Oleh
Selamat Ginting
Jurnalis
Taiching:
Palagan Ambarawa memunculkan nama-nama besar sesepuh TNI. Nama-nama legendaris. Namun, dua nama jenderal tidak terpatri di markas besar tentara. Mengapa?
Sekitar 40 kilometer dari Kota Semarang, Jawa Tengah. Di situlah Ambarawa. Sebuah daerah di Kabupaten Semarang yang dikenal memiliki sejarah militer yang melegenda. Legenda itu bisa dilihat pada Monumen Palagan Ambarawa. Simbol sejarah pertempuran pada 12 Desember hingga 15 Desember 1945.
Saat itu, pasukan Sekutu (Belanda dan Inggris) terdesak di Magelang. Mereka mundur ke Ambarawa. Pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dipimpin Panglima Besar TKR, Jenderal Soedirman berhasil menghancurkan Sekutu pada 15 Desember 1945. Hari tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Infanteri TNI Angkatan Darat. Infanteri adalah korps induk tentara.
“Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 163/1999, Hari Infanteri kemudian diganti dengan nama Hari Juang Kartika,” seperti diungkap dalam catatan Dinas Sejarah Angkatan Darat.
Museum Palagan Ambarawa Semarang, dengan latar belakang lukisan besar, menggambarkan jalannya pertempuran dahsyat tersebut. Foto hitam putih tokoh-tokoh penting yang terlibat dalam pertempuran Ambarawa bisa dilihat di museum ini. Di antaranya; Wakil Panglima Besar TKR, Kolonel (Infanteri) AH Nasution; Panglima Divisi IV, Kolonel (Zeni) GPH Jati Kusumo. Djatikusumo memainkan peran penting dalam pengepungan dan pengejaran tentara Sekutu. Ada pula nama, Panglima Divisi V, Kolonel (Infanteri) Gatot Subroto. Gatot aktif melakukan pengejaran tentara Sekutu dari Magelang.
Ambarawa penuh kenangan perjuangan para tokoh-tokoh tersebut. Soedirman mengakui sejumlah kemampuan militer, teknik, serta bahasa dan diplomasi dari Kolonel (Zeni) GPH Djatikusumo. Ia pun mengusulkan Gubrnur Akademi Militer Yogyakarta, Djatikusumo menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang pertama, 1948-1949. Usulan itu disetujui Presiden Sukarno.
Tanpa KSAD
Dua pekan lalu, TNI Angkatan Darat kembali memeringati Hari Juang Kartika 2018 di Ambarawa. Namun ada peristiwa janggal. KSAD, Jenderal Andika Perkasa (Akmil 1987/Infanteri), berhalangan hadir pada hari bersejarah tersebut. Sebagai inspektur upacara pengganti, Wakil KSAD, Letjen Tatang Sulaiman (Akmil 1986/Infanteri) didampingi Pangdam Diponegoro, Mayjen M Effendi (Akmil 1986/Zeni).
Andika bersama Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto mendampingi Presiden Joko Widodo dalam kunjungan kerja ke Sumatra. Antara lain menemui para Babinsa (Bintara Pembina Desa). Acara bertemu Babinsa memang penting, namun memimpin puncak peringatan Hari Juang Kartika, tak bisa diabaikan, karena nilai sejarahnya yang tinggi.
Peristiwa tak hadirnya KSAD, bagaikan Hari Proklamasi, tidak dihadiri Presiden RI. Seperti juga Hari TNI namun tidak dihadiri Panglima TNI. “Sebenarnya bisa saja, KSAD menunda upacara Hari Juang Kartika, pada sore atau malam hari. Atau diundur satu hari, agar ia bisa menghadiri hari bersejarah tersebut,” sesal seorang perwira tinggi bintang tiga purnawirawan.
“Bukankah Hari Juang Kartika sudah jauh terjadwal daripada mendampingi kunjungan kerja presiden? Bukankah sudah ada tiga pangdam sebagai petinggi Angkatan Darat di Sumatra? Mengapa hari bersejarah itu diabaikan,” kata perwira tinggi bintang dua lainnya.
Ya, di Sumatra sudah ada Pangdam Iskandar Muda, Mayjen Teguh Arif Indratmoko (Akmil 1988 A/Infanteri); Pangdam Bukit Barisan, Mayjen M Sabrar Fadhilah (Akmil 1988 A/Infanteri; dan Pangdam Sriwijaya, Mayjen Irwan Zaini (Akmil 1987/Zeni).
Almarhum Jenderal Besar Soedirman dan Jenderal Kehormatan (Purn) GPH Djatikusumo mungkin akan bersedih hati jika mengetahui kejanggalan tidak hadirnya KSAD pada Hari Juang Kartika 2018 lalu.
Tapi sudahlah. Itu sudah terjadi. Ini kali pertama dalam sejarah, KSAD tidak hadir dalam puncak acara Hari Juang Kartika. Semoga tidak aka ada peristiwa seperti itu lagi di kemudiain hari.
Hari Juang Kartika bukan sekadar peringatan belaka, makna sejarahnya tinggi sekali. Di situ pula TNI, ketika masih bernama TKR, menyatu dengan rakyat mengusir penjajah dalam mempertahankan kemerdekaan.
Tanpa pamrih
Para petinggi TKR, seperti: Soedirman, Kepala Staf Umum TKR Letjen Oerip Soemohardjo, Kolonel (Zeni) GPH Djatikusmo, Kolonel (Infanteri) AH Nasution, Kolonel (Zeni) TB Simatupang, Kolonel (Infanteri) Gatot Subroto dalam perjuangannya, selalu berada di tengah-tengah masyarakat. Menyatu bersama rakyat.
Model komunikasi yang terbangun dalam perang gerilya itu kemudian menjadi konsep operasi teritorial. Wafatnya Panglima Besar Jenderal Soedirman pada 1950, dilanjutkan pimpinan TNI penerusnya.
Jika membuka sejarah, maka sesungguhnya, jabatan Panglima TNI, pertama kali dijabat Jenderal Soedirman. Saat itu bernama Panglima Besar TKR. Sebagai panglima pertama, Jenderal Soedirman tidak dipilih oleh Presiden Sukarno, melainkan dipilih para panglima divisi TKR.
Melalui sebuah rapat dipimpin Oerip Soemohardjo dan disebut Konferensi TKR pada 2 November 1945. Kurang dari tiga tahun Oerip sebagai Kasum TKR mendampingi Soedirman. Pada 1948 Letjen Oerip mengundurkan diri dari dinas militer.
Setelah Jenderal Soedirman wafat, tidak dipilih panglima baru. Sebagai gantinya dipilih Kolonel (Zeni) TB Simatupang sebagai Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) pada 1950-1953. Ia membawahi para kepala staf angkatan (ADRI, ALRI, AURI).
Pada 1955 jabatan KSAP dihapus. Sebagai gantinya dibentuk jabatan Gabungan Kepala-Kepala Staf. AH Nasution menduduki jabatan ini dari 1955-1959. Kemudian digantikan Laksamana Udara Soerjadi Soerjadarma pada 1959-1961.
Soerjadarma awalnya perwira Korps Infanteri Angkatan Darat Belanda. Kemudian pindah menjadi personel AD Indonesia dan kemudianan diminta Presiden Sukarno membentuk Angkatan Udara. Ia lulusan Akmil Breda Belanda pada 1934. Soerjadarma adalah KSAU pertama pada 1946-1962).
Pada 1962 jabatan Gabungan Kepala-Kepala Staf dihapus dan dibentuk jabatan Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB). AH Nasution kembali menjadi orang pertama yang menjadi KSAB. Jabatan ini berlangsung hingga Maret 1966.
Letnan Jenderal TB Simatupang dan Jenderal AH Nasution adalah alumni Akademi Militer Belanda di Bandung, tahun 1942. Saat kadet, Nasution memilih jurusan infanteri dan Simatupang memilih jurusan zeni.
Nah, jika mengunjungi Mabesad maupun Mabes TNI, terasa ada yang aneh dari sisi sejarah. Sebab tidak ada gedung yang menggunakan nama GPH Djatikusumo maupun TB Simatupang. Aneh, sebab Djatikusumo adalah orang pertama yang menjdi KSAD. Simatupang pun orang pertama yang menjadi KSAP, nama lain sebelum diubah menjadi KSAB, dan Panglima ABRI (Pangab).
Memang ada gedung GPH Djatikusumo, namun adanya di Pusdik Zeni Angkatan Darat di Bogor. Baik GPH Djatikusumo, TB Simatupang, AH Nasution, Soedirman, Oerip Soemohardjo, dan Gatot Subroto, masing-masing telah dikukuhkan sebagai pahlawan nasional melalui keputusan Presiden RI.
Mengapa TNI lalai terhadap sesepuhnya sendiri? Bacalah sejarah bagaimana para pionir TNI dengan rela dan ikhlas turun pangkat dan jabatan. Kecuali Soedirman, semuanya pernah mengalami penurunan pangkat dan jabatan. Mereka, Soedirman dkk berjuang tanpa pamrih.
No comments:
Post a Comment