19 June 2023

Logika Politik Terbalik Jokowi

Photo: Paradox by Capped X (pexels.com)

Jika mengamati pernyataan Presiden Jokowi, maka realitas politiknya bisa berbanding terbalik dengan pernyataannya. Karena itulah pahami Jokowi dengan logika politik terbalik.

Artinya, implemetasi berpolitik model Jokowi mengabaikan tindakan etis. Padahal seharusnya tindakan politik mesti dibarengi dengan etika politik. Hal ini penting, agar tidak menimbulkan sensibilitas sosial politik dan rakyat tidak merasa dibohongi dengan pernyataan politik Jokowi yang menggunakan logika terbalik.

Beberapa contoh bisa dijadikan acuan mengapa memahami Jokowi harus menggunakan logika politik terbalik, di antaranya:

Pertama; saat Jokowi menjadi Gubernur Jakarta, dia mengaku tidak akan berpikir tentang pencalonan presiden. Tidak akan maju dalam pemilihan presiden, karena baru 1,5 tahun menjadi Gubernur Jakarta. Namun dalam kenyataannya secara diam-diam Jokowi melakukan komunikasi politik dengan partai politik dan organisasi massa untuk maju dalam pencalonan presiden. Akhirnya terbukti, walau baru menjadi Gubernur Jakarta selama kurang dari dua tahun saja (2012-2014), Jokowi maju dalam pemilihan presiden tahun 2014.

Kedua; Jokowi menegaskan anak-anak dan menantunya tidak akan terjun dalam politik pemilihan kepala daerah. Ternyata di balik pernyataan politik tersebut, keluarga Jokowi secara agresif melakukan kerja politik yang diduga melibatkan instrumen politik pemerintahan untuk memuluskan anaknya yakni Gibran Rakabuming Raka menjadi Walikota Solo dan menantunya Boby Nasution menjadi Walikota Medan.

Kini putra bungsu Presiden Jokowi sedang bersiap mengikuti pemilihan walikota Depok untuk tahun 2024. Ini sekaligus bukti Jokowi sedang membangun dinasti politik. Kemungkinan Gibran Rakabuming Raka juga akan maju dalam pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2024. Jika ini terjadi, Jokowi sesungguhnya sedang mempersiapkan putra mahkota ke depan menjadi Presiden Indonesia. Padahal Indonesia bukan negara kerajaan atau monarki, Indonesia adalah negara republik, Republik Indonesia.

Apa yang dilakukan Presiden Jokowi lebih buruk daripada yang dilakukan Presiden Soeharto. Setelah 30 tahun berkuasa, barulah Presiden Soeharto menempatkan anak pertamanya Siti Hardiyanti (Tutut Soeharto) sebagai Menteri Sosial pada 1998.

Begitu juga dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (AHY). Setelah tidak menjadi presiden, anak tertuanya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) maju dalam pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2017, namun kalah dari Anies Baswedan. SBY lebih fair dalam hal ini dibandingkan dengan Jokowi.

Ketiga; Jokowi melarang ketua umum partai politik atau pengurus pusat partai politiik rangkap jabatan sebagai menteri. Faktanya, ketua umum partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua umum Partai Golkar, dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suharso Manoarfa dilantik menjadi Menteri pada periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi.

Keempat; Jokowi mengajak masyarakat Indonesia membenci produk asing. Kini nyatanya hampir semua sektor melakukan impor.  Membuka keran impor untuk sejumlah komoditas yang bisa diproduksi dalam negeri. Padahal banyak sektor yang bisa dikapitalisasi.

Kelima; pada saat kampanye menjadi calon Presiden tahun 2014, Jokowi dengan bangga menyatakan jika terpilih menjadi presiden, menolak utang luar negeri. Pemerintahan Jokowi tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai rezim paling senang utang dengan capaian 7.879 triliun rupiah, per Maret 2023.

Artinya naik 3,2 kali lipat dari awal memerintah pada 2014. Sehingga setiap kepala rakyat Indonesia saat ini menanggung utang 28,7 juta rupiah. Naik dari posisi terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hanya 10 juta rupiah per kepala.

Masih banyak lagi pernyataan politik Presiden Jokowi yang tidak sesuai aturan main, prosedur, serta ketegasan dalam komunikasi politik. Akibatnya tidak ada keteladanan dalam bersikap politik. Rakyat dipaksa mengikuti politik imajinasi Jokowi, karena publik hanya disuguhi janji-janji politik yang tidak pasti. Ini pernyataan yang membuat bingung masyarakat Indonesia. Bertentangan dengan kenyataaan. Jangan salahkan jika rakyat memberi julukan sebagai presiden paradoks.

 

/sgo

16 June 2023

Prabowo dan Airlangga Berpotensi Kuat Menjadi Pasangan Pilpres Koalisi Besar

Photo: republika.co.id

Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) Airlangga Hartarto berpotensi paling kuat menjadi pasangan bakal calon presiden (capres) dan bakal calon wakil presiden (wapres) jika terbentuk koalisi besar untuk maju dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024.

Secara realitas politik, koalisi besar hanya akan terwujud jika pasangan capres dan cawapresnya adalah Prabowo dengan Airlangga. Keduanya merupakan representasi dua partai besar hasil pemilu 2019 lalu, sekaligus pendukung pemerintahan Presiden Jokowi.

Kedua ketua umum partai tersebut sangat wajar jika dipasangkan berdasarkan perolehan hasil pemilihan umum (pemilu) 2019 lalu. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berada di puncak dengan perolehan suara 19,33 persen.

Disusul Gerinda meraih 12,57 persen suara dan Golkar di posisi ketiga mendapatkan 12,31 persen. Sementara posisi keempat dan kelima diduduki Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang mendapatkan 9,69 persen suara dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang meraih 9,05 persen suara.

Yang paling memungkinkan untuk bisa maju dalam pilpres, hanya dua komponen realitas politik. Pertama, partai politik yang perolehan suaranya besar. Mereka punya mesin politik yang bisa diandalkan untuk menggerakkan roda partai hingga ke basis konstituen di tingkat kecamatan. Biasanya diwakili ketua umum partai politik. Kedua, tokoh popular yang memiliki elektabilitas (keterpilihan) tinggi. Mereka bisa mendulang suara dari pemilih, khususnya swing voters (pemilih rasional).

Jika mengacu kepada tiga tokoh popular yang elektabilitasnya tinggi, ada pada Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan (non-partai). Jadi wajar jika mereka menjadi bakal capres dalam koalisi. PDIP sudah diwakili Ganjar. Selanjutnya Koalisi Perubahan dan Persatuan mengajukan nama Anies yang tidak berpartai. Sehingga wajar apabila Prabowo maju sebagai bakal capres dengan koalisinya.

Selanjutnya, untuk bisa menjadi bakal cawapres, kembali mengacu kepada dua komponen realitas politik, yakni partai yang memiliki perolehan suara besar dan tokoh popular yang memiliki elektabilitas tinggi. Jadi, koalisi besar hanya akan terwujud, apabila Prabowo dipasangkan dengan Ketua Umum Partai Golkar yang memiliki perolehan suara besar dibandingkan partai-partai lainnya.

Gerindra dan Golkar tentu saja lebih besar perolehan suaranya daripada PKB maupun PAN. Lagi pula PAN hanya memperoleh 6,84 persen suara. Maka KKIR yang terdiri dari Gerindra dan PKB akan diwakili Prabowo. Sedangkan KIB terdiri dari Golkar dan PAN akan diwaliki Airlangga sebagai ketua umum Golkar.  

Sementara tokoh popular yang memiliki elektabilitas tinggi dari sejumlah survey untuk menjadi bakal cawapres, antara lain: Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Erick Thohir, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Khofifah Indar Parawansa. Mereka inilah yang merasa punya kesempatan mendapatkan tiket politik untuk menjadi bakal cawapres selain ketua umum partai politik.

Namun, Ridwan Kamil maupun Khofifah lebih didorong untuk kembali maju dalam pemilihan gubernur di Jawa Barat dan Jawa Timur pada Pemilu 2024 mendatang. Sehingga persaingan untuk bisa menjadi bakal cawapres ada pada tiga nama, yakni Erick Thohir, Sandiaga Uno.

Apabila Koalisi Besar tidak terwujud, maka Golkar dan PAN bisa saja membuat poros koalisi baru dengan komposisi Airlangga mewakili Golkar sebagai bakal capres dan Zulkifli Hasan atau Erick Thohir mewakili PAN sebagai bakal cawapres.


/sgo

15 June 2023

PAN Bagai Layangan Putus Talinya

Photo: tribunnewswiki.com
 

Dari dinamika politik terbaca dengan jelas, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan agresif menawarkan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir untuk bisa dipasangkan sebagai bakal cawapres setidaknya di dua koalisi.

Asumsinya sejumlah survey menempatkan elektabilitas Erick berada dalam lima besar kandidat cawapres, sehingga punya harapan bisa dipasangkan sebagai bakal cawapres di beberapa koalisi.

Pertama, PAN menawarkan Erick untuk berpasangan dengan Ganjar Pranowo dari PDIP. Namun upaya itu ditolak secara halus oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Sukarnoputri. Padahal Zulkifli Hasan sudah memindahkan daerah pemilihan (dapil) untuk dirinya sebagai caleg DPR dari Semarang, Jawa Tengah. Asumsi politiknya agar bisa bekerjasama secara politik dengan Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah. Selama ini Zulkifli selalu menjadi caleg dari dapil Provinsi Lampung.

Kedua, setelah gagal mendapatkan lampu hijau dari PDIP, maka PAN kembali menawarkan Erick Thohir kepada Gerindra. Lagi-lagi upaya itu pun tidak mendapatkan respons positif dari Prabowo sebagai Ketua Umum Gerindra. Gerindra tentu saja khawatir kehilangan teman koalisinya, yakni PKB, apabila menerima Erick yang disodorkan PAN. Apalagi perolehan suara PKB di parlemen, lebih besar daripada PAN.

Ketiga, dari situ kemudian PAN berinisiatif untuk menawarkan kembali terbentuknya Koalisi Besar, tentu saja dengan harapan Erick Thohir tetap bisa mendapatkan posisi bakal cawapres dengan argumentasi elektabilitasnya bersaing ketat dengan Ridwan Kamil, Sandiaga Uno maupun Agus Harimurti Yudhoyono.

Jika koalisi besar terbentuk, Golkar dan PKB tentu akan bersikeras menolak tawaran PAN yang menyodorkan Erick Thohir. Golkar merasa lebih berhak daripada PAN. Toh Ridwan Kamil yang kini bergabung dalam Golkar pun tidak disodorkan menjadi bakal cawapres. Ridwan lebih diproyeksikan Golkar untuk kembali bisa menjadi Gubernur Jawa Barat periode kedua.

Demikian pula PKB yang sedari awal sudah satu tahun membentuk koalisi dengan Gerindra. Muhaimin Iskandar sebagai ketua umum PKB sudah sedari awal menawarkan diri menjadi bakal cawapres. Namun, hingga kini belum direspons positif oleh Prabowo.

Jika saja Gerindra menerima Erick sebagai bakal cawapres berpasangan dengan Prabowo, PKB berpotensi meninggalkan Gerindra untuk bergabung dengan koalisi lainnya. Jadi memang rumit.

Ibaratnya, kini PAN bagaikan layangan yang putus talinya. Tak tahu ke mana arah politiknya.  Menawarkan dagangannya yang belum laku-laku hingga saat ini.  “Timbul pertanyaan, sebenarnya siapa ketua umum PAN? Zulkifli Hasan atau Erick Thohir? Maka, wajar jika publik berpendapat Erick seperti ketua umum luar biasa dari PAN.  

/sgo

14 June 2023

AHY Paling Masuk Akal Dampingi Anies Baswedan

Photo: monitor.co.id

Secara realitas politik Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) paling masuk akal menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Anies Rasyid Baswedan bakal calon presiden (capres) dari Koalisi Perubahan.

Realitas politiknya AHY paling masuk akal menjadi bakal cawapres pendamping Anies Baswedan, bakal capres dari Koalisi Perubahan.

Nama AHY menjadi kandidat terkuat setelah melewati dinamika politik yang panjang sejak Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) secara bertahap mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai bakal capres Koalisi Perubahan pada Maret 2023 lalu. Sehingga, tidak ada pilihan paling realistis secara politik, selain menjadikan AHY sebagai bakal cawapres.

Memang ada nama lain yang cukup kuat selain AHY, yang mengemuka di Koalisi Perubahan, yakni Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher). Namun, AHY memiliki kekuatan politik sebagai Ketua Umum Partai Demokrat yang memungkinkan terjadinya Koalisi Perubahan.

Apabila Demokrat tidak bergabung dalam koalisi itu, maka Anies Baswedan tidak memenuhi syarat untuk dijadikan bakal capres. Koalisi Perubahan memenuhi aturan batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen.

Gabungan Partai Nasdem, Demokrat, dan PKS mewakili 28,5 persen kursi di parlemen. Dalam UU No. 7/2017 (UU Pemilu) parpol atau koalisi parpol setidaknya harus punya 20 persen kursi di DPR RI untuk bisa didaftarkan dalam pemilihan presiden.

Dari tiga nama yang menguat, tampaknya Khofifah lebih konsentrasi untuk kembali menjadi Gubernur Jawa Timur pada pilkada 2024. Sementara Aher secara politis sudah turun elektabilitasnya setelah tidak lagi menjadi Gubernur Jawa Barat. Tidak ada pilihan lain yang masuk akal secara politik, yakni AHY.

Lagi pula, AHY memiliki nilai tambah untuk bisa menaikkan elektabilitas Anies Baswedan jika dia menjadi bakal cawapresnya untuk berkontestasi dalam pilpres 2024. Sejumlah lembaga survey menempatkan bakal cawapres yang beredar, seperti: Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Erick Thohir, AHY, dan Khofifah Indar Parawansa.

Dari lima nama itu, hanya AHY yang masuk dalam partai politik Koalisi Perubahan. Ridwan Kamil kini kader Partai Golkar, Sandiaga Uno segera masuk ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Erick Thohir disorongkan Partai Amanat Nasional (PAN) untuk koalisi yang berbeda. Sedangkan Khofifah tampaknya lebih ingin menjadi Gubernur Jawa Timur periode kedua.

Khofifah, sangat membutuhkan Demokrat dan Nasdem untuk kembali masuk menjadi kandidat Gubernur Jawa Timur. Kerjasama Nasdem dan Demokrat, terbukti mampu mengalahkan dua partai besar di Jawa Timur, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) serta Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Jika dalam pemilihan gubernur Jawa Timur 2018, Nasdem dan Demokrat bekerjasama mampu mengalahkan calon dari PDIP, PKB, dan Gerindra, maka bukan tidak mungkin pada pilpres 2024 pun Nasdem dan Demokrat juga bisa unggul di Jawa Timur.

Keunggulan AHY

Setidaknya ada enam keunggulan AHY dibandingkan dengan kandidat bakal cawapres lainnya di Koalisi Perubahan. Pertama; elektabilitas AHY senantiasa masuk dalam urutan 3-4 besar bakal cawapres, hampir di semua lembaga survey.  Sehingga AHY akan mampu mendongkrak suara Koalisi Perubahan.

Kedua; AHY memiliki kekuatan politik, karena posisinya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Ketiga; AHY memiliki kekuatan logistik untuk menopang baiaya kampanye. Keempat; pemilih saat ini lebih dari 55 persen akan diisi generasi milenial. AHY masuk dalam bakal cawapres muda dibandingkan dengan nama-nama yang beredar di sejumlah lembaga survey.

Kelima; salah satu lumbung suara yang diperebutkan adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Anies akan kuat di DKI Jakarta dan Jawa Barat. AHY akan dapat membantu meraih suara di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ayahnya AHY, Jenderal (Hor) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai mantan Presiden dan lahir di Pacitan, Jawa Timur, memiliki pengaruh kuat di wilayah Mataraman.

Mataraman merupakan wilayah kebudayaan yang meliputi Provinsi Jawa Timur bagian barat-selatan, karena pernah dikuasai Kesultanan Mataram. Kebudayaan Mataraman Kulon,meliputi: NgawiMadiunMagetanPacitan, dan Ponorogo. Mataraman Wétan, meliputi: Kediri, Blitar, Nganjuk, Trenggalek, dan Tulungagung. Mataraman Pesisir, meliputi: Bojonegoro, Tuban, dan bagian barat Lamongan di Jawa Timur.    

Keenam; kakeknya AHY, yakni almarhum Jenderal (Hor) Sarwo Edhie Wibowo, kelahiran Purworejo, Jawa Tengah. Sarwo Edhie dikenal sebagai tokoh anti komunis. Sehingga orang Jawa yang anti komunis kemungkinan akan bersimpati terhadap cucu penumpas komunis di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.

Dari enam keungggulan yang dimiliki AHY, maka pantas ia bisa diumumkan menjadi bakal cawapres Koalisi Perubahan untuk mendampingi Anies Baswedan. Bekas Komandan Batalyon Infanteri Mekanis 203 Kodam Jaya itu juga memiliki rekam jejak pendidikan yang memadai. Saat ini, AHY merupakan kandidat doktor. Sejak SMA hingga berkarier di militer, ia kerap menjadi lulusan terbaik, termasuk saat kuliah di Amerika Serikat.

AHY ini kandidat cawapres yang seksi, sehingga Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang merupakan anak dari Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri ingin menemuinya. Ini pertemuan yang sangat politis mengingat hubungan antara Megawati dan SBY hingga saat ini terasa dingin.


/sgo

05 June 2023

Petugas Partai Bertentangan dengan Konstitusi

 

Photo: Sachin Bharti (pexels.com)

Pernyataan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Sukarnoputri soal istilah petugas partai bagi kader yang menjadi Presiden/Wakil Presiden, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, tidak sesuai dengan konstitusi UUD 1945.

Mereka yang mendapatkan mandat dari rakyat untuk menjadi Presiden/Wakil Presiden, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, berdasarkan konstitusi maka bakti dan tanggungjawabnya kepada Nusa dan Bangsa. Tanggungjawabnya bukan lagi kepada partai politik yang mengusungnya.

Sebelumnya Ketua Umum PDIP Megawati mengingatkan kepada bakal calon presiden dari PDIP Ganjar Pranowo.  “Awas kalau kamu (Ganjar Pranowo) tidak ngomong (sebagai) kader partai, petugas partai. Sadar juga untung beliau (Ganjar) nurut,” kata Mega di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Jumat (2/6).  

Konstitusi negara mengamanatkan, Pasal 9 ayat (1) UUD 1945 menetapkan, Presiden dan Wakil Presiden sebelum memangku jabatannya bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan MPR/DPR.  

Sumpah Presiden dan Wakil Presiden: “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.

Ada pun untuk kepala daerah, Pasal 110 ayat (2) UU 32/2004 berbunyi sebagai berikut: “Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-Undang dan Peraturannya serta berbakti kepada masyarakat, Nusa dan Bangsa”.

Dua bunyi sumpah atau janji, baik Presiden/Wakil Presiden maupun Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, tegas menyatakan memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.

Bukan hanya itu, dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, berdasarkan UUD 1945, Undang-Undang atau turunannya, semua pejabat publik sebelum memangku jabatannya harus mengucapkan sumpah, karena turut mengambil bagian dalam kekuasaan negara dan tanggungjawab negara.

Jadi semua pejabat negara walau pun berasal dari partai politik, juga disumpah dan bertanggungjawab kepada negara. Bukan kepada partai politik, dan bukan pula sebagai petugas partai.

Lagi pula, presiden dan wakil presiden tidak dipilih oleh lembaga partai politik, melainkan oleh rakyat yang memiliki kewenangan sebagai pemilih dalam pemilihan presiden/wakil presiden. Sehingga sumber kekuasaan presiden/wakil presiden berasal dari rakyat yang memilih, bukan dari partai politik. Memang betul partai politik maupun kumpulan partai politik yang mengusung calon presiden dan mendaftarkannya melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Kesimpulannya, presiden dan wakil presiden jelas bukanlah petugas partai. Presiden merupakan pemegang mandat tertinggi yang diberikan rakyat untuk memimpin negeri.

Oleh karena itu, ketika ada ketua umum partai politik yang merasa gede rasa dengan menempatkan posisinya lebih tinggi daripada pemegang mandat rakyat, maka yang bersangkutan mengingkari prinsip demokrasi.

Jadi presiden itu petugas rakyat untuk kepentingan bangsa dan negara. Bukan petugas partai seperti yang dianut negara komunis. Di negara komunis memang hanya ada satu partai, yakni partai komunis. Presiden negara tersebut, seperti Republik Rakyat Tiongkok merupakan petugas partai komunis. Indonesia bukan negara komunis!

/sgo

29 May 2023

Analis Unas: Sistem Proporsional Tertutup Ideal untuk Indonesia

Photo: muhammadiyah.or.id

PRESS RELEASE

Sistem pemilihan umum (Pemilu) proporsional tertutup lebih ideal diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan sistem proporsional terbuka. Semua pertimbangan, termasuk kondisi geografis, jumlah penduduk, kemajemukan suku bangsa maupun agama, tingkat pendidikan, sosial ekonomi, menjadi dasar bagi para pendiri bangsa menerapkan sistem proporsional tertutup pada Pemilu pertama 1955.

Para pendiri bangsa sudah mem-pertimbangkan dari segala aspek, sistem proporsional tertutup dianggap paling pas untuk kondisi Indonesia.

Hal itu terkait uji materiil UU Pemilu soal sistem proporsional terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan beredar ‘bocoran’ seperti dikemukakan Prof Dr Denny Indrayana yang menyebutkan MK akan mengembalikan ke sistem proporsional tertutup.

Namun, apabila sistem pemilu diubah, jangan sampai dimanfaatkan oleh penumpang gelap untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024 yang sudah dijadwalkan sebelumnya. Apalagi tahapan pelaksanaan Pemilu sudah berlangsung sejak awal 2022 lalu.  Jika perubahan sistem Pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup dilakukan untuk menunda Pemilu, maka akan menimbulkan instabilitas politik.

Jangan sampai ada penumpang gelap, karena ongkos politiknya sangat mahal. Belum lagi ada pertarungan di DPR antar-fraksi soal setuju atau tidak setuju perubahan sistem pemilu. Saya tidak dalam kapasitas mendukung partai tertentu atau fraksi tertentu, tapi mengacu kepada sejarah awal para pendiri bangsa menetapkan sistem pemilu 1955. Tentu saja ada pro dan kontra, namun ini pendapat akademis.

Jika memang ternyata ada perubahan sistem Pemilu legislatif dari sistem proposional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup, masih bisa dilakukan saat ini, karena Pemilu akan dilakukan Februari 2024 mendatang. Masih ada waktu sekitar tujuh bulan bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mempersiapkannya.

Mumpung belum ada Daftar Calon Tetap (DCT), saat ini masih Daftar Calon Sementara (DCS) sehingga masih ada waktu untuk mempersiapkannya.  

Ia mengingatkan masalah seperti ini, bukan baru pertama kali terjadi. Sebab pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun, empat bulan menjelang pelaksanaan Pemilu 2009, sistem Pemilu diubah hasil dari uji materiil di MK, dari sistem proporsional tertutup menjadi terbuka.

Saat itu tidak ada kekacauan politik. Mengapa sekarang SBY khawatir terjadi kekacauan politik? Nyatanya pada Pemilu 2009 era Presiden SBY tidak ada kekacauan politik.       

Seperti Amandemen

Sama dengan soal amandemen UUD 1945 yang dilaksanakan pada 2002. Sekarang masyarakat menyadari, ternyata banyak mudarat dari sejumlah amandemen UUD 1945 menjadi UUD aspal (asli tapi palsu) alias UUD 2002. Begitu juga dengan sistem pemilu proporsional terbuka, terakhir pada Pemilu 2019 menyebabkan hampir 900 orang petugas pemungutan suara (PPS) meninggal dunia.

Fakta membuktikan Pemilu 1955 yang dilakukan dengan sistem proporsional tertutup justru menjadi pemilu paling demokratis dalam sejarah perpolitikan di Indonesia. Di situ ada etika, moral, serta agama yang diyakini penyelenggara pemilu, partai politik peserta pemilu, serta pemilih dalam menentukan partai politik sebagai institusi aspirasi politik masyarakat.

Pemilu 1955 dengan sistem proporsional tertutup bukan hanya ajang untuk kontestasi meraih kekuasaan melalui partai politik belaka. Lebih dari itu dibarengi dengan etika moral agama, sehingga menutup peluang untuk berlaku tidak jujur.

Pemilu itu alat pendidikan politik bagi masyarakat. Oleh karena itu mestinya calon-calon wakil rakyat adalah orang-orang terdidik, setidaknya lulusan perguruan tinggi. Sekaligus membuka peluang bagi para dosen, guru, peneliti yang tidak memiliki kemampuan finansial, bisa berkiprah menjadi wakil rakyat melalui sistem proporsional tertutup.

Jika menggunakan sistem proporsional terbuka, maka para cendekiawan akan kesulitan untuk bisa bersaing dengan pemilik modal, orang kaya, atau artis popular yang tidak memiliki kemampuan pendidikan tinggi, namun memiliki kemampuan ekonomi tinggi.

Melalui sistem proporsional tertutup, lanjutnya, partai politik punya kewenangan untuk menempatkan orang-orang terdidik di urutan atas alias dapat nomor peci, bukan nomor sepatu. Jadi walau pun sistem proporsional tertutup, namun tetap ada urutan daftar tetap calon anggota DPR/DPRD.

Tapi elite partai politik jangan sembarangan bertindak seolah-olah sebagai raja menggantikan oligarki kapitalis yang menitipkan orang-orang tertentu seperti sistem proporsional terbuka.

Kesalahan Pemilu 2019

Mestinya, elite negeri belajar dari kesalahan Pemilu 2019 lalu, sebagai salah satu Pemilu yang menggunakan sistem proporsional terbuka dengan predikat terburuk dalam sejarah Pemilu Indonesia. Buktinya, hampir 900 orang PPS meninggal dunia.

Siapa yang bertanggung jawab atas kematian hampir 900 orang PPS? Betapa beratnya petugas pemungutan suara untuk menghitung perolehan suara dari masing-masing calon anggota parlemen DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Berapa banyak partai peserta Pemilu? Berapa banyak calon dari masing-masing partai politik? Berapa banyak daerah pemilihan? Belum lagi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah dari 34 provinsi saat itu.

Jika Pemilu 2024 tetap dilakukan dengan sistem proporsional terbuka sekaligus secara serentak untuk memilih Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota, maka kemungkinan korban petugas pemungutan suara akan semakin bertambah lagi bisa lebih dari 1.000 orang yang meninggal dunia. Sehingga Indonesia akan dicap sebagai negara paling buruk dalam penyelenggaraan Pemilu, karena banyaknya anggota PPS yang meninggal dunia.

Sudah cukup uji coba pemilu dengan sistem proporsional terbuka selama tiga kali pelaksanaan Pemilu (2009, 2014, 2019) dan kini saatnya dievaluasi. Ongkos politiknya terlalu mahal jika Pemilu serentak yang direncanakan pada 2024 dilaksanakan secara system proporsional terbuka.

Diakuinya, memang ada penyimpangan saat Pemilu era Orde Baru dengan sistem proporsional tertutup, karena pemilunya sekadar kewajiban untuk menggugurkan seolah Pemilu berlangsung secara demokratis. Padahal hanya sebagai demokrasi bayangan.

Kita perbaiki saja dari Pemilu 1955 dan era Orde Baru, tetapi tetap menggunakan sistem proporsional tertutup dan bukan proporsional terbuka. Soal kedekatan dengan rakyat sebagai calon pemilih, menjadi kewajiban partai politik untuk dekat dengan rakyat, bukan hanya saat jelang Pemilu saja.

Menekan biaya

Dengan sistem proporsional tertutup, sekaligus bisa menekan biaya Pemilu menjadi lebih murah. Bukan para bohir atau pemilik modal yang mengendalikan pemilu. Partai politik menjadi satu-satunya pengendali dana kampanye. Sistem proporsional tertutup juga bisa menutup persaingan tidak sehat para calon anggota legislatif di dalam satu partai politik.

Walau dengan sistem proporsional tertutup, tapi bukan seperti membeli kucing dalam karung. Rakyat tetap bisa mengetahui siapa saja calon anggota legislatif dari partai-partai politik. Jadi ada adu gagasan serta platform partai politik. Rakyat memilih partai politik dan sekalian kecocokan dengan calon angtota parlemennya.

Sama seperti pada Pemilu 1955 dan Pemilu era Orde Baru, serta Pemilu di awal Reformasi 1999 dan 2004. Para pemilih, hanya memilih atau menusuk tanda gambar partai politik untuk memilih anggota parlemen. Partai politik yang akan menentukan calon wakilnya yang akan duduk di DPR/DPRD. Dibuka secara transparan siapa saja dan urutan calon anggota legislatif dari partai politik.

Sehingga jika ada anggota partai yang tidak berkualitas atau melakukan penyimpangan, maka partai politik akan menanggung akibatnya. Kedaulatan partai sebagai instrumen demokrasi menjadi pertaruhan.


/sgo

14 May 2023

Iblis Pesolek

Photo: bergelora.com

Pada 1993-1994, sebagai wartawan politik Harian Merdeka, saya "nyambi" di LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). Salah satu pimpinannya saat itu Dr Didik J Rachbini yang juga dosen ekonomi politik di Universitas Nasional (Unas).

Saat itu LP3ES punya program baru  dalam bidang penelitian, pendidikan dan penerangan HAM dan demokrasi.  Program ini diberi nama CESDA (Center for the Study of Democracy). Salah satu staf penelitinya Rahadi TW, lulusan FISIP Unas, stambuk 1984.

Mereka buat polling-polling politik. Tenaga pengumpul data dari alumni dan mahasiswa tiga perguruan tinggi: UI, IPB, Unas.

UI dikenal pandai dalam teori. IPB mahir statistik dan metode kuantitatif. Unas kuasai lapangan penelitian.

Wakil dari UI dan IPB "nyerah" untuk masuk ke wilayah papan atas, Menteng.

Rahadi minta saya pimpin penelitian di wilayah Menteng. Didik Rachbini setuju, karena beberapa kali saya wawancarainya soal ekonomi politik. Saya, lulusan FISIP Unas, stambuk 1986, mengajak Hendrik Dikson Sirait yang saat itu butuh dana untuk bantu adiknya. Hendrik masih mahasiswa FISIP Unas, stambuk 1990.

Jika anak-anak UI dan IPB butuh waktu tiga pekan untuk penelitian, maka saya bersama "Iblis" hanya butuh waktu satu pekan. 

Teknik reportase menembus narasumber saya gunakan untuk masuk ke wilayah elite. "Iblis" jadi asisten saya yang "manis".  Kunci suksesnya, saya menggunakan kartu pers liputan di Mabesad. Aparat Koramil di ujung stadion Menteng membantu kami memasuki kawasan "Bento". 

"Ini gila, gua kerja dibantu Koramil. Padahal gua anti tentara," kata Hendrik. 

"Gua kan wartawan harus bisa masuk ke semua lini. Mau ektrem kanan, tengah, kiri. Harus luwes jadi wartawan. Itu kunci kita kuasai penelitian," jawabku kepada Hendrik.

Sukses menembus wilayah papan atas, ternyata kami diminta lagi masuk ke wilayah bronx, Manggarai. Untuk wilayah ini kami juga sukses. Mungkin wajah-wajah "kumuh" kami, bisa dianggap sebagai "duta" orang susah. Soal advokasi massa, sepertinya jadi spesialisasi "Iblis".

Tentu butuh busana berbeda untuk masuk ke dua kutub wilayah bagai bumi dan langit.  Ternyata "Iblis" sesungguhnya pria pesolek. Dia bisa pakai minyak rambut dan minyak wangi saat saya ajak masuk ke wilayah tak jauh dari rumah Sang Penguasa, Jl Cendana, Menteng. Padahal saya tidak pakai minyak rambut dan minyak wangi.

Modal honor awal dimanfaatkannya untuk beli parfum dan minyak rambut. Termasuk kemeja dan celana  bahan, non jins. Ya, sebagai modal kerja. 

"Modal harum sudah cukup buat elu nembak cewek, Blis. Aktivis takut cewek, cemen lu." 

Pulang penelitian lapangan, sesekali dia nginap ke rumah saya di Lenteng Agung. 

Di situ dia cerita ingin jadi wartawan. "Enak banget jadi wartawan, kerjanya fleksibel. Cuma gua gak bisa nulis," kata Hendrik.

"Iya fleksibel, tapi gak bisa jadi orang kaya. Duitnya pas pasan. Makanya gua nyambi, cari tambahan," jawabku, enteng.

Juli 1996, beberapa kali saya bertemu Hendrik di Jl Diponegoro, depan Kantor PDI. Tiap hari panggung demokrasi diisi pidato-pidato yang "menghasut". Isi pidato-pidato politik selama beberapa hari, jadi modal berita politik dalam reportase saya. Belakangan tulisan saya dijadikan buku oleh Merdeka untuk souvernir HUT ke 51 salah satu harian legendaris itu. 

Suasana di markas PDI semakin tidak kondusif. Betul saja, pecah peristiwa 27 Juli 1996.

"Blis... Ambil jarak aman dari Kantor PDI. Jangan sampai jadi korban. Ada pertarungan elite yang kita tidak tahu siapa saja yang bermain," itu pesanku saat bertemu Iblis di depan RSCM.

Awal Agustus 1996, saat ke kampus Unas dapat kabar Hendrik Sirait hilang. Tak jelas rimbanya. Belakangan kami tahu dia bagian dari aktivis yang ditangkap aparat keamanan. 

Beberapa kali Hendrik dijebloskan ke penjara, beberapa kali pula, kami membesuknya. Berkenalan pula dengan Ibundanya yang sangat perhatian kepada putra keduanya.

Banyak kenangan bersamanya sebagai aktivis mahasiswa. Militansinya luar biasa. Kami tidak pernah menjerumuskannya sebagai aktivis. Ia hadir menjadi aktivis sebagai panggilan jiwa raga. Masih banyak kenangan yang tersimpan rapi dalam memori, butuh waktu untuk merangkai cerita tentangmu, Blis.

Mungkin selain almarhum Nuku Soleiman, FISIP Unas stambuk 1985, Hendrik "Iblis" bersama Wandy "Binyo" Tuturoong, FISIP Unas stambuk 1990, yang paling sering keluar masuk penjara. Disusul rekan sohibnya, Ferry "Mpe" Muchus, FISIP Unas stambuk 1990, dan Andrianto "Diem", FISIP Unas 1992.

Sabtu 13 Mei 2023, jadwal saya sedang pelatihan. Tapi saya minta izin untuk bisa mengantarkan Hendrik Sirait. Saya ikut menggotong peti jenazahnya dari ambulans PGN menuju liang lahat di Blade 184 unit Kristen TPU Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur.

"Selamat jalan adinda pejuang. Foto di atas pusaramu dengan mengenakan jas rapi, itulah kau yang sesungguhnya 'iblis' pesolek."


/sgofficial

Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...