24 November 2021

Separatisme di Bumi Papua Domain Militer

Foto: Liputan di Distrik Citak, Mitak
Kab. Mappi, Papua 2013

Dalam delapan bulan terakhir, Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua gencar melakukan aksi penyerangan di sejumlah wilayah secara masif. Mereka kerap menyatakan perang terhadap militer Indonesia. Eskalasi yang kian memuncak sampai membuat pemerintah Indonesia memberikan cap kelompok dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) sebagai teroris pada 29 April 2021 lalu.

Istilah KKB merupakan sebutan aparat terhadap kelompok militan OPM yang melakukan gerakan dan perlawanan separatis dengan membawa senjata. Terbaru pada Sabtu (20 November 2021 lalu. Seorang prajurit dari satuan Koramil persiapan Suru-Suru di Kabupaten Yahukimo, Papua, gugur setelah diserang KKB. Anggota TNI tersebut adalah Sertu Ari Baskoro. Satu anggota TNI yang terluka dalam penyerangan tersebut yakni, Kapten (Infanteri) Arviandi S.

Paling heboh pada akhir tahun 2018 lalu, menewaskan 31 jiwa Karyawan dan Pekerja PT. Istaka Karya yang sedang membangun Jembatan di Kabupaten Nduga. Termasuk gugurnya Kepala Badan Intelijen Negara Daerah (Kabinda) Papua Mayjen TNI (Anumerta), I Gusti Putu Danny Nugraha Karya di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Ahad (25 April 2021) lalu. Termasuk sejumlah peristiwa penyanderaan yang dilakukan KKB terhadap masyarakat, terutama masyarakat pendatang.

Sebelumnya pada pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2018 di Papua dan Papua Barat, rombongan petugas penyelenggara Pilkada ditembaki saat berada di pesawat yang akan terbang dari Bandara Keneam, Kabupaten Nduga dan saat berada di perahu motor. Namun, lagu-lagi, semua pelakunya disederhanakan sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata. Tuujuannya juga ‘di-politisasi’, hanya untuk mengganggu penyelenggaraan Pilkada.

Padahal sungguh naif, jika nyaris tidak ada yang memahami bahwa pelakunya adalah Kelompok Bersenjata Gerakan Separatisme Papua Merdeka. Tujuannya apalagi kalau bukan disintegrasi atau memisahkan diri dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Berarti mengancam keutuhan dan kedaulatan Negara. Bukan hanya kekuatannya yang semakin berkembang, tetapi juga akibat keterbelakangan dan homogenitas penduduk di kedua provinsi.

Jangan lupa, sesungguhnya mereka juga telah diistimewakan dengan mendapat APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) serta digelontorkan dana otsus (otonomi khusus) yang sangat besar. Termasuk menerima perlakuan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) yang sama dengan daerah lain. Juga adanya percepatan pembangunan infrastruktur. Terakhir pelaksanaan PON (Pekan Olahraga Nasional) dengan pembangunan stadion dan infrastruktur olahraga lainnya.

Simak video "SEPARATIS DI BUMI PAPUA DOMAIN MILITER"


Amanat Konstitusi

Aksi ofensif gerakan separatisme di Papua, selalu diakhiri dengan melarikan diri ke hutan maupun gunung. Ini merupakan taktik dan teknik perang gerilya, sehingga sulit dikejar oleh aparat keamanan. Belum lagi jika mereka mencairkan diri dalam masyarakat di kampung-kampung atau di daerah basis perlawanan mereka. Karena itulah merupakan suatu kesalahan fatal, jika mereka hanya dikategorikan sebagai kelompok kriminal bersenjata.

Sudah jelas sesungguhnya mereka adalah kelompok bersenjata dari gerakan separatis. Gerakan separatisme di seluruh dunia, tujuannya satu memisahkan diri dan merupakan ancaman konsepsional yang membahayakan keutuhan dan kedaulatan negara.

Kasus terakhir yang menewaskan prajurit Koramil, Sabtu (20/11/2021) lalu, semestinya dapat dijadikan sebagai momentum bagi Panglima TNI yang baru Jenderal Andika Perkasa dan Kepala Staf Angkatan Darat yang baru, Jenderal Dudung Abdurachman. Termasuk seluruh elemen bangsa dan orang asli Papua. Hal ini penting, agar kita semua memiliki satu kesamaan sikap dan semangat untuk memerangi gerakan separatism sampai ke akar-akarnya. Tidak boleh lagi ada pro-kontra atau bahkan berseberangan. Jangan sampai pula akan menimbulkan stigma sebagai pembela gerakan separatisme.

Kelompok Bersenjata Gerakan Separatisme Papua/Papua Barat, bukan hanya melakukan aksi ofensif berupa Gangguan Keamanan Bersenjata (GPK) saja. Melainkan juga membentuk kekuatan pasukan melalui pendidikan militer dan membangun daerah basis atau pangkal perlawanan. Seperti lazimnya gerakan separatism di dunia, umumnya terdiri beberapa kelompok atau front perjuangan.

Jadi, selain kelompok atau front bersenjata, masih ada front politik, baik di dalam maupun luar negeri. Tugasnya melakukan rekruitmen kader, pembentukan opini dan kegiatan diplomasi dengan mendirikan perwakilan di luar negeri. Ada pula front logistik melalui aksi kejahatan atau kriminal. Terakhir front psikologis bertugas melakukan aksi teror dan gerakan clandestein. Sehingga, ancaman gerakan separatisme di Bumi Papua tidak selalu bersifat militer saja. Melainkan juga bersifat non-militer, bahkan ancaman nir-militer.

Berdasarkan amanat konstitusi, pasal 30 ayat (3) UUD 1945, TNI terdiri dari TNI-AD, TNI-AL dan TNI-AU, sebagai alat negara bertugas untuk mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Sehingga semua hakekat ancaman yang membahayakan keutuhan dan kedaulatan negara adalah bidang tugas, wewenang dan tanggungjawab atau domain TNI.

Oleh karena itulah sebagai Pejuang Prajurit Saptamarga, tidak sepatutnya TNI lepas tangan dan menghianati amanat konstitusi. Artinya, TNI juga tidak boleh menyerahkan penanganan ancaman gerakan separatisme menjadi tugas, wewenang dan tanggungjawab (domain) Polri. Justru ini adalah jelas-jelas sebagai domain TNI.

Jangan sampai hanya karena kesalahannya di era Orde Baru, kemudian TNI menurut saja dengan irama gendang LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau pihak asing. Mereka gencar dan sistematik menuntut agar TNI mengurangi kekuatan pasukan di daerah-daerah. Sehingga hanya tinggal satuan organik Kodam di Papua maupun papua Barat saja.

Tujuan agar TNI mengurangi pasukan di Papua maupun Papua Barat, tentu saja supaya gerakan separatisme ini menjadi lebih leluasa, tanpa ada gangguan dalam melakukan gerakan bawah tanah (clandestein). Sehingga mereka bisa lebih bebas membangun kekuatan. TNI juga ditakut-takuti agar tidak melakukan operasi apapun, agar tidak melakukan pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) berat. Jadi ini jelas upaya untuk menjatuhkan moral TNI.

Di Papua maupun Papua Barat hanya mengandalkan pasukan Batalyon Infanteri (Yonif), Batalyon Zeni Tempur (Yonzipur) maupun Detasemen Zeni Tempur (Denzipur) saja. Di Papua hanya ada empat Yonif dan tiga Denzipur ditambah satu Detasemen kavaleri (Denkav). Mestinya tiga Denzipur ini ditingkatkan menjadi tiga Yonzipur. Sehingga bisa terbentuk Resimen Zipur. Untuk mendukung Brigade Infanteri di Papua. Sedangkan di Papua Barat, hanya ada tiga Yonif dan satu Yonzipur saja.

Jelas kekuatan ini kurang jika untuk menghadapi perang gerilya oleh Gerakan separatisme. Perlu penambahan pasukan-pasukan dari Kostrad maupun Raider Kodam untuk mengepung tentara separatis OPM (Organisasi Papua Merdeka). Sementara pasukan khusus memang bertugas secara rahasia masuk ke daerah musuh.

Strategi

Menghadapi ancaman gerakan separatisme menjadi tugas, wewenang dan tanggungjawab TNI, walau tidak selalu bersifat militer atau operasi tempur. Maka kebijakan dan strategi penaggulangannya, jangan membuat Papua dan papua Barat sebagai DOM (Daerah Operasi Militer). Jika dengan kebijakan DOM, maka tindakannya akan bersifat represif. Di sini TNI dapat terprovokasi melakukan tindakan di luar batas kepatutan sebagai pelanggaran HAM berat.

Oleh karena itu, dalam menghadapi aksi ofensif gerakan separatisme yang bersifat non-tempur, maka kebijakan dan strateginya dengan melakukan tindakan yang bersifat pencegahan (preventif), dan penangkalan (deterence). Misalnya dengan mendayagunakan seluruh personil dan peralatan Zeni, seperti buldozer, escafator, pailloder, dump-truk, penjernih air, alat pertukangan dll. Melalui kegiatan operasi Bhakti TNI untuk membantu pemerintah daerah yang telah menerima dana Otsus.

Dalam mempercepat jalannya roda pembangunan yang harus dilakukan TNI, di antaranya: Pertama; membangun infrastruktur kewilayahan seperti jalan dan jembatan dari kampung ke kampung serta membangun rumah maupun permukiman. Kedua; menyukseskan program pencetakan lahan pertanian atau perkebunan di sekitar kampung-kampung sambal membangun bendungan, dan saluran irigasi.

Ketiga; menggelar program TMMD (TNI Manunggal Masuk Desa) dan kegiatan sejenis untuk membatasi ruang gerak front bersenjata dalam melakukan manuver, bersembunyi dan membangun daerah basis perlawanan.

Keempat, membantu penambahan jumlah penduduk dan jumlah desa. Sehingga wilayah tersebut menjadi sentra pengembangan wilayah agro. Antara lain melalui program tranmigrasi, termasuk Transmigrasi Angkatan Darat (Transad), Transmigrasi Angkatan Laut (Transal), Transmigrasi Angkatan Udara (Transau) maupun program swa-sembada pangan dll. Hal ini penting agar hutan dan gunung tidak lagi dikuasai gerakan separatis. Kemudian terwujud pula peningkatan heterogenitas penduduk, untuk memperkokoh wawasan kebangsaan Indonesia.

Kelima; mendayagunakan pasukan Kostrad maupun Kodam yang sedang bertugas dalam operasi pengamanan perbatasan, melalui program pembangunan Desa-Saptamarga. Sekaligus berfungsi sebagai titik kuat dari pembangunan desa-desa yang mengelilinginya. Apalagi dalam kasus terakhir pada sabtu (20/11/2021) lalu diungkap bahwa senjata-senjata OPM diperoleh dari negara Papua Nugini. Sehingga wilayah perbatasan harus semakin diperkuat lagi dengan pasukan TNI.

/selamatgintingofficial

No comments:

Post a Comment

Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...