12 February 2020

Malari, Konsinyir, dan Konflik Horizontal

Foto: Republika


Oleh Selamat Ginting

Truk militer reo berwarna hijau, dengan posisi setir sebelah kiri, berhenti di depan rumah, Komplek TNI AD Berland, Jalan Kesatrian IX, Kelurahan Kebon Manggis, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur. Kendaraan angkut militer beroda 10  itu, memang setiap pagi dan sore hari berhenti di depan rumah. Itulah kendaraan bekas pakai tentara Amerika Serikat dalam perang Vietnam yang menjadi kendaraan jemputan ayahku.

Dari belakang truk turun seorang sersan dan mengetuk pintu rumah. Dengan sikap tegap memberi hormat dan menyerahkan surat perintah. “Perintah konsinyir, komandan!” kata sang sersan kepada ayahku, perwira seksi operasi Yonzikon 13, Resimen Zeni 2. Kesatuan bantuan tempur Angkatan Darat yang bermarkas di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
“Tunggu saya berpakaian lima menit,” jawab ayahku (saat itu berusia 34 tahun), seorang perwira berpangkat letnan satu Korps Zeni Angkatan Darat.

Sekejap  ayah pun berpakaian lapangan tempur hijau, lengkap dengan pistol FN  di pinggang kanan dan pisau belati di pinggang sebelah kiri.  Termasuk helm baja menutupi kepalanya.  Ransel yang memang sudah diletakkan di dekat pintu, langsung digendongnya. Menyalami dan mencium pipi ibu dan kami anak-anaknya, satu per satu. Lalu memeluk erat-erat. Kemudian setengah berlari, naik truk berpenggerak 6x6, persis di samping sopir. 

Sebagai perwira seksi operasi batalyon, tentu saja ayahku punya peran untuk menentukan langkah operasi untuk menggerakkan pasukannya di lapangan. Di bagian belakang, sudah terisi penuh sejumlah bintara dan tamtama batalyon lengkap dengan pakaian tempur lapangan, termasuk senjata laras panjang jenis SP. 

Saat itu saya yang duduk di kelas 1 sekolah dasar, tidak tahu apa-apa. Tidak tahu apa yang dimaksud dengan istilah konsinyir. Tidak tahu apa yang terjadi pada pertengahan Januari 1974 itu. Juga belum mengetahui kalau Pasar Senen, Jakarta Pusat terbakar.

Konsinyir adalah istilah militer dimana para prajurit dipersiapkan untuk menghadapi segala kemungkinan yang terburuk.  Apabila keadaan ini diberlakukan, acap kali para prajurit sama sekali tidak diperkenankan keluar kesatriaan atau kompleks. Tidak diizinkan memberitahukan kepada keluarga dan dilarang berkomunikasi dengan keluarga. Untuk menghibur keluarga prajurit, biasanya kesatuan menyiapkan layar tancap semalam suntuk. Jadi kalau ada layar tancap, kemungkinan itulah tanda-tanda konsinyir. 

Anak-anak tentara sudah paham itu. Namun jangan heran jika istri atau anak-anak tentara tidak mengetahui penugasan yang sedang dijalani oleh suami maupun sang bapak. Sudah jadi milik negara, bukan lagi milik keluarga. 
Jangan ditanya, kapan pulangnya.  Tunggu saja kabar dari utusan batalyon, apakah mengantarkan kalung identitas dan bendera  merah putih atau foto-fotonya saja. Itu artinya gugur di medan tugas. Jenazahnya di mana? Itu urusan negara! Titik.

Sebenarnya pada Januari 1974 itu menjadi hari-hari menyenangkan bagi kami. Kumpul kembali dengan sang ayah. Sebab sebelumnya selama 1,5 tahun, ia  ditugaskan ke Irian Jaya. Membangun lapangan terbang Wagette di hutan belatara, sekaligus operasi keamanan di ujung timur, Indonesia. Logistik maupun peralatannya diterjunkan dari pesawat terbang lewat parasut maupun kapal laut dan sungai-sungai. Melawan ganasnya alam dan ancaman malaria.

Rupanya baru beberapa bulan saja menikmati kebersamaan, sudah menghadapi perintah operasi lagi. Untungnya tidak lama, hanya menghadapi demonstrasi para mahasiswa dan para perusuh yang membakar sejumlah kawasan di Jakarta.
Pasukannya bergabung ke Markas Kodam V Jayakarta di kawasan Cililitan, Jakarta Timur, sebelum disebar ke titik-titik kerusuhan di Jakarta. Saat itu Panglima Kodam adalah Mayjen GH Mantik. Jenderal bintang dua berdarah Manado, Sulawesi Utara. Sementara komandan Korps Zeni AD, Brigjen Bambang S. Sedangkan Komandan Yonzikon 13, Letnan Kolonel (Zeni) Parwoto Wirjo Pranowo, alumni  Akmil Jurtek Bandung, 1960. Seangkatan dengan Soedibyo yang kelak menjadi Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin)

Peristiwa Malari, baru saya pahami dengan lengkap saat kuliah semester lima di jurusan ilmu politik di Fisip Unas, Jakarta.  Pembahasan masalah itu terungkap dalam mata kuliah konsensus dan konflik politik. Saat itu dosennya adalah Doktor Maswadi Rauf.
Itulah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Tokoh-tokohnya, antara lain  Hariman Siregar dan Syahrir. Peristiwa yang terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang, Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta, 14-17 Januari 1974.
Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Karena dijaga ketat ABRI, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. 

Pada 17 Januari 1974, pukul 08.00 WIB, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar langsung oleh Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.
Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya,  kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.
Usai demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, sebagian wilayah Jakarta terbakar. Tentara pun diperintahkan untuk konsinyir, terutama yang berdinas di kesatuan tempur maupun bantuan tempur. 

Akhir dari peristiwa itu, Presiden Soeharto memberhentikan Jenderal Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, dan langsung mengambilalih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan, termasuk membebas tugaskan Mayjen Ali Moertopo.  Kepala Bakin, Letnan Jenderal Sutopo Juwono digantikan oleh Mayjen Yoga Soegomo.

Itulah salah satu konflik elite politik pertama yang sangat mencuat di era pemerintahan Orde Baru. Konflik elite militer akan berimbas ke mana-mana dan mengancam stabilitas nasional. Tidak bisa dibayangkan jika konflik ini melibatkan kesatuan-kesatuan militer. Mereka hanya tahu perintah atasannya. Perintah adalah segalanya!

Presiden Soeharto saat itu 53 tahun, masih belum pensiun kendati sudah menjadi presiden. Ia masih militer aktif. Jenderal bintang empat. Karena itulah jabatan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, langsung diambilalihnya. 

Kita tidak bisa membayangkan jika punya presiden lemah saat terjadinya konflik elite. Apalagi yang melibatkan petinggi militer sekaligus memegang kendali mata rantai komando.  Bisa-bisa terjadi perang saudara.
Saat ini gejala konflik horizontal terjadi di depan mata kita. Antar-komponen anak bangsa bertikai. Seperti ada yang mengadu domba. Entahlah. Kita tidak ingin konflik ini terus berlangsung. Kita ingin konflik segera berakhir dan semua komponen bangsa bisa bergandengan tangan. 

Semoga pemimpin nasional kita bisa membaca suasana batin masyarakat yang sedang keruh. Belajarlah dari sejarah bangsa, Tuan Presiden.

/selamatgintingofficial

17 December 2019

Relasi Kuasa Hadi - Andika di Persimpangan Jalan


Tulisan ini diterbitkan di Harian Republika, 16 Desember 2019 Rubrik Teraju

Oleh: Selamat Ginting
Ada apa sebenarnya dengan elite TNI? Khususnya antara Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dengan KSAD Jenderal Andika Perkasa.  
Dalam dua bulan terakhir, ada beberapa peristiwa di mana Jenderal Andika tidak menghadiri acara di mana ada Marsekal Hadi. Peristiwa-peristiwa yang mengundang tanda tanya besar. Seperti hubungan  panas dingin antara keduanya.

Andika kini malah terlihat lebih banyak bersama Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. Keduanya sama-sama berlatar unit penanggulangan teror (gultor) Kopassus. Saat Mayjen Prabowo menjadi Komandan Jenderal Kopassus, Andika masih berpangkat kapten infanteri (komando).

Terakhir, Andika (Akmil 1987) bersama Menhan Prabowo saat di Bandung. Pertemuan KSAD se-ASEAN, Senin (25/11/2019) lalu. Dari Mabes TNI diwakili Kasum, Letjen Joni Suprianto (Akmil 1986). Prabowo dan Andika menjadi bintang dalam acara ACAMM (Asean Chief of Army Multilateral Meeting).

Sebelumnya Andika juga bertemu dengan Prabowo, saat peresmian Patung Jenderal Besar Soedirman di Turusan, Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Ahad (10/11/2019). Tepat di Hari Pahlawan itu, Andika justru tidak hadir di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan.

Saat itu, pimpinan Angkatan Darat diwakili Wakil KSAD Letjen Tatang Sulaiman (Akmil 1986). Tatang mendampingi Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. Hadir pula KSAL Laksamana Siwi Sukma Adji (AAL 1985), KSAU Marsekal Yuyu Sutisna (AAU 1986), dan Kepala Polri Jenderal Idham Aziz (Akpol 1988-A).

Begitu juga saat Hadi ke Papua pada 28-29 Oktober 2019. Andika malah menemani Menhan Prabowo. Keduanya menerima kunjungan Duta Besar Cina di Indonesia Xiao Qian di Kementerian Pertahanan, Selasa (29/10/2019).

Nah, saat Hadi menerima Menhan Prabowo di Mabes TNI pada Rabu (30/10), Andika tidak hadir. Ia diwakili Wakil KSAD Letjen Tatang Sulaiman. Hadir pada acara itu, antara lain KSAL Laksamana Siwi Sukma Adji, dan KSAU Marsekal Yuyu Sutisna.

Pada acara pelantikan Kepala Polri Jenderal Idham Aziz, Marsekal Hadi bertindak sebagai saksi bersama Mendagri Tito Karnavian, 1 November 2019. Di situ pula Andika tidak hadir. Pimpinan Angkatan Darat diwakili Letjen Tatang Sulaiman. 

Interaksionisme simbolik
Bagaimana menerjemahkan ketidakhadiran Jenderal Andika saat acara dihadiri Marsekal Hadi? Apakah sebuah kebetulan, karena ada acara bersamaan?

Penulis melihatnya dari teori interaksionisme simbolik. Salah satu teori yang banyak digunakan dalam penelitian sosiologi. Teori ini memiliki akar keterkaitan dari pemikiran Max Weber yang mengatakan, “tindakan sosial yang dilakukan oleh individu didorong oleh hasil pemaknaan sosial terhadap lingkungan sekitarnya.”

Makna sosial diperoleh melalui proses interpretasi dan komunikasi terhadap simbol-simbol di sekitarnya. Tanda-tanda tersebut merupakan simbol yang digunakan untuk berkomunikasi dan menyampaikan pesan pada orang lain. Teori interaksionisme simbolik melihat sebuah tindakan dengan penggunaan simbol dalam rangka mendeklarasikan identitas semacam ‘inilah diriku’.

Bisa jadi, itulah bentuk protes Andika terhadap Hadi yang lebih mengutamakan memilih perwira tinggi yang satu letting (lulusan kelas yang sama) 1986. Sebelum, promosi terhadap IB Purwalaksana sebagai Irjen Kemhan, berdasarkan keputusan panglima TNI pada 26 November 2019, abituren Akmil 1987, teman lulusan Jenderal Andika, seperti ‘gigit jari’.

Abituren Akmil 1986 punya tujuh letjen, termasuk Hinsa Siburian yang sudah pensiun. Sedangkan Akmil 1987, hanya punya satu jenderal dan dua letjen. Kini dalam waktu dekat akan menjadi tiga letjen dengan naiknya IB Purwalaksana. Bisa jadi pula, Andika dianggap ‘kurang memperjuangkan’ teman-temannya sesama Akmil 1987.

Akmil 1985 pun hanya empat letjen. Sedangkan Akmil 1988 A maupun B, belum satu pun yang mendapatkan promosi letjen. Hal ini pula yang dipertanyakan, mengapa Angkatan Darat tertinggal dari Angkatan Laut maupun Angkatan Udara? Bahkan jauh tertinggal dari Kepolisian, karena lulusan 1990 sudah ada yang berpangkat komjen (setingkat letjen, laksdya, marsdya).

Makna ketidakhadiran Andika, jika diteropong dari teori interaksionisme simbolik, bisa dianalisis masyarakat berdasarkan makna subjektif yang diciptakan individu sebagai basis perilaku dan tindakan sosialnya. Individu diasumsikan bertindak lebih berdasarkan apa yang diyakininya, bukan berdasar pada apa yang secara objektif benar.

Apa yang diyakini benar merupakan produk konstruksi sosial yang telah diinterpretasikan dalam konteks atau situasi yang spesifik. Hasil interpretasi ini disebut sebagai definisi situasi. Itulah situasi relasi kuasa antara Marsekal Hadi dengan Jenderal Andika. Ada persaingan terselubung. Tentu saja, keduanya akan membantah argumen ini. Silakan saja, boleh berbeda perspektif.  

Pola Karier 
Untuk itu, penulis juga akan mengaitkannya dengan pola karier perwira tinggi TNI.
Karier adalah perkembangan dan kemajauan yang terbuka bagi prajurit dalam kesempatan untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan tertentu. Termasuk kenaikan pangkat, kesempatan mengikuti pendidikan, serta pemindahan dan giliran penugasan.

Karena itu, pimpinan tentara, harus memberikan kesempatan seadil-adilnya kepada setiap perwira untuk mengembangkan kariernya. Tentu saja melalui sebuah perencanaan yang baik dan giliran penugasan serta kesempatan pendidikan untuk mencapai kemajuan.

Dalam pola dasar karier perwira, maka jabatan pada perwira tinggi merupakan fase darma bakti. Pengabdian sebagai perwira lebih dari 25 tahun. Setelah minimal 25 tahun jadi perwira, baru pantas menyandang pangkat brigjen, laksma, marsma.

Ini merupakan masa terakhir dari karier seorang perwira. Penekanannya akan beralih dari sekadar pengembangan kemanfaatan maksimal seorang perwira dalam darma baktinya. Fokus perwira tinggi pada masalah-masalah strategi pertahanan dan kebijaksanaan TNI. Sehingga mereka bisa berkarsa dan berkarya nyata menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Maka selayaknya, jabatan-jabatan komadan/ panglima, serta staf tingkat tinggi akan dipercayakan kepada perwira yang sangat menonjol di antara perwira yang potensial. Harus dilihat latar belakang penugasan bidang staf, pendidikan, pembinaan teritorial, serta komando pada unit kesatuan yang lebih besar. Tentu dengan ukuran prestasi yang sangat menonjol. Bukan semata-mata, karena sama-sama lulusan satu letting (sekelas).

Harapannya, agar organisasi TNI bisa lebih professional, modern, dan mampu menjaga soliditas organisasi. Panglima Besar Soedirman telah memberikan contoh teladan yang patut dicontoh generasi penerus saat ini. Utamanya dalam menjaga soliditas TNI di saat negara dalam keadaan genting.


Tabel

BINTANG 4 & 3 TNI AKTIF
                                               
Abituren | Nama | Jabatan | Pensiun

TNI AD
1984              --

1985 | Letjen Doni Monardo       | Kepala BNPB | Jun 2021
           | Letjen Tri Legiono Suko   | Rektor Unhan| Des 2020
           | Letjen Dodik Wiajanarko | Nonjob            | Feb 2021
                                                   (Staf Khusus Panglima TNI)

1986 | Letjen Tatang Sulaiman | Wakil KSAD | Mei 2020
           | Letjen Joni Supriyanto   | Kasum TNI   | Jul 2022
           | Letjen Besar Harto K      | Pangkostrad  | Jun 2021
           | Letjen Ganip Warsito      | Pangkogabwilhan III TNI | Des 2021
           | Letjen Tri Soewandono   | Sesmenko Polhukam | Jan 2022

1987 | Jenderal Andika Perkasa | KSAD              | Jan 2023
           | Letjen M Herindra            | Irjen TNI        | Des 2022
           | Letjen AM Putranto          | Dankodiklatad | Maret 2022
           | Letjen IB Purwalaksana   | Irjen Kemhan   | Maret 2022

1988-A  --

1988-B   --

TNI AL
1984  | Laksdya A Djamaludin  | Sekjen Wantannas | Jul 2020

1985  | Laksamana Siwi Sukma A | KSAL                                  | Jun 2020
            | Laksdya Agus Setiadji        | Sekjen Kemhan                | Sep 2020

1986  | Laksdya Mintoro Yulianto | Wakil KSAL                      | Juli 2020

1987  | Laksdya Aan Kurnia            | Danjen Akademi TNI     | Agu 2023

1988-A | Laksdya Yudo Margono | Pangkogabwilhan I TNI | Des 2023

1988-B  --

TNI AU
1984  | Marsdya Bagus Puruhito   | Kepala BNPP            | Nov 2020

1985  | Marsdya Dedy Permadi     | Dan Sesko TNI          | Mei 2021
  
1986  | Marsekal Hadi Tjahjanto   | Panglima TNI           | Des 2021
           | Marsekal Yuyu Sutisna          | KSAU                          | Jul 2020
            | Marsdya Wieko Syofyan     | Wagub Lemhannas | Mei 2022
            | Marsdya Fahru Zaini I        | Wakil KSAU              | Okt 2021

1987  --

1988-A --

1988-B | Marsdya Fadjar Prasetyo | Pangkogabwilhan II TNI | Mei 2024


PANGLIMA KODAM  2019

Kodam  | Nama | Abituren | Korps
Iskandar Muda | Teguh Arief Indratmoko | 1988-A | Infanteri
Bukit Barisan    | M Sabrar Fadhilah           | 1988-A | Infanteri
Sriwijaya            | Irwan Zaini                        | 1987      | Zeni
Jayakarta           | Eko Margiyono                 | 1989      | Infanteri 
                                                                                   (Komando)
Siliwangi            | Nugroho Budi Wiryanto | 1987     | Infanteri 
                                                                                   (Komando)
Diponegoro       | M Effendi                           | 1986     | Zeni
Brawijaya          | R Wisnoe Prasetja Boedi | 1986     | Infanteri
Udayana            | Benny Susianto                 | 1987      | Infanteri
Tanjungpura     | M Nur Rahmad                | 1988-A  | Infanteri
Mulawarman    | Subiyanto                           | 1988-    | Infanteri
Hasanuddin      | Surawahadi                       | 1985      | Infanteri
Merdeka            | Tiopan Aritonang             | 1986      | Infanteri
Pattimura          | Marga Taufiq                    | 1987       | Infanteri
Cendrawasih     | Herman Asaribab            | 1988-B  | Infanteri
Kasuari               | J Onesimus Wayangkau | 1986      | Infanteri


PANGLIMA  DIVISI  INFANTERI  KOSTRAD 2019

Divif     | Nama                 | Abituren | Korps
Divif 1  | Agus Rohman     | 1988-A    | Infanteri
Divif 2  | Tri Yunianto       | 1989         | Infanteri (Komando)
Divif 3  | Ahmad Marzuki | 1989         | Infanteri


Penulis adalah Jurnalis Senior Republika
Pemerhati Komunikasi Politik Militer


Posting Terkini

Belajar dari Brasil dalam Program Makan Bergizi Gratis

    Photo: courtesy cnnindonesia.com Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Brasil untuk belajar program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ...