Foto: Tempo.co |
Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta. Kandidat doktor ilmu politik. Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas. Wartawan senior yang banyak mengamati masalah politIk pertahanan keamanan negara.
Baru kali ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) sangat galau
untuk memilih Panglima TNI pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), galau artinya: kacau tidak keruan.
Bahkan sampai tepat dua tahun pemerintahan Jokowi periode
kedua pada 21 Oktober 2021 ini, ia masih juga galau. Belum menunjukkan
kepastian.
Hadi tercatat sebagai panglima TNI terlama di era reformasi.
Ia menjabat selama empat tahun, kurang satu bulan. Terhitung sejak 8 Desember
2017 hingga 8 November 2021 mendatang.
Dari situ bisa disimpulkan Jokowi begitu percaya pada
Marsekal Hadi dibandingkan dengan perwira tinggi lainnya yang masih aktif saat
ini, baik Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa, Kepala
Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono, maupun Kepala Staf Angkatan
Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo.
Jadi pendapat Hadi tentu akan bisa mempengaruhi keputusan
Jokowi dalam memilih suksesor pengganti Hadi. Jokowi pastilah akan menanyakan
siapa yang paling pas menjadi suksesor Hadi. Jawabannya, akan mudah didapat.
Hadi lebih cenderung memilih Laksamana Yudo daripada Jenderal Andika. Tentu
juga bukan Marsekal Fadjar yang sama-sama dari matra udara.
Simak video "Jokowi Galau Pilih Panglima TNI"
Hal ini tentunya bisa dilihat dari komunikasi interpersonal, baik dari sisi sosiologi komunikasi, maupun psikologi komunikasi. Dalam relasi kuasa antara Hadi dengan Yudo, secara kasat mata bisa dilihat, jauh lebih cair daripada antara Hadi dengan Andika.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Hanya mereka berdua yang tahu.
Padahal keduanya pernah sama-sama membantu Presiden Jokowi di istana.
Hadi tentu saja ingin kebijakan dan ‘legacy’-nya bisa
diteruskan oleh suksesornya, sehingga ada kesinambungan. Ia tentu tidak ingin
bernasib serupa dengan Jenderal Gatot yang kebijakannya dibatalkan dirinya.
Bahkan terjadi ‘de-gatot-isasi’. Sehingga Hadi tidak ingin
mendapatkan ‘hukum karma’ mendapatkan perlakuan ‘de-hadi-isasi’ seperti dialami
Gatot.
Dari sinilah kegamangan Jokowi untuk tidak langsung memilih
Laksamana Yudo atau Jenderal Andika. Bahkan hingga pas dua tahun usia
pemerintahan Jokowi periode kedua (20-21 Oktober 2021), belum juga ada
kepastian tentang hal tersebut.
Kendati sebelumnya sudah ada jejak utusan istana, yakni
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno yang mengunjungi Markas Besar
Angkatan Darat (Mabesad) dan bertemu dengan KSAD Jenderal Andika pada Senin
(11/10/2021) lalu.
Dari sini sebenarnya ada sinyal berdasarkan teori komunikasi
tentang interaksi simbolik. Maklum, sebagai orang Jawa, Jokowi senang
menggunakan simbol-simbol dalam politik. Ingat, Menteri Pratikno tidak
mengunjungi Mabesal kantor Laksamana Yudo
maupun Mabesau kantor Marsekal Fadjar. Padahal mereka bertiga merupakan
kandidat Panglima TNI.
Hal ini karena mereka sudah mencapai bintang empat aktif dan
menjadi kepala staf angkatan. Lain halnya bila dalam waktu dekat akan segera
ada pergantian kepala staf angkatan. Misalnya, dalam sisa waktu Oktober 2021
ini terjadi pergantian kepala staf angkatan. Maka siapa pun yang akan menjadi
kepala staf angkatan mempunyai peluang yang sama besarnya, kendati hanya dalam
hitungan satu hari sekali pun.
Tapi sinyal kedatangan Menteri Pratikno bisa mentah kembali,
karena hingga kini (21 Oktober 2021) pun belum ada pengumuman reshuffle
(pergantian) kabinet. Kemungkinan pergantian panglima TNI juga akan terkoneksi
dengan reshuffle kabinet.
Mengapa? Karena Jokowi tidak akan menelantarkan Marsekal Hadi
tanpa jabatan. Hadi diduga kuat akan masuk dalam kabinet kali ini. Kemungkinan
akan menjadi menteri perhubungan atau bisa juga sebagai Kepala Staf Presiden
(KSP). Sebab Hadi juga pernah bekerja di istana menjadi sekretaris militer
presiden.
Nah, yang menjadi masalah adalah pesan komunikasi politik apa
yang disampaikan Presiden Jokowi melalui Menteri Pratikno kepada Jenderal
Andika? Apakah kepastian Andika akan menggantikan Hadi sebagai Panglima TNI?
Ataukah justru memberitahukan bahwa Andika tidak akan menjadi Panglima TNI,
namun masuk dalam kabinet?
Pertarungan politik seperti apa yang terjadi di dalam istana?
Rasanya Jokowi pun tidak akan menelantarkan Andika jika akhirnya tidak
dipilihnya menjadi Panglima TNI, melainkan sebagai bagian dari kabinet.
Entahlah, mungkin sebagai KSP menggantikan Jenderal (Purn) Moeldoko, loyalis
SBY yang berbalik menjadi loyalis Jokowi.
Menjadi KSP dengan alasan, Andika juga pernah bekerja di
lingkungan istana menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres). Sampai
di sini, Jokowi pun tidak akan menelantarkan Moeldoko.
Kemungkinan Moeldoko akan diberikan tempat di kabinet bersama
wakil dari Partai Amanat Nasional (PAN). Hal ini kemungkinan juga bersamaan
dengan politik Jokowi ‘menggusur’ kubu mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).
Misalnya, kemarin (20 Oktober 2021) Jokowi
meminta komitmen pembantunya dalam memberantas mafia-mafia tanah. Ini sinyal
kuat. Apalagi dilanjutkan hari ini (21 Oktober 2021) Wakil Ketua Komisi II DPR
RI dari PDIP, Junimart Girsang mendesak Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil mengundurkan diri dari jabatannya. Alasannya,
hingga kini persoalan perebutan tanah antara pengusaha dan warga di Indonesia
tak kunjung selesai.
Petunjuk itu mengisyaratkan Sofyan Djalil berpotensi akan dicopot dari posisi menteri. Sofyan dikenal sebagai ‘orangnya’ JK. Dan yang akan menggantikannya, kemungkinan Moeldoko.
Pertarungan Politik
Kembali ke soal siapa saja orang kuat yang akan
pengaruhi Jokowi untuk memilih kandidat Panglima TNI? Jika di awal dikemukakan
Jokowi akan meminta pendapat Marsekal Hadi. Walau hak prerogratif presiden,
namun kemungkinan Jokowi
akan meminta pendapat dari sekurangnya empat tokoh politik di luar Marsekal Hadi.
Empat orang tersebut adalah Ketua Umum PDI Perjuangan
Megawati Sukarnoputri sebagai pimpinan ‘kandang partai’ dimana Jokowi
berada. Alam pikiran politik Megawati,
tentu saja berkepentingan terhadap Andika yang punya potensi ke depan untuk
dipasangkan dengan anaknya, yakni Puan Maharani dalam pemilihan presiden 2024
mendatang.
Andika adalah jenderal aktif yang namanya masuk dalam bursa
bakal calon presiden maupun wakil presiden untuk periode 2024. Sementara
Marsekal Hadi, namanya sama sekali tidak diperhitungkan dalam sejumlah
survey.
Purnawirawan militer lainnya yang masuk dalam bursa bakal
capres maupun wapres adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang juga
ketua umum Partai Gerindra; kemudian Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti
Yudhoyono (AHY), dan deklataror Koalisi Aksi Menyelamatkan
Indonesia (KAMI) Gatot Nurmantyo (GN).
Puan sangat mungkin dipasangkan dengan Prabowo maupun Andika.
Namun tidak dengan AHY dan GN sebagai oposisi terhadap pemerintahan Jokowi.
Di situlah Megawati berkepentingan terhadap posisi Andika
sebagai Panglima TNI atau jabatan lain yang setara di kabinet. Sama dengan
ketika Megawati ‘menyelamatkan’ muka Jenderal Polisi Budi Gunawan (BG) yang
batal menjadi Kepala Polri, kemudian disubsitusi menjadi Kepala Badan Intelijen
Negara (BIN).
Bahkan kini BG menjadi Kepala BIN terlama sejak era
reformasi. Lima tahun satu bulan, melewati rekor Mayjen (Purn) Syamsir Siregar
selama empat tahun 10 bulan. Nama BG pun kini masuk dalam bursa survey bakal
capres maupun cawapres 2024.
Kembai ke soal tokoh yang akan dimintai pendapat oleh Jokowi.
Rasanya tidak mungin Jokowi tidak minta pendapat Menteri Pertahanan Prabowo
Subianto. Prabowo juga ketua umum Gerindra, partai tiga besar dalam pemilu 2019
lalu. Panglima TNI mesti terkoneksi dengan Menteri Pertahanan.
Menteri Pertahanan memiliki kapasitas selaku
menteri bidang alutsista (alat utama sistem senjata) dan industri pertahanan
yang memegang amanah untuk mendesain dan menentukan kebijakan strategis
pembangunan alutsista TNI. Ada pun Panglima TNI sebagai pengguna kekuatan, dan
kepala staf angkatan sebagai pembina kekuatan. Jadi, presiden Jokowi
sepantasnya menanyakan masalah ini juga kepada menteri pertahanan.
Selain itu juga kemungkinan Jokowi akan menanyakan kepada
menteri senior ‘paling kuat’, yakni Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Serta ketua
dewan pertimbangan presiden, Wiranto. Kebetulan tiga nama yang disebut itu jenderal
yang berasal dari matra darat. Sehingga bisa saja memiliki kecenderungan lebih memilih Jenderal Andika
daripada Laksamana Yudo maupun Marsekal Fadjar.
Andika pun lebih senior daripada Yudo maupun Fadjar. Andika
lulusan Akademi Militer (Akmil) 1987, Yudo lulusan Akademi Angkatan Laut (AAL)
1988-A, dan Fadjar lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) 1988-B. Namun masa
dinas Andika tinggal satu tahun satu bulan lagi. Hal ini jika dihitung sejak
November 2021, saat Hadi berusia 58 tahun.
Sedangkan Yudo mempunyai waktu dua tahun lagi. Sedangkan Fadjar masih
sekitar 2,5 tahun lagi.
Dengan diulur-ulurnya waktu pergantian Panglima TNI, maka
sah-sah saja jika ada analisis politik sebagai upaya menjegal Andika menjadi
Panglima TNI. Sebab waktu satu tahun dianggap tidak efektif untuk menjalankan
tugas sebagai Panglima TNI. Di sinilah peluang Laksamana Yudo lebih terbuka.
Bisa jadi dengan alasan inilah Jokowi tidak memilih Andika.
Namun bisa juga seperti model Jenderal Polisi Idham Aziz menjadi Kepala Polri
pengganti Jenderal Tito Karnavian. Idham hanya sekitar satu tahun dua bulan
saja menjadi Kepala Polri. Semua kemungkinan bisa terjadi, tergantung pertarungan
politik di istana.
Jadi, skenario kuatnya, bisa empat pilihan. Pertama; Andika
sebagai Panglima TNI gantikan Hadi dengan waktu singkat, sekitar satu tahun
satu bulan saja. Kedua; Yudo langsung menjadi Panglima TNI menggantikan Hadi. Sedangkan
Andika ditarik ke kabinet. Ketiga;
win-win solutions. Andika menjadi Panglima TNI selama satu tahu satu bulan,
kemudian digantikan Yudo sebagai Panglima TNI selanjutnya dengan waktu yang
juga tersisa satu tahunan saja.
Keempat; pola jalan tengah. Bukan Andika dan bukan Yudo,
melainkan tokoh alternatif. Bisa jadi pengganti Andika sebagai KSAD, dengan
calon kuat Panglima Kostrad Dudung Abdurachman. Seandainya Dudung menjadi KSAD
pada akhir Oktober 2021 ini, maka ia pun berpeluang menjadi Panglima TNI pada
November 2021 jelang 58 tahun usia Marsekal Hadi. Sehingga Dudung hanya sepekan
saja menjadi KSAD dan langsung lompat menjadi Panglima TNI.
Empat skenario itu sangat mungkin terjadi di tengah-tengah
pertarungan politik kali ini. Dudung adalah titik pertemuan beberapa
kepentingan politik, antara Jokowi, Megawati, Prabowo Subianto, LBP, dan Hadi
Tjahjanto.
/selamatgintingofficial