Penjelasan dari Selamat Ginting, pengamat politik UNAS (Universitas Nasional).
Dalam sepekan terakhir pada pertengahan Februari 2025 ini beredar diksi-diksi "Adili Jokowi - Kabinet Gemuk (Kritik Terhadap Efisiensi Pemerintahan Prabowo) - Ndasmu- Hidup Jokowi - Indonesia Gelap - Kabur Aja Dulu."
Bagaimana menjelaskan korelasi antara diksi-diksi tersebut? Berikut penjelasannya.
Diawali dari keputusan Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) memasukkan nama Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo dalam daftar nominasi finalis tokoh kejahatan terorganisasi dan terkorup 2024. Jokowi dianggap terlibat dalam tindakan korupsi yang menguntungkan pribadi sepanjang menjadi presiden.
"Nyungsepnya" indeks demokrasi Indonesia dan indeks korupsi Indonesia era Presiden Jokowi. Terburuk di era reformasi sejak1998 hingga kini. Belum lagi kontroversi naiknya anak Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka menjadi Wakil Presiden yang penuh dengan tudingan sebagai "anak haram konstitusi", buntut dari keputusan tak biasa Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengagetkan jagat politik dunia. Itulah problem politik dan hukum tata negara.
Di sisi ekonomi, kebijakan Jokowi mengakibatkan turunnya masyarakat kelas menengah dari sekitar 23 persen menjadi 17 persen. Hal ini buntut dari kebijakan impor era Jokowi yang menyebabkan sekitar 80 ribu orang kehilangan lapangan pekerjaan versi Kementerian Tenaga Kerja. Bahkan ada peneliti yang menilai sesungguhnya lebih dari angka tersebut, diperkirakan sekitar setengah juta orang kehilangan pekerjaan.
Bansos yang ugal-ugalan jelang pemilu dituding sebagai gentong babi dalam film dokumenter Dirty Vote (pemilihan umum kotor) yang berisi politisasi bansos untuk kepentingan politik Presiden Jokowi. Kini disebut oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Panjaitan, sekitar 50 persen bansos tidak tepat sasaran. Artinya dari Rp500 triliun bansos, separuhnya sekitar Rp250 triliun dana bansos tidak jelas peruntukannya. Artinya ada uang haram. Siapa bertanggungjawab?
Di situ publik meminta agar Jokowi diadili, karena harus bertanggung jawab terhadap krisis politik, hukum, dan ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Setelah memberikan kesempatan 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo, publik mengkritik efisiensi yang dilakukan menyasar pada bidang pendidikan dan kesehatan. Uang kuliah berpotensi naik, tunjangan bagi guru dan dosen terancam dipotong. Padahal profesi guru dan dosen gajinya tidak sebanding dengan pejabat-pejabat negara, bagai bumi dengan langit. Di sisi lain, kabinet gemuk justru paradoks dengan efisiensi. Ada 48 menteri, 55 wakil menteri, lima badan baru, staf-staf khusus presiden, menteri, wakil menteri, kepala badan, juga para utusan khusus, para asisten khusus, entah apalagi nama-nama jabatan itu, tentu harus digaji sebagai pejabat negara setara eselon satu. Belum lagi para tenaga ahli setingkat eselon dua dan lain lain.
Efisiensi Prabowo artinya pemborosan ugal-ugalan, tuding publik. Tuntutan reshuffle kabinet belum dipenuhi juga, termasuk pemangkasan lembaga-lembaga negara dan fasilitas bagi pejabat negara. Mulai kendaraan dinas, rumah dinas, dan fasilitas negara lainnya. Prabowo dianggap tidak peka, di sisi lain tanpa disuruh rakyat sudah lebih dahulu mengencangkan ikat pinggang sampai lubang terkecil. Mestinya ikat pinggang itu dilakukan oleh para pejabat negara dan komisioner negara. Bukan dilakukan rakyat yang sudah susah dan hidup pas-pasan.
Di tengah situasi rakyat marah, eh Presiden Prabowo teriak "hidup Jokowi!". Ini kontradiksinya dengan kritik kaum akademisi dan kaum civil society yang merupakan perwakilan kelas menengah. Padahal Jokowi dianggap bagian dari masalah dan orang yang harus turut bertanggung jawab atas merosotnya perekonomian bangsa.
Di situlah mahasiswa yang menjadi bagian dari kelas menengah Indonesia membuat aksi dengan tagar Indonesia gelap. Gelap apabila Prabowo melanjutkan kebijakan Jokowi yang ugal-ugalan dan menyebabkan Indonesia terpuruk dengan program-program mercusuar fisik, seperti pembangunan IKN yang terancam mangkrak dan PSN (Proyek Strategis Nasional) yang kontroversial seperti di kawasan PIK (Pantai Indah Kapuk) dan sekitarnya.
Betul Prabowo sudah membuat tindakan tegas dalam kasus pagar laut yang berlangsung di era akhir Presiden Jokowi. Tapi kalimat "hidup Jokowi!" menyakitkan rakyat kelas menengah. Seharusnya Prabowo meneriakkan "hidup rakyat!", artinya mengedepankan rakyat bukan memuji Jokowi setinggi langit yang dianggap terlibat dalam kejahatan dan korupsi selama menjadi presiden seperti penilaian OCCRP.
Belum pernah ada presiden baru memuji setinggi langit presiden sebelumnya. "Syoor sendri", kata orang Medan. Artinya senang sendirian atau onani, memuaskan diri sendiri.
Tagar "kabur aja dulu" merupakan bentuk frustrasi rakyat akibat Prabowo belum bisa memisahkan dirinya dengan Jokowi. Mereka merasa sulit mencari lapangan pekerjaan di Tanah Air, terutama buat kelas menengah lulusan perguruan tinggi. Mereka menolak dianggap tidak nasionalisme. Seharusnya pemerintah juga membuat lapangan pekerjaan yang dapat menjamin masa depan rakyat. Dengan pemangkasan APBN dampaknya antara lain semakin banyak industri swasta yang gulung tikar. Mencari penghidupan di luar negeri, merupakan salah satu solusi agar mereka tidak menjadi beban negara.