat kepada Laksamana Widodo AS menjadi Panglima TNI (1999-2002).

Agus Suhartono sebelum menjadi KSAL, pernah menduduki posisi perwira tinggi bintang tiga sebagai Irjen Kementerian Pertahanan. Ia juga tercatat pernah menjadi Komandan Kodikal, Asrena KSAL, Asisten Operasi KSAL, dan Panglima Komando Armada Republik Indonesia Kawasan Barat. Hampir selama tiga tahun Laksamana Agus menjadi Panglima TNI di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2010-2013).

Hapir 10 tahun, matra laut menunggu giliran kembali menjadi Panglima TNI. Akhirnya Yudo Margono meneruskan jejak karier Widodo AS dan Agus Suhartono. Kini Yudo tercatat pernah lima kali menduduki jabatan panglima. Dimulai menjadi Pangkolinlamil, Pangarmabar, kemudian berganti nama menjadi Pangkoarmada 1, Pangkogabwilhan 1, dan akhirnya menjadi KSAL selama 2,5 tahun. Desember 2022 akan dicatat menjadi puncak kariernya sebagai Panglima TNI.

/sgo

Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...