30 December 2022

Hadapi Separatis Papua, Tugas Pokok TNI Bukan Polri


Photo: Bersama Panglima Kostrad Letjen Edy Rahmayadi
saat HUT TNI 2016 (Dok Pribadi)


Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, mengkritik kebijakan pemerintah dalam bidang pertahanan keamanan negara di Papua, karena berpotensi keliru jika mengedepankan Korps Brigade Mobil (Brimob) Polri.

“Tugas Brimob Polri menjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri dengan tugas khususnya menangani kejahatan berintensitas tinggi. Padahal jelas yang dihadapi di Papua adalah gerakan separatis serta pemberontakan bersenjata. Bukan sekadar kriminal dan kejahatan lagi,” ungkap Selamat Ginting dalam konferensi pers kaleidoskop pertahanan keamanan negara (hankamneg) 2022 di Sekolah Pascasarjana Unas, Jakarta, Jumat (30/12/2022).

Menurutnya, mengatasi gerakan separatis bersenjata, pemberontakan bersenjata, aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasan negara, merupakan tugas pokok militer dan bukan tugas pokoknya polisi. Konstitusi menyebut itu tugas TNI sesuai UU No.34 tahun 2004 tentang TNI. Sehingga tidak perlu diperdebatkan lagi. 

Dalam operasi di Pulau Papua, lanjut Selamat Ginting, berulang kali digaungkan polisi berada di depan, dan dibantu TNI dari belakang. Faktanya, lebih banyak prajurit TNI yang gugur daripada prajurit Polri. Artinya prajurit TNI menjadi sasaran utama untuk diperangi daripada prajurit Polri. 

Ibarat Koin

Selamat Ginting juga meminta TNI secepatnya melakukan evaluasi terhadap program penanganan di Papua selama satu tahun kepemimpinan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Dalam programnya Jenderal Andika Perkasa mengedepankan pendekatan kesejahteraan. Namun jumlah prajurit TNI yang gugur selama kepemimpinan Andika Perkasa, tidak mengalami penurunan berarti dibandingkan masa kepemimpinan Marsekal Hadi Tjahjanto sebagai Panglima TNI.  

“Pendekatan kesejahteraan tidak mungkin bisa berjalan dengan baik, jika tidak disertai dengan pendekatan keamanan. Itu ibarat koin mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Bagaimana masyarakat bisa bekerja mencari nafkah jika keamanannya tidak terjamin? Bagaimana psikologi masyarakat jika mengetahui prajurit TNI dan Polri justru menjadi killing field,” ungkap kandidat doktor ilmu politik itu, mempertanyakan. 

Dikemukakan, OPM pastilah melakukan gerilya melawan TNI, khususnya di wilayah-wilayah pegunungan yang mereka kuasai. Mereka tidak akan muncul saat situasinya tidak aman. Namun akan melakukan serangan jika TNI maupun Polri sedang lengah dan lemah.  Gerilya harus dihadapi dengan anti-gerilya. 

“Perang gerilya itu antara lain berebut pengaruh dengan penduduk setempat. Di sini pembinaan teritorial (binter) harus kuat. Saya menilai binter TNI di Papua khususnya di wilayah pegunungan selama kurun waktu tiga tahun (2019-2022) belakangan ini, belum berhasil mempengaruhi rakyat untuk menyatu dengan TNI. Jadi TNI juga mesti introspeksi diri untuk membuat program yang lebih menyentuh rakyat Papua,” ujarnya.

Amanat Konstitusi

Selamat Ginting menyambut baik rencana Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang segera akan mengunjungi Pulau Papua pada awal Januari 2023, bersama tiga Kepala Ataf Angkatan dan Kepala Polri. Ia meminta kunjungan kerja itu bukan sekadar kunjungan seremonial belaka. Melainkan harus segera melakukan evaluasi untuk mencari solusi penyelesaian kasus di Pulau Papua yang kini terdiri dari enam provinsi. 

“Saatnya TNI berada di depan untuk penanganan masalah hankam di Papua, bukan diserahkan kepada Polri yang bukan tugas pokoknya menghadapi separatis, teroris, dan pemberontakan bersenjata di Papua,” ujarnya.

“Menegakkan kedaulatan negara di Papua dan juga menjaga keutuhan wilayah NKRI di Papua, serta melindungi segenap warga negara di Papua, itulah amanat konstitusi yang diberikan kepada TNI,” pungkas Selamat Ginting.

/sgo

Negara Gagal Lindungi Prajurit TNI dan Polri di Papua

Photo: Dok Pendam XVII/Cenderawasih (Kompas.com)


Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, menilai negara cenderung gagal dalam melindungi prajurit TNI dan Polri di Papua, karena tentara dan polisi yang gugur sejak 2019 hingga akhir tahun 2022 jumlahnya lebih dari 55 orang. Papua menjadi killing field (medan pembunuhan) bagi prajurit TNI dan Polri. 

“Personel militer dan polisi saja menjadi korban tewas yang dilakukan front bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM), lalu bagaimana TNI dan Polri dapat melindungi warga sipil di Papua?” tegas Selamat Ginting di Sekolah Pascasarjana Unas, Jakarta, Jumat (30/12/2022). Ia mengungkapkan hal tersebut dalam konferensi pers kaleidoskop bidang pertahanan keamanan negara (hankamneg) selama tahun 2022. 

Selamat Ginting mengungkapkan, berdasarkan laporan Kepala Polda Papua Irjen Polisi Mathius D Fakhiri kepada pers Rabu (28/12/2022) lalu, selama 2022 tercatat 13 anggota TNI-Polri gugur akibat baku tembak dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Rinciannya 10 anggota TNI dan tiga anggota Polri gugur. Sementara warga sipil yang tewas sekitar 35 orang dan lima orang KKB.

“Padahal dalam laporan ke DPR sejak 2019 hingga Januari 2022, tercatat ada 41 prajurit TNI yang gugur. Jika ditambah dengan 10 prajurit TNI yang gugur selama 2022, maka lebih dari 50 prajurit TNI yang gugur. Saya menyayangkan negara seperti tidak hadir dalam kasus ini,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas.

Gerakan Separatis 

Selamat Ginting tidak setuju pemerintah masih menggunakan analogi kelompok kriminal bersenjata di Pulau Papua. Alasannya, karena yang dilakukan kelompok itu bukan sekadar kriminal saja, melainkan memiliki tujuan melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

“Ini gerakan separatis yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Menggunakan berbagai front, baik kriminal, bersenjata, ekonomi, psikologi perang, teror, media sosial, diplomasi, juga politik luar negeri,” ungkap Selamat Ginting yang selama 30 tahun menjadi wartawan bidang politik pertahanan keamanan negara.

Menurut Ketua bidang Politik Pusat Studi Literasi Komunikasi Politik (Pustera Kompol) Unas itu, aneh jika analogi KKB masih juga digunakan pemerintah hingga saat ini, padahal sudah banyak prajuit TNI dan Polri yang gugur. 

Ia menjelaskan, gerakan separatis tersebut secara terang-terangan menyebut dirinya Organisasi Papua Merdeka atau OPM sejak 1965. Front politik dari gerakan ini secara eksplisit menginginkan referendum untuk memilih merdeka dan lepas dari NKRI. Mereka sudah memiliki bendera, lagu kebangsaan, lambang negara, pemerintahan, dan militer.  

“Mengapa pemerintah masih bersikukuh dan berkutat pada analogi yang kurang tepat? BIN (Badan Intelijen Negara) saja sudah membuat nama baru sejak dua tahun lalu dengan istilah kelompok separatis teroris (KST). Mestinya perdebatan diakhiri, OPM jelas gerakan separatis yang harus ditumpas dengan kekuatan militer,” ujar Selamat Ginting yang beberapa kali meliput operasi militer di Timor Timur, Papua, Maluku, serta Aceh.

/sgo

28 December 2022

KSAL Laksamana M Ali Kawal Pergantian Kepemimpinan Nasional


Photo: Ambalat, April 2013
Pos TNI AL Pulau Sebatik, Kab. Nunukan
Kalimantan Utara

Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting memprediksi,  

Laksamana Muhammad Ali akan menjadi Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) hingga masa peralihan kepemimpinan nasional 2024. 




"Dia yang paling memungkinkan menjadi KSAL dibandingkan sejumlah laksamana madya lainnya, sehingga diberi mandat menjadi KSAL. Sejak sebulan lalu saya sudah prediksi Muhammad Ali yang akan menjadi KSAL," ujar Selamat Ginting di Kampus Unas, Jakarta, Rabu (28/12/2022).

Presiden Joko Widodo, lanjut Selamat Ginting, membutuhkan pimpinan TNI yang dapat mengawal pergantian kepemimpinan nasional pada Oktober 2024. Stabilitas nasional antara lain menjadi tugas pimpinan TNI, baik itu Panglima TNI maupun tiga kepala staf angkatan, serta Kepala Polri.

"Tidak mungkin Presiden akan mengganti pimpinan TNI dalam kurun waktu kurang dari setengah tahun di tengah situasi politik yang cenderung akan panas pada April hingga Oktober 2024," ujar Ketua bidang Politik, Pusat Studi Literasi Komunikasi Politik Unas.

Dikemukakan, dibandingkan sejumlah laksamana madya yang lain, Muhammad Ali punya masa dinas normal hingga 2,5 tahun lagi. Sehingga bisa diberikan tugas untuk mengawal matra laut.

"Penunjukan Muhammad Ali sebagai KSAL, sekaligus menunjukkan Angkatan Laut berhasil melakukan kaderisasi secara normal dan berkesinambungan. Ali dua angkatan di bawah Laksamana Yudo Margono," ungkap dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas.

Penunjukan Laksamana Ali, kata Selamat Ginting, tidak akan menimbulkan gejolak di lingkungan Angkatan Laut. Ali lukusan Akademi Angkatan Laut (AAL) 1989, memenuhi syarat semuanya, antara lain berasal dari Korps Pelaut, pernah beberapa kali menjadi komandan kapal perang, menjadi panglima armada, dan asisten KSAL. Itulah beberapa persyaratan di matra laut yang dipenuhi Ali sebagai pimpinan Angkatan Laut di era terakhir kepemimpinan Presiden Jokowi.

Selamat Ginting membandingkan karier Ali yang hampir sama dengan Yudo Margono. Sebelum menjadi KSAL, Yudo juga menduduki posisi Panglima Kogabwilhan I, seperti yang  diemban Muhammad Ali sebelum menjadi KSAL. Ali juga pernah menjadi Panglima Koarmada I menggantikan Yudo Margono (2018-2019). Kemudian Ali menjadi asisten perencanaan dan anggaran KSAL (2020-2021). Pernah menjadi Gubernur AAL (2018-2019), dan Koordinator Staf Ahli KSAL (2019).

/sgo

19 December 2022

Deddy Corbuzier Berikan Panggung Untuk Keturunan PKI, Bela Negara Untuk Siapa?

Photo: Dokumen Pribadi
Keluarga Besar Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani


Salah satu musuh bagi Angkatan Darat adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Puncaknya saat peristiwa G-30S/PKI tahun 1965 ketika pimpinan Angkatan Darat, Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani dkk diculik dan dibunuh oleh pasukan Batalyon-1 Tjakrabirawa. Pasukan pengawal presiden yang disusupi PKI. Semua personel TNI selalu diingatkan tentang ancaman bahaya laten komunis. 

“Di satu sisi, pesohor Deddy Corbuzier yang kini diberikan pangkat Letkol (Tituler) Angkatan Darat, dalam beberapa tayangan di media sosialnya, justru memberikan panggung kepada keturunan PKI. Mengapa pemerintah tidak memperhatikan efek negatif dari kontroversi Deddy Corbuzier?” kata analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting di Jakarta, Senin (19/12/2022).

Menurut Selamat Ginting, bangsa Indonesia harus tetap mewaspadai munculnya bahaya komunis, karena PKI merupakan bahaya laten yang bisa menyusup dan bertransformasi dalam wujud baru. Disebut bahaya laten, karena komunis bisa  menyusup ke dalam sendi-sendi kehidupan bernegara. Bangsa Indonesia tidak boleh melupakan sejarah bangsanya agar tidak kehilangan jati dirinya.

“Saya tidak habis pikir saja, mengapa tayangan media sosial Deddy Corbuzier tidak dijadikan pertimbangan sebelum dia diberikan pangkat tituler? Masalah G30-S/PKI malah dijadikan bahan lelucon di medsosnya oleh seorang tamunya. Seolah-olah PKI tidak bersalah dalam peristiwa kelam bagi bangsa Indonesia,” kata Ginting mengkritik keras.

Dikemukakan, dalam peristiwa G-30S/PKI 1965, enam perwira tinggi dan satu perwira pertama menjadi korban kebiadaban PKI. Para kusuma bangsa itu adalah Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani, Letjen (Anumerta) Suprapto, Letjen (Anumerta) S. Parman, Mayjen (Anumerta) D.I Panjaitan, Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomihardjo, Mayjen (Anumerta) M.T Haryono, dan Kapten Zeni (Anumerta) Pierre Tenderan.

“Jika para keluarga pahlawan revolusi melihat tayangan medsos Deddy Corbuzier yang menjadikan peristiwa G30S/PKI sebagai lelucon di stand-up comedy maupun podcast-nya, apakah mereka bisa menerimanya? Ini masalah luka bangsa yang mestinya dipahami Deddy,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas. 

Selamat Ginting menjelaskan, perseteruan Angkatan Darat dengan PKI sudah terjadi sejak peristiwa Madiun September 1948. Peristiwa ini melibatkan golongan kiri, seperti Partai Buruh Indonesia, Partai Sosialis, dan Front Demokrasi Rakyat. Anggota golongan kiri itu didominasi anggota komunis yang berniat mendirikan negara komunis dengan pusatnya di Madiun, Jawa Timur.

“Di sinilah TNI Angkatan Darat menumpas pemberontakan yang dipimpin tokoh komunis Muso. Jadi komunis adalah musuh utama bagi Angkatan Darat,” ungkap Ketua bidang Politik, Pusat Studi Literasi Komunikasi Politik (Pustera Kompol) Unas.

Selamat Ginting mengingatkan jangan hanya karena seorang pesohor memiliki followers (pengikut) yang banyak, kemudian dengan mudah dan murahnya diberikan pangkat tituler. Kasus ini bisa menjadi bumerang bagi pemerintah, karena akan menjadi kontroversi dalam sejarah TNI.

“Ingat peristiwa 1965 ketika PKI menyusup ke dalam TNI dan mempengaruhi Resimen Tjakrabirawa, pengawal presiden. Mengapa hal ini tidak dijadikan pertimbangan agar TNI tidak mudah memberikan warga sipil pangkat kehormatan menjadi militer tituler,” pungkasnya.

/sgo

17 December 2022

Tendean dari Letnan Menjadi Kapten Deddy dari Letnan Menjadi Letkol, Kewarasan Bangsa Sedang Diuji

Photo: merdeka.com & Tempo.co

Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting membandingkan perjuangan yang dilakukan pahlawan revolusi Kapten Zeni (Anumerta) Pierre Tendean dengan pesohor Letnan Kolonel/Letkol (Tituler) Deddy Corbuzier. Perbandingan keduanya bagaikan bumi dengan langit.

“Pierre Tendean saat berpangkat Letnan Satu (Lettu) gugur dalam peristiwa G-30S/PKI tahun 1965. Ia kemudian dinaikkan pangkatnya satu tingkat menjadi Kapten Zeni (Anumerta). Sementara pesohor Deddy Corbuzier dari pangkat Letnan Dua (Letda) Komponen Cadangan (Komcad), tiba-tiba diberikan pangkat Letnan Kolonel (Letkol) Tituler, naik empat tingkat. Kita sedang diuji kewarasannya sebagai bangsa,” ungkap Selamat Ginting di Jakarta, Ahad (18/12/2022).

Menurut Selamat Ginting, semua pahlawan revolusi, termasuk Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani dan para jenderal lainnya, hanya mendapatkan kenaikan pangkat satu tingkat lebih tinggi dari pangkat semula. Begitu juga para prajurit TNI maupun Polri yang gugur dalam tugas hanya akan mendapatkan kenaikan pangkat anumerta, satu tingkat lebih tinggi.

“Mereka tidak akan pernah menggunakan tanda pangkat barunya, karena sudah berada di peti mati dan di alam kubur. Di mana keadilan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertahanan ketika memberikan pangkat Letkol Tituler kepada seorang pesohor Deddy Corbuzier?” ujar Ginting mempertanyakan.

Selamat Ginting mengaku sengaja membuat perbandingan antara Pierre Tendean dengan Deddy Corbuzier, karena semula keduanya sama-sama berpangkat letnan. Pierre Tendean dengan pangkat Lettu Zeni dan Deddy Corbuzier dengan pangkat awal Letda Komcad.   

Dikemukakan, Pierre Tendean merupakan lulusan Akademi Militer (Akmil) di Bandung tahun 1961. Setamat dari Akmil dia ditugaskan menjadi Komandan Peleton di Batalyon Zeni Tempur (Yonzipur)-1 Kodam Bukit Barisan, Medan. Setahun kemudian mendapatkan pendidikan intelijen dan pindah tugas di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD), kini disebut Pusat Intelijen Angkatan Darat (Pusintelad atau PIAD).

Pierre, lanjut Ginting, ditugaskan menjadi mata-mata ke Semenanjung Malaya (kini Malaysia) dalam konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia. Piere memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk menyusup ke Singapura dan Malaysia.

“Beberapa kali berhasil mengebom sejumlah tempat dan mampu menyelamatkan diri dari kejaran tentara Inggris. Ia kembali ke Tanah Air dengan selamat. Keberhasilannya itu membuat pimpinan ABRI memintanya menjadi ajudan Menko Hankam Kepala Staf ABRI Jenderal AH Nasution,” ujar Ginting, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas, Jakarta.  

Akhir hayat Pierre Tendean, kata Ginting, berakhir saat peristiwa G-30S/PKI. Perwira pertama itu diculik dan dibunuh pasukan Resimen Cakrabirawa pimpinan Letkol (Infateri) Untung. Ia gugur sebagai kusuma bangsa bersama enam jenderal pimpinan Angkatan Darat.

“Sementara Deddy Corbuzier nyaris tidak punya jasa dan kontribusi kepada bangsa dan negara sehebat Pierre Tendean. Namun diberikan pangkat kehormatan Letkol Tituler. Bagi para prajurit itu menyakitkan dan akan menurunkan moril prajurit TNI. Secara etika dan moral, peristiwa pemberian pangkat Letkol Tituler kepada Deddy penuh tanda tanya besar,” kata Ketua bidang Politik, Pusat Studi Literasi Komunikasi Politik (Pustera Kompol) Unas.

Ditegaskan, pemerintah terkesan mencari-cari pembenaran dan alasan untuk membenarkan keputusan kontroversial memberikan pangkat Letkol Tituler untuk seorang pesohor Deddy Corbuzier alias Dedi Cahyadi. “1001 alasan boleh saja dikemukakan, namun tidak ada kepantasan pangkat itu diberikan kepada seorang pesohor yang kontroversial,” ujar Ginting yang selama 30 tahun menjadi wartawan spesialis politik pertahanan keamanan negara.

Dia mengungkapkan, banyak artis atau seniman yang punya jasa dalam bela negara, seperti mendiang Kris Biantoro (Christoporus Soebiantoro). Bahkan menjadi relawan perang di Irian Barat selama enam bulan. Namun tidak diberikan  pangkat tituler oleh negara. 

“Bela negara tidah harus diberikan pangkat tituler, sebab bela negara merupakan kewajiban setiap warga negara yang telah diatur dalam konstitusi. Semua komponen bangsa bisa berkontribusi, tanpa harus menjadi militer maupun tentara tituler. Jadi tidak ada urgensi memaksa yang mengharuskan seorang pesohor mendapatkan pangkat Letkol Tituler,” pungkasnya.

/sgo

15 December 2022

Deddy Corbuzier Terancam Dipecat dari Militer

Photo: bukuwarung.com

Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting menegaskan, sebagai militer tituler pesohor Deddy Corbuzier terancam dipecat dari dinas militer, jika tetap menjalankan bisnisnya sebagai youtuber, podcaster, maupun content creator.  Hal ini dengan tegas diatur dalam UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI.

“Sudah jelas dalam Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, Pasal 39 Ayat 3, prajurit TNI dilarang terlibat dalam kegiatan bisnis. Deddy bisa dipecat jika terus menjalankan bisnisnya. Saya maklum, karena barangkali Mas Deddy tidak memahami hal tersebut,” tegas Selamat Ginting di Jakarta, Kamis (15/12/2022).

Ia menanggapi pernyataan Deddy Corbuzier dalam akun media sosialnya @mastercorbuzier yang dikutip sejumlah media massa, Rabu (14/12/2022). "Just to confirm, saya tidak akan mengambil gaji dan tunjangan apapun," tulis Deddy Corbuzier.

Diterangkan Deddy, gaji dan tunjangan yang seharusnya didapatkannya akan dikembalikan kepada negara dan dipakai untuk prajurit TNI yang lebih membutuhkan. "Semua saya kembalikan ke negara untuk yang lebih membutuhkan," tandasnya.

Menurut Selamat Ginting, persoalannya bukan pada kalimat akan mengembalikan gaji dan tunjangannya sebagai militer tituler, melainkan pada larangan bisnis bagi anggota TNI, seperti dalam UU tentang TNI.

“Substansinya bukan menolak gaji atau tunjangan, melainkan larangan berbisnis bagi anggota TNI itu sudah diatur dan ada konsekuensi hukum pidana maupun disiplin militer,” kata Ginting yang selama 30 tahun menjadi wartawan bidang politik pertahanan keamanan negara.

Dikemukakan, jika melihat informasi yang beredar di sejumlah media, penghasilan Deddy Corbizier sebagai pesohor, sebulannya bisa mencapai lebih dari Rp5 miliar. Silakan nanti Deddy yang menjelaskan hal ini. Sementara jika sebagai Letnan Kolonel (Letkol) Tituler, penghasilan sebulannya berkisar Rp13 juta, karena tituler dengan militer aktif gajinya agak berbeda. Untuk Letkol non tituler sekitar Rp15 juta.

“Apakah sanggup Deddy menerima gaji Letkol Tituler yang seperti bumi dengan langit dibandingkannya sebagai pesohor, ” tanya Ginting.

Ia menceritakan saat meliput di lingkungan TNI, ketika Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Wismoyo Arismunandar pada sekitar 1993-1995 memerintahkan Asisten Pengamanan (Aspam) KSAD (kini disebut Asisten Intelijen KSAD) untuk memeriksa sejumlah perwira menengah yang diduga memiliki bisnis.  

“Ada sejumlah kolonel yang memiliki bisnis penginapan kelas melati juga kontrakan rumah. Kolonel-kolonel itu beralasan gaji militer tidak cukup, sementara anak-anaknya sedang melanjutkan perguruan tinggi. Ada juga yang kaya, karena mertuanya sultan di suatu daerah,” ungkap Selamat Ginting.

Namun, lanjut Ginting, pimpinan TNI Angkatan Darat, tidak menerima alasan-alasan tersebut. Mereka diminta memilih tetap menjadi anggota aktif Angkatan Darat atau menjadi pebisnis yang memiliki penghasilan di luar dinas militer.

“Mereka akhirnya dengan berat hati meninggalkan dunia militer dengan konsekuensi pensiun dini. Padahal para kolonel itu lulusan Akademi Militer dan sudah lulus sekolah Seskogab (kini disebut Sesko TNI) serta tinggal selangkah lagi menjadi perwira tinggi,” ungkap Ginting, menceritakan. 

Maka, lanjut Ginting, jika Letkol (Tituler) Deddy Corbuzier tetap menjalankan bisnisnya sebagai pesohor, masyarakat bisa mengadukannya ke polisi militer untuk diproses hukum menggunakan hukum pidana militer dan disiplin militer. Informasi seperti ini harus diketahui Deddy sebagai bagian dari dinas militer.

“Karena Deddy bagian dari Angkatan Darat, maka Asisten Intelijen KSAD bisa segera memanggil Deddy untuk meminta kepastian akan terus menjadi militer tituler atau sebagai pebisnis. Harus pilih salah satunya. Semoga Deddy bisa memilih secara bijaksana kondisi ini,” ungkapnya.

Jalan lainnya, menurut Ginting, Kementerian Pertahanan, Mabes TNI dan Mabes Angkatan Darat, bisa menyelesaikan atau menyudahi posisi Deddy sebagai tituler, sebab militer tituler itu ada batas waktunya. 

“Deddy pilih mengundurkan diri dengan hormat atau pilih diberhentikan dengan hormat? Semua pihak mesti bijak dalam kasus ini, jangan sampai menjadi preseden tidak bagus bagi institusi militer maupun bagi Deddy yang kemungkinan tidak paham tentang aturan militer yang sangat ketat,” ujar Ginting.

Selamat Ginting memberikan contoh bagaimana Letkol CAJ (Tituler) Ahmad Idris Sardi menjalankan tugas di Pusdik Ajudan Jenderal Angkatan Darat selama lebih dari tiga tahun menjadi guru militer bagian musik.

“Idris Sardi menerima tanda jasa negara berupa Satyalancana Dwidya Sistha dari Presiden RI, dalam jabatannya sebagai guru atau instruktur militer di Pusdikajenad sekurangnya tiga tahun. Jadi tidak sembarangan menerima pangkat maupun tanda jasa negara,” kata Ginting, Ketua Bidang Politik Pusat Studi Literasi Komunikasi Politik (Pustera Kompol) Unas.

/sgo

Nomor Urut Partai Bagian dari Pertarungan Simbol Politik

 

Photo: republika.co.id

Analis komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting mengungkapkan ajang penentuan nomor urut partai politik (parpol) menghadapi pemilu 2024 menjadi tanda dimulainya pertarungan simbol politik.

“Penggunaan simbol politik merupakan strategi komunikasi politik menghadapi pertarungan politik untuk menarik minat calon pemilih partai politik,” kata Selamat Ginting di Kampus Unas, Jakarta, Kamis (15/12/2022).

Ia menanggapi pertanyaan wartawan terkait keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menetapkan nomor urut 17 parpol peserta Pemilu 2024. Sebanyak delapan parpol parlemen memilih menggunakan nomor urut lama pada Pemilu 2019 lalu. Sedangkan sembilan parpol mendapatkan nomor urut baru lewat pengundian nomor urut parpol peserta pemilu yang digelar KPU, Rabu (14/12/2022). 

Menurut Selamat Ginting, pertarungan simbol politik, baik melalui nomor urut, tagline dan tanda gambar menjadi senjata politik sekaligus sebagai pembeda antara satu parpol dengan parpol lainnya. Parpol akan membangun deferensiasi politik dengan kelompok calon pemilih melalui komunikasi politik.

“Nomor urut, tanda gambar, tagline untuk memudahkan komunikasi politik dan mengidentifikasi bagian dari pendukung parpol,” ujar Ginting, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas.

Selain itu, lanjutnya, pertarungan simbol politik merupakan bagian dari membangun citra politik untuk menanamkan ideologi parpol, sehingga dapat menampilkan stigma politik yang positif. Selanjutnya akan terjadi pertarungan komunikasi verbal melalui bahasa tubuh aktor politik, seperti tanda jari, yel-yel, maupun sikap tubuh menandakan identitas politik calon pemilih.  

Dikemukakan, model pertarungan komunikasi politik yang dilakukan komunikator politik untuk mencapai tujuan politiknya akan dilakukan dengan retorika politik untuk mempengaruhi publik calon pemilih. Termasuk dengan cara agitasi politik melalui gerakan politik, baik lisan maupun tulisan untuk membangkitkan emosi publik calon pemilih.

“Kita akan lihat dalam waktu dekat akan muncul para agitator politik yang menggerakkan para calon pemilih untuk mendukung parpolnya. Jadi situasi politik sudah mulai memanas setelah KPU menetapkan nomor urut parpol peserta pemilu 2024,” ungkap Ginting yang lama menjadi wartawan liputan politik.

Selain para agitator politik, kata dia, akan muncul pula para propagandis politik yang melakukan propaganda. Mereka melakukan sugesti kepada publik untuk menerima pandangan atau nilai-nilai politik yang dikampanyekan parpol. Para propagandis akan mengklaim parpolnya yang terbaik dibandingkan parpol lainnya.

/sgo

Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...