Foto: JPNN.com |
"Operasi ‘memenggal’ GN dilakukan dengan tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada yang bersangkutan. Melalui upaya diam-diam, utusan istana mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR mengirimkan nama KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto untuk menggantikan GN pada Desember 2017. Sebuah kejutan politik di akhir tahun 2017."
Kali ini Presiden Jokowi kesulitan menentukan siapa pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto untuk menjadi Panglima TNI. Sesungguhnya jika Jokowi mau, pada Desember 2020 lalu, bisa saja ia mengganti Hadi.
Mengingat pada Desember 2020 itu, Hadi sudah tiga tahun menjadi Panglima TNI. Namun ternyata Hadi terus melanjutkan kariernya hingga empat tahun kurang satu bulan. Padahal rata-rata masa jabatan Panglima TNI di era reformasi pada kisaran 2-3 tahun.
Bagaimana sesungguhnya pola Jokowi memilih Panglima TNI? Mari kita telusuri alurnya sejak periode pertama pemerintahannya.
Memang selama Jokowi menjadi presiden, baru dua kali ia memilih
panglima TNI. Pertama kali ia memilih Jenderal Gatot Nurmantyo (GN) menggantikan
Jenderal Moeldoko. Moeldoko merupakan panglima TNI pilihan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Ia menjadi panglima peralihan pemerintahan SBY ke
Jokowi.
Dimulai pada 30 Agustus 2013 hingga 8 Juli 2015. Sehingga Moeldoko
yang ikut pemerintahan SBY selama satu tahun dua bulan, lanjut ‘mencicipi’ awal
pemerintahan Jokowi selama kurang dari sembilan bulan. Di situ Jokowi mulai
kenal siapa Moeldoko, termasuk loyalitasnya terhadap dirinya.
Jadi, panglima TNI pertama pilihan Jokowi bukan Moeldoko, justru
Jenderal GN. Pilihan Jokowi terhadap Gatot
adalah kejutan politik bila dikaitkan dengan UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI.
Terutama pada pasal 13 yang berbunyi: "Jabatan Panglima dapat dijabat secara
bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau
pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan."
Jika dikaitkan dengan kalimat tersebut, maka rotasi dari
Moeldoko kepada Gatot, jelas tidak bergantian. Namun, ada multitafsir pada
kalimat ‘dapat dijabat secara bergantian’. Artinya bisa dapat, bisa juga tidak
dapat (bergantian).
Di sini dibuktikan, Moeldoko yang berasal dari matra darat
kembali ke Gatot yang juga berasal dari matra darat. Awalnya tentu
mengherankan. Sebab, Panglima TNI sebelum Moeldoko adalah Laksamana Agus
Suhartono.
Jadi, setelah Agus Suhartono dari matra laut maka diberikan
kepada Moeldoko dari matra darat. Sehingga diperkirakan yang akan menggantikan
Moeldoko dari matra udara, yakni Marsekal Agus Supriatna. Agus Supriatna alumni
AAU tahun 1983 dari Korps Penerbang Tempur, memenuhi persyaratan untuk menjadi
panglima TNI.
Kekurangannya memang satu, yakni bintang tiganya hanya
berumur tidak lebih dari sepekan. Jabatan bintang tiganya hanya selama dua hari
saja sebagai Kepala Staf Umum TNI. Jadi hanya sebagai persyaratan formal untuk
menjadi Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU).
Sehingga kematangannya belum teruji untuk memimpin Mabes TNI.
Hal ini antara lain, membuat Jokowi memutuskan menunjuk KSAD Jenderal GN. Gatot
lulusan Akmil 1982. Satu tahun lebih senior daripada KSAU Marsekal Agus
Supriatna maupun KSAL Laksamana Ade Supandi, yang juga lulusan AAL 1983.
Gatot pun lebih matang dalam jabatan bintang tiga, sebagai
Komandan Kodiklatad serta Panglima Kostrad. Lebih berbobot dan lebih meyakinkan
untuk memimpin tiga matra daripada Agus Supriatna. Sedangkan Ade Supandi
‘terganjal’ jatah matra laut, sebab sebelum Moeldoko, Panglima TNI-nya adalah
Laksamana Agus Suhartono dari matra laut.
Jadi begitulah alur mengapa Jokowi akhirnya memilih GN. Namun
dalam perjalanannya, akhirnya Jokowi merasa tidak pas dengan GN. Ada kebijakan
politik Jokowi yang tidak sinkron dengan GN, terutama dalam menghadapi kelompok
‘Islam politik’. Keduanya berbeda sikap. Hal ini tampaknya menjadi jalan
pemisah keduanya.
Buntutnya, Jokowi mencopot GN, tiga bulan sebelum masa
pensiunnya tiba. Ia tidak memberikan kesempatan kepada GN untuk menuntaskan
jabatannya hingga Maret 2018. Gatot ‘dipenggal’ pada Desember 2017.
Operasi ‘memenggal’ GN dilakukan dengan tanpa memberitahukan
terlebih dahulu kepada yang bersangkutan. Melalui upaya diam-diam, utusan
istana mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR mengirimkan nama KSAU
Marsekal Hadi Tjahjanto untuk menggantikan GN pada Desember 2017. Sebuah
kejutan politik di akhir tahun 2017.
Gatot terperengah, ia coba ‘melawan’ dengan membuat keputusan
kontroversial. GN melakukan mutasi dan promosi jabatan perwira tinggi TNI yang
tidak ‘biasa’. Antara lain menjadikan Mayjen Sudirman sebagai panglima Kostrad
menggantikan Letjen Edy Rahmayadi. Edy sudah meminta pensiun dini kepada GN
untuk persiapan menjadi bakal calon gubernur Sumatra Utara.
Surat keputusan Panglima GN yang kontroversial di ujung kariernya
itu, langsung dibatalkan ketika Marsekal Hadi resmi dilantik dan memegang tongkat
komando Panglima TNI.
De-gatot-isasi pun terjadi. Orang-orang lebel GN tersingkir
dari pusaran. Mayjen Sudirman pun batal menjadi Panglima Kostrad dan otomatis
gagal naik pangkat menjadi letjen.
Ia ‘dimaafkan’ di akhir kariernya dengan tetap diberikan
promosi jabatan sebagai Komandan Kodiklat TNI dengan kenaikan pangkat bintang
tiga. Tapi hanya berumur tak lebih sepekan, kemudian pensiun.
Begitulah dramaturgi yang terjadi di Cilangkap, markas
besar TNI. Dramaturgi adalah sebuah teori yang mengemukakan bahwa teater dan
drama mempunyai makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan
manusia.
/selamatgintingofficial