Atase Pertahanan Indonesia untuk Prancis, Kolonel Enzo Zenz Allie. Itulah bayangan saya untuk 25-30 tahun yang akan datang. Sebagaimana bayangan pimpinan TNI pada awal 1960 terhadap taruna Pierre Andreas Tendean. Keduanya memiliki keturunan Prancis. Calon prajurit taruna (capratar) Enzo, ayahnya orang Prancis. Sedangkan Kapten Zeni (Anumerta) Pierre, ibunya keturunan Prancis.
“Bisa jadi athan Prancis,” kata salah seorang perwira tinggi yang suaranya terdengar saat Panglima TNI Marsekal Tjahjanto hadir dalam sidang panitia penentuan akhir (pantukhir) Akademi Militer (Akmil), awal Agustus 2019 lalu.
Bayangan saya itu, sebelum ramai kontroversi tentang jejak Enzo di media sosial. Sejak awal saya mengabaikan hiruk pikuk pemberitaan kontroversi itu. Saya yakin, TNI telah memiliki parameter penilaian terhadap calon taruna Akmil, Akademi Angkatan Laut (AAL), maupun Akademi Angkatan Udara (AAU).
Pengkaderan calon perwira melalui Akmil, AAL, dan AAU sudah diproyeksikan sejak seseorang menjadi calon prajurit taruna. Bahkan ada kejadian yang menarik pada 1955-1956. Seorang remaja bertubuh kekar dari Surabaya, namanya tidak ada dalam draft keputusan yang belum ditandatangai Direktur Zeni Angkatan Darat Brigjen GPH Djatikusumo.
Djatikusumo menilai panitia kurang cermat dan meminta memangil kembali pemuda itu untuk ditest ulang di hadapannya. Hasilnya, pemuda itu memenuhi persyaratan dari semua sisi, baik fisik, kesehatan jasamani dan rohani, akademik, mental ideologi, maupun psikologi.
Pemuda itu adalah Try Sutrisno. Djatikusmo memprediksi Try kelak akan menjadi seorang jenderal. Betul saja, Try menjadi Panglima ABRI (TNI) pertama dari lulusan Akmil. Ia lulusan Akmil Bandung 1959. Namun baru dilantik menjadi Letnan Dua (Letda) Zeni pada awal 1960.
Mengapa? Karena ia bersama seluruh teman angkatannya (1959) dan dua adik kelasnya (1960 dan 1961) bergabung dalam Batalyon Taruna Zeni (Yontarzi) sebagai satuan infanteri. Bertempur di Sumatra Barat menghadapi pergolakan PRRI/Permesta.
Perisai Nasution
Bersamanya, ikut pula Sersan Taruna Pierre Andreas Tendean dan Pujono Pranyoto (1961) dan Sersan Mayor Taruna Sudibyo (1960). Pujono Pranyoto, terakhir menjadi gubernur Lampung dengan pangkat letnan jenderal. Sudibyo terakhir menjadi Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) dengan pangkat letnan jenderal.
Adapun Pierre akhir kariernya mengenaskan sebagai perisai orang nomor satu TNI, yakni Kepala Staf ABRI (Kasab) Jenderal Abdul Haris Nasution. Ia menjadi pahlawan revolusi yang gugur dalam peristiwa G30S/PKI 1965. Pierre gugur kala menjadi ajudan Jenderal AH Nasution.
Bukan cuma Nasution yang menginginkannya menjadi ajudan. Pada awal tahun 1965, tiga jenderal TNI membutuhkan ajudan seorang perwira yang memiliki kemampuan sejumlah bahasa asing dan memiliki keberanian ekstra tinggi. Ketiga jenderal itu adalah Mayjen Hartawan Wirjodiprodjo, Menteri Bina Marga Kabinet Dwikora. Bekas Direktur Zeni Angkatan Darat 1961-1963.
Kemudian ada pula Direktur Zeni Angkatan Darat 1963-1966, Brigadir Jenderal Dandi Kadarsan. Dandi kemudian naik pangkat mayor jenderal menjadi Sekjen Departemen Pekerjaan Umum. Mayjen Dandi dan Mayjen Hartawan tentu saja harus mengalah, karena jenderal ketiga yang membutuhkan ajudan dengan kualifikasi seperti itu adalah Jenderal Abdul Haris Nasution.
Karier Pierre sudah diplot sejak awal dengan spesialisasi intelijen. Termasuk kemungkinan kelak menjadi atase militer di Prancis, seperti diramalkan Brigjen Djatikusumo, orang pertama yang menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Usai dilantik Presiden Sukarno pada 1961, Letda Zeni Pierre ditempatkan sebagai komandan peleton Batalyon Zeni Tempur (Yonzipur) 1 di Medan. Dua tahun kemudian ia ditarik mengikuti pendidikan intelijen dan ditempatkan pada Dinas Intelijen Angkatan Darat.
Ia mengawali petualangannya sebagai intelijen dengan tugas melakukan sabotase bersama tim Zeni ke Singapura. Sabotase listrik, pipa air minum, gas, jembatan, infrastruktur dan pengeboman. Ia berhasil menjalani tugas berat tersebut dan beberapa kali lolos dari kejaran tentara Inggris yang berjaga di Singapura. Mungkin ia dikira turis asing bermata biru.
Keberhasilannya itu menarik perhatian tiga jenderal untuk menjadikannya sebagai ajudan. Perwira keturunan Prancis itu gugur sebagai kapten anumerta dan menjadi pahlawan revolusi yang dikenang dalam sejarah Indonesia. Namanya antara lain diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Mampang Prapatan. Kawasan tempat ia selalu mengunjungi seniornya di Komplek Zeni Mampang yang kini sudah digusur.
Ia juga punya andil walau pun kecil terhadap pembangunan Monumen Nasional (Monas). Kala sedang libur menjadi ajudan Jenderal Nasution, ia turut bersama tim Zeni yang membangun Monas tahap pertama pada 1961-1965. Pierre mencari uang tambahan sebagai bekal untuk menikah dengan kekasihnya di Medan. Kisah kasih yang tak sampai.
Pendidikan di Akmil selama empat tahun, tentu banyak dinamika yang harus dilalui. Beberapa taruna bahkan ada yang mengalami tidak naik tingkat atau tidak naik pangkat. Bukan karena masalah akademik saja, tetapi juga persoalan disiplin.
Apakah mereka kemudian akan mati kariernya dan tidak menjadi jenderal? Belum tentu juga. Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu dan Letjen (Purn) Prabowo Subianto, misalnya. Keduanya seharusnya tamat pada 1973 bersama Jenderal Hor (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, karena dianggap indisipliner, mereka baru lulus tahun 1974. Sehingga harus menjalani lima tahun sebagai taruna.
/selamatgintingofficial