Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

17 June 2019

Jenderal Sarwo, Isu Makar dan Flamboyan Terbuang


Foto: Wikipedia

Oleh Selamat Ginting

Mengapa Jenderal Sarwo diisukan akan melakukan makar? Mengapa ia terbuang dari lingkaran kekuasaan?

Penangguhan penahanan terhadap mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen dan mantan Komandan Jenderal Kopassus Soenarko, tak berujung. Kedua jenderal itu tetap tidak bisa menikmati dua hari Idul Fitri 1440 Hijriah atau 2019 Masehi. Mereka masih di rumah tahanan (rutan) Polisi Militer Kodam Jaya di Guntur, Jakarta Selatan.
“Belum ada info lebih lanjut soal penangguhan penahanan,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo kepada wartawan  di Jakarta, Selasa (4/6/2019) lalu. Artinya, kedua jenderal pensiunan itu tetap ditahan saat Idul Fitri.
Kasus Jenderal Kivlan dan Narko mengingatkan penulis pada 30 tahun lalu, sekitar 1989-1990. Saat masih menjadi mahasiswa FISIP, jurusan ilmu politik, Universitas Nasional, Jakarta.  Sejak mahasiswa, turut simpati terhadap kasus yang menimpa sejumlah jenderal yang dizalimi dan beroposisi era Presiden Soeharto .

Jenderal sederhana
Pada 1989, misalnya. Bersama sejumlah aktivis mahasiswa Unas, datang malam hari ke Komplek Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur. Melayat almarhum Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, yang wafat pada November 1989.  Bagi penulis, Jenderal Sarwo adalah pahlawan yang berhasil menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965-1967.

Sarwo sebagai jenderal sederhana dan bersahaja. Bukan pencitraan! Tinggal di rumah dinas Kopassus tipe 70. Rumah perwira tinggi,  bintang tiga, seperti layaknya rumah komandan kompi, untuk pangkat lettu senior atau kapten. Sederhana dan tidak cukup luas. Bangunan dan perabotan rumahnya juga sederhana. Bukan seperti bayangan semula. Bayangan semula seperti rumah dinas Komplek Perwira Tinggi Angkatan Darat di belakang Gedung Balai Kartini, Jl Gatot Subroto, Jakarta Selatan.

Ia memang jenderal flamboyan. Tingkah laku tentara ini menarik perhatian dan mudah dikenali wartawan. Mahasiswa tahun 1965-1967 menyukai penampilannya dengan baret merah, loreng darah mengalir, dan keakrabannya dengan kelompok pemuda, mahasiswa, dan pelajar yang anti PKI.  Kolonel Sarwo melindungi demonstrasi menentang Presiden Sukarno dalam aksi Tritura (tiga tuntutan rakyat).

Aksi gelombang demonstrasi Tritura pada Januari 1966 muncul karena pemerintah Sukarno tidak segera mengambil tindakan membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keadaan negara semakin parah dari sisi politik dan ekonomi.  Harga barang-barang naik sangat tinggi, terutama bahan bakar minyak (BBM).  Tuntutan Tritura adalah; pembubaran PKI, perombakan kabinet Dwikora, dan turunkan harga pangan.

Kembali ke rumah duka Sarwo Edhie pada malam menjelang hari Pahlawan 1989. Malam itu, tidak terlihat sosok Letkol (Infanteri) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menantu Sarwo Edhie. Dari daftar riwayat hidupnya, SBY sedang menjadi perwira siswa Seskoad di Bandung. Ada tiga menantu Sarwo yang saat itu juga berpangkat sama. Selain SBY (lulusan Akmil 1973), ada Letkol Erwin Sudjono (Akmil 1975), dan Letkol Hadi Utomo (Akmil 1970).
Sarwo memang sederhana. Bahkan irit sekali, karena tidak memiliki cukup uang. Supaya irit dan tidak bolak balik cuti meninggalkan tugasnya sebagai duta besar di Korea Selatan, ia sampai menikahkan tiga putrinya sekaligus dalam satu hari.

Mereka menikah pada akhir Juli 1976. Hal itu diungkapkan almarhumah Kristiani Herrawati dalam buku ‘Ani Yudhoyono Kepak Sayap Putri Prajuirit’. Putri kedua Sarwo, Wrahasti Cendrawasih menikah dengan Erwin Sudjono. Putri ketiga, Kristiani Herrawati menikah dengan SBY. Putri keempat, Mastuti Rahayu menikah dengan Hadi Utomo.  Putri pertama Sarwo, Wijiasih Cahyasasi sudah menikah lebih dahulu di Korea Selatan.
Itulah empat putri Sarwo Edhie. Anak kelimanya adalah Pramono Edhie Wibowo. Ia mengikuti jejak ayahnya menjadi Kopassus. Saat ayahnya wafat, Pramono Edhie sudah berpangkat Kapten (Infanteri). Anak keenam, Retno Cahyaningtyas dan ketujuh Hartanto Edhie Wibowo.

King Maker
Siapa sesungguhnya Sarwo pada saat pemerintahan Presiden Soeharto? Menurut wartawan senior dan guru besar ilmu politik, Prof Dr Salim Said dalam buku ‘Menyaksikan 30 tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016)’, nasib Sarwo senaas beberapa ‘king maker’ lainnya. King maker adalah istilah bagi sosok yang membuat orang lain menjadi raja.

Sarwo berperan menjadikan Jenderal Soeharto sebagai Presiden. Ia menjadi Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang kini dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Komandan RPKAD yang menghabisi PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur era 1965-1967.  Soeharto resmi menjadi presiden pada 1968.

Setelah menjadi Komandan RPKAD yang legendaris, ia  dipromosikan menjadi Panglima Kodam Bukit Barisan di Medan (1967-1968). Kemudian Panglima Kodam Cenderawasih di Jayapura (1968-1970). Saat menjadi Panglima di Medan, cerita Salim Said, Sarwo diisukan akan melakukan kudeta (makar) terhadap Presiden Soeharto.

Sarwo terkejut dengan isu tersebut. Ia pun menghadap Presiden Soeharto membantah isu tersebut. Pak Harto tak menjawab hanya tersenyum saja, seperti gaya khasnya. Akhirnya Sarwo tahu siapa orang yang mengembuskan isu dirinya akan melakukan makar. Lingkaran intelijen Presiden Soeharto diduga berusaha menyingkirkannya dan menjauhkannya dari sang presiden.

Masih di era itu, Sarwo pun akan diplot menjadi duta besar di Uni Soviet. Rumors tersebut  membuat morilnya jatuh. Bagaimana mungkin ia yang memberangus komunis di Indonesia, kemudian akan di tempatkan di Moskow. Negeri ‘tirai besinya’ komunis. Sebuah penghinaan baginya. Ia merasa kembali ‘dikerjain’ kelompok intelijen di lingkaran Soeharto.  Hal tersebut terungkap dalam buku ‘Ani Yudhoyono Kepak Sayap Putri Prajuirit’.

Namun, rencana penempatan itu batal. Sarwo justru dipindahkan menjadi Panglima Kodam Cendrawasih. Situasi genting, karena akan ada penentuan pendapat rakyat (pepera) 1969 atau referendum rakyat Irian Jaya. Apakah akan tetap memlih Indonesia atau ikut Belanda? Nasib karier militer Sarwo juga akan ditentukan di sini.

Hasilnya, rakyat Irian Jaya tetap memilik Indonesia sebagai Ibu Pertiwinya.  Keberhasilan Brigjen Sarwo di Irian Jaya tidak lantas mengangkat karier militernya. Misalnya menjadi panglima Kodam di Pulau Jawa. Ia justru dipromosikan menjadi mayjen dengan jabatan Gubernur Akabri di Magelang selama empat tahun (1970-1974).  Di sini hikmahnya, ia mengenal ketiga calon menantunya.

Calon Presiden
Kemudian Sarwo menjadi duta besar RI di Korea Selatan pada 1974-1978. Lalu ditugas karyakan sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Luar Negeri selama lima tahun, 1978-1983. Pensiun sebagai letjen. Ia tidak diberi kesempatan menjadi panglima Kodam di Jawa yang lebih prestise. Sehingga kehilangan kesempatan menjadi Panglima Kowilhan untuk jenderal bintang tiga. Sembilan tahun, Sarwo tanpa jabatan militer.  Jenderal tanpa pasukan membuatnya kehilangan kharisma, seperti era 1965-1967.

Usai pensiun, ia diberi tugas sebagai Kepala Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7) pada 1984-1987.  Ia juga diberi jabatan sebagai dewan pengawas Bank Bumi Daya. Kemudian namanya masuk sebagai calon Ketua DPR periode 1987-1992 dari Fraksi Golkar DPR RI.

Sarwo sudah mengundurkan diri sebagai Kepala BP-7 untuk menyongsong jabatan lain. Namun, Presiden Soeharto justru memilih Letjen Kharis Suhud sebagai Ketua DPR. Bukan dirinya. Padahal media massa memperkirakan Sarwo akan menjadi orang nomor satu di lembaga legislatif.

Sarwo kemudian mundur  teratur sebagai anggota DPR. Ia cuma menjalaninya selama sekitar setengah tahun sebagai anggota parlemen. Di balik itu, pada 1984, sesungguhnya sejumlah bekas aktivis mahasiswa 1966 sudah menghubungi Sarwo dan memintanya menjadi calon presiden periode 1988-1983. Alasan para mantan aktivis mahasiswa, Soeharto sudah 20 tahun menjadi presiden. Sudah cukup lama menduduki jabatan tersebut dan pada era itu semakin otoriter.

Pertemuan rahasia para mantan aktivis mahasiswa dengan Sarwo itu pernah diungkapkan Fahmi Idris pada penulis sekitar tahun 1999 di kantornya, Kementerian Tenaga Kerja.  Pertemuan aktivis dengan Sarwo dilakukan usai penangkapan terhadap mantan Panglima Kodam Siliwangi, Letjen (Purn) HR Dharsono.

Tuduhannya tidak main-main. Mantan sekjen ASEAN itu dituduh akan melakukan makar atau subversif pada 1984. Subversif adalah upaya pemberontakan dalam merobohkan struktur kekuasaan termasuk negara. Sedangkan maker diartikan sebagai upaya membunuh atau merampas kemerdekaan atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden dalam memerintah.

Penangkapan terhadap jenderal yang turut menjadikan Soeharto sebagai presiden itu terjadi usai sejumlah peristiwa berdarah Tanjung Priok, dan peledakan Bank BCA di dua lokasi di Jakarta. Dalam persidangan Dharsono membantah semua tuduhan makar atau subversif kepada dirinya.  Namun ia tetap harus mendekam di penjara selama lebih dari lima tahun.

Sebelum kasus yang menimpa Dharsono, para mantan aktivis mahasiswa juga sudah menjajaki kemungkinan Sarwo menjadi calon presiden, saat menjadi duta besar di Korea Selatan.  Entah Presiden Soeharto mengetahui pertemuan itu atau tidak. Yang  jelas, Sarwo terus ‘dikurung’ dalam jabatan-jabatan yang tidak populer. Soeharto memang cenderung tidak menyukai jenderal-jenderal popular di lingkarannya. Tidak boleh ada dua matahari kembar, begitulah dalam konsep kekuasaan Jawa. Satu harus terbuang. Sang flamboyant harus terbuang.

Setahun setelah mengundurkan diri sebagai anggota DPR, Sarwo wafat dalam usia 64 tahun. Sang flamboyan yang bersahaja itu disemayamkan di Jalan Flamboyan, Komplek Kopassus, Cijantung.  Ia dimakamkan pada Hari Pahlawan di pemakaman keluarga di Mupasan, Purworejo, Jawa Tengah.

Untuk mengormati jasa Sarwo Edhie, pada 1997, Presiden Soeharto memberikan kenaikan pangkat kepada mantan anak buahnya itu. Almarhum Sarwo menjadi jenderal kehormatan bintang empat bersama mantan kepala staf pertama Angkatan Darat, almarhum GPH Djatikusumo.

/selamatgintingofficial

02 January 2019

Ambarawa dan Hilangnya Dua Nama Jenderal

Oleh 
Selamat Ginting
Jurnalis


Taiching: 
Palagan Ambarawa memunculkan nama-nama besar sesepuh TNI. Nama-nama legendaris. Namun, dua nama jenderal tidak terpatri di markas besar tentara. Mengapa? 

Sekitar 40 kilometer dari Kota Semarang, Jawa Tengah. Di situlah Ambarawa. Sebuah daerah di Kabupaten Semarang yang dikenal  memiliki sejarah militer yang melegenda. Legenda itu bisa dilihat pada Monumen Palagan Ambarawa. Simbol sejarah pertempuran pada 12 Desember hingga 15 Desember 1945. 

Saat itu, pasukan Sekutu (Belanda dan Inggris) terdesak di Magelang. Mereka mundur ke Ambarawa. Pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dipimpin Panglima Besar TKR, Jenderal  Soedirman berhasil menghancurkan Sekutu pada 15 Desember 1945.  Hari tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Infanteri TNI Angkatan Darat. Infanteri adalah korps induk tentara. 

“Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 163/1999, Hari Infanteri kemudian diganti dengan nama Hari Juang Kartika,” seperti diungkap dalam catatan Dinas Sejarah Angkatan Darat.

Museum Palagan Ambarawa Semarang, dengan latar belakang lukisan besar, menggambarkan jalannya pertempuran dahsyat tersebut. Foto hitam putih tokoh-tokoh penting yang terlibat dalam pertempuran Ambarawa bisa dilihat di museum ini.  Di antaranya; Wakil Panglima Besar TKR, Kolonel (Infanteri) AH Nasution;  Panglima Divisi IV, Kolonel (Zeni) GPH Jati Kusumo. Djatikusumo memainkan peran penting dalam pengepungan dan pengejaran tentara Sekutu. Ada pula nama, Panglima Divisi V, Kolonel (Infanteri) Gatot Subroto. Gatot aktif melakukan pengejaran tentara Sekutu dari Magelang.

Ambarawa penuh kenangan perjuangan para tokoh-tokoh tersebut.  Soedirman mengakui sejumlah kemampuan militer, teknik, serta bahasa dan diplomasi  dari Kolonel (Zeni) GPH Djatikusumo. Ia pun mengusulkan Gubrnur Akademi Militer Yogyakarta, Djatikusumo menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang pertama, 1948-1949. Usulan itu disetujui Presiden Sukarno.

Tanpa KSAD

Dua pekan lalu, TNI Angkatan Darat kembali memeringati Hari Juang Kartika 2018 di Ambarawa. Namun ada peristiwa janggal. KSAD, Jenderal Andika Perkasa (Akmil 1987/Infanteri), berhalangan hadir pada hari bersejarah tersebut. Sebagai inspektur upacara pengganti, Wakil KSAD, Letjen Tatang Sulaiman (Akmil 1986/Infanteri) didampingi Pangdam Diponegoro, Mayjen M Effendi (Akmil 1986/Zeni). 

Andika bersama Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto mendampingi Presiden Joko Widodo dalam kunjungan kerja ke Sumatra. Antara lain menemui para Babinsa (Bintara Pembina Desa). Acara bertemu Babinsa memang penting, namun memimpin puncak peringatan Hari Juang Kartika, tak bisa diabaikan, karena nilai sejarahnya yang tinggi. 

Peristiwa tak hadirnya KSAD, bagaikan Hari Proklamasi, tidak dihadiri Presiden RI. Seperti juga Hari TNI namun tidak dihadiri Panglima TNI. “Sebenarnya bisa saja, KSAD menunda upacara Hari Juang Kartika, pada sore atau malam hari. Atau diundur satu hari, agar ia bisa menghadiri hari bersejarah tersebut,” sesal seorang perwira tinggi bintang tiga purnawirawan.

“Bukankah Hari Juang Kartika sudah jauh terjadwal daripada mendampingi kunjungan kerja presiden? Bukankah sudah ada tiga pangdam sebagai petinggi Angkatan Darat di Sumatra? Mengapa hari bersejarah itu diabaikan,” kata perwira tinggi bintang dua lainnya.

Ya, di Sumatra sudah ada Pangdam Iskandar Muda, Mayjen Teguh Arif Indratmoko (Akmil 1988 A/Infanteri); Pangdam Bukit Barisan, Mayjen M Sabrar Fadhilah (Akmil 1988 A/Infanteri; dan Pangdam Sriwijaya, Mayjen Irwan Zaini (Akmil 1987/Zeni).

Almarhum Jenderal Besar Soedirman dan Jenderal Kehormatan (Purn) GPH Djatikusumo mungkin akan bersedih hati jika mengetahui kejanggalan tidak hadirnya KSAD pada Hari Juang Kartika 2018 lalu. 

Tapi sudahlah. Itu sudah terjadi. Ini kali pertama dalam sejarah, KSAD tidak hadir dalam puncak acara Hari Juang Kartika. Semoga tidak aka ada peristiwa seperti itu lagi di kemudiain hari.

Hari Juang Kartika bukan sekadar peringatan belaka, makna sejarahnya tinggi sekali. Di situ pula TNI, ketika masih bernama TKR, menyatu dengan rakyat mengusir penjajah dalam mempertahankan kemerdekaan. 

Tanpa pamrih

Para petinggi TKR, seperti: Soedirman, Kepala Staf Umum  TKR Letjen Oerip Soemohardjo, Kolonel (Zeni) GPH Djatikusmo, Kolonel (Infanteri) AH Nasution, Kolonel (Zeni) TB Simatupang, Kolonel (Infanteri) Gatot Subroto dalam perjuangannya, selalu berada di tengah-tengah masyarakat. Menyatu bersama rakyat.

Model komunikasi yang terbangun dalam perang gerilya itu kemudian menjadi konsep operasi teritorial. Wafatnya Panglima Besar Jenderal Soedirman pada 1950, dilanjutkan pimpinan TNI penerusnya.

Jika membuka sejarah, maka sesungguhnya, jabatan Panglima TNI, pertama kali dijabat Jenderal Soedirman. Saat itu bernama Panglima Besar TKR. Sebagai panglima pertama, Jenderal Soedirman tidak dipilih oleh Presiden Sukarno, melainkan dipilih para panglima divisi TKR. 

Melalui sebuah rapat dipimpin Oerip Soemohardjo dan disebut Konferensi TKR pada 2 November 1945. Kurang dari tiga tahun Oerip sebagai Kasum TKR mendampingi Soedirman. Pada 1948 Letjen Oerip mengundurkan diri dari dinas militer.   

Setelah Jenderal Soedirman wafat, tidak dipilih panglima baru. Sebagai gantinya dipilih Kolonel (Zeni) TB Simatupang sebagai Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) pada 1950-1953. Ia membawahi para kepala staf angkatan (ADRI, ALRI, AURI). 

Pada 1955 jabatan KSAP dihapus. Sebagai gantinya dibentuk jabatan Gabungan Kepala-Kepala Staf. AH Nasution menduduki jabatan ini dari 1955-1959. Kemudian digantikan Laksamana Udara Soerjadi Soerjadarma pada 1959-1961. 

Soerjadarma awalnya perwira Korps Infanteri Angkatan Darat Belanda. Kemudian pindah menjadi personel AD Indonesia dan kemudianan diminta Presiden Sukarno membentuk Angkatan Udara. Ia lulusan Akmil Breda Belanda pada 1934. Soerjadarma adalah KSAU pertama pada 1946-1962). 

Pada 1962 jabatan Gabungan Kepala-Kepala Staf dihapus dan dibentuk jabatan Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB). AH Nasution kembali menjadi orang pertama yang menjadi  KSAB. Jabatan ini berlangsung hingga Maret 1966. 

Letnan Jenderal TB Simatupang dan Jenderal AH Nasution adalah alumni Akademi Militer Belanda di Bandung, tahun 1942. Saat kadet, Nasution memilih jurusan infanteri dan Simatupang memilih jurusan zeni.

Nah, jika mengunjungi Mabesad maupun Mabes TNI, terasa ada yang aneh dari sisi sejarah. Sebab tidak ada gedung yang menggunakan nama GPH Djatikusumo maupun TB Simatupang. Aneh, sebab Djatikusumo adalah orang pertama yang menjdi KSAD. Simatupang pun orang pertama yang menjadi KSAP, nama lain sebelum diubah menjadi KSAB, dan Panglima ABRI (Pangab).  

Memang ada gedung GPH Djatikusumo, namun adanya di Pusdik Zeni Angkatan Darat di Bogor. Baik GPH Djatikusumo, TB Simatupang, AH Nasution, Soedirman, Oerip Soemohardjo, dan Gatot Subroto, masing-masing telah dikukuhkan sebagai pahlawan nasional melalui keputusan Presiden RI. 

Mengapa TNI lalai terhadap sesepuhnya sendiri? Bacalah sejarah bagaimana para pionir TNI dengan rela dan ikhlas turun pangkat dan jabatan. Kecuali Soedirman, semuanya pernah mengalami penurunan pangkat dan jabatan. Mereka, Soedirman dkk berjuang tanpa pamrih.

Operasi Binter TNI Hadapi Proxy War

Oleh: 
Selamat Ginting
Jurnalis Republika


Model komunikasi yang terbangun dalam perang gerilya, menjadi konsep operasi teritorial. Wafatnya Panglima Besar Jenderal Soedirman pada 1950, dilanjutkan pimpinan TNI penerusnya.

Kemudian dilanjutkan dan dikembangkan lagi oleh Jenderal Abdul Haris Nasution yang mengenalkan konsep operasi terstruktur. Dikenal dengan sebutan Operasi Pembinaan  Teritorial (Binter) TNI melalui metode komunikasi sosial (Komsos) TNI.

Operasi Binter melalui Komsos semakin terlembaga setelah Jenderal Soeharto menjadi Presiden RI menggantikan Presiden Sukarno. Binter yang berfokus pada Komsos  dijadikan instrumen penting oleh Presiden Soeharto untuk menanggulangi ancaman dan berbagai gerakan anti Pancasila yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI). 

“Satuan Komando Teritorial TNI AD yang tergelar dari  tingkat pusat sampai tingkat kecamatan dan desa menjadi pelaksana Binter yang difokuskan pada kegiatan komunikasi sosial dan pembinaan ketahanan masyarakat dan wilayah (Bintahwil), serta Bakti TNI,” kata Mayjen (Purn) Wiyarto (Akmil 1985 / Infanteri). Ia pernah menjadi Aster Panglima TNI, Pangdam Pattimura, Aster KSAD, Kasdam Mulawarman, dan Wakil Aspers KSAD. 

Pasca pemerintahan Orde Baru, TNI semakin mengedepankan pendekatan komunikasi sosial dengan masyarakat.  Saat TNI dipimpin Jenderal Gatot Nurmantyo,  dicanangkan  program  binter yang komprehensif. Dikenal dengan istilah Serbuan Teritorial. 

“Ini merupakan implementasi komitmen TNI dalam membantu pemerintah mempercepat program pembangunan guna mewujudkan tatanan masyarakat yang berkembang maju dan sejahtera,” ujar Wiyarto.

Antara lain, lanjutnya, melalui berbagai program sinergi lintas sektoral antar-pemangku kepentingan dari unsur pemerintahan. Seperti bakti TNI, karya bakti, pembinaan ketahanan masyarakat dan wilayah (Bintahwil), serta komunikasi sosial untuk pemberdayaan masyarakat.

Dukungan rakyat

Di sisi lain, menurut Mayjen Agung Risdhianto (Akmil 1985 / Infanteri), pada era reformasi, TNI memandang penting untuk benar-benar membangun kesepahaman dengan rakyat melalui komunikasi sosial. Hal ini disadari sebagai prasyarat dalam mewujudkan keamanan dan keselamatan bangsa. 

“Beratnya tugas dan tanggung jawab TNI dalam mewujudkan sistem pertahanan, terlebih dalam sistem pertahanan darat, merupakan tugas pokok TNI-AD yang harus direalisasikan dengan sishanta (sistem pertahanan semesta,” ujar Agung, perwira tinggi staf khusus KSAD. 

Agung pernah menjadi Komandan Kodiklat TNI, Asops Panglima TNI, Pangdam Tanjungpura, Komandan Pusterad, Wadan Kodiklatad, serta Komandan Seskoad. 

Sishanta, menurut Agung, mensyaratkan adanya dukungan mutlak secara langsung dari rakyat. Hal ini membuat TNI berkomitmen membangun komunikasi sosial kemasyarakatan yang lebih dialogis dan persuasif.

Argumen Wiyarto dan Agung Risdhianto tentang konsep terotorial TNI, bisa dipahami. Sebab dalam konteks pertahanan Indonesia, sejatinya perang hanya untuk mempertahankan kedaulatan negara. Dilakukan secara ‘semesta’, yakni, melibatkan semua komponen sumber daya negara, termasuk rakyat.  

Pada tataran ini, TNI perlu menjalin komunikasi yang erat dan harmonis dengan rakyat. Sinergi TNI-Rakyat dalam model pertahanan khas Indonesia ini diwujudkan secara implementatif di mana TNI akan berperan sebagai komponen utama. Sedangkan rakyat sebagai komponen pendukung. 

Untuk itu, TNI dan rakyat harus memiliki semangat rasa persatuan yang solid dan manunggal. Perwujudan kondisi ini menjadi semakin penting dan mendesak mengingat spektrum ancaman di era global ini sangat berat dan kompleks, berupa ancaman proxy war. Bentuk peperangan antarnegara yang bersifat halus, tidak menggunakan kekuatan militer.

Posting Terkini

Selamat Ginting Prediksi Dudung Kepala BIN, Agus Subiyanto KSAD

Photo: tribunnews.com Analis politik dan militer Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting memprediksi Jenderal Dudung Abdurachman akan me...