Tulisan di FB tanggal 26 Januari 2021
Foto: Tribun Manado |
Madame nan Indah
Sedang ramai. Koran Tempo membuat laporan tentang korupsi jatah bantuan sosial (bansos). Tersangka utama, Juliari P Batubara, bekas menteri sosial.
Dalam laporannya, dari jatah 1,9 juta paket bantuan, Juliari diduga hanya mengutip untuk 600 ribu paket. Sebanyak 1,3 juta paket, menurut Tempo, disebut sebagai jatah dua anggota DPR dari partai berkuasa (PDIP), yakni Herman Hery dan Ihsan Yunus.
Kader partai ini memang masih di urutan nomor satu dalam hal korupsi. Sejak era reformasi hingga saat ini. Hal ini menurut catatan lembaga-lembaga anti korupsi. PDIP harus berbenah diri dalam masalah ini.
Kembali ke laptop. Untuk wilayah Jadebotabek, bansos Covid-19, didistribusikan sebanyak 12 kali dengan total santunan 22,8 juta paket senilai Rp6,8 triliun. Dalam laporan Tempo, jatah untuk Herman dan Ihsan tidak dipotong fee Rp10 ribu, karena itu menjadi bagian dari 'madame'.
Siapa madame tersebut? Bagi saya, ini sudah masuk ke ranah hukum. Perlu rekonstruksi hukum untuk membuka tabir tersebut. Tentu saya tak berani mendahului proses hukum melalui dugaan-dugaan atau spekulasi. Sebab bisa mengandung fitnah terhadap seseorang. Urusannya bisa sampai akhirat. Saya tak berani.
Yang lekat dalam ingatan saya soal madame di Indonesia, justru pada sosok bekas janda Presiden Sukarno. Dia adalah Naoko Nemoto asal Tokyo, Jepang. Setelah dijadikan istri kelima Presiden Sukarno, namanya menjadi Ratna Sari Dewi. Dikenal sebagai Dewi Sukarno atau Dewi Soekarno, dengan ejaan lama.
Saya menulis Sukarno dengan ejaan baru, bukan ejaan lama: Soekarno. Karena sang presiden yang meminta namanya ditulis: Sukarno. Dengan alasan U menjadi Oe, itu peninggalan kolonial Belanda. Tandatangannya ditulis: Soekarno. Memang tidak mungkin diubah, karena terkait dengan dokumen dan perbankan.
Kembali ke sang madame. Dewi Sukarno, pada Februari 2021 ini akan genap berusia 81 tahun. Saat saya baru menjadi wartawan, Indonesia digemparkan dengan buku berjudul 'Madame D Syuga'. Artinya, unggul dan molek.
Buku itu berisi foto-foto Ratna Sari Dewi dalam berbagai pose. Peluncuran buku itu sempat meramaikan media massa di Jepang dan Indonesia.
Mengapa? Tentu saja, karena yang jadi modelnya, bukan perempuan biasa. Ia dulu sangat suka disebut sebagai Madame Sukarno, istri presiden pertama Indonesia. Buku ini memang penuh sensasi.
Bahkan salah satu koran di Jepang menuliskannya dengan bombastis, "kejutan terbesar abad ini". Bah... ngeri kali lah. Sebuah majalah di Jepang, membuatnya sebagai laporan utama dengan judul "Telanjang di Usia 53". Di usia yang sepantaran saya, saat ini. Waduh...
Para wartawan di Indonesia pun berburu untuk mendapatkan buku tersebut. Termasuk saya. Ingin tahu apa sebenarnya isi buku yang menghebohkan itu. Kehebohan bukan hanya sampai redaksi media massa, tetapi juga sampai Kejaksaan Agung. Lembaga itu akhirnya mengeluarkan larangan atas buku itu pada November 1993.
Artinya hanya sekitar tiga bulan setelah buku itu terbit di Jepang. Walah... belum sempat dapatkan buku itu, malah sudah dilarang. Larangan terhadap buku-buku atau barang cetakan, bukan cuma ciri khas rezim Orde Baru Soeharto saja.
Sebab rezim Orde Lama (Demokrasi Terpimpin) Sukarno juga sudah menerapkannya sejak 1963 melalui keputusan presiden. Kali ini justru menimpa terhadap bekas istri Sukarno. Menarik.
Kejaksaan Agung menyatakan, buku itu mengandung pornografi. Sekaligus bisa mencemarkan nama baik Presiden Sukarno. Sang Madame nan indah, protes. Dia tidak terima bukunya dilarang di Indonesia. Naoko Nemoto (saat itu 53 tahun) alias Dewi Sukarno, akhirnya datang ke Jakarta. Kedatangannya tentu saja menjadi pusat perhatian para jurnalis untuk melihat indahnya sang madame.
Madame (Pagi) yang indah sekali.
Membawa hati bernyanyi.
Walau gadisku telah pergi.
Dan tak kan mungkin kembali, hhhmm ya... (Koes Plus).
Kepada wartawan, ia membela diri. "Buku Madama d Syuga ditujukan bagi para perempuan yang menyukai keindahan dan citarasa seni yang tinggi. Bukan untuk kaum lelaki!". Nah... jadi kaum lelaki tak boleh lihat buku tersebut? Aya-aya wae madame...
Dewi juga tidak mau bukunya dikaitkan dengan mantan suaminya, Sukarno yang sangat dihormati bangsa Indonesia. Sebagai istri kelima dari sembilan istri Sukarno, bagi Dewi, buku itu tanggung jawab pribadinya. Bukan tanggung jawab keluarga Sukarno.
“Ini ekspresi seni. Demi keindahan, apa pun diizinkan. Saya kira orang yang mencintai seni tak akan mencela buku saya,” kata Ratna Sari Dewi, membela diri.
Kini dalam hal korupsi bansos, saya belum tahu, bagaimana sang madame bansos akan membela diri. Apakah terlibat dalam konspirasi jahat korupsi juga bagian dari ekspresi seni?
Ah ini pasti pertanyaan 'ngelantur', karena masih terbayang Madame Syuga... Semoga tidak lagi membuat foto telanjang di usia 81 tahun. Hahaha.
/selamatgintingofficial
No comments:
Post a Comment