Foto: Republika, 28 September 2020 |
Dikemukakan, hal itu juga dikemukakan oleh Ketua Umum PNI Ali Sastroamijoyo pada ulang tahun ke 45 PKI. Ia menyatakan PNI bersedia bekerjasama dengan PKI. Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 1959-1960 sudah terang-terangan menyatakan ketidaksukaan kedekatan Sukarno dengan PKI. Ia akhirnya mundur dari posisi Wakil Presiden, karena Sukarno dianggap sudah tidak bisa diberitahu lagi.
Pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting mengungkapkan, sebagai pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI), Sukarno sempat gusar ketika partai berideologi marhaenisme itu diisi tokoh-tokoh yang dianggapnya sudah tua dan tidak progresif revolusioner. Maka pada Kongres PNI 1963 di Purwokerto, sejumah tokoh PNI disingkirkan.
“Yang mengejutkan, para aktivis PKI (Partai
Komunis Indonesia) justru dimasukkan dalam kepengurusan PNI. Misalnya Karim DP,
Satya Graha, Walujo, Djarwoto. Bahkan mereka menduduki posisi-posisi penting di
dalam kepengurusan partai dan media massa. Inilah yang disebut PKI berjaket
PNI,” kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas di Jakarta,
Kamis (30/9).
Selanjutnya, menurut Ginting, pada sidang
Badan Pekerja Kongres (BPK) 1 PNI di Bandung tahun 1964, PNI menafsirkan
marhaenisme sebagai marxisme yang diterapkan sesuai dengan kondisi dan situasi
Indonesia. Keputusan ini dikenal dengan istilah Deklarasi Marhaenis.
Di situ, lanjutnya, PNI menonjolkan unsur
marxisme sebagai suatu paham revolusioner yang berdiri di atas sendi-sendi aksi
massa yang revolusioner. Maka, unsur buruh dan tani ditetapkan sebagai soku
guru partai dengan tidak mengurangi peranan golongan-golongan progresif
revolusioner lainnya. Sekaligus menyingkirkan unsur-unsur non marhaenisme di
dalam kepemimpinan partai.
Dikemukakannya, TNI dan sejumlah partai
Islam, tidak menyukai perubahan PNI menjadi semakin ke kiri dan menyatu dengan
PKI. Hal itu juga sudah terlihat sejak 1958. Ketika Sukarno dan Angkatan Darat
berbeda sikap dalam menyelesaikan masalah PRRI/Permesta.
“Para pemimpin Angkatan Darat lebih
cenderung menghendaki penyelesaian secara damai. Sedangkan Sukarno berpendapat
rehabilitasi terhadap pemberontak hanya mungkin dengan penyerahan mereka
terlebih dahulu,” ungkap kandidat doktor ilmu politik itu.
Kemudian, kata dia, Sukarno mencari
dukungan dari PKI dan Nahdlatul Ulama (NU). Di sisi lain, Sukarno malah lebih
dekat dengan PKI daripada dengan PNI. Ia mengontrol PNI dengan memperkuat
kedudukan Ruslan Abdul Gani dalam kepemimpinan PNI. Namun tetap tidak efektif.
Ruslan dianggap kurang progresif revolusioner.
“Alasan itulah yang digunakan untuk memasukan
aktivis PKI, seperti Karim DP dan lain-lain ke dalam PNI. Itulah PKI berjaket
PNI,” ujar Selamat Ginting yang lama menjadi wartawan politik di sejumlah media
massa.
Dari sinilah, kata Ginting, PNI sebagai
pemenang Pemilu 1955 justru dianggap sebagai pengikut setia PKI. Hal ini,
karena pengurus PNI nyaris tanpa kreasi, dan imajinasi. PNI mengeluarkan
rumusan-rumusan ‘copy paste’ milik PKI. Misalnya ikut-ikutan membuat tuntutan
bubarkan ABRI, bubarkan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), istilah setan kota, kapitalis
birokrat, dll.
Dikemukakan, hal itu juga dikemukakan oleh
Ketua Umum PNI Ali Sastroamijoyo pada ulang tahun ke 45 PKI. Ia menyatakan PNI
bersedia bekerjasama dengan PKI. Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 1959-1960
sudah terang-terangan menyatakan ketidaksukaan kedekatan Sukarno dengan PKI. Ia
akhirnya mundur dari posisi Wakil Presiden, karena Sukarno dianggap sudah tidak
bisa diberitahu lagi.
“Termasuk keputusan Sukarno yang otoriter,
membubarkan dua partai, yakni: Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia),
karena berbeda sikap dengan dirinya. Bahkan dianggap terlibat mendukung
PRRI/Permesta pada 1958-1959,” ujar pengamat politik dari Unas ini.
Dengan disingkirkannya Masyumi sebagai
partai kedua terbesar, maka tinggal PNI, NU, dan PKI. Dari ketiga partai itulah
kaki politik Sukarno dalam wadah Nasakom (Nasional, Agama, Komunis).
Celakanya, ungkap Ginting, PKI yang paling
diandalkan Sukarno untuk menjadi sekutu kuatnya dalam menghadapi Angkatan
Darat, justru mulai terang-terangan berseberangan dengan Presiden Sukarno.
Itulah era tiga polarisasi kekuatan: Sukarno-PKI-Angkatan Darat.
Nasakomisasi terus digulirkan, termasuk
upaya untuk memasukkannya dalam organisasi ABRI pada 1964-1965. Begitu juga
soal Angkatan kelima di luar AD, AL, AU, Polri. Tentu saja yang paling getol
adalah PKI dan lagi-lagi PNI mengekor PKI. PNI tidak menolak pembentukan
angkatan kelima. Kedua partai ini seperti tidak ada lagi bedanya.
Karena itu pula mulai terjadi bentrok antara aktivis PNI dengan personel Angkatan Darat pada Mei 1965 di Kalasan, Yogyakarta. Agar konflik tidak berkepanjanan, pimpinan PNI Ali Sastroamijoyo, Surahman, dan Ruslan Abdulgani menemui Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Ahmad Yani. “Di situ Jenderal Yani mengingatkan agar PNI jangan ikut-ikutan PKI. PNI itu nasionalis bukan komunis,” ujar Yani. tegas.
/selamatgintingofficial
No comments:
Post a Comment