Photos: istockphoto.com |
Jika pejabat negara akan maju dalam kontestasi pemilihan presiden (pilpres), namun menolak mengundurkan diri, akan menimbulkan konflik kepentingan yang merugikan negara. Sulit dibedakan posisi sebagai pejabat negara atau bakal calon presiden atau wakil presiden (capres/cawapres).
Menjadi bias, apakah Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan atau sebagai bakal capres? Apakah Ganjar Pranowo sebagai gubernur atau sebagai bakal capres? Jika sebagai Gubernur Jawa Tengah, mengapa banyak beraktivitas di Jakarta? Ini yang disebut sebagai konflik kepentingan.
Contohnya, jelang pilpres 2014 Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa yang akan maju sebagai bakal cawapres, mengundurkan diri sebagai menteri kabinet. Saat itu Hatta Rajasa didampingi bakal capres Prabowo Subianto menghadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menyerahkan surat pengunduran diri sebagai menteri.
Apa yang dilakukan Hatta Rajasa pada 2014 lalu, mestinya sekarang diikuti Prabowo, Ganjar maupun para menteri yang akan mengikuti kontestasi pilpres. Apa yang dilakukan Presiden SBY mestinya juga ditiru Pesiden Jokowi. Tirulah yang bagus dan bukan berkelit mencari celah.
Contoh baik lainnya, Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Laiskodat baru saja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala daerah. Alasannya, Viktor akan maju sebagai anggota DPR periode 2024-2029 dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Pengunduran diri Viktor Laiskodat sebagai Gubernur NTT, karena persyaratan untuk maju sebagai caleg. Itu kan bagus dan bisa menjadi contoh baik. Mengapa tidak diikuti Ganjar.
Memang, Mahkamah Konstitusi (MK) membolehkan menteri yang ingin maju sebagai capres atau cawapres tidak perlu mundur dari jabatannya. Putusan ini berdasarkan permohonan dari Partai Garuda yang menguji Pasal 170 ayat (1) Undang Undang tentang Pemilu.
Keputusan MK yang ambigu, karena tidak sepenuhnya dikabulkan. Apalagi uji materi itu diajukan partai di luar parlemen dan partai itu tidak memiliki menteri. Dalam keputusan itu tetap dengan catatan harus mendapatkan izin dari Presiden. Masalahnya justru di sini, jika presiden bersikap tidak netral, atau cawe-cawe karena memiliki kandidat untuk pilpres, bagaimana?
Conflict of Interest
Kepentingan pribadinya tidak akan bisa dihindari. Termasuk menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan politik praktisnya dalam meraih kekuasaan. Cara meraih kekuasaan seperti ini tidak elok dari segi etika politik.
Dalam Pasal 43 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, disebutkan konflik kepentingan terjadi apabila dalam menetapkan keputusan dilatari kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi, seperti ingin menjadi presiden atau wakil presiden, masuk dalam kategori konflik kepentingan.
Conflict of interest itu akan berujung pada gratifikasi atau suap untuk meraih kekuasaan. Maka kelemahan sistem jika pejabat negara menolak mundur saat maju dalam kontestasi pilpres, harus diperbaiki.
Mana mungkin, pejabat negara yang juga berperan sebagai bakal capres maupun cawapres bisa menjalankan jabatannya secara profesional, independen, dan akuntabel. Jelas kental sekali niat politiknya untuk meraih kekuasaan daripada menuntaskan pekerjaan utamanya sebagai pejabat negara dan pelayan masyarakat.
Pejabat negara itu, setidaknya harus mengutamakan empat hal. Pertama, bekerja untuk kepentingan publik dan bukan bekerja memikirkan keuntungan pribadi dari jabatannya. Kedua, menciptakan keterbukaan dalam penanganan dan pengawasan, sehingga memiliki integritas tinggi. Ketiga, bertanggungjawab dan menjadi contoh teladan. Keempat, mampu menciptakan budaya kerja yang menolak konflik kepentingan.
Jika empat hal itu tidak sanggup dilaksanakan, sebaiknya tidak usah berpikir untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi, seperti presiden atau wakil presiden.
/sgo
No comments:
Post a Comment