Oleh
Selamat Ginting
Jurnalis
Jarum jam sejarah berulang. Menunggu 30 tahun. Februari 2018 lalu di Palembang, Sumatra Selatan. Kolonel (Infanteri) Kunto Arief Wibowo, lulusan Akademi Militer (Akmil) 1992 menyerahkan jabatan Komandan Korem 044 Garuda Dempo, Kodam Sriwijaya.
Ia menyerahkan jabatan itu kepada penggantinya, Kolonel (Infanteri) Iman Budiman, lulusan Akmil 1993. “Kolonel Iman Budiman, adik kelas satu tingkat di Akmil,” kata Kunto kepada pers, saat itu.
Peristiwa berulang? Ya, berulang. Sebab, pada 30 tahun lalu, tepatnya Februari 1988. Jenderal Try Sutrisno, lulusan Akmil Jurtek Bandung 1959 menyerahkan jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) kepada Letnan Jenderal Edi Sudradjat, lulusan Akmil Magelang 1960. Lima tahun kemudian, Februari 1993, Jenderal Try kembali digantikan Jenderal Edi sebagai Panglima ABRI (TNI/Polri).
Bukan cuma itu keduanya terkoneksi. Jauh sebelumnya, Agustus 1985, Wakil KSAD, Letjen Try digantikan Mayjen Edi. Jadi, tiga kali Try digantikan Edi. Karier mereka beriringan. Keduanya disiapkan Presiden Soeharto menjadi pimpinan TNI dari generasi penerus lulusan Akmil untuk menggantikan generasi TNI era 1945.
Lalu, apa hubungannya kedua peristiwa tersebut?
Kunto Arief Wibowo adalah anak kandung Jenderal (Purn) Try Sutrisno. Sedangkan Iman Budiman adalah anak kandung almarhum Jenderal (Purn) Edi Sudradjat. Try dari Korps Zeni, sedangkan Edi dari Korps Infanteri.
Kedua bekas anak petinggi TNI itu meniti karier mengikuti jejak ayahnya. Apakah mereka mendapatkan keistimewaan? Yang jelas, mayoritas komandan Korem tipe B (dipimpin kolonel senior) saat ini memang dipimpin lulusan Akmil 1992 dan 1993.
Jadi, karier Kunto dan Budiman, masih dalam kategori wajar. Kunto kini nonjob di Mabesad. Ia baru saja menyelesaikan pendidikan regular angkatan 57, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Oktober 2018 lalu. Ia persiapan menduduki jabatan perwira tinggi TNI.
Baik Kunto maupun Budiman mengikuti prosedur. Termasuk mengikuti seleksi kursus komandan Korem yang sangat ketat. Keduanya lulus dan mengikuti Susdanrem.
Abang kandung Kunto, Firman Santyabudi (53 tahun). Firman, lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) 1988 A. Kini inspektur jenderal polisi. Jabatannya deputi bidang pemberantasan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Pangkat brigjen disandang Firman selama empat tahun lebih. Ia juga tidak pernah memegang posisi bergengsi sebagai kepala Polda.
Padahal, kerabat Kunto dan Firman, saat ini memegang posisi strategis. Menteri Pertahanan, Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu adalah menantu dari Try Sutrisno. Artinya, Ryamizard adalah abang ipar dari Firman dan Kunto. Ryamizard menikah dengan anak sulung Try, Nora Tristyana. Ryamizard adalah anak dari almarhum Mayor Jenderal (Purn) Musannif Ryacudu, mantan Pangdam Tanjungpura, 1963-1964.
Anak Edi Sudradjat lainnya adalah Kolonel (Infanteri) Andi Gunawan, lulusan Akmil 1986. Mengikuti jejak ayahnya dari Kopassus, Gunawan kini menjadi Wakil Komandam Rimdam Jaya.
Luhut dan Hendro
Kondisi berbeda dialami keluarga bekas petinggi TNI lainnya. Mantan Komandan Kodiklatad 1994-1996, Jenderal Kehormatan (Purn) AM Hendropriyono (Akmil 1967), dan mantan Komandan Kodiklatad 1997-1998, Jenderal Kehormatan (Purn) Luhut Binsar Panjaitan (Akmil 1970).
Menantu Luhut, Maruli Simanjuntak, kini menjabat sebagai Komandan Paspampres. Jabatan bintang dua. Ia melompati seniornya lulusan Akmil 1990 dan 1991. Maruli dan Kunto sama-sama lulusan Akmil 1992.
Kunto menjadi lulusan pertama Akmil 1992 yang menjadi Danrem di Palembang. Maruli menyusul kemudian, menjadi Danrem di Solo. Bahkan Maruli tanpa mengikuti test apalagi kursus Danrem. Spesial untuk Maruli.
Naiknya Maruli, mau tidak mau ‘memaksa’ abang kelasnya naik jadi bintang dua. Lulusan terbaik Akmil 1990, I Nyoman Cantiasa dipromosikan menjadi bintang dua. Namun jabatannya hanya perwira staf ahli tingkat III Polkamnas Panglima TNI. Sebelumnya Cantiasa sebagai Kasdam Cendrawasih.
Sedangkan lulusan terbaik Akmil 1991, Brigjen Teguh Pudjo Rumekso dipromosikan dari Kasdam Mulawarman menjadi Komandan Pussenif Kodiklatad. Jabatan untuk bintang dua. Sedangkan penerima Trisakti Wiratama (terbaik kedua) Akmil 1991, Brigjen Eko Susetyo (Korps Kavaleri) saat ini menjadi Wakil Komandan Puspenerbad.
Adapun lulusan terbaik Akmil 1992, Kolonel (Kavaleri) Erwin Djatmiko, saat ini masih menjabat sebagai Komandan Korem 043 Garuda Hitam, Lampung. Sementara lulusan terbaik kedua, penerima Trisaksi Wiratama Akmil 1992, Kolonel (Zeni) Adisura Firdaus Tarigan, saat ini sebagai Paban I Jakenstra Srenad. Tarigan belum sempat menjadi Komandan Korem.
Spesial pula untuk menantu Hendropriyono. Andika Perkasa, alumni Akmil 1987. Andika menikah dengan anak Hendro, Diah Erwiany. Andika kini sudah bintang empat. Jabatan tertinggi di Angkatan Darat, KSAD.
Dalam tempo lima tahun, ia menggapai bintang empat (November 2018 lalu). Bintang satu diraihnya pada akhir tahun 2013. Ia melompati tiga lulusan di atasnya, Akmil 1986, 1985, dan 1984.
Berbeda dengan Try Sutrisno mapun Edi Sudradjat, sekitar 32 tahun lalu. Try memerlukan waktu tujuh tahun dari bintang satu (1979) hingga bintang empat (1986). Edi memerlukan delapan tahun dari bintang satu (1980) hingga bintang empat (1988).
Ada fenomena fantastisnya kenaikan pangkat dan promosi Maruli, Andika, serta Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto (AAU 1986). Maka, sangat mungkin ada skenario percepatan jabatan untuk mereka pada April hingga Oktober 2019.
Skenario ‘memper-super-cepatkan’ ketiganya dibandingkan perwira tinggi lainnya. Maruli dipercepat menjadi bintang tiga, kemungkinan menjadi panglima Kostrad. Jadi dari Komandan Paspampres segera promosi sebagai panglima Kodam di Jakarta, Bandung atau Semarang.
Letjen Besar Harto (Akmil 1986) akan sebentar saja menjadi Pangkostrad. Maruli akan menggantikannya dalam hitungan bulan, seperti Andika. Lalu Maruli langsung lompat menjadi KSAD.
Andika segera diplot menjadi Panglima TNI. Kemudian Hadi akan digeser menjadi salah seorang menteri. Bisa saja menggantikan Luhut Panjaitan yang akan konsentrasi untuk pemenangan calon presiden Jokowi.
Ini memang ‘gerakan’ politik dan otomatis mengabaikan profesionalisme TNI. Sesuatu yang sangat disayangkan jika skenario ini terjadi. Artinya, TNI ditarik dalam kancah politik praktis demi pemenangan pemilihan presiden 2019.
/sgo
No comments:
Post a Comment